Cerita Pendek Dibalik Cerita Pendek

Saya jatuh cinta pada cerpen sejak saya bisa membaca. Bukan hanya cerpen sebenarnya, tapi pada semua jenis tulisan, terutama fiksi. Saya takjub bahwa seorang pengarang bisa membuat dunia lain, menciptakan realitas lain yang tumbuh dari imajinasi, perasaan dan wawasannya. Maka sejak SMP, tahun 1983, saya putuskan: inilah dunia saya! Setiap hari saya berkunjung ke perpustakaan sekadar meminjam buku karya sastrawan terkemuka Indonesia dan dunia. Saya tercengang membaca O. Henry, Danarto, Kafka, Solzhenitsyin, Edgar Allan Poe, Putu Wijaya, Taufiq al Hakim, Chekov, Guy de Maupassant, dan lain-lain. Dahsyat.

Maka saya pun mulai menulis cerpen dan mengirimkannya ke beberapa media. Saya harus menanti cukup lama untuk melihat karya saya itu dimuat. Tapi saya tak peduli. Saya terus menulis, terus mengirim, meski harus meminjam mesin tik tetangga yang sudah bulukan. Nun jauh di sana, saya bayangkan para redaktur majalah merasakan “teror” yang saya lancarkan. Biarlah karya saya tak juga mereka muat. Paling tidak, ambil sisi positifnya: saya terus berkarya dan mereka menjadi hafal dengan nama saya ---yang karyanya tak mereka muat-muat itu.

Di SMP, saya cukup punya konflik dengan guru matematika dan PMP (Pendidikan Moral Pancasila). Persoalannya, setiap pelajaran mereka, saya tergoda untuk mencicil membaca buku-buku cerpen yang saya sewa. Akibatnya saya sering disetrap. Kalau tidak disuruh berdiri di depan kelas atau dijemur di bawah mentari, ya saya disuruh lari mengitari sekolah. Saya baru boleh kembali ke kelas kalau betul-betul sudah keringatan. Malah buku-buku cerita itu langsung ‘dirazia’ dan dibawa ke kantor kepala sekolah. Hmm bisa dibayangkan ya?

Untungnya saya selalu didukung oleh guru bahasa Indonesia. Namanya Pak Kasmino (mana mungkin saya melupakan nama ini!). Waktu mengajar saya, dia sudah tua dan hampir pensiun. Tapi dia terus mendorong, bahkan meminjamkan buku-buku cerpen serta novel yang terlalu mewah untuk ukuran kantong saya. Makanya kalau ada karya saya yang dimuat di koran atau majalah, Pak Kasmino yang paling gembira, bangga dan berkaca-kaca.

Di SMA, saya juga mendapat dukungan luar biasa dari Pak Muhyidin, guru Bahasa Indonesia. Setiap pelajaran mengarang, tak pernah ia memberi saya B atau A, melainkan A+ disertai tulisan “kembangkan bakatmu!” di buku tulis saya. “Suatu saat kamu akan jadi cerpenis, Vy! Lihat saja!”

Saat tulisan saya “Ketika Mas Gagah Pergi” (KMGP) dimuat di majalah Annida, tahun 1993, saya tak pernah membayangkan reaksi itu. Saya menerima puluhan pucuk surat perhari! Surat-surat itu khusus berkomentar tentang KMGP. Ada yang mengatakan sangat tersentuh membaca cerpen itu, banyak juga yang menyatakan bahwa cerpen itu mengubah hidup mereka, bahkan keluarga mereka! Ah, apa iya? Saya nyaris tak percaya. Tapi puluhan pucuk surat mengenai KMGP mengalir setiap hari dan baru berkurang lima tahun kemudian!

Cerpen KMGP sendiri saya tulis setelah saya melihat foto seorang pemuda tampan yang meninggal saat usai mengisi pengajian di kalangan masyarakat tak mampu. Saya tergetar. Tahun 1997, KMGP diterbitkan dalam bentuk buku dan habis 5000 eksemplar dalam dua minggu pertama penerbitannya. Setahun kemudian, Motinggo Busye berkata tentang fenomena KMGP: “Tulisanmu tak selesai di otak atau hati pembaca. Tulisanmu, bukumu itu menggerakkan!”

Sungguhkan? Saya takut itu sekadar pujian. Saya hanya ingin berkarya dengan hati.

Sejak tahun 1997 kumpulan cerpen saya terus terbit. Tiba-tiba saya mulai dikenal orang. Saya pun mulai sering diundang ke berbagai forum untuk berbicara mengenai karya-karya saya, untuk memberi pelatihan penulisan, sampai keliling Indonesia. Saya senang bisa berbagi, meski tak banyak yang saya punya.

Tahun 1999, sesuatu yang tak saya sangka terjadi. Seseorang mengirim surat kaleng. Bunyinya begini: “Jangan sembarangan menulis cerpen kalau tak mau mati!”

Awalnya saya pikir orang iseng. Tapi ternyata saya menerima surat tanpa alamat jelas pengirim itu beberapa kali di kantor saya waktu itu: Majalah Annida. “Jangan menulis seperti “Jaring-Jaring Merah” lagi kalau tak ingin mampus!”

“Jaring-Jaring Merah” adalah cerpen mengenai Aceh pasca Daerah Operasi Militer (DOM). Judulnya sendiri terinspirasi dari Operasi Jaring Merah yang pernah dilancarkan Kopasus dahulu.

Hmmm, saya bisa apa selain tawakal pada Allah. Dan memangnya apa yang saya tulis? Tak ada yang buruk dan tak patut, karena saya tak menulis apa pun kecuali yang menggores nurani. Saya tak menulis apa pun, hanya sedikit tentang keadilan yang didamba. Melalui tulisan, saya hanya ingin mencerahkan diri saya, syukur-syukur sampai pada orang lain.

Waktu “Kibere” cerpen tentang Timor-Timur saya tulis, saya juga menerima surat kaleng yang dialamatkan lagi-lagi ke kantor. Isinya: “Tahu rasa nanti jika menulis cerita politik! Bisa mampus!” Ya Allah, padahal cerpen itu sangat menyentuh. Hanya bercerita tentang persahabatan antara anak Jawa, Bugis, Batak dan Timor Timur. Mereka anak SD dan teman bermain di Timor Timur namun terpaksa berpisah saat terjadi kerusuhan menjelang referendum di sana.

Waktu pun berlalu. Bersamaan dengan munculnya beragam komentar dari para sastrawan dan kritikus terhadap karya saya, khususnya setelah cerpen “Jaring-Jaring Merah” dinobatkan sebagai salah satu cerpen terbaik Horison selama sepuluh tahun terakhir (1990-2000), saya mulai medapat undangan untuk mengisi seminar, berbicara tentang karya-karya saya di luar negeri, terutama di negeri jiran, hingga ke Mesir dan Amerika Serikat. Saya dan teman-teman pun semakin aktif mengelola Forum Lingkar Pena (FLP)—organisasi kepenulisan, yang memutuskan untuk menulis tidak semata dengan imajinasi dan wawasan, tapi juga dengan hati.

“Bunda? Hmmm manusia yang muncul dari cerita pendek”, itu komentar anak saya Faiz tentang saya. Menggelikan namun sangat simbolik.

Saat buku kumpulan cerpen saya dalam dua bahasa (Indonesia-Inggris): Lelaki Kabut dan Boneka/ Dolls and the man of Mist—terbit, 2002, saya kembali mendapat teror. Mirip dengan yang pertama, namun kali ini melalui sms.

“Lelaki Kabut dan Boneka” adalah cerpen saya mengenai isu dan kasus pengeboman di negeri ini. Tokoh utamanya adalah ia yang saya sebut “lelaki kabut”. Ia ada tapi seolah selalu diselubungi kabut. Ia memiliki banyak “boneka” yang bisa ia gerakkan sesuai kemauannya, termasuk untuk memorandakan tanah kelahirannya.

Lalu sms itu saya terima. “Helvy, berani benar kau menulis tentang saya. Padahal kau tak benar-benar tahu saya. Dari: “Lelaki Kabut”. Sms darinya saya terima berulang kali. Di antaranya dengan redaksional sebagai berikut: “Saya akan meledakkan bom berikutnya di Jakarta minggu depan! Salam, Lelaki Kabut.”

Syukurlah apa yang disampaikannya tak benar.

“Kelihatannya bukan teror. Lebih mirip pengagum tersembunyi,” kata suami saya sambil mesem.

Saya nyengir. Apa iya? Wah, betapa isengnya orang ini!.

Namun saat cerpen “Lelaki Semesta” dibukukan, awal tahun 2004, ada cerita lagi. Cerpen itu mengisahkan seorang ustadz yang dituduh sebagai pelaku pemboman, padahal langit pun tahu ia tak pernah melakukannya. Malaikat yang selalu menemaninya sampai ingin bersaksi tentang hal itu. Jujur, cerpen ini memang merespon kecurigaan berlebihan terhadap para ulama di dalam maupun luar negeri yang sering menjadi bulan-bulanan fitnah tanpa bukti. Nah berkenaan dengan cerpen itu, saya dapat sms lagi. Kali ini sms itu menuding saya memihak pelaku pemboman! Asal banget!

Begitulah. Selalu ada cerita pendek di balik cerita pendek yang kita buat dalam episode “cerita pendek” kehidupan kita di dunia ini. Dan bagi saya, cerpen atau karya sastra lainnya telah memanusiakan kemanusiaan saya. Ya, meski diselingi sedikit teror, tudingan---atau mungkin cuma kerjaan orang iseng--- itu tak akan membuat saya mengubah tulisan saya. Saya tetap harus mengedepankan nurani! Faiz saja, “manusia yang muncul dari puisi” itu-- pun berani menuliskan nuraninya. Lagi pula yang saya ceritakan ini sungguh tak ada artinya dibandingkan apa yang dialami sastrawan lainnya, bukan? Keciiiiil sekali.

Ah, semoga yang kecil ini bisa berarti ketika dibagi.

(Helvy Tiana Rosa)


Read More..
 
Cerpen Jakarta 3030

Jakarta 3030

Cerpen: Martin Aleida

BONGKAH emas yang menengger di puncak Monumen Nasional sudah lama ditakik dan disingkirkan dari tempat duduknya. Dia digelindingkan begitu saja di daratan. Tak lebih berharga dari segundukan tanah merah. Emas sudah tak bisa mempertahankan kemuliaannya di atas besi atau timah. Anak-anak saja sudah bermain-main dengan lempengan-lempengan emas yang mereka ciptakan dari adonan kimia. Kesemarakan dan lambang kekuasaan sudah berubah makna, paling tidak di kota ini. Yang disanjung orang sekarang adalah gizogasarm, senyawa kimia hasil ekstraksi dari inti api, yang dijadikan bahan mentah untuk memproduksi chip yang bisa menampung data jutaan kali lipat dan dengan kecepatan tak terperikan dibandingkan seribu tahun sebelumnya.

Kata-kata. Karena sifatnya yang bisa ditafsirkan dalam berbagai pengertian, kata-kata sebagai sarana ekspresi sudah ditinggalkan. Sekarang adalah dunia presisi, dengan bahasa ketepatan yang memiliki pengertian tunggal. Bayangkanlah bagaimana pentingnya presisi sepuluh abad yang akan datang, kalau sekarang saja apabila Anda salah memasukkan angka PIN, maka tak sepeser pun yang bisa Anda tarik dari ATM. Pemujaan pada angka membuat manusia kelu. Dan ketika kata-kata hilang dari percakapan mereka, maka burung-burung mengambilalihnya.

Di mulut burung-burung, yang sudah berkicau sejak jutaan tahun yang silam, kata-kata menemukan melodi yang membuai menghanyutkan. Burung-burung berkata-kata dengan ritme yang jauh lebih menawan dibandingkan dengan gelombang percakapan manusia zaman sekarang. Hilanglah sudah kata-kata dari perbendaharaan verbal. Dan bunyi yang tertinggal dalam komunikasi manusia hanyalah ketukan di atas keyboard.

