Malam Petaka

Malam Petaka : Cerpen Seno Gumira Ajidarma


DRUPADI terbangun karena jeritan Utari. Semenjak kematian Abimanyu, putri Wirata yang hamil tua itu susah tidur. Begitu juga malam itu, di dalam tenda-tenda kubu Pandawa di lapangan Kurusetra. Drupadi bermimpi buruk sekali. Dalam tidurnya ia melihat seekor kelelawar berkelebat di tengah malam. Ia bisa melihat kelelawar itu dengan jelas. Seperti bukan sembarang kelelawar. Ini kelelawar siluman. Matanya yang merah kekuningan menyorot dengan kejam dalam kegelapan. Mulutnya yang bergigi runcing menetes-neteskan darah, tetesan darahnya membasahi dedaunan di dalam rimba. Ia melihat kelelawar itu dipanah oleh Sikhandi, dibabat kelewang Drestajumena, dilempar jala Pancawala, namun kelelawar itu selalu bisa menghindar. Ia melejit sampai ke rembulan, kembali lagi dengan cepat menyambar ketiga ksatria itu tanpa bisa dilawan. Darah menetes dari mulutnya, terbang menembus malam.

Lantas terdengar jeritan Utari.

"Ada apa Utari?"

"Ada orang di dalam tenda."

"Siapa?"

"Entahlah. Gelap sekali. Ia membawa pisau belati yang menetes-neteskan darah."

Tiada rembulan di langit, namun redup cahaya lentera di setiap tenda menyisakan ingatan dalam benak Utari.

Di luar terdengar suara orang mulai ramai. Mereka keluar.

Para Pandawa sedang meninggalkan perkemahan mereka, atas anjuran Kresna melakukan penyucian, dengan mengunjungi tempat-tempat keramat. Demikianlah dikisahkan oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh 1):

...mereka itu telah menuju ke desa-desa untuk secara diam-diam mengunjungi tempat-tempat ziarah dengan berjalan kaki. Mereka itu berhasrat besar untuk dengan sejenak melihat keindahan malam yang memesonakan dan serbaindah dan tenang.

Terutama dewi Kunti yang sangat sedihnya, karena menderita kesusahan yang tidak ada bandingannya. Begitu pula dewi Draupadi, putri raja Drupada, sangat memilukan keadaannya dan tidak tahu apa yang akan menjadi obat kesukarannya. Kedua orang ini berkeluh kesah seolah-olah mereka itu tidak ada di dunia, setelah lima orang anak Pannddawa lima itu terbunuh; mereka sungguh-sungguh susah! Karena tidak tahu apa yang akan dikerjakan, mereka menunjukkan penyesalannya terhadap raja Kreshna yang mengajukan usul kepada orang Panddawa untuk pergi.

"Aduhai, lima orang anak Pannddawa; wahai anak-anak yang tercinta! Sayanglah kamu sekalian telah meninggal. Kamu sekalian belum pernah menikmati rasa suka, tetapi sekonyong-konyong kamu dibinasakan oleh musuh! Pasti tidak akan terjadi, wahai anak-anakku dan tidak akan mengalami kematian, sekalipun diserang oleh musuh yang sejuta jumlahnya, apabila ayah-ayahmu ada di tempat ini dan tidak pergi karena diminta untuk mengadakan ziarah minta bantuan kepada dewa-dewa.

Akhirnya Kreshnna-lah, anak raja Wasudewa, yang menyebabkan kematianmu sekarang, wahai anak-anakku sekalian. Ikhlaskanlah kematianmu, yang kejam itu, wahai anak-anakku sekalian; dosamu ialah karena kamu tidak menghadap lagi ayah-ayahmu! Pastilah bahwa saya akan ikut mati, supaya dapat mengantarkan ayahku yang juga telah gugur, demikianlah halnya dengan saudara-saudaraku yang juga telah tidak ada; mereka telah memejamkan matanya untuk selama-lamanya. Apa tujuannya, apabila saya tidak merelakan hidup saya ini di dunia?"

Kresna berkata.

"Ingatlah Drupadi, bukan hanya dikau seorang yang menderita. Pandawa juga kehilangan saudaranya, seratus Kurawa dan Resi Bhisma tercinta. Utari yang hamil tua bahkan juga kehilangan suaminya. Tak ada yang menang dalam peperangan. Tak akan pernah ada..."

burung hantu hinggap di puncak tiang

berlayar malam-malam ke Yordania

melihat sukma Aswatama gelandangan

menyandang 3000 tahun beban kutukan, o

Catatan:

1) Pada akhir Kakawin Bharata-Yuddha tertulis : Bukan saya sendirilah yang menyusun ceritera ini; adalah seorang pujangga dari sang raja yang termasyhur di dunia ini yang bernama Mpu Seddah, orang yang tinggi martabatnya. Ialah yang menyusun bagian depan ceritera ini yang indah dan tidak ada bandingannya. Pada waktu sampai ceritera ketika raja Salya menjadi panglima, Mpu Seddah menyuruh saya menyelesaikan cerita ini, karena saya merasa kikuk dan tunarasa. Karena saya merasa sayang tentang ciptaan penyair raja ini yang sangat indah, saya dengan sengaja memberanikan diri untuk melanjutkan akhir ceritera ini yang mengerikan (Wirjosuparto, 1968: 360). Terjemahan lain: Dengan demikian saya tidak sendirian dalam menggubah kisah ini. Seorang yang mematangkan kepandaiannya sebagai abdi sang raja, Mpu Sedah yang tersohor itu, menulis bagian pertama kakawin ini,tanpa ada satu cacad pun yang mengurangi keindahannya. Adegan ketika Salya menjadi panglima tertinggi, mengawali bagian karya yang dibebankan kepadaku dan yang bersifat janggal dan tawar. Sungguh sangat disayangkan, bahwa kemanisan sang penyair istana lalu dilapisi kepahitan (Zoetmulder, 1983: 340-1). Dari dua terjemahan atas teks yang sama, namun bisa tertafsirkan berbeda ini, tetap jelas menunjukkan bahwa penulis bagian yang dikutip, dan kutipan selanjutnya, adalah Mpu Panuluh. Seluruh kutipan dari versi Wirjosuparto.

2) Bandingkan bagian ini dengan versi Zoetmulder, yang menerjemahkannya dari bahasa Jawa Kuno ke bahasa Inggris, yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Dick Hartoko : Biarpun bulan muda, namun malam cerah karena bintang-bintang gemerlapan dan kunang-kunang pun berkedip-kedip seolah-olah mau menunjukkan jalan.

3) Kamanak dan kangsi: nama alat musik (Zoetmulder, 1995 : 449, 456).

4) Masih mengacu kepada perhitungan waktu India sezaman : kala (48 detik); ghati, ghatika, nadi, nadika (24 menit = 30 kala); muhurta, ksana (48 menit); divasa (24 jam). Jadi yang dimaksud adalah pukul 03:00 pagi (Zoetmulder : 243).

5) Dalam cerita yang Anda baca, Pancawala adalah anak Drupadi dari kelima ayahnya. Pilihan ini saya anggap lebih praktis, dan lebih unik (Drupadi tak tahu siapa ayah biologis Pancawala), ketimbang Drupadi mempunyai lima anak dari lima ayah seperti teks Kakawin Bharata-Yuddha ini. Dalam Mahabharata dari India lima anak itu adalah Pratiwindya dari Yudhistira; Srutasoma dari Bima; Srutakirti dari Arjuna; Srutanika dari Nakula; dan Srutawarman dari Sadewa. Dengan begitu Drupadi di sini tetap poliandris. Dalam versi Jawa Baru, Pancawala adalah anak Drupadi dari Yudhistira. Menjadi jelas kini, darimana kata panca itu berasal. Agaknya yang lima itu disatukan, atau sifat ke-lima-annya dipertahankan, ketika suami Drupadi dijadikan satu orang saja. Adapun kata wala berarti jejaka.

6) Wirjosuparto, op.cit., h. 344-7.

7) Poerbatjaraka (1992: 19-20).

8) Berasal dari versi lain, dengan ibu bernama Krepi (Poerbatjaraka: 32).

9) Wirjosuparto, op.cit., halaman. 348-9.

***

Sekalipun pada waktu itu sedang gelap, karena bulan tanggal tua, keadaannya terang disebabkan karena sinar bintang yang berkilauan terang benderang. Di tepi jalan kunang-kunang bersinar-sinaran dan dengan terbang bersama-sama itu seolah-olah menunjukkan jalan. 2)

Keadaannya sedemikian bagusnya, seolah-olah keindahan langit dan bumi itu saling bertukar-tukaran pada waktu malam itu. Kayu-kayunya menjadi mega, sedangkan meganya menjadi kayu menurut anggapan mereka yang terpesona. Bintang-bintangnya menjadi kembang, sedangkan kembang-kembangnya yang bertebaran itu merupakan bintang yang ada di angkasa. Sungai menjadi halimun yang bergantungan, sedangkan halimun yang bergantungan menjadi sungai yang mengalir dengan kencangnya.

