Cerpen Angin di daun Pohon

Alasan mengapa orang-orang memanggilku “Pohon” karena aku sangat baik dalam menggambar pohon. Setelah itu, aku selalu menggunakan gambar pohon pada sisi kanan sebagai trademark pada semua lukisanku. Aku telah berpacaran sebanyak 5 orang wanita ketika aku masih di SMA.

Ada satu wanita yang aku sangat aku cintai, tapi aku tidak punya keberanian untuk mengatakannya. Dia tidak memiliki wajah yang cantik, tubuh yang sexy, dan sebagainya. Dia sangat peduli dengan orang lain dan religius. Tapi dia hanya wanita biasa saja.

Aku menyukainya, sangat menyukainya, menyukai gayanya yang innocent dan apa adanya, kemandiriannya, aku menyukai kepandaiannya dan kekuatannya.

Alasan aku tidak mengajaknya kencan karena aku merasa dia yang sangat biasa dan tidak serasi untukku. Aku juga takut, jika kami bersama semua perasaan yang indah ini akan hilang. Aku juga takut kalau gosip-gosip yang ada akan menyakitinya. Aku merasa dia adalah “sahabatku” dan aku akan memilikinya tiada batasnya dan aku tidak harus memberikan semuanya hanya untuk dia.

Alasan yang terakhir, membuat dia menemaniku dalam berbagai pergumulan selama 3 tahun ini. Dia tau aku mengejar gadis-gadis lain, dan aku telah membuatnya menangis selama 3 tahun.

Ketika aku mencium pacarku yang kedua, dan terlihat olehnya. Dia hanya tersenyum dengan berwajah merah dan berkata “lanjutkan saja…” dan setelah itu pergi meninggalkan kami. Esoknya, matanya bengkak, dan merah…

Aku sengaja tidak mau memikirkan apa yang menyebabkannya menangis, but aku tertawa dengannya seharian. Ketika semuanya telah pulang, dia sendirian di kelas untuk menangis. Dia tidak tahu bahwa aku kembali dari latihan sepakbola untuk mengambil sesuatu di kelas, dan aku melihatnya menangis selama sejaman.

Pacarku yang ke-4 tidak menyukainya. Pernah sekali mereka berdua perang dingin, aku tahu bukan sifatnya untuk memulai perang dingin. Tapi aku masih tetap bersama pacarku. Aku berteriak padanya dan matanya penuh dengan air mata sedih dan kaget. Aku tidak memikirkan perasaannya dan pergi meninggalkannya bersama pacarku. Esoknya masih tertawa dan bercanda denganku seperti tidak ada yang terjadi sebelumnya. Aku tahu bahwa dia sangat sedih dan kecewa tapi dia tidak tahu bahwa sakit hatiku sama buruknya dengan dia, aku juga sedih.

Ketika aku putus dengan pacarku yang ke-5, aku mengajaknya pergi. Setelah kencan satu hari itu, aku mengatakan bahwa ada sesuatu yang ingin kukatakan padanya. Dia mengatakan bahwa kebetulan sekali bahwa dia juga ada sesuatu yang ingin dia katakan padaku. Aku cerita padanya tentang putusnya aku dengan pacarku dan dia berkata tentang dia sedang memulai suatu hubungan dengan seseorang. Aku tahu pria itu. Dia sering mengejarnya selama ini. Pria yang baik, penuh energi dan menarik.

Aku tak bisa memperlihatkan betapa sakitnya hatiaku, tapi hanya bisa tersenyum dan mengucapkan selamat padanya. Ketika aku sampai di rumah, sakit hatiku bertambah kuat dan aku tidak dapat menahannya. Seperti ada batu yang sangat berat di dadaku. Aku tak bisa bernapas dan ingin berteriak namun tidak bisa.

Air mata mengalir dan aku jatuh menangis. Sudah sering aku melihatnya menangis untuk pria yang mengacuhkan kehadirannya.

Ketika upacara kelulusan, aku membaca SMS di handphone-ku. SMS itu dikirim 10 hari yang lalu ketika aku sedih dan menangis.

SMS itu berbunyi, “Daun terbang karena Angin bertiup atau karena Pohon tidak memintanya untuk tinggal?

DAUN

Selama SMA, aku suka mengoleksi daun-daun, kenapa? Karena aku merasa bahwa daun membutuhkan banyak kekuatan untuk meninggalkan pohon yang selama ini ditinggali.

Selama 3 thn di SMA, aku dekat dengan seorang pria, bukan sebagai pacar tapi “Sahabat”. Tapi ketika dia mempunyai pacar untuk yang pertama kalinya, aku mempelajari sebuah perasaan yang belum pernah aku pelajari sebelumnya, CEMBURU. Perasaan di hati ini tidak bisa digambarkan dengan menggunakan Lemon. Hal itu seperti 100 butir lemon busuk. Mereka hanya bersama selama 2 bulan. Ketika mereka putus, aku menyembunyikan perasaan yang luar biasa gembiranya. Tapi sebulan kemudian dia bersama seorang gadis lagi.

Aku menyukainya dan aku tahu bahwa dia juga menyukaiku, but mengapa dia tidak mau mengatakannya? Sejak dia mencintaiku, mengapa dia tidak yang memulainya dulu untuk melangkah? Ketika dia punya pacar baru lagi, hatiku selalu sakit. Waktu berjalan dan berjalan, hatiku sakit.

Aku mulai mengira bahwa ini adalah cinta yang bertepuk sebelah tangan, tapi mengapa dia memperlakukanku dengan sangat baik di luar perlakuannya hanya untuk seorang teman?

Menyukai seseorang sangat menyusahkan hati, aku tahu kesukaannya, kebiasaannya. Tapi perasaannya kepadaku tidak pernah bisa diketahui. Kau tidak mengharapkan aku sebagai seorang wanita untuk mengatakannya bukan?

Di luar itu, aku mau tetap di sampingnya, memberinya perhatian, menemaninya, dan mencintainya. Berharap, bahwa suatu hari, dia akan datang dan mencintaiku. Hal itu seperti menunggu telponenya setiap malam, mengharapkannya untuk mengirimku SMS. Aku tau sesibuk apa pun dia, dia pasti meluangkan waktunya untukku. Karena itu, aku menunggunya. 3 tahun cukup berat untuk kulalui dan aku mau menyerah. Kadang aku berpikir untuk tatap menunggu. Luka dan sakit hati, dan dilema yang menemaniku selama 3 tahun ini.

Ketika diakhir tahun ke-3, seorang pria mengejarku, dia adalah adik kelasku, setiap hari dia mengejarku tanpa lelah. Dari penolakan yang telah dia tunjukkan, aku merasa bahwa aku ingin memberikan dia ruang kecil di hatiku.