Jakarta terkurung dalam kutukan karena kejahatan kemanusiaan yang didewakannya selama lebih dari tiga dasawarsa menjelang akhir abad keduapuluh. Ingatan kolektif penduduknya bisa lenyap. Tetapi, zaman tak pernah akan lupa bahwa pada waktu itu ratusan ribu orang dibunuh seperti tikus comberan. Anak-anak muda yang ganteng dan manis-manis, yang bercita-cita sangat sederhana, hanya sekedar untuk bisa meludah karena tak tahan mencium bau amis para penguasa yang durjana, diculik dan dilenyapkan rezim bersenjata. Mereka yang membunuh dan menculik tak pernah merasa bersalah. Hukum buat mereka hanyalah angin yang dengan gampang bisa ditepis. Orang yang seharusnya bertanggung jawab dengan lihai menghindar dari hukuman sambil meluncur-luncur di atas kursi roda. Ngelencer kesana-kemari. Aman-aman saja dengan berpura-pura kena encok.

Namun, adil ataupun tidak, zaman tak tertahankan. Dia melaksanakan hukumnya sendiri. Kota jadi terpencil dari alam sekitarnya. Daerah sekelilingnya membalas penindasan yang berpusat di kota itu dengan membangun pagar yang lebih dahsyat dari tembok Tiongkok untuk membuat kota ini terisolasi dari sinar Matahari. Kota terkurung dalam tembok. Orang-orang yang menyimpan dendam kesumat terhadap kezaliman kota ini mengharapkan dia lekas saja mati karena kekurangan vitamin D.

Berita-berita pembunuhan yang saban hari muncul di media massa dalam seribu tahun belakangan ini menunjukkan betapa murahnya harga nyawa. Seakan tak lebih bernilai dari lalat atau belatung. Teknik-teknik pembantaian lebih keji dari yang mungkin dibayangkan. Dan penduduk kota membaca berita-berita seperti itu sebagai sesuatu yang rutin. Emosi mereka tumpat. Hati mereka lebih tersentuh oleh teka-teki silang. Kepekaan menjadi tumpul. Membuat kemanusiaan berada di titik paling rendah. Kaum budayawan berdiam diri, sementara kaum politisi dan negarawan bermain-main mencari keuntungan dari situasi ini. Seribu tahun dalam pemujaan, maka pragmatisme menemukan dampaknya yang paling mencengangkan.

Karet, Tanah Kusir, Jeruk Purut, dan semua lahan pemakaman sudah lama diratakan, dan di atasnya dibangun gedung-gedung berbentuk kubis yang menyundul langit dan berdesak-desakan ke laut. Kota ini sudah tidak mengenal sejengkal tanah pun sebagai tempat pemakaman. Orang-orang kaya, yang hidup di atas angin, menguburkan diri di luar negeri, di Australia atau Afrika. Untuk tetap mensakralkan pemakaman, hanya satu perusahaan yang diizinkan beroperasi: www.kubur.com. Situs tersebut hanya dijalankan oleh seorang pebisnis dengan koneksi yang tiada terhingga dengan perusahaan penerbangan internasional. Delapan menit setelah mengklik home page itu, jenazah sudah dikebumikan di benua yang jadi pilihan.

Kemanusiaan sama dan sebangun dengan nol besar. Dan dia sudah tidak lagi memerlukan nama. Untuk menghindari kematian dini, karena kekurangan vitamin D, orang-orang yang tidak beruntung, yang mempertahankan hidup di komunitas yang pernah jaya seribu tahun sebelumnya, seperti Satu Merah Panggung, Utan Kayu, Garuda, Bambu, Lidah Buaya, dan kelompok-kelompok lain, dijadikan tumbal.

Kapitalisme memang masih harus membuktikan diri bahwa tatanan masyarakat yang diciptakannya merupakan akhir dari peradaban manusia. Tetapi, yang jelas komunitas-komunitas tadi, yang mencoba melawan arus zaman dengan membangun kelompok kehidupan sendiri yang didirikan di atas kebersamaan dan menentukan sendiri apa yang memang benar-benar mereka butuhkan, menemukan diri mereka tersisih, miskin. Kalau sudah tiba saat harus berhadapan dengan ajal, maka mereka diperlakukan tidak lebih dari sampah. Penaklukan orang-orang di atas angin terhadap mereka menjadi lengkap. Mereka dijadikan sumber vitamin D. Gubernur kota merasa telah menemukan kebijakan yang cemerlang dalam upayanya untuk membuat jasad mereka yang tersisih tidak menyebabkan bau busuk yang menyengat kota. Sepuluh detik setelah meninggal, jasad orang-orang tersisih ini sudah dikerek ke pelataran pemusnahan yang dibangun di puncak Monumen Nasional.

Gubernur dan para pembantunya beranggapan sama sekali tidak masuk akal membiarkan mayat berbulan-bulan supaya membusuk dan dimakan belatung di puncak monumen. Maka seratus ekor burung Gazgazammut diimpor dari Asia bagian tengah. Burung-burung yang berparuh besar dan tajam, dengan tembolok yang tak pernah kenyang itulah yang dalam lima menit membuat mayat orang-orang tersisih tadi tinggal tulang-belulang. Balung manusia itu kemudian dikerek turun, dimasukkan ke pabrik pemrosesan khusus untuk menghasilkan kalsium sejati. Dengan tablet-tablet kalsium ini penduduk kota O-besar-kemanusiaan memperpanjang harapan hidup mereka.


Kepekaan penduduk kota semakin majal, sementara kicau burung-burung yang semakin sarat dengan melodi bertambah memilin gita perasaan binatang itu. Dari atas pepohonan yang dibuat dari campuran besi dan plastik yang lentur dan antikarat, di mana mereka bertengger, apalagi pada saat mereka mematuki bangkai manusia yang tersisihkan di pucak monumen, hati burung-burung Gazgazammut mulai teriris-iris oleh ketidakadilan yang sedang berlangsung di bawah cakar mereka. Di kota bawah.

Suatu ketika keseratus burung-burung Gazgazammut terbang serempak dengan ujung-ujung sayap mereka saling menyentuh. Bayang-bayang mereka membuat kota di bawah jadi kegelapan. Seperti ditangkup gerhana. Sambil melayang-layang, menukik tajam, membubung tinggi menerjang langit, mereka memekik-mekik memprotes kezaliman yang dipelihara oleh kota yang terhampar di bawah.

Pada satu situs, seorang penyair memberikan tafsir mengenai apa yang sedang dilakukan oleh burung-burung yang sedang meradang dan menerjang itu. Bahwa, kota ini akan binasa kalau pemusnahan terhadap sesama manusia dalam bentuknya yang paling bengis tidak dihentikan. Tetapi, seperti kode judi hwa-hwe dahulu kala, kata-kata bisa dipahami dalam rupa-rupa pengertian. Makna maupun tafsirnya beragam. Jadi, siapa yang mau mendengar kicau si-penyair. Sementara penguasa kota tak peduli dengan tanda-tanda alam.

Keesokan harinya kawanan burung Gazgazammut mengepak-ngepak berbarengan di atas kota. Jeritan mereka menyebarkan ngeri, memekakkan telinga penduduk. Mereka berputar-putar di atas monumen, di mana dua jasad manusia terletak di atas altar menunggu burung-burung itu melumatkan daging mereka. Namun, burung-burung itu hanya berputar-putar persis di atas mayat. Memekik-mekik. Lantas mereka terbang beringsut menjauhi mayat, kembali ke sarang mereka di pohon-pohon buatan yang ditancapkan di Teluk Jakarta.

"Katakanlah dengan semangat kesetiakawanan, apakah yang kita lakukan ini bisa dimaafkan sejarah," kicau seekor burung Gazgazammut yang ragu dengan perlawanan burung-burung sebangsanya terhadap kebijakan Gubernur kota dan para pembantunya. Suaranya berat dan parau. Menggugah tapi liris.

"Dengan menjunjung tinggi dan atas nama langit ketujuh, kita berhak menolak untuk mematuki jenazah," sambut suara di tengah kerumunan burung itu.

"Tapi itu hanya akan memperburuk keadaan. Membuat busuk dan meracuni angkasa. Membikin manusia yang tersisihkan di kota ini akan terserang kolera dan semakin sengsara."

"Kolera sudah lama dikalahkan manusia."

"Ya, sama seperti TBC atau cacar atau malaria, kolera bisa menyebar kembali di kalangan penduduk. Apalagi pembiaknya adalah mayat manusia."

Seekor dari seratus burung Gazgazammut itu, sambil tegak di atas cakarnya yang kokoh, dengan sayap setengah terentang, mengalunkan suara: "Kita telah dibawa ke kota yang sedang tenggelam dan terkurung ini untuk dijadikan perangkat pemisah antara manusia yang beruntung dan yang tersisihkan. Apakah kita tak boleh mempergunakan hak kita untuk tak terlibat dalam kejahatan kemanusiaan ini? Kuat suara hatiku bahwa kita berhak untuk terbang kembali ke tanah air kita. Ke jantung Asia. Jangan terbetik rasa khawatir barang seujung rambut pun bahwa kita akan tersesat dalam penerbangan pulang." Matanya yang bening tajam menaksir-naksir sikap burung yang lain.

Burung yang kelihatan paling berwibawa itu lantas membujuk: "Aku tahu arus angin mana yang harus kita ikuti untuk sampai ke pohon-pohon yang murni hijaunya, dari mana kita telah dirampas, diperjualbelikan. Kembangkan sayap! Terjang dan ikuti angin buritan ini," katanya membujuk.

Beberapa detik kemudian, rrrruuuuummmm, suara kepak sayap mereka memenuhi angkasa. Taji di kedua kaki mereka yang kokoh bersiung-siung menerjang angin. Kawanan burung itu lenyap ke arah Utara. Tanpa sinar Matahari, mayat di atas monumen membusuk dengan cepat. Kota dicekik bau bangkai.

Sebenarnya, para penguasa tidak menemukan kesulitan untuk menyewa ahli dari luar untuk melenyapkan mayat-mayat kaum tersisih di kota itu menjadi setumpuk abu. Tetapi, masalahnya mereka memerlukan simbol kemenangan atas kaum tersisih. Mereka tak mau kehilangan kepuasan dengan menelan tablet-tablet kalsium yang dibuat dari tulang-belulang orang yang mereka kalahkan. Mereka hendak mempertahankan simbol kejayaan itu. Jadi, mereka membiarkan belatung yang mengerubuti mayat-mayat kaum tersisih. Tanpa menghiraukan protes penduduk.

Saya sendiri sudah lama menyingkir dari kota ini. Bersama teman-teman kami membangun pulau dari bangkai daun dan akar pohon yang hanyut dari hulu Sungai Siak. Sampah alami dari hutan-hutan yang dibabat ratusan tahun yang lalu cukup untuk membangun sehamparan daratan di mulut Sungai Siak yang selalu ternganga sampai ke tepi laut yang tak tampak. Semut sudah sirna dari kulit bumi, kecuali di wilayah aliran sungai ini. Perut mereka yang rata-rata sangat ramping, ditambah lagi dengan kesukaan mereka bergotongroyong, dianggap sebagai simbol perlawanan terhadap keserakahan. Ini ejekan permanen. Karena itu harus dibasmi. Beginilah aksioma zaman sekarang: kebajikan justru membawa bencana. Maka, pulau buatan yang sederhana ini kami namakan Pulau Penyemut, untuk mengabadikan kearifan semut yang mengilhami.

Read More..
 
kumpulan-cerpen Peradilan Rakyat

Peradilan Rakyat

Cerpen Putu Wijaya
Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.

"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."

Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.

"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."

"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."

Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.

"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."

Pengacara tua itu meringis.
"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.

"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."

Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.