Adalah suatu bukit dengan belukarnya yang berkumpul-kumpulan, sehingga dingin keadaannya. Di tempat itulah salju menyongsong. Bukit itu sekaligus ingin minum embun yang telah terkumpul di lereng bukit kecil. Burung cucur mengeluarkan suara yang mengerikan, karena suaranya menyerupai nyanyian yang terus menerus berisikan ratapan tangis. Suara indah ini disertai oleh suara burung tadahasih yang dengan cara yang tidak memaksa mencari keindahan.

Dan di suatu sungai terdengar suara jentera yang digerakkan oleh air, seolah-olah menyerupai salunding dalam pertunjukan wayang. Bambu kosong yang tertiup angin itu mengeluarkan suara dan itulah suara seruling yang mengiringinya. Yang merupakan nyanyian orang-orang wanita adalah nyanyian kodok yang terdengar di jurang-jurang. Suara cenggeret dan yanyian belalang yang keras dan riuh itu merupakan suara berirama dari kamanak dan kangsi. 3)

Adalah suatu ladang sunyi yang belum menghasilkan padi; orang-orangan untuk menakut-nakuti burung dengan waspada mengadakan penjagaan terhadap pencuri. Sebab babi rusanya dengan diam-diam dan dengan tidak diketahui dengan seenaknya saja merusak tanam-tanaman. Alat perangkapnya dapat menangkap sesuatu binatang dan ini dibuktikan oleh pukulan kentongan yang digantungkan itu sehingga berbunyi dengan tiada hentinya. Suara kijang yang serak dan terus kedengaran riuh rendah di jurusan Barat Laut menjawab teriakan kuwung.

Halimun seolah-olah memberi semangat; adalah seorang penjaga yang masih muda dan sebagai orang ketiga ialah seorang wanita. Dengan diam-diam mereka itu berbuat serong pada waktu orang-orang lainnya sedang tidur; orang yang berjalan dengan tidak diketahui itu terserang oleh hembusan angin. Pada waktu itu ia menghilang; ada beberapa pohon cemara yang sambil menantang bersorak-sorak; itulah sesungguhnya teriakan orang-orang yang mengadakan ilmu sihir. Burung kokok beluk mengeluarkan suara yang menakutkan, sedangkan suara yang dikeluarkan oleh ular-ular naga menyerupai suara genta yang menakutkan.

Perjalanan orang-orang Pannddawa lima itu telah jauh dengan diantarkan oleh raja Kreshnna dengan memasuki hutan-hutan yang lebat. Mereka itu berkumur dengan air dari tiap-tiap tempat berziarah yang mereka lalui dan yang mereka taburi dengan bunga. Yang mereka harapkan, ialah kesucian hatinya yang gilang gemilang, supaya mereka mendapatkan kesukaan yang bersih dari segala noda. Sekalipun ini yang telah diharap-harapkan, hati mereka merasa ngeri dengan tidak diketahui darimana datangnya rasa takut itu.

Waktu itu sunyi senyap, ialah jam enam. 4) ; akhirnya diketahui adanya suatu tanda yang tidak baik. Ada beberapa ekor burung gagak yang datang tidak pada musimnya dan setelah burung-burung itu saling berkelahi dan saling menyambar memuntahkan nanah yang busuk. Juga ada beberapa anjing yang saling menyerang dan berkelahi, sedangkan pada waktu yang bersamaan itu turunlah hujan darah dan yang menjatuhkan air hujan sebesar buah pinah dan kepala orang. Tempat itu penuh dengan orang-orang raksasa dan mayat yang tidak berkepala dan yang menari-nari dan ada di antaranya yang dengan ganasnya memanggul bangkai.

Dalam sekejap mata hilanglah mereka itu dan dengan nyata datanglah beberapa orang utusan yang menyembah kaki orang Pannddawa. Konon dikatakan, bahwa banyak di antara mereka itu diberi bertugas untuk mencari orang-orang Pannddawa; mereka itu telah membagi dirinya dalam beberapa kelompok, sehingga mereka itu menuju ke beberapa jurusan. Mereka memberitahukan, bahwa perkemahannya telah hancur karena terbawa oleh arus serangan yang dahsyat yang diadakan oleh Acwatthama, anak pendeta, sehingga mengalami kerusakan. Orang-orang bangsawan yang telah didahului oleh serangan mereka tidak lagi bernafas; itu sudah semestinya, karena mereka itu sedang tidur nyenyak.

Terutama Dhresttadyumna dan Cikannddi yang telah dibunuh, demikian juga halnya dengan lima orang anak Pannddawa 5) yang telah dikuasai oleh Acwatthama yang kesemuanya itu telah dipenggal kepalanya. Tidak diceriterakan nasib raja-raja yang mengakui kepemimpinan raja Yudhishttira bersama-sama dengan menteri-menterinya yang juga telah binasa. Hanya puteri-puteri saja yang tidak terbunuh bersama-sama dengan mereka yang sempat mengangkat kaki dengan takutnya. 6)

Drupadi teringat mimpinya, langsung menuju ke tenda putranya, Pancawala.

Sebentar kemudian terdengar jeritan Drupadi, yang langsung pingsan.

Orang-orang yang menyibak tenda Pancawala, Sikhandi, dan Drestajumena terkesima. Tenda itu robek di bagian belakang. Di dalam tenda tampak ketiga ksatria itu terkapar bersimbah darah. Mereka telah dibunuh dalam tidurnya. Drestajumena, ksatria Pancala yang memenggal kepala Mahaguru Dorna, tewas dengan luka tusukan di dadanya. Sikhandi yang menumbangkan Bhisma, hancur tubuhnya, seperti ditusuk-tusuk dengan membabi buta. Pancawala yang tak pernah berperang, merah seluruh tubuhnya bermandi darah.

Perkemahan itu menjadi gempar. Bima yang murka melemparkan para penjaga malam sampai tidak kelihatan lagi. Yudhistira, Arjuna, Nakula, Sadewa, tak mampu bersuara menyaksikan Pancawala. Tanpa menunggu perintah sejumlah regu berkuda telah menderap ke dalam hutan. Namun dalam gelap malam tak berbulan, apakah yang bisa ditemukan?

"Apa yang kau lihat, Utari?"

Utari mencoba mengingat apa yang dilihatnya.

"Gelap sekali, tapi cahaya lentera memperlihatkan sesuatu yang aneh."

"Apa?"

"Orang itu bersurai seperti kuda, dari belakang kepala sampai leher dan punggungnya."

Arjuna mendesis.

"Benar, Aswatama..."

"Utari, kau lihat ada mutiara di dahinya?" Bima bertanya.

"Sesuatu berkilat dari dahinya."

Di seluruh dunia hanya ada satu manusia seperti itu, karena Aswatama adalah anak Mahaguru Dorna dari seekor kuda sembrani yang sebenarnya bidadari Dewi Wilutama. 7) Ketika dia dilahirkan, di langit terdengar suara ringkik kuda, maka ia diberi nama Aswatama. 8) Meski menguasai segenap kesaktian ayahnya, Aswatama tidak pernah mampu menguasai rasa takut -kini ketakutan itu diatasinya dengan cara yang nekat. Dendam telah mengalahkan ketakutannya, meski melanggar tatacara ksatria.

Arjuna melepaskan panah yang sakti ke langit. Dengan seketika alam terang benderang. Dalam sekejap, Arjuna melesat ke dalam hutan. Bima dan Nakula-Sadewa menyusulnya.

Para pengawal yang berjaga di tenda Yudhistira mendengar ratapan Drupadi.

"Suamiku, raja agung yang telah mendapat kemenangan, berbahagialah dengan segala perolehan. Engkau telah mendapatkan kembali Indraprastha, kini mendapatkan kembali Hastina beserta segenap taklukkannya. Betapa luasnya kini kerajaanmu, Yudhistira, betapa besar kekuasaanmu. Dalam Rajasuya engkau telah mendapatkan segala-galanya, dan kini engkau telah memusnahkan musuh-musuhmu pula. Berbahagialah. Berjayalah. Naiklah ke singgasana. Tinggalkanlah aku yang kini telah menjadi sebatang kara. Ayahku, Drupada yang tua, telah memberikan nyawanya untuk kemenanganmu. Saudaraku Drestajumena, telah memimpin balatentara Pandawa untuk kejayaanmu. Saudaraku Sikhandi telah menumbangkan Bhisma yang bahkan tak terkalahkan oleh dewa-dewa. Putra kita Pancawala yang hanya mampu mencintai sesama manusia, hancur luluh tubuhnya. O, Yudhistira, telah kuberikan segalanya untukmu, terimalah, dan tinggalkan aku. Dewa-dewa tidak mengizinkan aku hidup bahagia. Baru beberapa hari terhapus dendam yang merajamku bertahun-tahun, malapetaka melanda begini rupa. Siapakah kiranya yang tidak akan menduga, bahwa aku memang dilahirkan untuk hidup menderita? O, dewa! Siapakah kiranya tega memasangkan peran ini untukku? Peran perempuan menderita tiada terkira. Biarlah kuikuti orangtua, saudara, dan anakku tercinta. Tak tahu ke nirwana atau ke neraka."