Dia seperti angin yang hangat dan lembut, mencoba meniup daun untuk terbang dari pohon. Akhirnya, aku sadar bahwa aku tidak ingin memberikan Angin ini ruang yang kecil di hatiku.

Aku tau Angin ini akan membawa pergi Daun yang lusuh jauh dan ke tempat yang lebih baik. Akhirnya aku meninggalkan Pohon. Tapi Pohon hanya tersenyum dan tidak memintaku untuk tinggal, aku sangat sedih memandangnya tersenyum ke arahku.

“Daun terbang karena Angin bertiup atau Pohon tidak memintanya untuk tinggal?”

ANGIN

Karena aku menyukai seorang gadis bernama Daun, karena dia sangat bergantung pada Pohon, jadi aku harus menjadi Angin yang kuat.

Angin akan meniup Daun terbang jauh. Ketika aku pertama kalinya, ketika 1 bulan setelah aku pindah sekolah. Aku melihat seorang memperhatikan kami bermain sepakbola. Ketika itu, dia selalu duduk di sana sendirian atau dengan teman-temannya memerhatikan Pohon. Ketika Pohon berbicara dengan gadis-gadis, ada cemburu di matanya. Ketika Pohon melihat ke arah Daun, ada senyum di matanya. Memperhatikannya menjadi kebiasaanku, seperti daun yang suka melihat Pohon. Satu hari, dia tidak tampak, aku merasakan kehilangan.

Seniorku juga tidak ada saat itu, Aku pergi ke kelas mereka, melihat seniorku sedang memperhatikan daun. Air mata mengalir di mata daun ketika Pohon pergi, besoknya, aku melihat Daun di tempatnya yang biasa, memperhatikan Pohon. Aku melangkah dan tersenyum padanya. Menulis catatan dan memberikan kepadanya. Dia sangat kaget.

Dia melihat ke arahku, tersenyum dan menerima catatanku. Besoknya, dia datang, menghampiriku dan memberiku catatan. “Hati Daun sangat kuat dan Angin tidak bisa meniupnya pergi, hal itu karena Daun tidak mau meninggalkan Pohon.” Aku melihat ke arahnya dengan kata-kata tersebut dan pelan dia mulai berkata padaku dan menerima kehadiranku dan teleponku.

Aku tahu orang yang dia cintai bukan aku, tapi aku akan berusaha agar suatu hari dia menyukaiku. Selama 4 bulan, aku telah mengucapkan kata Cinta tidak kurang dari 20 kali kepadanya. Setiap kali dia mengalihkan pembicaraan… tapi aku tidak menyerah, aku memutuskan untuk memiliki dia dan berharap dia akan setuju menjadi pacarku.

Aku bertanya, “apa yang kau lakukan? Kenapa kau tidak pernah membalas?” Dia berkata, “aku menengadahkan kepalaku”.

“Ah?” Aku tidak percaya apa yang aku dengar.

“Aku menengadahkan kepalaku” dia berteriak.

Aku meletakkan telepon, berpakaian dan naik taxi ke tempat dia, dan dia membuka pintu, aku memeluknya kuat-kuat.

“Daun terbang karena tiupan Angin atau karena Pohon tidak memintanya untuk tinggal”.

Read More..
 

Kumpulan Cerpen: Cermin seekor Burung

Ketika musim kemarau baru saja mulai. Seekor burung pipit mulai merasakan tubuhnya kepanasan, lalu mengumpat pada lingkungan yang dituduhnya tidak bersahabat. Dia lalu memutuskan untuk meninggalkan tempat yang sejak dahulu menjadi habitatnya, terbang jauh ke utara, mencari udara yang selalu dingin dan sejuk.

Benar, pelan pelan dia merasakan kesejukan udara, makin ke utara makin sejuk, dia semakin bersemangat memacu terbangnya lebih ke utara lagi.

Terbawa oleh nafsu, dia tak merasakan sayapnya yang mulai tertempel salju, makin lama makin tebal, dan akhirnya dia jatuh ke tanah karena tubuhnya terbungkus salju.

Sampai ke tanah, salju yang menempel di sayapnya justru bertambah tebal. Si burung pipit tak mampu berbuat apa apa, menyangka bahwa riwayatnya telah tamat.

Dia merintih menyesali nasibnya. Mendengar suara rintihan, seekor kerbau yang kebetulan lewat menghampirinya. Namun si burung kecewa mengapa yang datang hanya seekor kerbau. Dia menghardik si kerbau agar menjauh dan mengatakan bahwa makhluk yang tolol tak mungkin mampu berbuat sesuatu untuk menolongnya.

Si kerbau tidak banyak bicara, dia hanya berdiri, kemudian kencing tepat di atas burung tersebut. Si burung pipit semakin marah dan memaki maki si kerbau. Lagi-lagi si kerbau tidak bicara, dia maju satu langkah lagi, dan mengeluarkan kotoran ke atas tubuh si burung. Seketika itu si burung tidak dapat bicara karena tertimbun kotoran kerbau. Si Burung mengira lagi bahwa mati tak bisa bernapas.

Namun perlahan lahan, dia merasakan kehangatan, salju yang membeku pada bulunya pelan-pelan meleleh oleh hangatnya tahi kerbau, dia dapat bernapas lega dan melihat kembali langit yang cerah. Si burung pipit berteriak kegirangan, bernyanyi keras sepuas puasnya.

Mendengar ada suara burung bernyanyi, seekor anak kucing menghampiri sumber suara, mengulurkan tangannya, mengais tubuh si burung dan kemudian menimang nimang, menjilati, mengelus dan membersihkan sisa-sisa salju yang masih menempel pada bulu si burung. Begitu bulunya bersih, si burung bernyanyi dan menari kegirangan, dia mengira telah mendapatkan teman yang ramah dan baik hati.

Namun apa yang terjadi kemudian, seketika itu juga dunia terasa gelap gulita bagi si burung, dan tamatlah riwayat si burung pipit ditelan oleh si kucing.

Hmm… tak sulit untuk menarik garis terang dari kisah ini, sesuatu yang acap terjadi dalam kehidupan kita: halaman tetangga tampak selalu lebih hijau; penampilan acap menjadi ukuran; yang buruk acap dianggap bencana dan tak melihat hikmah yang bermain di sebaliknya; dan merasa bangga dengan nikmat yang sekejap. Burung pipit itu adalah cermin yang memantulkan wajah kita…

Read More..
 

Kumpulan Cerpen Terbaik : Lagu Purnama Sungai Duku

Di masa kecil, pernahkah nenekmu bercerita tentang perempuan bergaun keemasan bersampan di bawah purnama? Membelah arus Sungai Siak yang menderas menuju hilir, dari tepi ke tepi. Perempuan itu, kata nenekku, adalah penjelmaan peri yang turun ke bumi karena terpesona pada cerita tentang keperkasaan seorang pemuda yang selalu mengayuh lancang menuju hulu. Melawan arus bukan? Ya, pemuda itu mengayuh lancang sambil memainkan seruling sehingga ikan-ikan yang mendiami sungai ini tersihir dan membantunya berlayar menuju hulu yang tiada ujungnya.