"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."

"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.

Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.

Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."

Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.

"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."

"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.
Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?"

Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."

Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."

Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
"Jadi langkahku sudah benar?"
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.

"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"

"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.

"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."

"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."

"Tapi kamu akan menang."
"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."

"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."

Pengacara muda itu tertawa kecil.
"Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"

Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"

"Bukan! Kenapa mesti takut?!"
"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"

"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"

Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.

"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."

"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"

"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.

Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."

Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."

Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.

"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
"Tapi..."

Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."

Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.

"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."

Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.

Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.

"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?" ***

Cirendeu 1-3-03

Malam-Malam Nina

Cerpen Lan Fang

Ini sudah hari ke empat Nina kelihatan murung. Kian hari wajahnya semakin mendung dengan mata nanar dan bisu. Kerjanya setiap hari bangun dengan masai lalu duduk termenung.

Sebetulnya itu bukan urusanku. Karena Nina bukan siapa-siapaku. Ia hanya menyewa sebuah kamar di rumahku. Ia tinggal bersamaku baru dua bulan ini. Tetapi entah kenapa aku langsung menyukainya.

Rumahku tidak terlalu besar. Juga tidak terlalu bagus. Sederhana saja. Rumahku berada di kampung yang dindingnya rapat dengan tembok rumah sebelah. Ada tiga kamar kosong. Tetapi aku tinggal sendirian. Karenanya aku menyewakan kamar-kamar kosong itu untuk menunjang hidupku di samping aku membuka sebuah warung kelontongan kecil di depan rumah.

Penghuni kamar pertama adalah Anita. Ia cantik dan selalu wangi karena ia bekerja sebagai seorang beauty advisor kosmetik terkenal di counter kosmetik sebuah plaza megah. Anita supel, periang dan pandai berdandan.

Kamar kedua dipakai oleh Tina. Ia juga cantik. Katanya ia bekerja di sebuah restaurant. Tetapi yang mengantarnya pulang selalu bukan laki-laki yang sama. Kepulan rokok mild juga tidak pernah lepas dari bibirnya yang seksi.

Tetapi aku bukan tipe pemilik kost yang rese’. Mereka kuberi kunci pintu supaya bila pulang larut malam tidak perlu mengetuk-ngetuk pintu dan membuatku terganggu. Aku tidak terlalu pusing dengan apa pun yang mereka kerjakan. Toh mereka selalu membayar uang kost tepat waktu. Bukan itu saja, menurutku, mereka cukup baik. Mereka hormat dan sopan kepadaku. Apa pun yang mereka lakoni, tidak bisa membuatku memberikan stempel bahwa mereka bukan perempuan baik-baik.

Nina datang dua bulan yang lalu dan menempati kamar ketiga. Kutaksir usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Paling-paling hanya terpaut dua tiga tahun di bawahku. Ia tidak secantik Anita dan Tina, tetapi ia manis dan menarik dengan matanya yang selalu beriak dan senyumnya yang tulus. Ia rapi. Bukan saja kamarnya yang selalu tertata, tetapi kata-katanya pun halus dan terjaga. Ia membuatku teringat kepada seorang perempuan yang nyaris sempurna. Perempuan di masa lampau yang…ah…aku luka bila mengingatnya.

Oh ya, Nina juga tidak pernah keluar malam. Ia lebih banyak berada di rumah, bahkan ia tidak segan-segan membantuku menjaga warung. Kalaupun ia keluar rumah, ia akan keluar untuk tiga sampai empat hari setelah menerima telepon dari seseorang laki-laki. Laki-laki yang sama.

Bukan masalah kemurungannya saja yang aneh bagiku. Tetapi sudah dua minggu terakhir Nina tidak pernah keluar rumah. Bahkan tidak menerima atau menelepon sama sekali. Yang tampak olehku hanyalah kegelisahan yang menyobek pandangannya. Dan puncaknya adalah empat hari terakhir ini.

"Nina, ada apa? Beberapa hari ini kamu kelihatan murung…," aku tidak bisa mengerem lidahku untuk bertanya, ketika kami hanya berdua saja di rumah. Warung sudah tutup pukul sepuluh malam. Anita dan Tina belum pulang. Tetapi Nina kulihat masih termangu dengan mata kosong.

Ia menoleh dengan lesu setelah sepersekian menit diam seakan-akan tidak mendengarkan apa yang aku tanyakan. Kemurungan tampak menggunung di matanya yang selalu beriak. Tetapi ia cuma menggeleng.

"Apa yang sekiranya bisa Mbak bantu?" aku tidak peduli andai ia menganggapku rese’.

Lagi-lagi hanya gelengan. Ia masih duduk seperti arca membatu. Tapi mampu kubaca pikirannya gentayangan. Rohnya tidak berada di tubuhnya. Entah ke mana mengejewantah.

Nina memang tidak pernah bercerita tentang dirinya, tentang orang tuanya, asalnya, sekolahnya, perasaannya, atau tentang laki-laki yang kerap meneleponnya. Aku sendiri juga tidak pernah menanyakannya. Mungkin ada hal-hal yang tidak ingin dia bagi kepada orang lain. Maka biarlah ia menyimpannya sendiri. Bukankah aku juga seperti itu?

Sepi terasa lindap, seakan menancapkan kuku-kukunya mengoyak angin yang terluka. Hening itu benar-benar ada di antara aku dan Nina. Aku merasa tersayat. Karena sunyi seperti ini sudah kusimpan lima tahun lamanya. Kenapa sekarang mendadak hadir kembali?

Lalu aku bangkit dari dudukku, mengambil satu seri kartu sebesar kartu domino. Tetapi yang tergambar bukan bulatan-bulatan merah. Tetapi berbagai macam bentuk berwarna hitam. Aku menyimpannya sudah lama. Sejak mataku selalu berembun, lalu embun itu menitik di ujung hati. Sejak sepi yang tanpa warna mulai mengakrabi aku. Sejak itulah aku mulai berbagi resah dengan kartu-kartu ini. Mereka banyak memberiku tahu tentang apa saja yang aku ingin tahu.

Anita dan Tina sering melihatku bermain dengan kartu-kartuku di tengah malam ketika mereka pulang. Sejak melihatku bermain dengan kartu-kartu ini, mereka juga sering ikut bermain. Ada saja yang mereka ceritakan padaku melalui kartu-kartu ini. Jualan yang sepi, para langganan yang pelit memberikan tips sampai kepada pacar-pacar mereka yang datang dan pergi.

Aku menyulut sebatang dupa India. Aromanya semerbak langsung memenuhi ruangan. Aku suka. Setidaknya mengusir hampa yang sejak tadi mengambang di udara. Kukocok setumpuk kartu itu di tanganku. Kuletakkan di atas meja di depan Nina.

"Mari, temani Mbak bermain kartu. Ambillah satu…," ujarku.
Mata Nina memandangku. Bibirnya tetap rapat. Tetapi matanya mulai berembun. Dengan sebuah gerakan lamban tanpa semangat ia mengambil sebuah kartu. Lalu membukanya.

"Ah! Hatimu sedang kacau, sedih, kecewa, tidak menentu. Kau terluka," gumamku ketika melihat kartu yang dibukanya.

Seperti aku dulu…, aku melindas gelinjang rasa yang sudah lama kupendam.
Aku mulai membuka kartu-kartu berikutnya. "Kau sedang memikirkan seseorang,…ah bukan…kau merindukannya…penantian… jalan panjang…menunggu…kau menunggu seorang laki-laki?"
"Ya," suaranya gamang terdengar seperti datang dari dunia lain.

Kuteruskan membuka kartu-kartu itu. "Menunggu… halangan… perempuan…dia beristri?" kutanya ketika tampak olehku gambaran seorang perempuan di atas kartu itu.
"Ya," kali ini suaranya seperti cermin retak berderak. Ia luka sampai seperti sekarat.

Kurasakan derak-derak itu sampai menembus batinku. Kenapa seperti yang pernah kurasakan lima tahun lalu?
"Kamu mencintainya, Nina?"
"Amat sangat!" kali ini ia menjawab cepat.

Kuhela napas panjang. Kubiarkan kartu-kartu berserakan di antara aku dan Nina. Kulihat jantungnya seperti bulan tertusuk ilalang.

"Tetapi ia mengecewakanku, Mbak. Ia mengkhianati aku." Ia tidak mampu lagi menyembunyikan suara gemeretak hatinya yang bagaikan bunyi tembikar terbakar.

"Ia mengkhianati kamu? Bukannya ia yang mengkhianati istrinya? Bukankah ia sudah beristri?" aku bertanya, berpura-pura bodoh karena berusaha menyingkirkan masa lalu yang mulai menggigiti sanubariku. Perih itu masih terasa.

"Ya. Dia beristri. Tapi istrinya jahat sekali. Ia ingin meninggalkannya. Ia mencintaiku. Kami punya rencana masa depan," jawabnya naïf dan lugu.

Astaga! Seperti itukah diriku lima tahun silam? Aku benar-benar seperti melihat cermin diriku.

Kepulan asap dupa melemparku ke kepulan asap lain yang sama pekatnya lima tahun yang lalu. Aku berada di dalam kepulan-kepulan asap rokok tebal dari mulut para lelaki berduit yang kutemani duduk-duduk, minum, sampai ke kamar tidur. Para lelaki yang mabuk kepayang karena kecantikanku sebagai primadona di sebuah wisma di kompleks hiburan malam. Para lelaki kedinginan yang butuh kehangatan. Para lelaki kesepian yang butuh pelukan. Para lelaki yang tidak tahu lagi ke mana bisa menghamburkan uang mereka yang berlebihan.

"Istrinya jahat bagaimana? Namanya istri ya wajar saja dia tidak suka kalau suaminya berhubungan dengan perempuan lain," sahutku enteng atau tepatnya aku sudah terbiasa untuk "mengenteng-entengkan" jawaban yang ujung-ujungnya akan membuatku terluka. "Yang salah, ya suaminya. Sudah beristri kok masih bermain api. Tetapi namanya laki-laki ya begitu…," sambungku pelan.

Laki-laki memang begitu, desahku. Laki-laki memang suka bermain api. Laki-laki memang suka mendua. Seperti para lelaki yang datang dan pergi di atas ranjangku. Mereka terbakar hangus gairah memberangus, haus sampai dengus-dengus napas terakhir. Lalu mereka pergi setelah sumpalkan segepok uang di belahan dadaku.

"Tetapi Bayu tidak seperti itu!" sergah Nina cepat. "Bayu mencintaiku, Mbak! Ia tidak akan meninggalkanku."

Ya! Prihadi juga tidak seperti laki-laki lain. Ia juga mencintaiku. Prihadi tidak seperti laki-laki lain yang meniduriku dengan kasar. Ia bahkan sangat lemah lembut untuk ukuran "membeli" kehangatan dari seorang perempuan seperti aku. Karena Prihadi, maka aku tidak mau menerima tamu yang lain. Ia menginginkan aku hanya untuknya, maka ia membeli dan menebusku dari induk semangku. Lalu ia membawaku keluar dari wisma itu dan membelikan aku sebuah rumah kecil. Ia pahlawan bagiku. Ia tidak meninggalkanku. Bahkan memberikan benih kehidupan baru yang tumbuh di dalam tubuhku. Aku bahagia sekali. Tetapi kemudian aku memutuskan untuk meninggalkannya.

Kuputuskan untuk meninggalkan Prihadi ketika istrinya datang menemuiku dengan begitu anggun dan berwibawa. Berhadapan dengan perempuan yang begitu berkilau, tinggi, langsing dengan kulit kuning, ayu dengan wajah priyayi, tutur katanya lemah lembut, membuatku benar-benar merasa rendah dan tidak ada artinya. Ia sama sekali tidak menghardik atau mencaci-makiku. Ia sungguh nyaris sempurna untuk ukuran seorang perempuan, kecuali…belum bisa memberikan anak untuk Prihadi!
"Kamu Ningsih? Aku istri Prihadi. Namaku Indah."
Oh, ia sungguh-sungguh seindah namanya.