Yudhistira mengelus bahu Drupadi.

"Drupadi..."

"Aku bukan Drupadi. Aku tak tahu siapa diriku lagi. Perasaanku hancur, tubuhku mengambang, jiwaku melayang-layang. Karmapala apakah ini? Sebagai gadis brahmin kuucapkan mantra meminta suami sampai lima kali, dalam penjelmaan kembali aku menjadi Drupadi, mendapatkan lima suami yang menyeret aku ke dalam penderitaan. Apakah permintaan seorang perempuan untuk mendapatkan suami, bahkan memilih sendiri suaminya dalam sayembara adalah berlebihan, sehingga mendapatkan karmapala penderitaan? Aku Drupadi merasa hidupku menderita, meski aku adalah putri kerajaan Pancala yang bersuamikan maharaja Indraprastha. Kalau begini caranya lebih baik aku menjadi orang sudra, atau paria, pasti aku lebih berbahagia. O, Yudhistira, katakanlah kepada Arjuna agar merampas mutiara di dahi Aswatama. Biarlah aku menjadi perempuan yang penuh dengan dendam, jika memang suratan menghendakinya demikian."

Read More..
 
Cerpen : Rembulan dalam Cappuccino

Rembulan dalam Cappuccino : Cerpen Seno Gumira Ajidarma


SEMINGGU setelah perceraiannya, perempuan itu memasuki sebuah kafe, dan memesan Rembulan dalam Cappuccino. Ia datang bersama senja, dan ia harus menunggu malam tiba untuk mendapatkan pesanannya.

CAPPUCCINO1 dalam lautan berwarna coklat, datang langsung dari tercemplung cangkir, tenggelam sebentar, tapi lantas pingpong-tapi bukan bola pingpong, ini rembulan. Semua orang berada dalam kafe diam-diam melangkah keluar, menengok ke langit, ingin membuktikan dengan mata kepala sendiri bahwa terapung-apung cangkir perempuan sebenarnya, seperti telah pelajari semenjak di sekolah dasar, yakni yang tiada pernah mereka saksikan sisi gelapnya, dan rembulan itu memang sudah tidak ada.

Mereka bergumam, tapi tidak menjadi gempar, bahkan pura-pura seperti tidak terpengaruh sama sekali. Mereka kembali duduk, berbincang dengan bahasa yang beradab, namun diam-diam melirik, seperti kepalsuan yang telah biasa mereka peragakan selama ini. Para pelayan yang berbaju putih lengan panjang, mengenakan rompi, berdasi kupu-kupu, dan rambutnya tersisir rapi diam-diam juga memperhatikan. Semenjak kafe itu berdiri sepuluh tahun lalu, baru kali ini ada yang memesan Rembulan dalam Cappuccino. Kafe itu memang menyediakannya, dan minuman itu memang hanya bisa dipesan satu kali, karena rembulan memang hanya satu.

"Rembulan dalam Cappuccino, satu!" Teriak pelayan ke dapur, dan kepala bagian dapur memijit-mijit nomor hp, seolah-olah ada persiapan khusus.

"Akhirnya tiba juga pesanan ini," katanya, "aku sudah bosan melihatnya di daftar menu tanpa pernah ada yang pesan."

Kepala dapur itu bicara dengan entah siapa melalui hp.

"Iyalah, turunin aja, sudah tidak ada lagi yang membutuhkan rembulan."

Perempuan itu bukan tidak tahu kalau orang-orang memperhatikannya. Apakah perempuan itu akan memakan rembulan itu, menyendoknya sedikit demi sedikit seperti menyendok es krim, ataukah akan menelannya begitu saja seperti Dewa Waktu menelan matahari?

Ia memperhatikan rembulan yang terapung-apung di cangkirnya, permukaan cappuccino masih dipenuhi busa putih, seperti pemandangan Kutub Utara-tapi cappuccino itu panas, bagaikan masih mendidih. Ia senang dengan penampakan itu, dingin tapi panas, panas tapi dingin, segala sesuatu tidak selalu seperti tampaknya.

SEMINGGU kemudian, seorang lelaki memasuki kafe itu, dan memesan minuman yang sama.

"Rembulan dalam Cappuccino," katanya.

Para pelayan saling berpandangan.

"Oh, minuman itu sudah tidak lagi ada Tuan, seorang perempuan telah memesannya minggu lalu."

Lelaki itu terpana.

"Apakah Tuan tidak memperhatikan, sudah tidak ada rembulan lagi dalam seminggu ini?"

Lelaki itu tersentak.

"Seorang perempuan? Istri saya? Eh, maaf, bekas istri saya?"

Para pelayan saling berpandangan. Salah seorang pelayan menjelaskan ciri-ciri perempuan yang telah memesan Rembulan dalam Cappuccino itu.

"Ah, pasti dia! Dasar! Apa sih yang tidak ingin ditelannya dari dunia ini? Apakah dia makan rembulan itu?"

Para pelayan saling berpandangan lagi.

"Tidak Tuan…"

"Jadi?"

"Kalau memang perempuan itu istri Tuan…"

"Bekas…."

"Maaf, bekas istri Tuan, mungkin Tuan masih bisa mendapatkan rembulan itu."

"Maksudmu?"

"Dia tidak memakannya Tuan, dia minta rembulan itu dibungkus."

"Dibungkus?"

"Ya Tuan, ia tidak menyentuhnya sama sekali, hanya memandanginya saja berjam-jam."

Para pelayan di kafe itu teringat, betapa perempuan itu mengaduk-aduk Rembulan dalam Cappuccino, bahkan menyeruput cappuccino itu sedikit-sedikit, tapi tidak menyentuh rembulan itu sama sekali. Perempuan itu hanya memandanginya saja berlama-lama, sambil sesekali mengusap air mata.

Mereka ingat, perempuan itu masih di sana dengan air mata bercucuran, dan masih tetap di sana, kebetulan di tempat sekarang lelaki itu duduk, sampai tamu-tamu di kafe itu habis menjelang dini hari.

Kemudian dia meminta rembulan itu dibungkus. Ketika dibungkus, rembulan sebesar bola pingpong yang semula terapung-apung di dalam cangkir itu berubah menjadi sebesar bola basket.

Itulah sebabnya kepala dapur meminta agar pencoretan Rembulan dalam Cappuccino dari daftar menu ditunda.

"Rembulan itu belum hilang," katanya, "siapa tahu perempuan itu mengembalikannya."

Lelaki itu memandang pelayan yang berkisah dengan seru. Ia baru sadar semua orang memandang ke arahnya. Ketika ia menoleh, tamu-tamu lain itu segera berpura-pura tidak peduli, padahal penasaran sekali.

"Kalau dia muncul lagi, tolong katakan saya juga mau rembulan itu."

"Ya Tuan."

Lelaki itu melangkah pergi, tapi sempat berbalik sebentar.

"Dan tolong jangan panggil saya Tuan," katanya, "seperti main drama saja."

Padahal ia sangat menikmati perlakuan itu-seperti yang dilakukan bekas istrinya sebelum mereka berpisah.

TIADA rembulan di langit. Tidak pernah terbayangkan akan terjadi betapa tiada lagi rembulan di langit malam. Namun di kota cahaya, siapakah yang masih peduli rembulan itu ada atau tidak?

"Yang masih peduli hanyalah orang- orang romantis," kata perempuan itu kepada dirinya sendiri.

"Atau pura-pura romantis," katanya lagi.

Dia berada di suatu tempat tanpa cahaya, kelam, begitu kelam, seperti ditenggelamkan malam, sehingga bintang-bintang yang bertaburan tampak jelas, terlalu jelas, seperti peta dengan nama-nama kota. Perempuan itu belum lupa, apalah artinya nasib satu manusia di tengah semesta, nasib yang sebetulnya jamak pula dialami siapa pun jua di muka bumi yang sebesar merica.

Namun, ia merasa bagaikan kiamat sudah tiba. Agak malu juga sebetulnya.