Lalu kenapa peri itu ada di Sungai Duku ini, nenek? Kataku, di masa kecil yang begitu lugu. Peri yang mengejar cinta itu, kemudian terdampar di sini karena setelah bersampan ribuan siang ribuan malam tak juga menemukan si pemuda. Padahal jaraknya mungkin hanya dipisahkan satu purnama, namun arus sungai ini tak juga mempertemukan keduanya. Lalu bagaimana cinta sang peri itu, nenek? Katanya, cintanya ikut terdampar di tepi sungai ini ketika musim kemarau mendangkalkan jarak yang telah dia tempuh. Sampan peri itu, menurut cerita terdampar di sekitar pelabuhan Sungai Duku, yang kini selalu dilayari orang-orang menuju muara. Menuju lautan luas dengan banyak rencana dan tujuan.

Maka, setelah angin bertiup ke segala penjuru, di akhir musim kemarau yang ditandai dengan purnama penuh, tubuh sang peri tiba-tiba hilang seiring dengan turunnya hujan selama tujuh hari tujuh malam. Tubuh itu hilang bersama cintanya kepada pemuda yang sampai kini mungkin masih mengayuh lancang menuju hulu, sampai akhir usianya. Menurut cerita nelayan di masa lalu yang biasa mencari ikan di sungai ini, kadang-kadang saat purnama mereka melihat perempuan cantik berambut panjang bergaun keemasan melintasi sungai ini dari tepi ke tepi, sambil memainkan seruling dengan irama yang teramat syahdu. Menurut cerita juga, mereka kemudian mendapatkan banyak tangkapan, sebab ikan-ikan bermunculan karena terpesona dengan irama seruling sang peri.

“Benarkah cerita itu, Nenek?” kataku dua puluh tahun lalu, ketika suatu malam purnama nenek bercerita, melanjutkan kisah-kisahnya tentang hikayat sang peri yang terdampar di Sungai Duku.

“Cerita tetaplah cerita, kita tidak tahu sebelum membuktikan kebenarannya,” katanya sambil membelai rambutku yang kemerahan karena setiap hari terendam hangatnya sungai Siak. Ya, sejak aku mendengar cerita tentang peri itu, hampir tiap senja aku berenang di tepi sungai sambil menaruh harapan bertemu dengannya. Setidaknya sewaktu menyelam aku menyentuh gaunnya yang keemasan atau rambutnya yang panjang.

***

Purnama barangkali merupakan malam yang dinanti semua orang. Ketika bulan berlayar di atas lautan awan yang berarak mengikuti arah angin. Aku begitu terpesona dengan purnama, mungkin juga karena cerita nenek puluhan tahun lalu yang banyak menceritakan keindahan purnama. Tentang hikayat raja-raja di negeri entah yang selalu berpesta di malam terang itu. Tentang bidadari-bidadari cantik yang mandi di telaga di malam yang sama. Tapi keindahan purnama, kadang teracuni juga oleh cerita-cerita drakula atau siluman serigala yang sering kulihat di layar kaca.

Aku tidak akan banyak bercerita tentang purnama kepadamu Ai. Bukankah keindahannya sering kau nikmati di malam-malam sunyi ketika engkau bersampan dengan kekasihmu? Kekasih yang telah meninggalkanmu menuju muara dengan kapal feri, kemudian menyeberangi lautan Melaka yang begitu luasnya. Tapi setidaknya cerita peri itu tidak meracunimu sehingga engkau tenggelamkan rencana dan impianmu di dasar sungai ini. Ya, memang kenangan tidak akan hilang selama kita masih hidup.

“Maaf, kalau aku terlalu banyak bercerita tentang kisah cintaku yang begitu pilu, sehingga kau menyamakanku dengan peri seperti yang kau dengar dari nenekmu,” katanya suatu malam ketika dia kuajak menikmati purnama dari tepi pelabuhan.

“Tidak pernah sama Ai...” kataku kepada perempuan yang kemudian menjadi temanku, setelah perkenalan karena ketidaksengajaan.

“Lalu?”

“Perbedaan antara cerita dengan dunia nyata bisa tidak terhingga, tapi bisa juga sangat tipis. Tergantung bagaimana kita memaknai cerita itu,” kataku sambil memainkan ranting ke permukaan air yang mengalir perlahan-lahan.

“Apakah kamu juga menyukai senja?” kataku.

“Aku dulu sering menghabiskan senja di Danau Buatan bersama kekasihku, eh bekas kekasihku, yang kini pergi bersama cinta palsunya ke negeri yang aku tak pernah tahu. Barangkali, dia sudah bersampan dengan kekasihnya yang lain di danau lain,” dia mengusap air mata yang sebagiannya jatuh ke sungai.

“Senja itu membatasi gelap dan terang, hanya beberapa menit sebelum waktu berganti dan rotasi berputar mengikuti detak jam.”

“Lalu apa hubungannya dengan purnama?” katanya terlihat bingung.

“Renungkan saja...”

“Sok filosofis! Kamu yang benar saja kalau ngomong. Ihhh...”

Aku tertawa lepas, dan membiarkannya hanyut dalam kenangan yang selama ini begitu menghantui mimpi-mimpinya. Dia ingin melupakan kenangan buruk tentang cinta, tentang kekasihnya yang tiba-tiba meninggalkan rencana yang telah mereka rangkai berdua. Kekasihnya pergi sendirian, dari dermaga ini, mengikuti arah angin dan arus sungai, ketika senja begitu asing dan ganjil. Dia hampir tidak bisa menerima kejadian itu, dan nyaris saja menenggelamkan rencana dan impiannya di dasar sungai ini.

Aku bukan psikolog, kataku suatu ketika. Ketika dia ingin melepaskan beban yang teramat dalam menghunjamnya. Tapi dia terus saja bercerita tentang kisah cinta dan kehidupannya, sampai selesai dan membuatnya bisa tidur dengan nyenyak. Ceritanya seperti sebuah lagu malam yang pilu, selalu diputar berulang kali, sampai gerimis dan angin ikut menuntaskan kesedihannya.

“Aku tidak bisa tidur kalau belum bercerita kepadamu,” katanya dalam telepon suatu malam ketika hujan membasahi kota.

“Kenangan itu hal indah jika kau tak perlu berurusan dengan masa lalu.”

“Tapi aku ingin mengubur kedua-duanya,” dia semakin bersikeras dengan sikapnya. “Sudah sepuluh butir pil kutelan untuk menghapusnya.”