"Aku tahu hubunganmu dengan suamiku," ujarnya dengan menekankan benar-benar kata "suamiku" itu. "Dan aku tahu kamu pasti perempuan baik-baik," lagi-lagi ia memberikan tekanan dalam kepada kata-kata "perempuan baik-baik" yang jelas-jelas ditujukannya kepadaku. "Sebagai perempuan baik-baik, kamu seharusnya tidak menjalin hubungan dengan laki-laki yang sudah beristri…dengan alasan apa pun," kali ini ia menekankan setiap kata-katanya sehingga membakat wajahku terasa panas.

"Nina, sebagai perempuan baik-baik, seharusnya kamu tidak berhubungan dengan laki-laki yang sudah beristri…dengan alasan apa pun…," aku mengulangi kalimat yang kusimpan lima tahun yang lalu untuk Nina. Sebetulnya itu klise, bukan? Hanya sekadar untuk menutupi gundah gulanaku yang entah kenapa merayapi seluruh permukaan batinku.

"Tetapi, Mbak, Bayu mencintaiku…," Nina menjawab. Jawaban itu juga yang kuberikan lima tahun yang lalu kepada perempuan yang nyaris sempurna itu.

Tetapi ketika itu, ia justru memberikan senyum manisnya. Ia benar-benar tanpa ekspresi marah. "Laki-laki biasa seperti itu. Tetapi kamu kan perempuan baik-baik. Walaupun Prihadi menggoda, mengejar dan mencintaimu, tetapi bukankah sudah sepantasnya kamu menolaknya? Kamu kan tahu kalau dia sudah beristri?" lagi-lagi ia membuatku pias.
Aku berusaha mem-photocopy kata-kata usang itu untuk Nina.
"Tetapi aku juga mencintai Bayu," ia melenguh getir.

Kurasakan getir yang sama ketika aku memberikan jawaban itu pula kepada istri Prihadi. Bahkan waktu itu aku masih memberikan tambahan jawaban. "Aku mengandung anak Prihadi…." Kuharap dengan jawabanku itu ia tidak akan mengusik perasaanku dengan kata-katanya yang lemah lembut tetapi terasa menampar-nampar.

"Baiklah, aku mengerti kalau kamu mencintai Prihadi," ia tertawa pelan tetapi sungguh terasa kian menusuk-nusuk.
Astaga! Ia tertawa! Terbuat dari apakah perempuan ini?

"Kalau kau mencintai seseorang, maka kau akan melakukan apa saja yang akan membuatnya bahagia kan?" Ia pandai sekali bermain kalimat. Sebentar kalimat pernyataan, sebentar kalimat tanya. Tetapi tidak ada satu pun dari kalimatnya yang membakatku merasa nyaman.

Hei! Konyol benar! Sudah syukur-syukur ia tidak memaki-makimu…, cetus batinku.
"Ya, aku akan melakukan apa saja untuk membuat Prihadi berbahagia."

"Nah, kau tahu kalau Prihadi adalah tokoh masyarakat yang cukup terkenal dan disegani di kota ini, kan? Ia memiliki kedudukan, kekayaan, karisma, dan nama baik. Apakah bisa kau bayangkan bagaimana reputasi Prihadi kalau sampai terbongkar mempunyai hubungan dengan perempuan lain…dan bahkan mempunyai anak di luar nikah?"

Oh…ia mempunyai tata bahasa yang sempurna! Ia sama sekali tidak menggunakan kata-kata kasar. Ia memakai istilah "mempunyai hubungan dengan perempuan lain", ia tidak mengatakan "mempunyai simpanan bekas pelacur", ia mengatakan "anak di luar nikah", ia tidak mengucapkan "anak haram". Apakah itu berarti ia menghargaiku? Tetapi kenapa aku justru tidak merasa dihargai? Aku justru merasa dipermalukan. Ataukah memang pantas aku dipermalukan?
"Bagaimana? Apakah situasi itu akan baik untuk Prihadi?"
"Tidak," aku tidak mempunyai pilihan lain kecuali kata-kata itu.

Ia tertawa pelan tetapi kali ini benar-benar seperti tawa seorang algojo yang berhasil memengal kepala seorang tawanan yang sama sekali tidak melawan.

"Lalu bagaimana caramu untuk membuat Prihadi bahagia? Kamu tidak mau merusak semua yang sudah dimiliki Prihadi, kan?" Ia benar-benar algojo yang sempurna. Ia memenggal kepalaku tanpa rasa sakit sedikit pun.

Tinggal aku yang menggelepar, terkapar, tanpa pernah merasa sekarat meregang nyawa.

"Kalau kamu mencintai Prihadi, tinggalkan dia, gugurkan kandunganmu. Kamu pergi jauh dan memulai kehidupan baru. Aku akan membantumu. Kamu cantik sekali, Ningsih. Aku yakin, tidak akan sulit bagimu untuk mencari laki-laki baik yang belum beristri," ia menutup eksekusinya dengan kata-kata pelan tetapi penuh tekanan. "Jelas? Kuharap kamu cukup pandai untuk bisa mengerti semuanya," tandasnya.

Lalu tidak banyak yang bisa kubantah ketika ia "membantuku" menyelesaikan semuanya. Ia melakukan transaksi jual beli atas rumah yang kutempati. Ia menggantinya dengan sejumlah uang yang lebih dari cukup. Ia mengantarku ke dokter dan membayar semua ongkos "mengeluarkan" calon kehidupan yang bersemayam di tubuhku. Ia membelikan aku tiket pesawat. Ia mengantarku sampai ke bandara. Ia memeluk dan mencium pipiku, lalu berbisik, "Selamat menempuh hidup baru, Ningsih. Tolong, jangan ganggu kehidupan Prihadi. Terima kasih atas pengertianmu. Kamu memang perempuan yang baik…"
Oh! Ia benar-benar perempuan yang sempurna!

Sampai pesawatku tinggal landas, aku tidak bisa menitikkan air mata sama sekali. Apa yang perlu kutangisi? Perempuan itu tidak memaki atau menghinaku. Bahkan ia "membantuku" dan memberiku banyak uang untuk memulai kehidupan baru di kota yang jauh dari mereka. Terasa jutaan sembilu menikam-nikam. Hatiku terasa sakit tetapi mataku hanya bisa mengembun.

Sejak itu, aku berteman dengan kartu-kartu ini. Kartu-kartu ini pemberian induk semangku. Aku belajar dari dia membaca kartu-kartu ini. Dahulu, dari kartu-kartu ini, aku tahu apakah aku akan mendapat banyak tamu atau tidak? Apakah Prihadi akan datang atau tidak.
Ah, kutepis nama itu cepat-cepat.

Aku melanjutkan jalannya kartu-kartu yang masih berserakan di atas meja. Aku tidak mau mengingat masa lalu yang sudah sekian lama kukubur. Aku tidak mau menoleh ke belakang karena sangat menyakitkan. Toh, dengan uang yang kubawa, aku bisa membangun kehidupan baru, membeli rumah ini, membuka warung kecil, menerima kos-kosan, bertemu Nina…

"Halangan…rintangan…rindu…ah…ia tidak mempunyai uang!" Aku berusaha mengalihkan rasa lukaku dengan membaca kartu-kartu Nina. Lagi-lagi ramalan itu yang kubaca dari kartu-kartu yang bertebaran. "Bingung…perempuan…halangan…Ia merindukanmu juga. Tetapi ia bingung bagaimana harus menghadapi istrinya," cetusku.

Nina tertawa sumbang. "Bayu memang tidak punya uang. Istrinya yang kaya. Istrinya yang memegang kendali perusahaan. Istrinya sudah mengetahui hubungan kami. Dia lalu mengusirnya keluar dari perusahaan. Sekarang ia menghindar dariku, Mbak! Ia lebih mencintai kekayaan istrinya daripada perasaanku!"

"Bayu mengecewakanku, Mbak," sentaknya. Kali ini embun-embun di matanya berguguran menjadi rintik hujan. Mengalir deras menganak di lekuk-lekuk pipinya. "Bayu menipu hatiku, Mbak! Ia takut tidak bisa hidup kaya bila pergi bersamaku. Aku benci padanya!" Hujan itu sudah menjadi badai. Riuh rendah bergemuruh seakan puting beliung yang akan merubuhkan apa saja. Lara berkubang seperti seonggok daun-daun gugur di matanya yang tersayat.
"Apa yang kau inginkan darinya?"
"Aku ingin dia sakit…sesakit yang kurasakan!"

Aku tercenung. Sesakit itu pula yang pernah kurasakan. Betapa rasa benci itu melebihi rasa sakit. Aku juga benci setengah mati kepada Prihadi. Kenapa ia tidak mencariku kalau ia mencintaiku? Kenapa sejak istrinya yang begitu sempurna itu menemuiku, ia juga tidak pernah muncul? Lalu ketika istrinya "membantuku" untuk menyelesaikan semuanya, ia juga tidak ada kabar berita? Padahal sudah kucari seakan sampai ke ujung dunia. Apakah itu sudah merupakan kesepakatan mereka berdua?

Akhirnya, aku merasa pencarianku sia-sia. Ia kucari sampai ke ujung mimpi. Kubatin, kupanggil, kunanti, dengan seluruh pengharapan dan kerinduan. Tetapi ruang hampa yang kudapati. Sehingga, kuputuskan untuk bersahabat saja dengan rasa benci dan rasa sakit. Mungkin akan menjadi lebih ramah dan menyenangkan. Ternyata benar. Membenci lebih mudah daripada memaafkan. Sakit lebih nikmat daripada pengharapan. Jadilah rasa benci dan sakit yang kusimpan untuk Prihadi.

Malam demi malam, kusumpahi kandungan perempuan yang nyaris sempurna itu. Aku tidak rela menggenapi kesempurnaannya sebagai seorang perempuan dengan seorang anak, sementara ia menyuruh dokter untuk menyendok dengan mudah sebiji kacang hijau kecil di dalam rahimku. Biarkan ia juga menikmati sepi yang sama seperti sepi yang dibelikannya untukku.

Sejak malam itu, malam-malam Nina juga menjadi sibuk. Nina menjadi sangat menyukai malam seperti aku. Setiap malam, ia mengirimkan rasa sakit yang dirasakannya kepada Bayu.

Read More..
 
cerpen Nembak Cowok Duluan

Bakso itu cuma kumainin, Daging bulat bercampur tepung itu ngglundung kesana-kamari di dalam mangkok terdorong garpu yang ku pegang. Mataku tak berkedip melihat Dedi, temen sekolahku yang cute habis. Ya emang dia cekep kayak brad pit, dan saat di kantin seperti inipun dia selalu menebar senyumnya yang penuh pesona itu. Aku lagi bingung gimana caranya jadi ceweknya si Dedi, padahal kami sudah kenal lama, sejak kelas satu SMU gitu loh.
Sebenarnya aku cukup pede karena banyak temenku yang bilang aku maniez, rambut panjang, kulit putih (narsis mode:on). Tapi kok si Dedi gak pernah ngajak aku jalan ya, padahal aku sudah menebar sinyal yang kuwat kayak indosat. Masalahnya sih emang doi suka bergerombol ama temen2nya sehingga gak pernah ada kesempatan buat aku dan dia berdua. So sekarang aku harus merancang strategi supaya bisa berduaan trus aku harus ngomong suka ma dia. Habis gimana lagi, ntar keburu kami lulus, dan gak ketemu deh. Lagian bangku kuliah kan banyak cewek2 yang lebih menggoda, jadi harus dikapling dulu. Malu juga sih kalo nembak duluan, tapi sekarang kan jamannya emansipasi, tapi aku harus memikirkan cara nembak yang paling elegan, jadi malunya gak banget2. Cara pertama yang kupikirkan adalah nembak pas tanggal satu April..Jadi kalo diterima syukur..kalo ditolak tinggal bilang “April MOP” hihihi jadi gak tengsin. Kayaknya gak banget deh..kurang kreatip, mungkin aku harus pake cara kedua yaitu minta dijodohin ama bokap nyokap, kan dah kenal ma bokap nyokapnya Dedi, secara kami tetanggaan, …kayak di sinetron.. gak ah..siapa yang mau kawin?.Duh gimana ya.. ah pake cara biasa aja, ajak ngobrol berdua..
Singkat cerita kami akhirnya bisa ngobrol berdua, di bawah temaram lampu, warung makan. Sementara diluar hujan turun dengan lebatnya.
“Mo ngomong apa sih, kok kayaknya serius banget?” , Dedi mulai gak sabar karena dari tadi aku cuma diem. Lagi bingung mo mulai kata-katanya gimana.
“Ded, lo tau ga kita udah kenal berapa tahun? “
“Kenapa emangnya?”
“Aku mo cerita, tapi ini rahasia kamu gak boleh bilang siapa2”

Read More..
 