Banyak orang lain harus hidup dengan gambaran bagaimana ayahnya diambil dari rumahnya di tengah malam buta. Digelandang dan diarak sepanjang kota sebelum akhirnya disabet lehernya dengan celurit sehingga kepalanya menggelinding di jalanan dan darahnya menyembur ke atas seperti air mancur deras sekali sampai menciprati orang-orang yang mengaraknya itu. Tidak sedikit orang yang hidup dengan kutukan betapa ibunya telah menjadi setan jalang yang memotong-motong alat kelamin lelaki sambil menyanyi dan menari, dan karena itu berhak disiksa dan diperkosa, padahal semua itu merupakan kebohongan terbesar di muka bumi. Hidup ini bisa begitu buruk bagi orang baik-baik meskipuntidak mempunyaikesalahan samasekali. Tanpa pembelaan sama sekali.2 Tanpa pembelaan. Tanpa…

Langit malam tanpa rembulan. Ada yang terasa hilang memang. Tapi selebihnya baik-baik saja. Tentu kini hanya bisa dibayangkannya bagaimana rembulan itu seperti perahu yang membawa kelinci pada malam hari dan mendarat di Pulau Jawa. Namun, tidakkah manusia lebih banyak hidup dalam kepalanya daripada dalam dunia di luar batok kepalanya itu? Apabila dunia kiamat, dan tidak ada sesuatu lagi kecuali dirinya sendiri entah di mana, ia bahkan masih memiliki sebuah dunia di dalam kepalanya. Tanpa rembulan di langit ia bisa melihat rembulan seperti perahu membawa kelinci yang mendarat di Pulau Jawa.3

Rembulan itu berada di punggungnya sekarang, terbungkus dan tersimpan dalam ransel-apakah ia berikan saja kepada bekas suaminya, yang diketahuinya selalu bercita-cita memesan Rembulan dalam Cappuccino? Kalau mau kan banyak cappuccino instant di lemari dapur (ia lebih tahu tempat itu daripada suaminya) dan meski rembulan di punggungnya sekarang sebesar bola basket, nanti kalau mau dimasukkan cangkir akan menyesuaikan diri menjadi sebesar bola pingpong. Dia dan bekas suaminya sebetulnya sama-sama tahu betul hukum rembulan itu, tapi itu cerita masa lalu- sekarang ia berada di sebuah jembatan dan sedang berpikir, apakah akan dibuangnya saja rembulan itu ke sungai, seperti membuang suatu masalah agar pergi menjauh selamanya dan tidak pernah kembali? Setiap orang mempunyai peluang bernasib malang, kenapa dirinya harus menjadi perkecualian? Ia seperti sedang mencurigai dirinya sendiri, jangan-jangan ia hanya mewajibkan dirinya berduka, karena selayaknyalah seorang istri yang diceraikan dengan semena-mena merasa terbuang, padahal perpisahan itu membuat peluangnya untuk bahagia terbuka seluas semesta…

Dalam kegelapan tanpa rembulan, perempuan itu tidak bisa melihat senyuman maupun air matanya sendiri di permukaan sungai yang mengalir perlahan- dan ia tak tahu apakah masih harus mengutip Pablo Neruda.

Tonight I can write the saddest lines….

TIGA minggu kemudian, pada hari hujan yang pertama musim ini, perempuan itu muncul lagi di kafe tersebut.

"Saya kembalikan rembulan ini, bisa diganti soto Betawi?"

Itulah masalahnya.

"Tidak bisa Puan, kami tidak punya soto Betawi, ini kan restoran Itali?4

Nah!

Pondok Aren,

Minggu 31 Agustus 2003. 07:40.

1. Kopi tradisional Italia, biasanya untuk sarapan-kopi espresso yang dibubuhi susu panas dan buih, sering juga ditaburi cokelat, dalam seduhan air panas 80 derajat celsius, dihidangkan dengan cangkir. (Sumber: dari bungkus gula non- kalori Equal).

2. Tentang penyiksaan sesama manusia Indonesia, bisa dilacak dalam sejumlah dokumen, antara lain, Pipit Rochijat, "Am I PKI or Non PKI?" dalam Indonesia edisi 40 (Oktober 1985); A Latief, Pleidoi Kol. A. Latief: Soeharto Terlibat G 30 S (2000); Sulami, Perempuan-Kebenaran dan Penjara (1999); Sudjinah, Terempas Gelombang Pasang (2003), dan tentu saja Pramoedya Ananta Toer, Nyanyi Tunggal Seorang Bisu (1995).

3. Dari Sumanasantaka (sekitar 1204) karya Mpu Monaguna: "sang hyang candra bangun bahitra dateng ing kulem amawa sasa mareng jawa." Tentang segi astronomi bait ini, apakah itu bulan sabit di cakrawala sehingga bentuknya seperti perahu, ataukah bulan purnama, yang memungkinkan gambaran seekor kelinci, baca PJ Zoetmulder, Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (1983), terjemahan Dick Hartoko, h238.

4. Puedo escribir los versos mas triste esta noches-dari "Puedo Escribir" ("Tonight I Can Write") dalam Pablo Neruda (1904-1973), 20 Puemas de amor y una Cancion desesperada (Twenty Love Poems and a Song of Despair), 1924, terjemahan ke dalam bahasa Inggris oleh WS Merwin, terbit pertama kali tahun 1969.

Read More..
 
Cintaku Jauh di Komodo : Cerpen Seno Gumira Ajidarma

Cintaku Jauh di Komodo : Cerpen Seno Gumira Ajidarma


HANYA laut. Hanya kekosongan. Dunia hanyalah laut dan langit yang dibatasi garis tipis melingkar, membentuk garis lingkaran yang tiada pernah berubah jaraknya, meski perahuku melaju menembus angin yang bergaram. Bibirku terasa asin dan rambutku menyerap garam, tapi kutahu cintaku belum akan berkarat bila tiba di pulau itu. Bagaimana cinta akan berkarat hanya karena sebuah jarak dari Labuan Bajo ke Komodo, jika cinta ini belum juga berkarat setelah mengarungi berabad-abad jarak, dari suatu masa ketika cinta pertama kali ada? Lagi pula bagaimana cinta akan berkarat karena angin yang bergaram jika cinta memang bukan besi? Aku dan kekasihku diciptakan dari sepasang bayang-bayang di tembok yang tubuhnya sudah mati, dan semenjak saat itu kami menjadi semacam takdir ketika tiada sesuatu pun di dunia ini yang bisa memutuskan hubungan cinta kami. Barangkali itulah yang disebut dengan cinta abadi.

AKU mengatakannya semacam takdir, karena kami memang tidak terpisahkan, tapi aku hanya berani mengatakannya semacam takdir, dan bukan takdir itu sendiri, karena sesungguhnyalah aku tidak akan bisa tahu apakah benar cinta kami yang barangkali abadi itu adalah takdir. Kami seperti tiba-tiba saja ada dan saling mencintai sepenuh hati, tapi sungguh mati memang hanya seperti dan sekali lagi hanya seperti, karena sesungguhnyalah hubungan cinta kami yang barangkali abadi itu adalah sesuatu yang diperjuangkan. Cinta yang abadi kukira bukanlah sesuatu yang ditakdirkan, cinta yang abadi adalah sesuatu yang diperjuangkan terus-menerus sehingga cinta itu tetap ada, tetap bertahan, tetap membara, tetap penuh pesona, tetap menggelisahkan, tetap misterius, dan tetap terus-menerus menimbulkan tanda tanya: Cintakah kau padaku? Cintakah kau padaku?

Setiap kali kami mati dan dilahirkan kembali, kami selalu bisa saling mengenali dan mengusahakan segalanya untuk menyatu kembali. Kami memang diciptakan dari sepasang bayang-bayang, dan bayang-bayang bisa berkelebat menembus segala tabir, namun kami tidak pernah lahir kembali sebagai sepasang bayang-bayang yang bisa berkelebat seenak udelnya. Kami sering dilahirkan kembali sebagai manusia, dan sebagai manusia kami tidak bisa berkelebat seenak udel kami, begitu juga bayang-bayang kami yang selalu mengikuti, menempel seperti ketan, lengket bagai benalu, barangkali menunggu kami mati dan menjadi pasangan baru. Apabila kami berbeda kulit, kemudian berbeda kelas sosial, lantas berbeda agama pula-betapa beratnya usaha kami menyatukan diri. Walaupun kami terbukti saling mencintai, terlalu banyak manusia merasa berhak untuk tidak setuju dan melarang hubungan kami. Apalagi jika kami lahir kembali masing-masing sebagai pasangan resmi orang lain, nah, tiada seorang pun yang akan mengizinkan dirinya untuk memahami, bahkan kami pun bisa bingung sendiri.