“Sepuluh butir pil? Kenapa tidak bola bilyar sekalian. Ah, kamu jangan berpikiran ngaco, Ai!”

“Nggak kok, cuma lima butir supaya aku bisa segera terbang ke alam mimpi. Lalu aku harus bagaimana?” dia terus menyeracau.

“Masa lalu biarlah berlalu, biarkan dia terbang bersama angin....”

“Bull shit...!”

Begitu juga dengan malam-malam berikutnya, sampai dia memaksa aku kembali bercerita tentang cerita masa kecil itu. Setelah sekian lama menumpahkan segala kisah, kesedihannya mulai hanyut dalam arus sungai yang sebelumnya menghanyutkan harapannya. Dia semakin menyukai malam di dermaga, sambil mendengarkan lagu-lagu sendu, di bawah purnama yang terlihat mengambang di permukaan air. Dia menyukai itu, sambil berharap bertemu dengan peri bergaun keemasan yang mengayuh sampan dari tepi ke tepi.

“Apakah kamu ingin bersampan dari tepi ke tepi juga?” kataku kemudian.

“Gila kamu...! Kenapa tidak kamu suruh saja aku berenang atau menyelam dan berharap bisa menyentuh gaun keemasannya atau rambutnya yang panjang, seperti obsesimu itu? Supaya aku bisa berbagi kisah dan pengalaman dengannya, tentang makna kehilangan. Tapi boleh juga, sesekali aku ingin bersampan dari tepi ke tepi agar bisa menghayati hati peri purnama itu.” Dia mengangguk-angguk.

***

Sudah sepekan lebih perempuan itu tidak ada kabarnya. Atau tepatnya sudah berbulan-bulan. Tiba-tiba dia seperti menghilang. Dua nomor telepon genggamnya tidak ada yang aktif. Ke mana kamu Ai? Untuk bertanya kepada teman-temannya? Aku sama sekali tidak tahu siapa-siapa temannya, juga rumahnya. Pertemanan kami hanya sebatas di telepon dan di atas pelabuhan. Pada malam-malam tertentu, kadang saat senja. Bukankah pertemuan adalah awal dari kehilangan?

“Sesekali buatlah cerita tentangku, kamu penulis cerita kan?” katanya suatu ketika, jauh-jauh hari sebelum dia pergi dan tak pernah kembali.

“Kenapa?”

“Supaya kamu juga bisa menceritakan kepada orang-orang tentang perempuan-perempuan yang kehilangan. Tidak hanya peri bergaun keemasan, tetapi juga tentang aku. Mungkin juga nantinya ada cerita tentang perempuan-perempuan lain yang mengalami nasib sama.”

Aku tertawa. Tapi dia hanya tersenyum kecut.

“Apakah kehilangan harus ditertawakan? Buatlah cerita ya, tentang aku, pliiis... Aku akan senang sekali bila kisahku kamu abadikan,” dia memohon.

“Mengabadikan kehilangan? Sangat sentimental bukan?”

“Biarlah, biar orang-orang bisa memaknai kehilangan. Sehingga tidak harus bunuh diri atau meratapi sepanjang hari. Kehilangan adalah akhir dari pertemuan. Itu bagian dari realitas hidup yang harus kita jalani. Tinggal bagaimana kita memaknainya.”

Dia terlihat serius. Dilemparkannya sebuah kerikil ke tengah sungai. Plung!

“Okelah, aku akan menceritakannya setelah aku kehilangan kamu. Ha-ha-ha... Bercanda kok. Sejujurnya aku tidak ingin kehilangan kamu, kehilangan cerita-cerita tentang kehilanganmu itu.”

Karena itulah kemudian aku membuat cerita tentangnya. Setelah berbulan-bulan cerita itu baru selesai. Namun aku tidak ingin segera menceritakan kepada orang-orang. Sangat sentimental tapi tidak populer. Seperti pesannya, agar orang-orang tidak harus bunuh diri atau meratapi sepanjang hari. Ke mana dia berbulan-bulan ini? Mestikah dia menghilang agar aku segera menceritakan kisahnya?

Tapi aku yakin dia tidak jauh-jauh dari sungai ini. Sebab dia dulu pernah bilang, ingin selalu dekat dengan sungai Siak. Tapi entah di mana dia sekarang berada, apakah di sekitar Sungaiduku ini juga (tapi aku yakin tidak), di sekitar jembatan Leighton, atau malah ke hilir seperti Perawang, Siak Sriindrapura, Sungaiapit atau di Pakning. Dengan kekasih barunya, suami, mungkin juga dengan kekasih masa lalu yang kembali setelah membuatnya kehilangan.

Dengan siapa dia sekarang, itu tidak penting. Yang jelas dia menghilang dalam kondisi hidup, sebab setiap orang yang hanyut di sungai Siak mayatnya selalu terapung. Sebab juga dia pernah bilang, tak perlu bunuh diri atau meratapi sepanjang hari. Maka aku pun kembali sendiri, setiap ingin melihat purnama dari dermaga. Ditemani lagu-lagu sendu yang mengalun dari MP3 player atau telepon genggam. Sambil berharap munculnya peri bergaun keemasan yang berlayar dari tepi ke tepi, meniup seruling yang katanya berirama syahdu.

***

Kepada orang-orang kemudian aku bercerita tentang peri bersampan di Sungai Duku setiap purnama, dari tepi ke tepi. Juga tentang perempuan yang kehilangan. Ada yang pura-pura percaya banyak juga yang tidak. Tapi ini nyata, hampir setiap senja (bukan setiap purnama) aku melihat perempuan setengah baya mengayuh sampan, dari tepi dermaga Sungaiduku ke tepinya yang lain. Kadang sendiri kadang bersama orang lain. Dia mengayuh dan terus mengayuh, sampai keringatnya yang berwarna keemasan karena memantulkan sinar matahari senja, bercucuran. Melawan gelombang dari kapal-kapal besar yang lewat. Atau beradu nasib dengan kedalaman sungai berwarna kecoklatan. Sungai yang kadang bersahabat kadang sangat murka.

Perempuan setengah baya itu, apakah penjelmaan dari peri bergaun keemasan? Atau perempuan kehilangan yang tiba-tiba menjadi tua setelah menyelam saat purnama, lalu terkena radiasi Sungai Siak yang kini dipenuhi sampah dan limbah industri. Ataukah dia bukan keduanya, tapi perempuan perkasa yang sedang mengayuh kehidupan keluarganya. Datanglah ke pelabuhan Sungai Duku, saat senja, dan kamu akan menemukan perempuan itu. Dengan sampan kayu dan sepasang dayung. Datanglah, lalu pandangi keringat keemasan yang mengalir dari tubuhnya...***

Read More..
 