Cerpen Romantis-Cewek bayangan

Dug..Dug..Dug! “Pa,suara apa tuh?kayaknya berasal dari kamar Andra!”Mama Andra yang sedang panic segera mengajak papa Andra ke kamar Andra.Mereka terkejut melihat pemandangan di kamar Andra.“Dra,ngapain kamu benturin kepala kamu trus?”Mama Andra yang tak tahan melihatnya segera menahan Andra dan memeluknya disusul oleh papa Andra.“Andra gak tahan lagi ma.Kepala Andra sakit banget.”keluh Andra dengan wajah seputih kapas.”Sabar ndra.Kata dokter kamu pasti sembuh kok,Cuma kamu perlu sabar ndra menghadapi sakitnya”ucap papa Andra dengan nada penuh kasih sayang.Andra pun terdiam. *****Beberapa hari kemudian...”Ma,Andra boleh jalan-jalan di taman bentar ga?””Tapi ndra kamu kan masih dalam proses penyembuhan””Hari ini andra lagi merasa fit banget nih.Boleh yah,ma?Andra bosen nih di kamar terus”pinta nya seperti anak kecil.”Yaudah,deh.tapi kalo mulai gak enak badan kamu harus segera pulang yah””Sip deh,ma”Andra pun berjalan-jalan di taman dekat rumahnya.Fiuh..akhirnya aku bisa menghirup udara segar lagi,pikirnya dalam hati.Sambil meregangkan otot tubuhnya ia melihat ada bayangan sesosok gadis di sekitarnya tetapi ketika didekati bayangan itu langsung menghilang.Ah,mungkin pengaruh obat yang kuminum...Tiba-tiba seorang gadis menghampirinya.”Hai Andra.Kamu lagi ngapain nih?”Sapa gadis itu dengan senyum manisnya.”Kamu siapa yah?memang kita kenal?””Oh,iya kita kan belum kenalan yah..hehehe!Aku Cassandra.Aku kenal sama mama kamu.Mama kamu sering cerita tentang kamu loh.Aku tau kamu suka makan nasi capcay kan?trus kamu tuh paling suka basket.Di kamar kamu aja ada bantal yang gak pernah dicuci kan sejak kamu umur 5 tahun.Soalnya kalo gak ada bantal itu kamu gak bisa bobo?hehe””Stop..Stop..cukup!Aneh banget sih mama cerita tentang anaknya ampe sedetil itu.bikin aku malu aja”Ucap Andra pura-pura ngambek.”Andra kalo ngambek lucu deh!”goda Cassandra sambil mencubit pipi Andra.Andra pun balas lalu tersenyum puas.”Akhirnya bisa lihat kamu tersenyum lagi dra””Aku kan sengaja gak senyum takut tar cewek-cewek pada naksir lagi..hehehe””Yee..narsis kamu!:”Semenjak obrolan pada hari itu mereka pun semakin akrab.Bersama Cassandra,ia dapat menceritakan segalanya termasuk tentang penyakitnya.”Sand,sepertinya Tuhan sengaja mempertemukan kamu dengan aku yah.Apakah setelah aku sembuh nanti kita bisa melanjutkan hubungan ini ke tahap yang lebih serius”tanya Andra dengan tatapan serius.Sayangnya,Cassandra menghindari tatapan mata itu.ia pun mengalihkan pembicaraan.”Kamu tuh enak yah.Punya orangtua yang selalu menemani kamu dari kecil.”ungkap na dengan wajah murung.”Iya sih.Tuhan malah nambahin lagi satu malaikat buat nemani aku.Ngomong-ngomong gimana jawaban kamu atas pertanyaan aku yang tadi.Kamu mau kan jadi pacar aku setelah sembuh nanti.”Cassandra tidak langsung menjawabnya.”Kita lihat saja nanti.Pokoknya kamu mesti sembuh yah!”ucapnya dengan senyum yang tampak aneh”Aku pasti sembuh kok”Andra pun merangkul bahu nya kemudian mereka pulang ke rumah masing-masing.Dan tanpa disadari Andra,itu merupakan pertemuan terakhir mereka.Proses penyembuhan penyakit Andra pun berkembang dengan cepat.”Mama dan papa senang sekali kamu sudah sembuh sekarang””Ini kan berkat kasih sayang papa dan mama.Oh,iya ini juga berkat Cassandra.Dia lah yang memberiku semangat hidup.Aku ingin sekali memperkenalkan nya pada kalian.Anaknya cantik,kulitnya putih,tingginya sebahuku.Sayang sudah seminggu lebih aku tidak melihatnya.Apakah mama tau dia pergi kemana?””Cassandra itu siapa yah?Mama tidak punya kenalan yang namanya Cassandra kok.Setau mama juga disekitar sini gak ada yang namanya Cassandra.””Aneh,deh..katanya dia kenal ama mama dan mama suka cerita ama dia tentang aku makanya dia bisa tau semua tentang aku.Kalo gak salah nama panjang nya Cassandra Geovani.Masa mama gak kenal?””Apa??Cassandra Geovani KAN...”mama terliohat shock mendengar nama itu.Mereka berdua pun mendadak mukanya menjadi pucat.Mama lalu menangis histeris.Akhirnya papa buka suara.”Cassandra itu adik kembar kamu yang meninggal 1 tahun lalu.Dari ciri-ciri yang kamu beritahukan tadi tak salah lagi dia itu kembaran mu.”Apa?Adik kembar?sejak kapan aku punya adik kembar.Saking shocknya kata-kata itu tidak mau keluar dari mulutnya.”Maafkan kami ndra.Papa dan mama bersalah telah memisahkan kalian.Dari dulu kami percaya akan mitos bahwa anak kembar cowok dan cewek tidak boleh tinggal bersama karena kelak kalian akan jatuh cinta.Apalagi nenekmu terus memaksa untuk memisahkan kalian.Karena kondisi kamu waktu kecil sakit-sakitan maka kami lebih memilih kamu untuk tinggal bersama sedangkan Cassandra tinggal bersama nenek.Kami berencana memberitahu hal ini ketika kau t6elah menikah tapi ternyata dia meninggal karena kecelakaan mobil saat berpergian dengan teman-temannya.Kami ingin memberitahu mu tapi sayngya pada hari itu juga kamu divonis terkena kanker otak.Kami tidak tega memberitahukannya.”jelas papa panjang lebar dengan muka bersalah.”Maafkan mama dan papa,ndra.Kami sungguh menyesal”Mendengar itu semua Andra hanya terdiam.Semua perasaan berkecamuk dalam dirinya.Jadi selama ini dia mencintai adik nya sendiri!!ooh..sungguh sempit dunia ini.Tiba-tiba Andra melihat bayangan Cassandra yang makin menjauh sambil mengatakan”ndra maafin mama dan papa.Aku juga udah maafin mereka.Jaga mereka yah”Bayangan itupun menghilang.Andra lalu memeluk kedua orang tua nya lalu menangis bersama....

Read More..
 
Cerpen PERJALANAN

Malam yang hening, nyanyian alam telah menyumbangkan keindahan tersendiri untuk dunia. Kerlip lilin dan hiasan pohon natal adalah warna yang paling menonjol. Saat itu papa sedang memimpin ibadah Natal di Jemaat Pniel Bayangkara Kalimantan Timur. Jauh di pedalaman....
Inilah kehidupan rantau yang teramat indah untuk dikenang. Sebuah anugerah yang tak terhingga. Malam istimewa, semua bersukacita memperingati kelahiran Kristus.
Akh.. Mama yang sedikit sedih tak bisa merayakan natal bersama keluarga dan persekutuan di gereja karena mama sedang mengandung diriku. Ohh... Ternyata malam itulah aku meniupkan nafas pertama kali ke dunia ini.
Di atas mimbar papa berkhotbah tentang kelahiran Kristus dan di rumah mama sendirian, juga berjuang untuk kelahiranku. Akhirnya aku selamat lahir tepat tanggal 25 Desember 1980. Dan resmilah namaku Christmas (yang artinya Hari Natal). Untuk mengabadikan marga keluarga papa... Kakek tersayang Pdt. Zeth Pamangin menambahkan marga Pamangin di belakang namaku. Lengkapnya Christmas Pamangin. Akh... sebuah nama bagi Shakespeare mungkin tidak ada artinya namun bagiku itulah wujud paling dekat dan sederhana betapa mulianya harapan keluarga untuk anak yang dicintainya.
Medio April 1986
Perusahaan tempat papa bekerja habis kontrak dan mau tidak mau papa harus pindah ke Samarinda. Saat itu kakek di Toraja meninggal dan akan disemayamkan. Berat!! Betapa beban keluarga bertambah. Akhirnya kami sekeluarga "dievakuasi" mudik ke kampung. Dan dengan kesendiriannya Papa berjuang di Samarinda.
1986-1990
Petualangan papa di rantau membawanya melanglangbuana ke berbagai daerah. Dari Samarinda papa dipindahkan ke Malinau. Bayanngkan. Rindunya menyatu dengan keluarga secara lengkap. Saat-saat itu hidupku banyak ditempa alam Tana Toraja. Masa kecilku adalah masa bergaul dengan sawah, sungai kecil, ternak kerbau. Pokoknya asli deh "pa'kampong".
1992
Kerinduan Papa untuk anak bungsu sekaligus anak lelaki satu-satunya membawaku kembali ke Kalimantan (Malinau) dan menghabiskan masa SMP di sana. Adaptasi dengan lingkungan baru sungguh menyiksa sekaligus menantang. Yang penting aku bisa menyelesaikan sekolah dengan prestasi yang cukup membanggakan. Setidaknya ini juga mengurangi rasa minderku sebagai anak desa. Toh pada akhirnya aku pun bisa ngelogat di lingkungan baruku. Paling tidak, ya... sudah nggak terlalu berantakanlah.
1995
Kerinduanku pada kampung halaman memaksa papa menuruti kemauanku kembali ke Toraja. Masa sekolah di SMU Negeri 1 Rantepao sungguah asyik. Demi mewujudkan obsesiku sebagai anak yang aktif dan kreatif, aku mencoba-coba gaul di OSIS. Hingga terlibat banyak di kepengurusan OSIS sampai kelas 3. Di sinilah mental organisasiku bertumbuh. Di sini jugalah cinta pertama bersemi. Oohh... indahnya!!
Sebagai anak yang dibesarkan dari keluarga yang aktifis gereja, aku juga mencoba mengabdikan diri dalam ladang Tuhan. Menjadi pengurus PPGT di Jemaat Malango Rantepao sekaligus jabatan rangkap Ketua PPGT dan Sekolah Minggu Jemaat Sa'dan. Jiwa pemberontakku mulai terasah dari sini. Ketidakadilan dan ketidakpedulian akan pembinaan generasi muda membuatku berkali-kali berurusan dengan para presbiter.
Protes, aksi dan berbagai gaya yang kutunjukkan dalam setiap persidangan membuat para presbiter merasa panas hati. Mereka kecewa. Tapi aku tak peduli. Apapun yang terjadi itu semua demi aku dan generasiku.
1998
Cita-citaku untuk menjadi seorang pendeta ditentang mati-matian oleh keluarga khususnya pihak mama. Alasannya? Aku sendiri bingung. Namun sepertinya trauma masa lalu di mana papa adalah alumni PGA yang tidak bekerja sesuai profesinya. Akhirnya aku terpaksa ikut test di UNHAS dengan hati sedikit dongkol. Di mana jiwa pemberontakku selama ini? Aku tak berdaya oleh tetesan air mata mama yang sangat menharapkan aku menjadi alumni UNHAS. Akhirnya aku diterima di UNHAS Jurusan Ilmu Hubungan Internasional.
Dasarnya memang aku sudah terbiasa dengan organisasi gereja, 2 minggu berdomisili di Makassar, aku langsung mencari wadah pelayanan di Sekolah Minggu Jemaat Persiapan Bukit Tamalanrea (saat itu belum dimekarkan). Proses pemekaran jemaat berlangsung seru dan penuh perdebatan dan pada akhirnya ini pun menjadi momen yang sangat indah bagiku untuk mengasah kemampuan organisasi. Dan pada statusnya sebagai jemaat Persiapan, aku terlibat dalam OIG sebagai pengurus inti SM/KM-GT.
Mei 2000
Jemaat Bukit Tamalanrea resmi menjadi satu jemaat yang mandiri. Semua OIG wajib melakukan rapat anggota I. Dan lengserlah aku dari Pengurus SM/KM-GT. Demi pengkaderan, muncullah wajah-wajah baru dalam kepengurusan yang membuatku sangat bangga!!! Pembinaan sukses.
24-25 Mei 2000
Rapat Anggota I PPGT justru memberi mandat sebagai ketua PPGT Jemaat Bukit Tamalanrea periode pertama. Kesempatan ini membuka peluang untuk terlibat di Klasis Makassar.
Sebagai Ketua, aku mesti tunduk pada kesepakatan-kesepakatan sekaligus terhadap Majelis Gereja. Namun kembali lagi banyak kenyataan yang tidak mendukung keberadaan pemuda. Dan pada Rapat Pleno Majelis bulan Maret 2001, aku nyaris diusir dari ruangan sidang. Sakit!!! Perih!! Namun demi mandat dan pelayanan kupendam segalanya dan membangun konsultasi dengan rekan-rekan yang juga mengalami hal serupa. Akhirnya keberanian ini dipertimbangkan pengurus Klasis dan Konferensi XII PPGT Klasis Makassar di Kompleks AURI DAKOTA Mandai. Memandatkan aku untuk menduduki jabatan strategis sebagai pengurus terpilih PPGT Klasis Makassar, dengan 21 Jemaat sebagai wilayah pelayanan yang tersebar dari Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto sampai Makassar.
24-25 Mei 2002
Rapat Anggota II PPGT jemaat Bukit Tamalanrea menetapkan aku sebagai pengurus demisioner dengan mengakhiri jabatan sebagai ketua PPGT-JBT. Konsentrasiku saat ini adalah bagaimana bekerja sebaik-baiknya di ladang Tuhan dan menyelesaikan tugas akhir (skripsi) yang nyaris terlupakan. kekeke... Mabuk organisasi kali' ya!!!