Demikianlah cinta kami selalu diuji, benarkah begitu kuat usaha kami untuk menyatu kembali, ataukah cinta kami ini hanya cinta begitu-begitu saja yang terlalu mudah menyerah karena berbagai macam halangan yang sebenarnya bisa saja diatasi. Memang begitu banyak godaan kepada kesetiaan cinta kami: bisa berwujud harta kekayaan, bisa berupa kursi kekuasaan, tapi yang paling berbahaya adalah pesona cinta itu sendiri. Hmm. Cinta diuji oleh cinta. Sering kali ini sangat membingungkan-tetapi selalu bisa kami atasi. Cinta yang sejati, kukira, hanyalah menjadi sejati jika tahan uji terhadap cinta yang sama hebohnya, yakni cinta yang dahsyat itu, dengan segenap petir dan halilintarnya yang tanpa kecuali menggetarkan dan mendebarkan hati. Kesetiaan kami masing-masing telah membuat kami selalu bertemu kembali, begitulah, meski terkadang penuh dengan luka-luka cinta di sana-sini karena ketergodaan yang terlalu menarik untuk tidak dilayani.

Apabila kami bertemu dari kelahiran satu ke kelahiran lain, kami akan saling mengenali, meski perbedaan duniawi yang membungkus kami bisa mengakibatkan masalah berarti. Itulah yang terjadi misalnya ketika aku lahir sebagai pendeta dan kekasihku lahir sebagai putri raja. Lain kali aku lahir kembali sebagai perempuan dan kekasihku lahir kembali tetap sebagai perempuan. Suatu kali bahkan ketika lahir kembali sebagai bayi, kekasihku sudah lahir berpuluh tahun sebelumnya dan hampir mati. Tetapi, tidakkah cinta itu tiada memandang wujud, dan tiada pula memandang usia? Jika cinta memang mempersatukan jiwa, maka kesenjangan tubuh macam apakah yang akan bisa menghalanginya? Justru itulah masalahnya sekarang: apakah aku, sebagai manusia biasa, masihbisa mencintaikekasihku, jikakekasihku itutelah menjadi komodo?

Hanya laut. Hanya kekosongan. Laut dan langit bagai bertaut, tapi mereka sebetulnya tidak bersentuhan sama sekali. Apakah aku akan bisa bertemu dengan kekasihku kali ini? Tanda-tanda alam memberi isyarat kepadaku, kekasihku telah dilahirkan kembali dalam wujud seekor komodo, yang sekarang berada di Pulau Komodo. Sebagai seekor komodo, kekasihku menimbulkan masalah besar, karena telah memakan seorang anak gadis yang sedang mandi di sungai. Perburuan liar telah mengurangi jumlah kijang yang biasa dimakan komodo, sehingga kekasihku dengan kelaparannya yang amat sangat telah menerkam dan menelan seorang anak gadis berusia 12 tahun. Karena undang-undang melindungi komodo, maka kekasihku tidak dibunuh, melainkan dibuang ke suatu wilayah di Pulau Flores yang juga dihuni komodo. Namun, di tempat yang baru itu, kekasihku dianggap sebagai komodo asing yang dimusuhi oleh komodo-komodo lain. Akibatnya, kekasihku berenang dan menyeberangi laut untuk kembali ke Pulau Komodo-dan kini aku datang ke pulau itu untuk mencarinya.

Dalam sejarah percintaan kami dari abad ke abad, belum pernah kami lahir kembali dengan berbeda spesies seperti ini. Karena kami selalu berperilaku baik, kami selalu lahir kembali sebagai manusia-kesalahan apakah yang telah dilakukan kekasihku, dan aku tidak mengetahuinya, sehingga lahir kembali sebagai komodo? Apakah ia masih akan mengenaliku dengan pancaindra dan otaknya sebagai seekor komodo? Kalaulah aku masih mempunyai kepekaan untuk mengenalinya, bagaimanakah caranya ia akan mengenaliku-dan apa yang akan kami lakukan? Aku tidak mungkin mengawini dan membawanya sebagai seekor komodo ke dalam apartemenku di Jakarta. Pasti Supermie tidak akan pula mengenyangkannya. Atas nama cinta, apakah yang masih bisa kulakukan untukmu kekasihku?

KETIKA akhirnya kami berjumpa di sebuah kubangan pada sungai kering berbatu-batu, hatiku terasa kosong. Setelah menjelajahi pulau itu selama dua hari dan bertemu dengan sejumlah komodo, akhirnya aku bertemu dengan seekor komodo yang kuyakini sebagai kekasihku. Rupanya kekasihku menjadi seekor komodo jantan.

Karena aku turun di kampung Komodo dan bukan di Loh Liang, tempat para petugas Taman Nasional biasa memandu wisatawan, aku menjelajahi pulau itu siang malam tanpa pengawal. Bersenjatakan tongkat bercabang, aku berhasil menyelamatkan diri dari serangan sejumlah komodo, sampai kutemukan komodo jantan yang pernah memakan anak gadis itu.

Kami bertemu pada suatu siang yang panas dan aku sedang mendaki ketika kulihat ia merayap ke arahku di bawah kerimbunan semak-semak. Apakah yang masih bisa kukenal dari kekasihku yang cantik jelita pada komodo jantan ini? Tadinya masih kuharapkan pandangan mata yang penuh dengan cinta, tapi hanya kulihat sebuah pandangan mata yang kosong. Sudah jelas ia tampak kelaparan, dan kukira ia tidak mengenaliku lagi-apakah masih sahih jika aku berusaha tetap mempertahankan cinta? Dalam keadaan seperti ini, aku menjadi ragu, apakah cinta yang abadi itu sebenarnya memang ada, ataukah hanya seolah-olah ada dan dipercaya begitu rupa sehingga mengelabui para peminatnya? Mungkin cinta ternyata mengenal wujud-meskipun komodo jantan itu memang penjelmaan kekasihku, dan aku sangat mencintainya, aku bertanya-tanya apakah aku bisa mencintainya seperti aku mencintai kekasihku….

Aku terpeleset dari tebing, dan meluncur masuk ke kubangan, tepat di hadapan mulutnya yang menganga. Semuanya sudah terlambat, kaki kiriku sudah masuk ke mulutnya, langsung patah beberapa bagian. Aku tidak sempat memanfaatkan tongkat bercabang itu-apakah aku akan lebih bahagia jika menyerahkan jiwa sebagai pengorbanan cinta? Kurasa seluruh tubuhku tersedot masuk ke dalam tubuh komodo itu sekarang. Di dalam tubuh itu hanya kurasakan kegelapan-dan perasaan menyatu. Kalau aku tidak keliru.

Labuan Bajo, Juli 2003

* Judul ini mengacu kepada judul sajak Chairil Anwar, Cintaku Jauh di Pulau (1946).

1. Ingatan terbalik atas sajak Afterthought : cintakah kau padanya / cintakah kau padanya dalam Toeti Heraty, Nostalgi=Transendensi (1995), hal 75.

2. Reptil bernama resmi Varanus komodoensis yang panjangnya bisa mencapai tiga meter dan berat 150 kilogram, dan selalu disebut hanya terdapat di Pulau Komodo, dengan jumlah sekitar 1.650 ekor (1994). Ternyata, terdapat pula di Pulau Rinca, sebanyak 1.000 ekor; dan suatu wilayah di Flores yang jumlahnya belum sempat dihitung. Sisa makhluk purbakala itu baru ditemukan secara resmi pada 1911 oleh tentara Hindia Belanda dan diberi nama pada 1912 oleh PA Ouwens, kurator Museum Zoologi Bogor. Baca Linda Hoffman, "Introduction" dan "Enter the Dragon: Visiting the Island of Dinosaurs" dalam Kal Muller, East of Bali: from Lombok to Timor (1997), hal 111-114.

3. Bagian kisah ini mengacu kepada suatu kejadian, yang dialami seorang bocah lelaki pada 1987, namun terjadinya di Pulau Rinca, yang bersebelahan dengan Pulau Komodo, dalam Muller, ibid., hal 111-2.

4. Kampung Komodo, terdiri atas 400 KK (2003), satu-satunya kampung di pulau itu, mempunyai kebudayaan dan bahasa sendiri. Mereka menyebut komodo sebagai ora. Lebih jauh baca JAJ Verheijen, Pulau Komodo: Tanah, Rakyat, dan Bahasanya (1987), terjemahan A Ikram.

5. Korban terakhir adalah Baron Rudolf Van Biberegg, wisatawan asal Swiss berusia 84 tahun, pada 1972, yang lenyap di Poreng, Pulau Komodo-yang tertinggal hanyalah tripod-nya, kaki tiga untuk kamera. Muller, op. cit., hal 112.

Read More..
 