The best Cerpen

Cerpen Terbaru : Sebatang Ranji di Tepi Sungai

Mereka menyandarkan tubuhnya di pagar sungai. Menatap aliran airnya yang perlahan dan kehitaman. Di sekitarnya, gedung-gedung tinggi menjulang menghimpit matahari senja yang bersinar kemerahan. Sebagian cahayanya memantul di antara tumpukan sampah yang berputar dan mengendap. Mereka menikmati matahari yang perlahan-lahan meredup. Berganti dengan lampu-lampu yang sebagian tertata rapi, dan sebagiannya lagi berserakan. Suasana itu mengingatkannya pada lanskap enam puluhan tahun lalu. Di tepi sungai ini, mereka biasa menunggu malam di bawah sebatang asam ranji tua sambil memainkan harmonika. Mereka sangat menikmatinya, saat kunang-kunang mulai beterbangan dari satu perdu ke perdu lain. Bersaing dengan bintang-bintang yang bermunculan. Tak ada bunyi jangkrik lagi di kampung ini ––yang kini menjadi kota. Apalagi lenguh kerbau dan bising anak-anak pergi ke surau.

Hasan dan Frans, mereka kembali bertemu dua hari yang lalu. Setelah lebih enam puluh tahun menjalani takdir masing-masing. Pertemuan yang direncanakan, setelah pertemuan sebelumnya karena ketidaksengajaan. Sebulan lalu, Hasan baru saja diundang Greenpeace ke kantor pusatnya di Amsterdam. Ia menerima penghargaan dari organisasi lingkungan internasional itu, sebagai orang yang hampir seumur hidupnya menjaga kelestarian lingkungan. Memelihara kelestarian hutan dan cadangan air di kampungnya, yang semakin lama semakin menipis. Sebab di lereng gunung, di kampungnya, vila-vila terus bermunculan. Berdiri angkuh setelah merobohkan pohon-pohon dan tebing. Usaha yang oleh orang kebanyakan dianggap sis-sia, itulah yang kemudian dihargai.

Hasan bertemu kembali dengan Frans, saat jalan-jalan menyusuri taman kota Amsterdam suatu sore, di hari terakhir kunjungannya ke kota itu. Dua lelaki tua, duduk berhadap-hadapan di bangku yang berbeda. Satunya memegang tongkat dari logam ringan, satunya lagi menyandarkan punggung rentanya di bangku taman. Tak ada percakapan, Hasan hanya menajamkan pandangan ke arah lelaki tua di depannya. Hampir setengah jam berpikir, sebelum memutuskan untuk menyapa.

“Kau itu Frans?” Ia mulai bicara. Enam puluh tahun lebih bukan waktu yang baik untuk menyimpan ingatan.

“Benarkah itu kau?” Ia kembali menegaskan.

Lelaki di depannya, yang kelihatan lebih tua, masih diam dan heran. Dia melepas kacamata tebalnya, lalu memasangnya lagi, berkali-kali. Alat bantu dengar yang menempel di telinganya dia sempurnakan letaknya.

“Frans?”

Who are you?” dia menurunkan posisi kaca matanya.

“Hasan! Hasan Bin Makmun...”

Tapi dia masih heran dengan orang yang menyapanya dengan bahasa Indonesia. Sebab puluhan tahun dia tidak menggunakan bahasa itu. Tapi dia masih mengingatnya, meskipun kosa kata yang dihapalnya sudah banyak yang luruh, seiring dengan renta usianya.

“Siapa kamu?” dia memastikan.

“Hasan! Sungai Ciliwung...”

Dia masih berpikir. “Hasan, sungai Ciliwung... Sungai Ciliwung... Hmm...”

“Batavia! Jakarta! Indonesia! Harmonika! Ya, harmonika di sungai Ciliwung...” Hasan diam sejenak sambil memikirkan kata-kata yang tepat untuk membantu ingatan lelaki tua itu.

“Asam ranji...!” Dia tahu lelaki tua di depannya menyukai pohon besar yang dulu sering didatanginya, setiap senja, sambil memainkan harmonika.

Lelaki yang dipanggil Frans mengangguk-angguk.

“Ya, ya... I ingat, ingat... Asam ranji di Hindia, Indonesia...”

Dia tersenyum.

“Hasan cowboy.... Ya? Eh, penggembala itu bull, ker-ker-kerbau... He-he-he...” Dia terkekeh, memperlihatkan barisan gusinya yang tanpa gigi.

“Iya, Hasan gembala kerbau... Ternyata kau masih ingat, Frans?”

Kemudian mereka berpelukan, lama sekali, sambil meneteskan sisa air mata yang mengalir dari mata mereka yang telah dikerumuni kerak katarak. Sore di Amsterdam itu, kemudian menjadi cerita panjang. Sampai hampir tengah malam mereka bernostalgia tentang masa lalu. Kemudian Hasan mengundang Frans berkunjung ke Indonesia, setelah berpuluh-puluh tahun.

***

Mereka duduk-duduk di bawah sebatang asam ranji. Di sebelahnya sungai yang tak begitu luas mengalir jernih dan kehijauan. Banyak ganggang dan lumut tumbuh di dasarnya. Beberapa sampan lalu lalang membawa penumpang. Di sanalah mereka hampir setiap senja duduk di bawah rindangnya pohon, menghadap ke sungai sambil meniup harmonika. Sebab di antara sampan-sampan itu, selalu ada noni-noni Belanda yang cantik dan amoy-amoy bermata lembut yang menumpang. Menghabiskan waktu sore menyusuri sungai yang jernih, sambil memandang keindahan matahari senja yang kemerahan.

Dua remaja itu, Frans dan Hasan––tentunya setelah Hasan meninggalkan kerbau-kerbaunya di lapangan rumput yang tidak jauh dari sungai–– menyukai pemandangan itu. Gadis-gadis cantik di atas sampan, berkulit lembut dan bibir kemerahan. Senja menjadi sangat romantis, meskipun mereka sama sekali tidak berani menyapa gadis-gadis itu. Hanya suara harmonikanya saja yang kadang menggoda. Balasannya cukup dengan senyuman. Sederhana bukan?

Frans beribu Manado dan bapaknya perantau Belanda yang menjadi pegawai rendahan di perkebunan milik pemerintah Hindia Belanda. Namun setelah Indonesia dikuasai Jepang, kemudian keluarganya pulang ke Belanda. Hampir setahun mereka berkawan, sebab Frans yang Indo tidak berkawan dengan para pemuda Eropa. Dia sering menyendiri di dekat asam ranji. Kemudian bertemu Hasan, si penggembala yang sering menunggu kerbau-kerbaunya merumput di tempat sama. Frans mengajarinya bermain harmonika dengan irama-irama sederhana.