Read More..
 
cerpen : romantisme sebuah perseteruan

Mungkin cerita berikut bukan untuk yang pertama kali dipublikasikan, salah satu cerita favorit saya. Tapi buat anda yg belum sempat membaca jangan lewatkan cerita berikut, " sweet thing for your love journeys "..


* _ -


Fairuz mendengarkan obrolan ibu-ibu tetangga barunya. Dia paling muda di antara mereka. Sesekali ia tersenyum atau tertawa kecil menanggapi. Baginya itu bukan obrolan biasa. Dari mereka terpetik juga sebuah masukan yang baik. Sesuatu yang selama ini belum diketahuinya.

Tadinya ia hanya bermaksud mengantar kue ke rumah Ibu Desy. Ia baru saja selesai memasaknya. Ternyata di situ sudah ada Ibu Wina, Ibu Hesty dan Ibu Nani. Ia tidak diizinkan pergi. Mereka menyuruhnya duduk dan mengobrol. Dalam sekejap, kue yang ia bawa telah berpindah ke mulut mereka masing-masing.

"Sebelum saya menikah dengan Bapak si Dodo, sering dia bawa saya makan di Restauran. Pokoknya aneka macam jajanan pernah kami coba. Setelah menikah sampai punya anak tiga, dalam setahun aja belum tentu kami makan di luar!" Ibu Desy menggambarkan sosok suaminya. "Memang begitulah lelaki, Bu. Penilaian kita sebelum menikah bisa berbeda dengan setelah kita menikah. Apalagi setelah punya anak," tambah Ibu Wina.

"Ya, ialah. Kita, para isteri dapat mengetahui karakter suami kita sendiri setelah menikah dengannya. Di dalam kancah rumah tanggalah akan terbongkar semua karakternya. Tidak mungkin disembunyikan lagi seperti waktu pacaran," Ibu Hesty menimpali. "Apalagi yang mau disembunyikannya. Namanya juga sudah satu atap, satu tempat tidur, satu nafas pula," sahut Ibu Nani sambil tertawa, diikuti ibu-ibu lain. Tak terkecuali Fairuz.

Sejak kepindahannya beberapa minggu lalu, baru kali ini ia bisa berada satu ruangan dan mengobrol dengan ibu-ibu di sekitar rumahnya. Biasanya ia hanya berbasa-basi dan bertegur sapa. Setiap hari dia disibukkan urusan mengatur dan menyusun barang-barangnya, yang dibawa dari rumah kontrakan lama.

Fairuz merasa senang dengan bahan yang mereka obrolkan. Sesuatu yang memang benar-benar dialami. Bukannya cerita mengada-ada atau menggosip. Kalau itu, jelas-jelas ia tak suka. Apalagi kalau suaminya tahu, pastilah ia akan marah. "Suami saya seringkali membuat saya kesal. Sudahlah dia pulang larut malam, tak bawa uang pula. Sampai di tempat tidur, minta dilayani. Karena saya kesal, saya serahkan saja saya mau diapainnya. Saya sudah tak tahu apa-apa lagi," cerita Ibu Nani.

"Apa dia tidak marah, Ibu seperti itu?" Fairuz balik bertanya. Keningnya berkerut. "Rus, kita harus bisa ngasih pelajaran sama suami kita. Toh untuk kebaikan kita bersama. Seharian kita mengurus anak dan rumah tangga. Jangan dia mau enaknya saja. Dalam rumah tangga, kita kan harus saling berbagi dan memahami," lanjut Ibu Nani.

"Kalau suami saya lain lagi. Dia tidak pernah memeluk dan melakukan hal yang romantis, kecuali untuk berhubungan intim. Sebagai wanita, saya kan juga ingin dimanja. Bukan hanya sebagai sebuah barang yang dibutuhkan, maka dipakai. Lantas kalau tidak dibutuhkan, tidak dianggap. Hubungan yang romantis di antara suami isteri, bukan harus melulu di tempat tidur. Kita bisa ciptakan banyak hal di luar itu," giliran Ibu Hesty bercerita panjang lebar. Dia sudah sepuluh tahun menikah, anaknya dua orang.

"Apa suami Ibu bisa mengerti kemudian?" tanya Fairuz ingin tahu. Ibu-Ibu yang lain ikut menunggu jawaban Ibu Hesty.
"Yah... perlahan-lahan saya bicarakan padanya. Sampai pernah saya mengetes dia. Saya tidur di kamar sebelah. Akhirnya kami berbaikan, sampai sekarang."

Fairuz dan ibu-ibu yang lain tampak manggut-manggut mendengar cerita Ibu Hesty. Ternyata tiap wanita tak pernah sepi dari problematika di dalam rumah tangga. Mungkin kalau para isteri dikumpulkan, akan sangat banyaklah permasalahan yang mereka bawa dari rumah tangga mereka masing-masing.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. Pertemuan tak terencana itu pun bubar dengan damai.

"Dek, tolong buatkan abang kopi ya. Taruh di dalam kamar." Deg. Jantung Fairuz berdebar. Bukan karena Faisal menyuruh sesuatu yang tak bisa ia lakukan. Apalah susahnya membuat secangkir kopi hangat. Namun, kali ini ada yang menganggu pikirannya. Sesuatu yang ingin dia tunjukkan pada Faisal.

Setiap kali Faisal meminta dibuatkan secangkir kopi hangat, itu sebuah pertanda Faisal ingin membuka pintu kemesraan dengannya. Ia sudah sangat paham. Padahal baru saja Fairuz merasa kesal dibuatnya. Sudah tiga bulan Faisal berjanji membelikannya sebuah liontin emas. Ada saja kendalanya. Bulan pertama, harus membayar uang sekolah adiknya. Bulan kedua, harus membetulkan seng yang bocor di rumah bapak. Bulan ini, harus membiayai perobatan ibu.

Anehnya, pada saat Faisal tahu hatinya lagi kesal, di situ pulalah ia ingin bemesraan dengannya. Seolah-olah untuk menghilangkan rasa kesalnya. Membuatnya merasa nyaman. Tidak lagi memikirkan tentang masalah yang mereka hadapi. Selama ini memang Fairuz menganggapnya sebagai hal yang wajar, namun hal ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.

"Menyelesaikan masalah dengan berhubungan intim, bukan jalan keluar yang baik. Itu suatu kesalahan besar!" bisiknya pada dirinya sendiri, dan akan ia tegaskan pula pada suaminya.

Di dapur, saat membuatkan kopi, Fairuz bertekad, bila nanti Faisal mulai menyentuhnya, ia akan tepiskan tangannya. Saat tubuh Faisal mendekat ke arahnya, ia akan menjauh darinya. Fairuz pun masuk ke dalam kamar.


"Makasih ya, Sayang. Sini, dekat abang," raut wajah Faisal cerah seperti bulan purnama. Sebaliknya, hati Fairuz berdebar menjalankan rencananya.

"Lho, kok malah menjauh dari abang?"
Tangan Fairuz diraih. Cepat Fairuz menepisnya.
"Bang, kenapa sih setiap Fai kesal, Abang selalu berusaha menghilangkan kesal Fai dengan cara ini. Lama kelamaan Fai tidak suka, Bang. Seolah-olah abang menggampangkan saja perasaan Fai. Tidak memedulikan apa yang Fai inginkan."

Faisal terpana. Sekonyong-konyong Fairuz berubah menjadi seorang hakim di sebuah pengadilan, yang sedang membacakan tuntutannya kepada seorang terdakwa.

Mata Fairuz menyorot tajam, dadanya turun naik seperti orang yang sedang menunjukkan kemarahan. Padahal biasanya, bila Faisal menyentuhnya, maka ia pun akan menunjukkan kemanjaannya sebagai seorang isteri kepada suaminya. Lalu mereka akan larut dalam kemesraan yang dalam. Kini Faisal benar-benar tak dapat mempercayai kenyataan, yang baru saja berlangsung di hadapannya!

Faisal terdiam. Tidak bicara sepatah kata pun. Wajahnya tampak sedih dan kecewa. Ia keluar dari kamar, membawa kopi yang baru diminum sedikit. Sementara Fairuz tak bisa memejamkan mata di tempat tidurnya.

Besoknya, Faisal tidak menggendongnya saat ia bangun tidur. Tidak ada percakapan hangat dan gurauan, yang disertai pelukan di meja makan. Fairuz memperhatikan dengan ekor matanya, suaminya hanya makan sedikit. Seperti orang tidak berselera. Wajahnya tampak kuyu.