Komidi Putar : Cerpen Seno Gumira Ajidarma

Komidi Putar : Cerpen Seno Gumira Ajidarma

DA-DA, kuda1, engkau berlari dengan mulut berdarah, da-da, kuda, melintasi padang rumput, melompati jurang, menyeberangi sungai, menyusuri pantai, menembus hutan, melewati kota, mengarungi benua, memburu cakrawala, da-da, kuda, berderap di bawah langit dengan surai gemulai yang berkilat keemas-emasan di bawah cahaya senja tiada pernah bertanya akan berakhir sampai di mana. Da-da, kuda, mereka semua berderap seperti sepakat tiada saling membalap, berderap seperti menari, berderap seperti melayang, berlari, dan mencongklang seperti terbang, da-da, kuda, dan hanya kuda-kuda mengerti apa artinya menderap di padang terbuka, hamparan permadani, sajadah dunia, dalam derap secepat angin, namun suaranya seperti bisikan dari kejauhan, sejauh-jauh mata memandang, da-da, kuda, yang masih berlari ke arah matahari jingga yang separuh tenggelam.Tiada pernah kukira kuda bisa berlari di atas air. Kulihat kuda-kuda berderap di lautan membentang, tanpa sayap dan tanpa tanduk, berderap melaju dengan bunyi percik memercik-mercik, di kejauhan, melintasi kapalku. Da-da, kuda, ke manakah kamu, begitu cepat kamu, begitu lambat kamu, berlari atau menari, wahai kuda, segala kuda berlari di antara cahaya, berkelebatan, seperti mimpi tapi bukan mimpi, seperti kuda tapi memang kuda, cahayakah atau nyata, gambar bergerakkah atau kuda, tapi memang kuda, dan hanya kuda. Da-da, kuda, seluruh kuda dari seluruh dunia bergerak dan berlari, terbang dan memimpi ke seluruh penjuru bumi ketika semua orang tertidur lelap nyenyak dalam labirin mimpinya sendiri-sendiri sehingga tiada seorang pun memang akan mengerti betapa ada begitu banyak kuda, beratus-ratus kuda, beribu-ribu kuda, berjuta-juta kuda menderap tanpa suara dan tanpa kepulan debu melaju sepanjang padang dengan gerak yang begitu lambat seperti gerak lambat seekor ulat tapi yang berpindah tempat begitu cepat secepat cahaya yang melesat.Da-da, kuda, tak seorang pun melihatnya, ada tapi tiada, melintasi cahaya gemilang, sekian banyak kuda, begitu banyak kuda, akan seberapa banyak lagikah kuda? Begitu banyak rahasia terbentang selama manusia tertidur, begitu banyak cerita di balik tabir kegelapan malam, tapi bagaimanakah cara mengetahuinya? Manusia yang telah begitu lelah dengan begitu banyak pikiran di kepalanya sendiri tak akan pernah mengerti rahasia di balik matanya sendiri yang terpejam diam-diam tak terbuka selama ratusan tahun. Begitulah manusia selalu merasa telah tidur nyenyak dan lelap dalam satu malam tanpa pernah terbangun satu detik pun seperti kena sihir pencuri yang menyebarkan tanah pekuburan, padahal dalam semalam waktu telah lewat berabad-abad.... Namun, seribu kuda tak pernah menjadi tua meski telah berlari selama beratus-ratus tahun. Seribu kuda, beribu-ribu kuda, berjuta-juta kuda, menderap dan melaju menembus segala macam cuaca. Bagaimana mungkin manusia mengarungi seribu mimpi sementara sesuatu yang lebih indah dari mimpi lewat menderap di depan hidung mereka sendiri? Itulah masalahnya. Apalah yang bisa diketahui manusia? Tidak tentang berjuta-juta kuda yang berlari seperti menari, melaju seperti puisi, dengan kertap cahaya yang berkeredapan dari balik surainya, tidak juga tentang apa saja yang berada di luar jangkauannya. Da-da, kuda, tidak ada yang meringkik, tapi tidak berarti mereka tidak tertawa, karena mereka bisa mengikuti mimpi-mimpi manusia yang tertidur. Mereka terus berlari dengan pikiran yang bisa membaca dunia. Berlari dan berlari, dengan mata yang sayu.Tidak ada makhluk lain tampak di mana pun berjuta-juta kuda itu berlari. Tiada gemuruh dan kepulan debu, tiada ringkik dan getaran bumi, namun makhluk-makhluk tiada pernah tampak -- tiada burung elang yang melayang-layang, tiada monyet yang menjerit-jerit, tiada semut di lubang mana pun di padang rumput. Hanya kuda-kuda, tanpa sayap dan tanpa tanduk, kuda-kuda biasa, berjuta-juta, muncul dari balik cakrawala dengan matahari di belakang mereka, menghitam seperti bayang-bayang, berjuta-juta bayang-bayang kuda berkelebat, begitu cepat dan begitu lambat, seperti gerakan para dewa di layar dunia. Lewatlah kuda-kuda tanpa suara, tiada seorang pun tahu dari mana mereka dan menuju ke mana. Da-da, kuda, dari balik matahari mereka seperti muncul begitu saja, menimbulkan pertanyaan tentang dunia seperti apa, yang membiarkan manusia tidur begitu lama, seperti hanya semalam tapi sudah kehilangan segalanya.Alangkah mahalnya mimpi-mimpi dalam semalam, yang begitu membuai tapi sama sekali tidak nyata. Kuda-kuda ini nyata, berderap tanpa suara, tapi mengapa mulutmu berdarah, da-da, kuda? Kuda-kuda berderap bersama di padang alang-alang sampai bertemu sebuah sungai, di sungai itu mereka berenang dalam kelompok-kelompok sampai ke seberang, dan mereka berbaris satu per satu dan berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan setapak di tepi jurang. Tentu saja itu jalan setapak manusia, tetapi untunglah tidak pernah ada seorang manusia pun yang barangkali sedang berburu kebetulan berpapasan dengan kuda-kuda itu, karena berapa lamakah seseorang harus menunggu sampai berjuta-juta kuda itu lewat begitu pelan karena begitu hati-hati berjalan di jalan setapak di tepi kemiringan jurang?Berjuta-juta kuda berjalan menembus hutan yang berembun melewati jalan setapak di tepi jurang tanpa suara. Kuda-kuda berjalan di tepi jurang dengan kepala menunduk, melangkah satu per satu dalam kecuraman jurang yang menggiriskan. Jalan setapak itu begitu panjang dan jurang itu begitu dalam dan entah berapa lama akhirnya suatu malam kuda-kuda itu keluar dari hutan dan melangkah di tepi sungai yang dangkal dan gemericik airnya begitu jernih dan begitu menyegarkan. Hanya, setelah berminggu-minggu jutaan kuda itu akhirnya melewati hutan berjurang dengan hanya jalan setapak untuk berjalan. Di tepi sungai mereka minum sebentar lantas melanjutkan perjalanan.Da-da, kuda, begitu banyak kuda dan tiada satu manusia pun menungganginya, tapi siapa bilang kuda diciptakan hanya untuk menjadi tunggangan? Kuda-kuda tanpa pelana, berkilat dalam usapan cahaya, melangkah dengan anggun di tepi yang gemercik keperakan, sesekali berhenti minum, berjalan dengan mata sayu, beriringan sepanjang sungai yang kadang lurus kadang berkelok dan suatu ketika menyeberang berdua-dua, bertiga-tiga, berlima-lima, berombongan, membuat gemercik aliran sungai tiba-tiba berbeda karena kaki-kaki kuda yang berjuta-juta menyeberangi sungai yang tentu saja berlangsung lama....Seorang anak terbangun di malam hari."Ibu, ke mana kuda kita?"Kali ini tidak ada manusia yang mempunyai kuda, berjuta-juta kuda melepaskan diri dari kepemilikan dan kekuasaan manusia. Kuda telah melepaskan diri dari kebudayaan, bahkan tidak seorang pun bisa bermimpi tentang kuda-kuda lagi. Kuda-kuda itu sudah tidak terjangkau. Mereka menyusuri sungai sampai ke tepi pantai. Menggoyangkan ekor dan mendengus seperti tidak peduli dengan ombak. Mereka mencari rerumputan di tepi sungai, dan saling berbicara dengan cara saling memandang dan saling menyentuh.Da-da, kuda, mereka bisa berlari di atas permukaan laut, tapi mereka tetap tinggal di tepi pantai dan saling mendengus serta bersentuhan di bawah rembulan. Berjuta-juta kuda memenuhi pantai, dengan hempasan ombak yang bernyanyi, tiupan angin yang merintih, serta permukaan laut yang berkilat keperak-perakan. Tiada satu kuda menengok rembulan, kepala mereka tertunduk dan mata mereka masih sayu. Hanya ekornya terkadang bergoyang pelan.Di antara kuda-kuda itu terdapat kuda anak yang terbangun di malam hari itu. Ia berjalan, mendengus, dan mendongak di antara banyak kuda yang menunduk."Hanya kuda, dan tiada lain selain kuda," pikirnya.Ia teringat anak kecil itu, yang setiap pagi mengelus-elus kepalanya. Berbisik-bisik dan bercerita, menyampaikan segala rahasia. Meski tidak bisa berbicara dalam bahasa manusia, ia bisa mengerti setiap kata yang diucapkan anak itu. Jika ia bisa berbicara, banyak juga yang akan diceritakannya, seperti juga ia ingin bicara tentang betapa suatu hari ia akan meninggalkannya. Setiap kuda yang ditemuinya dan pernah dipelihara manusia mengalami hal yang sama, mereka tidak mengetahui cara yang terbaik untuk memberitahukan perpisahan dengan dunia manusia untuk selama-lamanya.Tidak ada yang bisa dilakukannya selain pergi keluar dari kandangnya suatu malam. Pergi begitu saja mengikuti bisikan yang menuntunnya, bisikan yang tidak terdengar di telinga melainkan menancap langsung ke dalam otaknya dan menggerakkan seluruh tubuhnya. Ia bertemu dengan begitu banyak kuda yang keluar dari kandang dan istalnya, melangkah begitu saja seperti sudah saling mengerti, menuju ke suatu keadaan yang belum tentu akan bisa dimengerti. Ia hanya tahu bahwa setiap kuda harus bergabung dengan semua kuda, untuk melakukan pencarian bersama yang belum lagi diketahui akan ketemu di mana.Maka ia ikut mencongklang bersama kuda-kuda itu, berlari dan berlari, dan merasakan betapa bumi bagai tiada diinjaknya. Kuda-kuda itu seperti terbang bersama tapi bukan terbang, berlari tapi bukan berlari, melesat dan melaju tapi bukan melesat, dan melaju karena meskipun sungguh cepat tetapi juga sangat lambat. Bagaimanakah semua ini bisa ia jelaskan?"Aku hanya seekor kuda," pikirnya.Da-da, kuda, di tepi pantai, bersama berjuta-juta kuda lainnya, mereka berdiri berjajar-jajar menghadap ke laut. Rembulan bagaikan piring keperakan raksasa yang membuat laut juga serba keperak-perakan nyaris seperti cairan logam. Seluruh kuda yang berjuta-juta itu melangkah ke laut. Mereka tidak berlari, tapi berjalan saja pelan-pelan. Lautan tidak bergelombang dan ombak tidak menghempas, seluruh kuda itu berjalan perlahan menuju cakrawala. Namun, kuda yang dimiliki anak kecil itu tidak menggerakkan kakinya. Ia mendengus, menggerakkan ekor, tapi tidak melangkah. Ditatapnya kuda-kuda bergerak pelan menuju cakrawala, makin lama makin jauh dan akhirnya menghilang...."Aku seekor kuda yang hanya sendiri saja di dunia," pikirnya, "Kalau aku mati nanti tak akan ada kuda lagi di muka bumi."Untuk beberapa saat ia masih memandang lautan yang kosong. Tiada lagi pemandangan berjuta-juta kuda.Ia belum juga tahu betapa mulutnya berdarah.Ketika anak itu bangun, waktu sudah lewat berabad-abad. Ia langsung mendekati kuda itu di kandangnya, memeluk dan mengusap-usap kepalanya."Da-da, kuda, engkau pergi ke mana? Waktu aku bangun semalam engkau tak ada."Dari jendela dapur, ibunya memandang anak di kandang kuda yang kosong itu dengan sedih."Lagi-lagi anak itu bicara dengan dirinya sendiri," gumamnya.Di dinding dapur itu tergantung potret seekor kuda. Entah siapa mencoret-coret bagian mulutnya dengan spidol merah, sehingga mulut itu seperti meneteskan darah....Pondok Aren, Kamis 2 Januari 2003. 07:36.1 Dari sajak Wing Karjo, "A/Z", bagian 7 : Da-da, kuda, diamlah / benda ajaib .../ mainanmu, nak, Putih / terlalu jinak. Lembut / dari dunia mimpi., dalam Perumahan (1975), h. 44.