“Sungai ini sangat indah. Alirannya selembut rambut gadis-gadis itu.” Frans bergumam sambil membolak-balik kumpulan sajak William Butler Yeats, pemenang Nobel 1923 yang sajak-sajaknya dinilai inspiratif dan kebesaran bentuk artistiknya menghidupkan daya hidup semua bangsa. Buku yang dicetak stensilan dengan huruf-huruf kabur tersebut sering dibawanya bergantian dengan syair puitis Rabindranath Tagore dan puisi kritis T.S. Eliot.

“Begitu berartikah sungai, bagimu?”

“Iya, sungai sumber kehidupan semua mahluk di sekitarnya. Sumber keindahan kita juga bukan?”

“Benarkah?” kata Hasan sambil terus memainkan harmonikanya.

“Bayangkan jika sungai ini kotor! Mana mau gadis-gadis di sampan itu bermain di atasnya. Tempat yang indah selalu mendatangkan keindahan...”

“Dari mana kamu dapat kata-kata itu?”

“Ini! Kalau kamu ingin memaknai keindahan, baca ini...” Dia menyodorkan sebuah buku puisi lusuh.

“Aku tidak bisa membaca. Nantilah kamu ajari... Sementara, aku memaknainya dengan lagu-lagu.”

Frans tersenyum. Dilemparkannya sebuah kerikil kecil ke tepi sungai. Plung!

Hasan masih meniup mainan barunya. Sejak itu mereka sering menghabiskan senja bersama-sama. Di tepi sungai di bawah asam ranji, bermain harmonika, memandang gadis-gadis cantik di atas sampan yang hilir mudik dari hulu ke hilir. Tanpa berani menggodanya. Hanya irama harmonika dan tatapan mata yang seolah bicara.

***

Hasan kembali ke kampungnya, di kaki Gunung Pangrango. Puluhan tahun hidup di sana, beristri, beranak cucu. Sungai telah mengajarkan banyak hal, tentang kehidupan dan persahabatan. Dia tahu, sungai-sungai banyak yang berhulu di perut gunung. “Tempat yang indah selalu mendatangkan keindahan.” Dia ingat kata-kata itu, dari Frans, teman masa remajanya yang telah pulang ke negara bapaknya.

“Percuma kerjaan kau, San!” kata sebagian orang-orang kampungnya.

“Buang-buang tenaga. Lebih baik kau cari makan buat anak binimu!”

Mereka mengejek Hasan, ketika dia menanami tanaman keras di beberapa tanah tandus di lereng gunung. Namun dia tak patah arang. Bertahun-tahun kemudian tumbuhan itu tumbuh dengan subur. Lereng gunung pun semakin indah, setiap pagi dan senja selalu diselimuti halimun. Hijaunya pegunungan menjadi sumber air bagi sungai-sungai di bawahnya. Hasan melakukan itu, sampai usianya menua. Meskipun dia harus sering bertengkar dengan orang-orang yang lebih suka membabat pepohonan.

Hasan kembali menanaminya, ketika sebagian habis ditebang. Juga ketika sebagian tanah kampung di lereng-lereng gunung itu mulai dijual kepada orang-orang kota. Lalu rumah-rumah persinggahan, vila-vila mewah tumbuh menggantikan pepohonan. Benar kata Frans, pikirnya. Tempat yang indah selalu mendatangkan keindahan. Dulu, keindahan masih alami dengan pepohonan yang menghijau sepanjang lereng gunung yang sebenarnya rawan longsor. Tapi kemudian keindahan berganti, menjadi vila-vila mewah. Keindahan yang kemudian sering mendatangkan bencana.

Tapi Hasan tidak peduli, setidaknya lingkungan sekitar rumahnya masih hijau. Dia selalu menanam, ketika orang-orang kampung lainnya sibuk menebang dan menjual. Maka di antara lereng pegunungan yang meranggas itu, masih ada sisa hutan yang menghijau. Masih mendatangkan keindahan setiap pagi dan petang, saat halimun datang. Dia masih percaya, sebatang pohon masih menyediakan setetes air ke sungai yang mengalir ke hilir. Seperti sebatang pohon asam ranji yang mendatangkan keindahan di masa lalu.

***

“Inilah sungai kita dulu, Frans,” kata Hasan sambil menepuk pundaknya yang ringkih.

“Sungguh tragis nasibnya. Tak ada lagi gadis-gadis bersampan. Kini hanya sampah dan limbah industri yang mengikuti arusnya yang kehitaman. Tak ada lagi aroma minyak wangi dari gadis-gadis Belanda dan Tionghoa itu. Tak ada lagi keindahan. Semuanya berubah menjadi aroma kematian,” Frans bergumam lirih.

“Benar katamu. Setiap musim hujan selalu banjir, entah sudah menelan berapa banyak korban. Sebab beton-beton itu menghambat resapan air. Belum lagi sampah dan limbah.” Hasan menerawang jauh ke kampungnya.

“Sementara di hulu, di lereng gunung, di kampungku pepohonan nyaris habis ditebang. Dijadikan vila-vila milik orang kota juga. Itulah kondisi sekarang Frans, kebijakan pemerintah negeri ini jarang yang memihak alam. Selalu uang dan uang!” kata Hasan kesal.

“Lalu, di mana asam ranji itu?” Frans ingat pohon tua yang dulu selalu mereka datangi setiap senja.

“Kira-kira di situ!” Hasan menunjuk sebuah rumah susun sederhana yang berdiri tepat di tepi sungai. Dari atas, salah seorang penghuninya terlihat melemparkan bungkusan plastik hitam ke sungai. Blung!

Frans tersenyum sinis. Tongkatnya dia hentak-hentakkan ke besi pagar sungai, hingga menimbulkan suara berdenting. Dia memandang sekitar sungai yang terlihat surut dan hitam.

“Selalu banjir, katamu?”

“Ya, begitulah... Kota ini drainasenya buruk, buruk sekali. Sementara di hulu, di lereng gunung itu, pepohonan yang menjadi sumber cadangan air dan resapan air selalu berkurang. Kalau hujan Frans, dan di hulu memang sering hujan. Air langsung menderas ke sini, ke kota ini. Banjir, dan itu bisa beberapa kali setahun.”

Frans manggut-manggut. “Tapi setidaknya kau sudah berusaha menjaganya kan?”

“Itu tidak cukup berarti. Sebab yang merusak jauh lebih banyak!”

Lalu Hasan melemparkan lima biji asam ranji ke sungai.

“Siapa tahu masih mau tumbuh,” katanya sambil tersenyum.