Ketika melepas suaminya di depan pintu, Fairuz merasakan ada sesuatu yang hilang dari hatinya. Tiba-tiba ia merasakan hal yang aneh. Ia merasa asing. Sesuatu yang belum pernah ia alami sebelumnya. Lebih baik tidak merasakan hal ini, batinnya.

Seharusnya ia biarkan semuanya berlangsung seperti apa adanya. Tidak perlu suaminya tahu apa yang menjadi kekesalan hatinya. Kenapa tidak ia biarkan suaminya menyentuh dan menciumnya? Apa ia punya hak untuk menolak?

Ia hanya seorang perempuan, datang dari kampung. Semua keluarganya tinggal di kampung. Faisal telah membawanya ke kota. Tentu saja ia tidak sama dibandingkan dengan ibu-ibu rumah tangga yang menjadi tetangganya. Baik dari segi pemikiran, maupun latar belakang kehidupan. Sikapnya pada Faisal tidak mencerminkan kesabaran seorang wanita. Ia tidak biasa memberontak. Ibunya selalu mengajarkan tentang kesabaran dan keikhlasan.

Malam harinya ia tidak sanggup melihat wajah suaminya. Hatinya didera rasa malu. Sedari tadi ia hanya di kamar, seolah disibukkan sesuatu. Tak terasa sebutir air mata menuruni pipinya yang mulus. Ia menangis. Menahankan perasaan rindu pada suaminya. Dia yang memulai semua ini, dia merasa harus dia pulalah yang mengakhirinya.

Pada saat Fairuz akan ke luar dari kamar, saat yang sama Faisal menuju ke dalam kamar. Tabrakan dua tubuh itu tak dapat dielakkan. Mereka terjatuh. Tangan Faisal terhimpit di bawah tubuh Fairuz. Jarak mereka sangat dekat. Fairuz memejamkan matanya. Sesaat merasakan desah nafas suaminya di wajahnya. Ia merindukan segalanya dari suaminya.

Kemudian mereka pun berdialog. Berupaya memecahkan perseteruan yang telah mendera mereka. Dan, menyelesaikannya dengan cara mereka sendiri
( ehem-ehem, dg cara yg paling.. :-) tau sendiri lhah pasutri !! ).

Read More..
 
Cerpen Burung Terbang dari Kuburmu

Burung Terbang dari Kuburmu

Cerpen Hamdy Salad

BURUNG-BURUNG terbang meninggalkan musim dingin menuju tempat yang lain. Melintasi laut dan hutan. Menggaris cakrawala di langit keabadian. Sebagian pergi menaikkan derajatnya menuju tingkat yang lebih tinggi. Sebagian dilepas dan diberi angka pada sayapnya, agar mudah dikenali kemana pun mereka pergi. Sebagian lagi hanya bisa menghabiskan waktu untuk bernyanyi dalam sangkar tirani.

Seperti juga tetangganya, orang itu tak pernah bosan untuk bersiul. Mengajari burung bernyanyi dengan irama yang tidak pasti. Setiap sore dan pagi hari, ia berdiri di depan rumah. Memberi makan dan minum melebihi anaknya sendiri. Ketan hitam, buah pisang dan gabah, juga air yang telah direbus dengan daun jambu, selalu ada di kepalanya. Tapi burung tak juga pandai bernyanyi, kecuali beriak dengan suara serak. Memaki-maki pita suara dalam tenggorokan lalu amarah merasuk di dada pemiliknya. Mengajak anggota badan untuk bertindak. Menggerakkan kedua lengannya yang kokoh untuk membanting sangkar sampai roboh ke tanah. Dan burung pun terbang, tergopoh-gopoh, mencari kebebasan yang telah lama dirindukan.

Pada saat yang kurang tepat, tetangga itu datang ke rumahnya. Mengumbar basa-basi dalam dunia burung. Di dekat mereka mengobrol, seekor beo masih bertengger dengan rantai di kaki kanan. Matanya melotot, menatap tetangganya tanpa ragu. Sepertinya beo itu hendak bicara, mengabarkan luka yang diderita oleh majikannya.

"Aku tetanggamu. Tak mungkin bisa menutup telinga."
"Ya. Pada minggu terakhir sebelum kepergiannya, burung itu telah membuat sarang dalam sangkar. Dan ketika sangkar telah rusak, sarang itu berpindah tempat ke dalam tubuh majikannya. Hingga tubuh sang majikan terasa sesak. Penuh jerami yang berserak."

"Lalu, pergi ke mana?"
"Mencari musim di tempat yang lain. Sebab burung yang tinggal dalam sarang tertentu, dengan mudah akan ditangkap orang, setiap musim setiap waktu."

Tetangga itu bangkit. Lalu pamit dan kembali ke dalam rumah sendiri. Sunyi tanpa kata-kata. Memahami bahasa burung dengan lidah manusia. Menerbangkan khayalan menuju kenyataan. Membawa mimpi ke dalam kehidupan. Burung pelatuk mencari makanan; mematuki pohon yang keras sebanyak 20 kali dalam 2 detik tanpa cedera; pendarahan otak atau sakit kepala. Burung ababil membawa kerikil dan batu api tanpa terbakar tubuhnya; juga sayap dan bulu-bulunya.

Burung-burung selalu dipuja karena suara indah yang keluar dari tenggorokannya. Perkutut jantan yang terkenal itu, mendapat sertifikat yang lebih mahal dari kemerdekaan. Kutilang berjengger biru ditukar orang dengan mobil terbaru. Cucakrawa berbulu putih dikeramatkan sebagai bangsa burung yang terpilih. Sementara elang, makhluk pemakan daging itu, tetap setia menggaris laut. Menunggu mangsa yang luput.

Elang bermata merah mengepakkan sayapnya menuju tempat fajar merekah. Kemudaian berdandan, menjelma makhluk paling serakah; meminum nanah; memakan daging-daging busuk sampai muntah. Sedang elang bermata hitam, terbang ke arah matahari tenggelam. Lalu bernyanyi, mabuk dan gila sampai mati. Sayap-sayapnya yang patah jatuh ke bumi. Menjadi pena. Menuliskan sejarah sendiri tanpa tinta.

"Bukankah bumi juga memiliki mata pena?"
"Ya. Tapi langit yang menyimpan tintanya."

"Jadi?"
"Jadi bumi tak bisa menulis sejarah sendiri. Kecuali langit mengirimkan tinta yang lebih murni."

"Ah!!"
"Lelaki juga punya burung. Tapi perempuan yang menyimpan sayapnya. Jadi lelaki tak bisa terbang sendirian, kecuali perempuan mengepakkan sayapnya."

Dan ini juga burung. Walau hari sudah sore dan petang, walau angin ribut selalu datang, sekelompok merpati itu tak mau pergi dari tempat kebebasannya. Mereka habiskan waktu untuk bersendau-gurau sembari mengais sisa-sisa makanan orang. Hingga sayap-sayapnya menjadi malas terbang dan kembali ke dalam sarang. Makhluk-makhluk bertelinga kecil itu lebih suka tertidur dan menunggu pagi di taman-taman kota. Para pemburu yang kebetulan lewat dan melihatnya, tanpa perintah atau komando, langsung menembaki mereka tanpa aturan. Merpati-merpati kelimpungan. Lalu roboh ke tanah. Tak bisa lagi terbang, berkicau atau berdendang, kecuali menangis dan merintih dalam perut si-gendut. Perut pemakan daging yang sedang ribut di balik dinding.

Kalau saja Daud dan Sulaiman masih hidup, tangisan itu dapat digubah sebagai nyanyian dalam telingamu. Dan engkau pun menjadi bebas merdeka untuk terbang menemui diri di atas langit yang tinggi. Sebab burung telah menjadi amsal ruhani untuk membawa pesan-pesan rahasia ke dalam bahasa manusia.

"Maka, pujilah nama Tuhanmu yang telah menerbangkan burung-burung semesta dari sangkar derita. Dan burung-burung pun menjadi bahagia dalam istana yang sesungguhnya."

Seperti juga tetangganya, orang itu tak pernah peduli pada kenyataan di luar angkasa. Pada burung-burung cahaya yang menerbangkan manusia sempurna menuju surga. Serupa sayap-sayap jibril, mereka berkepak membawa bahtera, mengangkat ruh para nabi menuju singgasana yang abadi. Sementara wali dan orang-orang terpilih yang teraniaya atau disiksa para penguasa, memperoleh sayap dua-dua, tiga-tiga atau empat-empat dari burung-burung putih untuk terbang dan kembali ke dalam istana sejati.

Simurgh, burung merak dengan sayap-sayapnya yang indah, telah dinobatkan sebagai mahkota yang mesti dicinta. Sedang bul-bul menggantikan sayap-sayap manusia sebagai anugerah para pecinta. Lalu hud-hud, burung yang paling beruntung di dunia, menurunkan rahasia Tuhan kepada Sulaiman. Hingga Balqis, perempuan ratu yang terkenal itu, menjadi tunduk dan berserah diri di hadapan raja Yang Maha Suci. Lalu duduk dan berdiri; membaca syahadat sampai kembali ke dasar bumi.

"Telah kuingat semua nama yang indah. Dan kulepaskan semua burung yang mati dari sangkar resah." Seekor gagak menggali tanah; mengajarkan cara pada anak adam dan hawa untuk mengubur dan menutup aib saudara.

"Oh. Celakalah aku. Mengapa aku tidak bisa berpikir seperti burung gagak itu, sehingga saudaraku Habil dapat dikubur di bumi ini." Qabil menyesal. Lalu bergerak dan mengantar kepergian saudaranya dengan cara burung gagak. Menutup jasadnya dengan tanah, melepaskan jiwanya dengan penuh rahmah.

Tangan doa menengadah ke angkasa. Mendedah sebutir pasir di tengah mutiara. Seperti juga tetangganya, orang itu bersusah-payah untuk menjadi diri sendiri. Setiap hari, dari pagi sampai petang, dari petang sampai pagi lagi, tak pernah lupa untuk mengaji. Memahami bahasa burung dengan kalimat-kalimat suci yang lebih abadi. Kecuali tertidur dan mati.

Tapi hidup telah membawa jiwanya untuk menolak rasa kantuk, tertidur atau mati dengan sia-sia. Selain rindu yang luar biasa untuk bertemu dan terbang bersama burung-burung bersayap sutra. Burung-burung kesaksian yang mengangkat ruh alam menuju langit keabadian. Sampai selaput yang tipis di cekung matanya menjadi terkikis. Dan cahaya berkilau, memancarkan sinar dunia ke wajah bumi yang hijau. ***

Read More..
 
Cerpen Aloe vera

Aloe vera

Serumpun lidah buaya tumbuh dalam sebuah kaleng bekas cat. Tumbuhan yang pinggir daunnya bergerigi dan memiliki lendir bening seperti agar-agar itu juga tumbuh di beberapa kaleng bekas lain di sampingnya. Lima tanaman lidah buaya itu tumbuh di bawah sebuah pohon rambutan pada sebuah halaman yang tak bertaman.

Halaman itu tak begitu luas sebagai ukuran halaman rumah di sebuah dusun. Sebuah pagar dari batu bata yang menjadi batas antara halaman dan jalan telah mulai rapuh dan nyaris ambruk.

Dinding rumah itu terdiri dari tumpukan batu bata yang dilepa. Sebagian semen di dinding telah terkikis, sehingga tampak batu batanya. Salah satu langit-langit teras yang terbuat dari anyaman bilah-bilah bambu telah jebol. Jika hujan turun, air akan menggenangi teras rumah.

Lantai di teras pun di beberapa sisi sudah menampakkan lubang. Sementara itu, sebuah gambar wajah yang dilukis dengan kapur oleh tangan seorang anak tampak tersenyum di pintu kayu.

Pintu kayu itu tiba-tiba terbuka. Seorang perempuan tergesa keluar menuju pohon rambutan. Memetik sedaun lidah buaya. Anak kecilnya menangis mengikuti ibunya sambil memegang tangannya yang baru saja terbakar.