Read More..
 
Cerpen Seno Gumira Ajidarma : Cinta di Atas Perahu Cadik

Cerpen Seno Gumira Ajidarma : Cinta di Atas Perahu Cadik

Bersama dengan datangnya pagi maka air laut di tepi pantai itu segera menjadi hijau. Hayati yang biasa memikul air sejak subuh, sambil menuruni tebing bisa melihat bebatuan di dasar pantai yang tampak kabur di bawah permukaan air laut yang hijau itu. Cahaya keemasan matahari pagi menyapu pantai, membuat pasir yang basah berkilat keemasan setiap kali lidah ombak kembali surut ke laut. Onggokan batu karang yang kadang-kadang menyerupai perahu tetap teronggok sejak semalam, sejak bertahun, sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Bukankah memang perlu waktu jutaan tahun bagi angin untuk membentuk dinding karang menjadi onggokan batu yang mirip dengan sebuah perahu.

Para nelayan memang hanya tahu perahu. Bulan sabit mereka hubungkan dengan perahu, gugusan bintang mereka hubung-hubungkan dengan cadik penyeimbang perahu, seolah-olah angkasa raya adalah ruang pelayaran bagi perahu-perahu seperti yang mereka miliki, bahkan atap rumah-rumah mereka dibuat seperti ujung-ujung perahu. Tentu, bagaimana mungkin kehidupan para nelayan dilepaskan dari perahu?

Hayati masih terus menuruni tebing setengah berlari dengan pikulan air pada bahunya. Kakinya yang telanjang bagaikan mempunyai alat perekat, melangkah di atas batu-batu hitam berlumut tanpa pernah terpeleset sama sekali, sekaligus bagaikan terlapis karet atau plastik alas sepatu karena seolah tidak berasa sedikit pun juga ketika menapak di atas batu-batu karang yang tajam tiada berperi.

"Sukab! Tunggu aku!"

Di pantai, tiba-tiba terdengar derum suara mesin.

"Cepatlah!" ujar lelaki bernama Sukab itu.

Ternyata Hayati tidak langsung menuju ke perahu bermesin tempel tersebut, melainkan berlari dengan pikulan air yang berat di bahunya itu. Hayati berlari begitu cepat, seolah-olah beban di bahunya tiada mempunyai arti sama sekali. Ia meletakkannya begitu saja di samping gubuknya, lantas berlari kembali ke arah perahu Sukab.

"Hayati! Mau ke mana?"

Seorang nenek tua muncul di pintu gubuk. Terlihat Hayati mengangkat kainnya dan berlari cepat sekali. Lidah-lidah ombak berkecipak dalam laju lari Hayati. Wajahnya begitu cerah menembus angin yang selalu ribut, yang selalu memberi kesan betapa sesuatu sedang terjadi. Seekor anjing bangkit dari lamunannya yang panjang, lantas melangkah ringan sepanjang pantai yang pada pagi itu baru memperlihatkan jejak-jejak kaki Sukab dan Hayati.

Perahu Sukab melaju ke tengah laut. Seorang lelaki muncul dari dalam gubuk.

"Ke mana Hayati, Mak?"

Nenek tua itu menoleh dengan kesal.

"Pergi bersama Sukab tentunya! Kejar sana ke tengah laut! Lelaki apa kau ini! Sudah tahu istri dibawa orang, bukannya mengamuk malah merestui!"

Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala.

"Hayati dan Sukab saling mencintai, kami akan bercerai dan biarlah dia bahagia menikahi Sukab, aku juga sudah bicara kepadanya."

Nenek yang sudah bungkuk itu mengibaskan tangan.

"Dullaaaaah! Dullah! Suami lain sudah mencabut badik dan mengeluarkan usus Sukab jahanam itu!"

Lelaki yang agaknya bernama Dullah itu masuk kembali, masih terdengar suaranya sambil tertawa dari dalam gubuk.

"Cabut badik? Heheheh. Itu sudah tidak musim lagi Mak! Lebih baik cari istri lain! Tapi aku lebih suka nonton tivi!"

Angin bertiup kencang, sangat kencang, dan memang selalu kencang di pantai itu. Perahu Sukab yang juga bercadik melaju bersama cinta membara di atasnya.

Pada akhir hari setelah senja menggelap, burung-burung camar menghilang, dan perahu-perahu lain telah berjajar-jajar kembali di pantai sepanjang kampung nelayan itu, perahu Sukab belum juga kelihatan.

Menjelang tengah malam, nenek tua itu pergi dari satu gubuk ke gubuk lain, menanyakan apakah mereka melihat perahu Sukab yang membawa Hayati di atasnya. Jawaban mereka bermacam-macam, tetapi membentuk suatu rangkaian.