Kemudian mereka menyusuri tepi sungai itu sejauh beberapa puluh meter, sebelum kembali ke hotel tempat Frans menginap. Malam semakin larut, dua lelaki tua itu juga larut dalam cerita masing-masing, tentang takdir masing-masing. Tak ada lagi suara merdu harmonika, selain lagu-lagu dari kafe-kafe liar di tepi sungai. Berbaur dengan lampu warna-warni, yang di masa lalu masih berupa kunang-kunang di rerumputan dan reranting pepohonan. Arus sungai tetap hitam, sampai langkah kaki mereka hilang di tikungan.***


Read More..
 
Gudang Cerpen Terbaik, Terbaru & Terlaris

Pipa Air Mata

Selalu ada air mata. Di setiap langkah menyusuri jalan berbatu itu, menembus pekat belukar, menuju bekas kampungnya. Kadang telapak kaki membentur kerikil-kerikil tajam berserakan, besi-besi tua, kaleng-kaleng rombeng dan belulang binatang rimba. Matanya menatap nanar pada cahaya kunang-kunang yang bertebaran di tepi jalan. Menikung, menanjak dan menurun, searah pipa baja sebesar pohon kelapa. Pipa hitam yang puluhan tahun lalu menancapkan luka di jantungnya, di kampungnya.

Masih ada kenangan dalam benaknya, terlampau membara untuk dilupakan. Bulan sabit yang diselimuti awan gelap menambah kelam ingatan tentang kampung halaman, gubuk-gubuk kayu, orang-orang lugu. “Masih adakah lubuk hijau itu?” Ia mencoba mengingat sebuah danau yang airnya selalu hijau. Dulu, di masa kecil, ia biasa menombak ikan di sana. Bermain sampan sampai ke tengah, memunguti lumut dan teratai hutan.

Desah nafasnya bersahutan dengan suara serangga hutan, desis ular, kicau burung malam, pekikan siamang. Tapi ia tidak takut, atau langkahnya surut. “Bukankah aku lelaki beraroma rimba,” bisiknya. “Sudah cukup banyak binatang buas yang kubunuh, dan tubuhku, di masa kecil dulu sudah penuh luka oleh duri-duri hutan dan cakaran binatang. Lalu kenapa aku harus takut? Ini tanah kampungku, rimba moyangku. Akulah hantu hutan itu.”

Ia melemparkan cerutu, membiarkan percik apinya dipadamkan angin. Dari kejauhan, ia melihat kerlap-kerlip lampu dari warung-warung liar yang berdiri sepanjang jalan lintas. Tempat ia meninggalkan mobil dan sopir pengantarnya. Ia ingin jalan kaki, sendirian, dalam gelap. Menyusuri jalan berbatu puluhan kilometer ––mungkin sampai pagi. Sampai telapak kakinya penuh darah, penuh luka. Mungkin itulah cara ia mengingat luka moyangnya, luka kampung halamannya. Puluhan tahun lalu.

***

Haruskah ia berterimakaih kepada William? Atau justru mengutukinya, menyumpahinya, juga orang-orang sebangsanya. Merekalah awal segala petaka, sumber segala duka. “Setelah menancapkan pipa berkarat ke kampung kami, lalu menanaminya dengan luka. Mengoyak kehidupan hingga mengalirkan air mata abadi.” Dipungutnya sebuah batu seukuran kepalan tangan, lalu dilemparkannya ke pipa baja yang rebah dengan angkuh. Tang!

“Aku bukan Gabriel, si malaikat itu. Bukan, aku bukan si malaikat. Aku Awang si anak Sakai degil, si anak hutan yang takut pada suara gergaji mesin dan buldoser. Lalu kenapa namaku menjadi Gabriel? Apa karena si keparat William, ah bukan si keparat. Dia menjadi papaku, orang asing yang membesarkanku. Setelah kampungku luluh lantak, tanpa bekas. Betul, tanpa bekas.”

Ia terus bergumam sambil menghirup udara dalam-dalam. Ingatannya kembali ke puluhan tahun lalu, masa kecil dengan kebahagiaan yang sederhana. Tempat bermainnya sebatas semak belukar dan rawa-rawa. “Akulah Awang!” teriaknya di malam sunyi, disahuti lengking siamang dan burung malam.

Saat itu hutan-hutan masih lebat, rawa-rawa mengalirkan air dengan jernih. Lalu datanglah orang-orang bertubuh tinggi besar, berambut dan berkulit merah. Mereka datang ke hutan dengan pengawalan tentara. Survei katanya, sebab di hutan itu ditengarai terdapat banyak sumber minyak bumi. Kemudian di waktu yang lain, datang orang-orang yang berbeda. Juga melakukan survei dan pemetaan. Katanya, hutan-hutan itu sangat potensial dijadikan bahan baku kayu lapis dan kertas.

Mereka semakin sering datang, sesekali mampir ke gubuk-gubuk renta di tengah hutan. Memberi anak-anak kecil makanan dalam kemasan, minuman kaleng, biskuit dan sebagainya. Awalnya anak-anak takut kepada orang asing, tapi lama kelamaan menerima makanan aneh itu. Juga Awang, si anak degil yang tubuhnya dipenuhi guratan onak. Sebab makanan bagi mereka, hanya buah dan umbi-umbian hutan. Juga ikan-ikan rawa yang biasa mereka tangkap dengan tombak atau bubu.

Lalu, semakin banyak orang datang. Semakin banyak suara mesin meraung-raung. Mereka menebangi hutan, membabati semak belukar dan meracuni sungai-sungai untuk diambil ikannya. Binatang buruan semakin jarang, sebab orang-orang asing itu menembakinya untuk dijadikan santapan. Anak-anak semakin takut, sebab raungan mesin gergaji dan buldoser siang malam membisingkan hutan. Meriuhkan ketenangan rimba yang selama ini mereka hayati.

“Di mana kini Lamira? Si cantik berambut panjang itu. Perawan harum bunga rimba, yang setiap pagi dan petang pergi ke sungai. Ah, di mana perawan malang itu kini berada. Sudahkah dia setua aku dan tinggal di kota?” gumamnya lirih. Dia terkenang Lamira, gadis kampungnya yang lugu dan pemalu. Dulu, dulu sekali di masa kecilnya, perawan cantik itu pernah dikabarkan hilang. Lalu dua hari kemudian ditemukan menangis tersedu-sedu di bawah sebatang pohon meranti tua. Hilang diculik begu, si hantu hutan itu kah?

“Tidak! Aku tidak percaya dengan bualan tentang hantu hutan yang suka menculik perawan. Sebab kejadian itu baru sekali, pada Lamira. Sebab kami juga berkawan dengan hantu-hantu itu, yang setiap purnama kami hibur dengan tarian dan tetabuhan. Lamira tidak diculik dan disetubuhi begu. Aku yakin sekali, dia disekap dan diperkosa oleh orang-orang perusahaan itu. Karena ia selalu lari ketakutan dan menangis setiap orang-orang itu datang, atau sekadar lewat di kampung.”