”Sudah kubilang jangan main api, masih juga kamu langgar.”

Kulit lidah buaya itu dikelupas, lantas lendir warna bening itu segera dioleskan di sekitar luka bakar di tangan anaknya. Ada rasa jengkel di dalam dada perempuan itu. Betapa tidak, anak keduanya yang seolah kemarin masih di perutnya, kini sudah berusia sepuluh tahun, menjadi sangat bandel.

Namun, sejengkel apapun perasaan di dalam dadanya, perempuan itu tidak juga tega melihat anak satu-satunya menangis menahan sakit. Andai saja sakit di tangan anaknya itu dapat berganti ke tangannya, niscaya ia akan rela memintanya.

”Usah kamu nangis, kalau tahu bapakmu, bisa dipukul kamu.”

Berangsur-angsur tangis anaknya mulai terganti isakan. Perempuan itu mendekatkan ujung kainnya ke hidung anaknya. Anaknya sangat takut kepada bapaknya. Perempuan itu pun tak ingin tangis anaknya terdengar oleh suaminya. Suaminya sangat keras dalam mendidik anak.

Pernah suatu kali anak sulungnya pulang sekolah dengan baju kotor. Tapi perempuan itu, sebagai ibu, akan selalu bisa membaca apa yang disembunyikan anaknya. Maka diceritakan apa yang baru saja dialami. Katanya, ia baru saja bertengkar karena dua temannya tiba-tiba datang mengatakan bahwa bapaknya pernah dipenjara. Lalu, terjadilah perkelahian. Anaknya merasa geram dan melayangkan sebuah kepalan tangan ke hidung salah satu lawannya.

Perempuan itu hanya tersenyum dan ia menyuruh anaknya untuk tidak menceritakan kejadian itu kepada bapaknya. Dan tentu saja ia melarang anaknya untuk melakukan hal itu lagi. Namun, tak selang lama ada orang tua yang melabrak perempuan itu.

Selepas labrakan itu, ia tak bisa menahan air mata melihat anaknya dihukum oleh suaminya. Jerit sakit anaknya seolah menyayat batinnya. Saat itu, kedua tangan anaknya diikat pada salah satu tiang rumah. Lantas, suaminya mengambil penebah kasur dan memukulkan ke tubuh anaknya.

Perempuan itu mencoba untuk membela anaknya, namun suaminya justru mendorongnya hingga tersungkur ke lantai. Apalagi, saat itu ia sedang mengandung anak yang ketiga.

Ndari! Ndari! Urusi bayimu yang nangis!”

Seketika perempuan itu terkejut dari lamunannya saat mendengar teriakan suaminya dari dalam rumah. Ia memberi tahu anaknya agar mengoleskan lidah buaya itu sendiri tanpanya. Perempuan itu segera menuju kamar dan membuka dua buah kancing bajunya. Tangis bayinya terhenti pada ujung puting susunya.

Suaminya tengah dibantu oleh anak sulungnya membetulkan kaki kursi. Anaknya yang sulung sangat penurut kepada bapaknya. Menurut karena takut. Sebuah peristiwa pernah dialaminya dulu, ia pernah dihukum bapak gara-gara bertengkar dengan temannya. Ia punya alasan yang tepat, menurutnya, ia membela bapaknya yang dulu memang pernah dipenjara.

Saat itu ia buru-buru pulang dan segera menyembunyikan wajahnya dari ibu. Entah kenapa, ia tidak bisa bersembunyi dari masalah yang dihadapinya. Lantas, ia pun menceritakan kepada ibunya bahwa ia baru saja bertengkar. Ia jelaskan semuanya kepada ibunya titik permasalahannya.

Saya harus tahu, kenapa bapak dulu dipenjara bu. Kalau aku tahu alasannya, tentu aku bisa membela bapak dihadapan mereka yang menghinaku.”

Sudahlah, lebih baik kamu diam. Kamu pergi saja kalau ada yang memperolokmu. Cepat ganti baju sana”

Setelah itu, sebelum sempat ia mengganti seragam. Sebuah ketukan pintu terdengar di luar. Ada sebuah suara seorang perempuan yang tengah marah-marah. Dirinya tahu, itu pasti ibu dari anak yang dihajarnya tadi. Ia tak mau mengingat-ingat lagi kejadian itu.

Ada perasaan sakit yang luar biasa saat ujung penebah itu diayun ke tubuhnya. Apalagi melihat ibunya yang tengah hamil didorong oleh bapakya. Saat itu ia berjanji jika suatu hari ia sudah dewasa ia akan membela ibunya dari amukan bapak.

Kalau megang yang bener, goblok!”

Tiba-tiba dilihat wajah bapaknya yang garang menatapnya. Keterkejutannya cukup menyadarkan dari lamunan. Segera ia memegang kayu di depannya yang baru saja dijatuhkan. Bapaknya mulai memaku kaki meja. Setiap ketukannya menambah rasa bencinya.

”Ali!” Teriak bapaknya ”belikan rokok.”

Ali segera datang. Ia menyembunyikan luka bakar di tangannya agar bapak tak melihatnya. Ia sempat bertatap dengan kakaknya, tetapi ia tak peduli. Lalu ia bergegas kepada ibunya meminta uang untuk membelikan rokok,

Ali juga sangat takut kepada bapaknya. Memang ia belum pernah kena hukuman dari bapaknya. Tapi apa yang dulu pernah dilihatnya adalah sesuatu yang mengerikan baginya. Saat itu dirinya tengah pulang dari bermain dengan temannya. Tiba-tiba ia melihat kakak lelakinya tengah diikat di tiang.

Lantas sebuah ujung penebah dipukulkan ke tubuh kakaknya. Ia mengintip dari kejauhan. Ia ingin membela kakaknya tetapi ia tak mampu melakukan apa-apa. Walau awalnya ia pun senang kakaknya dihukum karena malam sebelumnya ia mencuri jatah jajannya.

Lama kelamaan ia pun tak bisa melihat perlakukan bapaknya. Terlebih saat melihat ibunya didorong hingga jatuh ke lantai. Kakaknya menangis, ibunya menangis. Saat itu pula diam-diam ia menangis.

Setelah memberikan rokok itu, dirinya pergi secepat mungkin. Ia bermain hingga senja bersama teman-temannya. Ia telah melupakan masalahnya dengan bapak atau kakaknya. Ia memilih bermain hingga menjelang senja.

Pada malam harinya, ia tak bisa memjamkan mata dengan baik. Ia teringat kejadian sore tadi. Saat ia bermain ke rumah temannya, ingin sekali dirinya memiliki sepeda sendiri. Ah, andai saja ia bisa memintanya. Ia tak berani meminta kepada bapaknya. Ia mungkin akan menceritakan ini kepada ibunya, tapi ia mencoba menebak-nebak jawaban ibunya.

Ya, besok ibu belikan kalau sudah punya cukup uang”

Barangkali begitu jawaban ibu. Tapi, saat lama ditunggu ibu pasti tak juga kunjung membelikan. Hingga pada hari ia menagih janjinya, ibu juga akan mengatakan hal yang sama. Barangkali juga jawaban ibu adalah ”minta ini minta itu, lihat, bapakmu saja tidak bekerja”

Ah, betapa susahnya punya orang tua yang tidak punya uang banyak. Imam, teman sepermainannya, kemarin baru saja dibelikan orang tuanya sepeda baru. Sedangkan dirinya hanya punya satu sepeda. Itu pun sudah tua. Malulah ia memakainya.

Ali makin gelisah pada ruang kamar yang makin terasa panas. Tapi untung, luka bakarnya sudah tak terasa lagi. Dicobanya memejamkan mata, tetapi tak kunjung juga bisa tidur. Sementara kakaknya sudah terbaring pulas. Terdengar suara ibu dan bapakaya di samping kamar. Ia tahu, pasti bapaknya marah-marah lagi. Tapi, suara itu terdengar agak aneh.

Dilupakannya suara itu. Dipikirkan kembali bagaimana cara agar ia bisa dibelikan ibunya sepeda baru. Tapi suara ibunya di sebelah membuatnya penasaran. Ia beranjak bangun dan mencoba untuk melihatnya.

Sesampainya ia di luar kamar, suara itu makin keras. Pasti bapak sedang memaksa ibu lagi. Ia sering melihat perlakukan itu. Dilihatnya pintu kamar ibunya terbuka. Suara itu makin terdengar keras. Dilihatnya bapaknya telanjang di atas tubuh ibunya. Dadanya berdegub.

***

Dadanya berdegub. Dicoba diamata-amatinya lagi perempuan yang tengah berjalan dengan menggendong seorang anak di dadanya itu. Berkali-kali dilihatnya, dipastikan itu adalah perempuan yang selama ini dicarinya.

Tak mungkin, begitu kata hatinya. Diamat-amatinya kembali perempuan yang tengah menyusuri jalan di persawahan itu. Dipelankan laju mobilnya. Tampak baju lusuh yang dipakai perempuan itu membuat sosoknya nampak lebih tua, namun ia tak bisa melupakan sketsa wajah yang ayu itu di kaca spion.

Ia yakin. Itu adalah Wandari. Lelaki itu menginjak remnya dan berhenti di sampingnya. Wandari sangat terkejut melihat seseorang yang membukakan pintu untuknya.

Mulanya perempuan itu menolak, walau ia sempat terkejut dengan apa yang dilihatnya. Tapi demi bayinya yang sedari tadi menggeliat kepanasan. Ia akhirnya menerima tawaran masuk ke dalam mobil pick-up itu.

Sungguh di luar dugaan Mas Narto, begitu pikir Wandari, yang dulu ditunggunya saat masih remaja untuk menikahinya kini hadir di sampingnya. Lalu ditepisnya perasaan itu jauh-jauh. Percintaan mereka saat SMA dianggapnya sebagai percintaan sepasang remaja yang masih belia dan tak tahu apa-apa.

Mana suamimu?”

Bekerja”

Tepatnya, suaminya tak lagi bekerja. Kini ia memganggur di rumah. Pekerjaannya adalah bangun siang dan membentak-bentak jika belum disediakan secangkir kopi. Dulu memang punya beberapa sawah, tetapi hama menyerang panen gagal. Lantas, dijualnya sawah itu dengan harga yang cukup murah. Hingga tak ada yang tersisa.

Karena tak punya pekerjaan, suaminya menjadi mudah marah. Hingga suatu kali ia pernah bertengkar dengan tetangga karena ada yang menagih hutang. Dipukulnya tetangga itu. Lantas, tetangganya itu menuntut suaminya untuk masuk penjara.

Di bak mobil aku punya aloevera kalau kamu suka.”

Wandari menggeleng dan mengucapkan terima kasih. Memang, Mas Narto suka memelihara bunga. Cita-citanya dulu adalah berwiraswasta dengan menjual tanaman hias. Itu cita-citanya pertamanya yang berhasil diwujudkan. Cita-cita keduanya, yang justru sangat diharapkan, mungkin lebih tepat dikatakan lenyap.

Alovera adalah tanaman yang bersinar,” Wandari teringat perkataan Mas Narto dulu ”suatu hari kau akan membutuhkannya. Akan ada hari aku datang melamarmu sambil menanyakan masihkah tumbuh aloevera yang kutitipkan padamu.”

Saat itu, ia mulai menyukai aloevera. Hingga saat ini tanaman yang dititipkan kekasihnya yang telah lalu masih juga tumbuh di sepetak halaman di depan rumahnya. Pun jauh di dasar hatinya.

Karena suatu alasan, Wandari memutuskan turun di perempatan. Lantas ia memilih berjalan pulang sambil menggendong bayinya. Cepat-cepat ia masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Sebuah gambar wajah yang dilukis dengan kapur oleh tangan seorang anak tampak tersenyum di pintu kayu itu.

Read More..