"Ya, kulihat perahu Sukab menyalipku dengan Hayati di atasnya. Kulihat mereka tertawa-tawa."

"Perahu Sukab menyalipku, kulihat Hayati menyuapi Sukab dengan nasi kuning dan mereka tampaknya sangat bahagia."

"Oh, ya, jadi itu perahu Sukab! Kulihat perahu berlayar kumal itu menuruti angin, mesinnya sudah mati, tetapi tidak tampak seorang pun di atasnya."

Nenek itu memaki.

"Istri orang di perahu suami orang! Keterlaluan!"

Namun ia masih mengetuk pintu gubuk-gubuk yang lain.

"Aku lihat perahunya, tetapi tidak seorang pun di atasnya. Bukankah memang selalu begitu jika Hayati berada di perahu Sukab?"

"Ya, tidakkah selalu begitu? Kalau Hayati naik perahu Sukab, bukannya tambah penumpang, tetapi orangnya malah berkurang?"

Melangkah sepanjang pantai sembari menghindari air pasang, nenek tua itu menggerundal sendirian.

"Bermain cinta di atas perahu! Perbuatan yang mengundang kutukan!"

Ia menuju gubuk Sukab. Seorang anak perempuan yang rambutnya merah membuka pintu itu, di dalam terlihat istri Sukab terkapar meriang karena malaria.

"Waleh! Apa kau tahu Sukab pergi dengan Hayati?"

Perempuan bernama Waleh itu menggigil di dalam kain batik yang lusuh, mulutnya bergemeletuk seperti sebuah mesin. Wajahnya pucat, berkeringat, dan di dahinya tertempel sebuah koyo. Ia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.

Nenek tua itu melihat ke sekeliling. Isinya sama saja dengan isi semua gubuk nelayan yang lain. Dipan yang buruk, lemari kayu yang buruk, pakaian yang buruk tergantung di sana-sini, meja buruk, kursi buruk, dan jala di dinding kayu, berikut pancing dan bubu. Ada juga pesawat televisi, tetapi tampaknya sudah mati. Alas kaki yang serba buruk, tentu saja tidak ada sepatu, hanya sandal jepit yang jebol. Sebuah foto pasangan bintang film India, lelaki dan perempuan yang sedang tertawa dengan mata genit, dari sebuah penanggalan yang sudah bertahun-tahun lewat.

Ia tidak melihat sesuatu pun yang aneh, tapi mungkin ada juga yang lain. Sebuah foto Bung Karno yang usang dan tampak terlalu besar untuk rumah gubuk ini, di dalam sebuah bingkai kaca yang juga kotor. Nyamuk berterbangan masuk karena pintu dibuka.

Pandangan nenek tua itu tertumbuk kepada anak perempuan yang menatapnya.

"Mana Bapakmu?"

Anak itu hanya menunjuk ke arah suara laut, ombak yang berdebur dan mengempas dengan ganas.

Nenek itu lagi-lagi menggelengkan kepala.

"Anak apa ini? Umur lima tahun belum juga bisa bicara!"

Waleh hanya menggigil di balik kain batik lusuh bergambar kupu-kupu dan burung hong. Giginya tambah gemeletuk dalam perputaran roda-roda mesin malaria.

Nenek itu sudah mau melangkah keluar dengan putus asa, ketika terdengar suara lemah dari balik gigi yang gemeletuk itu.

"Aku sudah tahu?"

"Apa yang kamu sudah tahu, Waleh?"

"Tentang mereka?"

Nenek itu mendengus.

"Ya, kamu tahu dan tidak berbuat apa-apa! Dulu suamiku pergi ke kota dengan Wiji, begitu pulang kujambak rambutnya dan kuseret dia sepanjang pantai, dan suamiku masuk rumah sakit karena badik suami Wiji. Masih juga mereka berlayar dan tidak pulang kembali! Semua orang yang melaut bilang tidak melihat sesuatu pun di atas perahu ketika melewati mereka, tapi ada yang hanya melihat perempuan jalang itu tidak memakai apa-apa meski suamiku tidak kelihatan di bawahnya! Mengerti kamu?"

Waleh yang menggigil hanya memandangnya, seperti sudah tidak sanggup berpikir lagi.

"Aku hanya mau bukti bahwa menantuku mati karena pergi dengan lelaki bukan suaminya dan bermain cinta di atas perahu! Alam tidak akan pernah keliru! Hanya para pendosa akan menjadi korban kutukannya! Tapi kamu rugi belum menghukum si jalang Hayati!"

Mendengar ucapan itu, Waleh tampak berusaha keras melawan malarianya agar bisa berbicara.

"Aku memang hanya orang kampung, Ibu, tetapi aku tidak mau menjadi orang kampungan yang mengumbar amarah menggebu-gebu. Kudoakan suamiku pulang dengan selamat?dan jika dia bahagia bersama Hayati, melalui perceraian, agama kita telah memberi jalan agar mereka bisa dikukuhkan."

Waleh yang seperti telah mengeluarkan segenap daya hidupnya untuk mengeluarkan kata-kata seperti itu, langsung menggigil dan mulutnya bergemeletukan kembali, matanya terpejam tak dibuka-bukanya lagi.

Nenek tua itu terdiam.

Hari pertama, kedua, dan ketiga setelah perahu Sukab tidak juga kembali, orang-orang di kampung nelayan itu masih membayangkan, bahwa jika bukan perahu Sukab muncul kembali di cakrawala, maka tentu mayat Sukab atau Hayati akan tiba-tiba menggelinding dilemparkan ombak ke pantai. Namun karena tidak satu pun dari ketiganya muncul kembali, mereka percaya perahu Sukab terseret ombak ke seberang benua. Hal itu selalu mungkin dan sangat mungkin, karena memang sering terjadi. Mereka bisa terseret ombak ke sebuah negeri lain dan kembali dengan pesawat terbang, atau memang hilang selama-lamanya tanpa kejelasan lagi.

"Aku orang terakhir yang melihat Sukab dan Hayati di kejauhan, perahu mereka jauh melewati batas pencarian ikan kita," kata seseorang.

"Sukab penombak ikan paling ahli di kampung ini, sejak dulu ia selalu berlayar sendiri, mana mau ia mencari ikan bersama kita," sahut yang lain, "apalagi jika di perahunya ada Hayati."

"Apakah mereka bercinta di atas perahu?"

"Saat kulihat tentu tidak, banyak lumba-lumba melompat di samping perahu mereka."

Segalanya mungkin terjadi. Juga mereka percaya bahwa mungkin juga Sukab dan Hayati telah bermain cinta di atas perahu dan seharusnya tahu pasti apa yang akan mereka alami.

Di pantai, kadang-kadang tampak Waleh menggandeng anak perempuannya yang bisu, menyusuri pantulan senja yang menguasai langit pada pasir basah. Kadang-kadang pula tampak Dullah yang menyusuri pantai saat para nelayan kembali, mereka seperti masih berharap dan menanti siapa tahu perahu cadik yang berisi Sukab dan Hayati itu kembali. Namun setelah hari keempat, tidak seorang pun dari para nelayan di kampung itu mengharapkan Sukab dan Hayati akan kembali.

"Kukira mereka tidak akan kembali, mungkin bukan mati, tetapi kawin lari ke sebuah pulau entah di mana. Kalian tahu seperti apa orang yang dimabuk cinta?"

***

Namun pada suatu malam, pada hari ketujuh, di tengah angin yang selalu ribut terlihat perahu Sukab mendarat juga, Hayati melompat turun begitu lunas perahu menggeser bibir pantai dan mendorong perahu itu sendirian ke atas pasir sebelum membuang jangkar kecilnya. Sukab tampak lemas di atas perahu. Di tubuh perahu itu terikat seekor ikan besar yang lebih besar dari perahu mereka, yang tentu saja sudah mati dan bau amisnya menyengat sekali. Tombak ikan bertali milik Sukab tampak menancap di punggungnya yang berdarah?tentu ikan besar ini yang telah menyeret mereka berdua selama ini, setelah bahan bakar untuk mesinnya habis.

Hayati tampak lebih kurus dari biasa dan keadaan mereka berdua memang lusuh sekali. Kulit terbakar, pakaian basah kuyup, dan gigi keduanya jika terlihat tentu sudah kuning sekali?tetapi mata keduanya menyala-nyala karena semangat hidup yang kuat serta api cinta yang membara. Keduanya terdiam saling memandang. Keduanya mengerti, cerita tentang ikan besar ini akan berujung kepada perceraian mereka masing-masing, yang dengan ini tak bisa dihindari lagi.

Namun keduanya juga mengerti, betapa bukan urusan siapa pun bahwa mereka telah bercinta di atas perahu cadik ini.

Read More..