Ia terus melangkah, hingga telah melewati beberapa bukit dan tikungan. Malam semakin larut, ditandai dengan bunyi binatang nokturnal yang semakin ramai. Suaranya gaduh seperti pasar malam di tepi jalan berbatu dan semak belukar sepi itu. “Lalu di mana kini Lamira? Mungkinkah dia salah satu dari puluhan perempuan tua penjual kacang rebus di rumah makan dekat jalan lintas tadi? Aku sudah sangat lupa dengan wajahnya, apalagi harum bunga rimba di tubuhnya.”

Sejak kedatangan mesin-mesin raksasa ke tengah hutan itu, semakin banyak pohon ditebang. Kayu besar diangkut truk tronton roda sepuluh, katanya untuk bahan kayu lapis. Sedangkan kayu kecil diangkut untuk bahan baku kertas. Mereka semakin banyak mendatangkan mesin-mesin dengan suara melengking. Membuat lubang dengan mesin bor, lalu memasang robot yang mengangguk-angguk setiap saat. Belakangan ia tahu, itu pompa untuk mengangkat minyak bumi yang banyak terdapat di dalam tanah, di dalam hutan. Mengalirkannya ke pipa-pipa raksasa yang memanjang tak putus, melengkung mengikuti arah jalan.

Jumlah pipa semakin banyak, mengikuti pertambahan mesin pengeboran minyak. Kemudian, ketika jalur pipa mengarah ke kampung penduduk suku terasing itu, masalah mulai terjadi. Sering terjadi pertengkaran antara penduduk kampung dan orang-orang perusahaan. Apalagi ketika sungai kecil yang melintasi perkampungan tak seberapa besar itu, banyak dicemari limbah minyak. Ikan-ikan mati, hutan-hutan habis, orang-orang kampung semakin bernasib tragis.

“Itulah malam jahanam! Mereka, orang-orang perusahaan, membakari gubuk-gubuk kami. Mengusir dan memporak-porandakan kehidupan kami.” Ia tetap meneteskan air mata, saat berjalan di samping pipa di tepi jalan itu. Air matanya semakin menderas, ketika ia ingat ibu bapaknya, juga dua adiknya ––yang tidak pernah ditemuinya lagi sampai sekarang. Samar-samar ia masih ingat, ketika terjebak di kobaran api dan terpisah dari orang-orang kampung yang berlarian ke dalam hutan. Ia masih ingat, saat seorang lelaki berkulit dan berambut merah menggendongnya menjauh dari kobaran api.

“Sampai kini aku tidak tahu, apakah mesti berterimakasih atau mengutuki William. Mengabdi atau mencaci papa Will?” ia menendang kaleng bekas soft drink yang dibiarkan tergeletak di tepi jalan. Kaleng itu mengenai salah satu sisi pipa. Klontang!

Ia juga masih ingat, setelah itu penolongnya ––kemudian ia ketahui bernama William–– membawanya ke barak, menjauhkannya dari kehidupan rimba, menyekolahkannya. Kemudian setelah bisa sedikit berbahasa Inggris, ia dibawa pulang ke negaranya, tempat asal perusahaan pengeboran itu. Saat itu kebetulan masa kontrak William di perusahaan sudah habis. Maka budaya rimbanya kemudian terkikis, menjadi budaya metropolis. Berpuluh-puluh tahun, sampai ia ingin kembali ke masa lalunya. Pulang ke bekas kampung halamannya, tanah moyangnya.

Ia memandangi beberapa pompa angguk yang terdapat di tepi jalan. Juga cerobong di bekas pengeboran yang selalu mengeluarkan api, meliuk-liuk di angkasa dengan jalang. “Aku yakin, setelah puluhan tahun pasti tanah-tanah di sekitar areal pengeboran ini berongga. Kalau ada gempa besar mungkin akan runtuh dan menyisakan lubang menganga. Aku yakin itu, seperti kampung penuh lumpur di timur pulau Jawa yang sampai sekarang masih menyisakan luka.”

Ia tersenyum kecut. Matanya memandang silhuet beberapa pohon meranggas. Berdiri di antara batang-batang kelapa sawit yang tumbuh tak teratur di beberapa tempat. “Aku tidak bisa membayangkan, seandainya kebakaran hutan yang setiap tahun melanda daerah ini, tiba-tiba meledakkan pipa-pipa itu. Tempat ini akan menjadi neraka.” Ia berhenti dan menyandarkan tubuhnya di samping pipa, menyalakan rokok, lalu menghembuskan asapnya perlahan-lahan. Ia istirahat sambil melamun, menikmati keheningan malam di tepi jalan menuju bekas kampungnya.

***

Menjelang dini hari, lamat-lamat ia mendengar deru mobil dari ujung jalan. Hanya dua sisi lampunya saja yang nampak jelas, meliuk-liuk mengikuti tikungan dan perbukitan. Ia tidak terlalu mempedulikannya, dan terus melangkahkan kaki. Mobil di depannya semakin mendekat, ada lampu merah saga di atasnya, menyala berputar-putar. Sebentar kemudian suara sirenenya melengking nyaring dan mobil berhenti tepat di depannya. Empat orang berpakaian security turun sambil membawa pentungan.

“Siapa kau! Malam-malam berkeliaran di areal pengeboran?” hardik security berseragam biru tua.

“Aku Gabriel si malaikat, bukan, aku Awang si anak Sakai. Aku mau melihat sisa kampungku,” jawabnya gugup.

“Tak ada perkampungan di sini. Kau mau mencuri? Kau anggota bajingan pencuri besi tua ya? Ayo ngaku!” seorang security menarik kerah bajunya.

“Tidak! Bukan! Aku mau mengunjungi bekas kampungku.”

“Pukimak! Maling mana mau ngaku!”

“Ayo kita bawa ke pos,” kata security yang lain sambil mendorongnya ke bak mobil patroli.

Braaak!

Security itu menghempaskannya sambil memaki-maki. Lalu mobilnya segera menderu ke arah jalan raya, ke arah yang tadi dilewatinya. Tubuhnya telungkup dengan borgol di tangan. Dari bias lampu mobil, dia masih bisa melihat pipa-pipa besar itu semakin memanjang dan menjauh. Di tepi jalan berbatu, menjauhkannya dari bekas kampungnya, di masa lalu.

Air matanya masih tersisa. Sejenak ia teringat gubuk-gubuk kayu di tengah hutan, kampungnya di masa lalu, orangtua dan adik-adiknya. Rumah mungilnya di tepi Mississipi, istri dan seorang anaknya. Juga William yang kini telah tua dan pikun, teronggok di kursi roda. Dia merasa harus segera pulang, entah ke bekas kampungnya atau kembali ke negaranya. Kemudian pandangannya menghitam, semakin gelap, mengikuti warna pipa di depannya.***

Read More..