Review Novel “Cinta yang Terlambat”

Subhanallah! Ceritanya bagus banget… Cinta perempuan yang lembut dan laki-laki yang tabah. Konflik nya tegang dan alur ceritanya lancar dan tidak ada yang menggantung, makanya nih buku dengan 523 halaman bisa selesai dibaca dalam 2 hari, padahal cuma disempetin baca pas berangkat kerja di bis en sebelum tidur… Hampir ajah tadi pagi ditinggal temen2 janjian ngerayain ulang tahun salah satu temen di PIM, gara-gara keasyikan baca nih buku…

“Aku mencintaimu bukan karena aku membutuhkanmu… aku membutuhkanmu karena aku mencintaimu,” Aariz membisikkan kata-kata itu dengan lembut

“Andai saja kamu cinta pertamaku,” Aariz bergumam. “Itu tidak membuatku sedih,” Zeest memasukkan tangannya ke seputar pingganya. “Beruntunglah laki-laki yang menjadi cinta pertama seorang perempuan tetapi lebih beruntung perempuan yang menjadi cinta terakhir seorang laki-laki”Cerita romans tapi didalamnya mengandung dakwah tentang hijab yang sangat dalam dan bermakna.

Kutipan 1:
“Pak Javeed, pertama-tama, selamat kepada Anda kalau istri anda mengenakan hijab. Anda harus bangga mempunyai istri sebaik itu.”

“Bagaimana perasaan anda tentang hijab, maksud saya sebagai seorang suami”

“Sebenarnya anda memahaminya, itu memberi saya perasaan puas bahwa mata-mata yang kotor tidak dapat mengidentifikasi istri saya, mengenalinya, dan menilainya” Javeed berkata dengan nada gembira.

“Namun bukan itu saja” dia melanjutkan, “percayalah kepadaku… itu rasanya sangat menyenangkan dan menarik. Ketika istri saya yang tertutup rapat di depan orang lain, membuka rambut dan badannya di depan saya, hanya di depan saya. Itu memberikan rasa unik kepada saya, satu rasa kepuasan, kepemilikan. Ya, ia hanya milik saya, ia begitu menarik tetapi daya tariknya hanya untuk saya. Setiap kali saya melihatnya dalam kondisi yang baru. Itu sungguh menggoda, bahkan sensual tetapi dengan cara yang suci. Ia tidak pernah kehilangan pesona dan daya tariknya menurut saya, ia selalu seperti pengantin baru bagi saya. Karena sudah benar-benar puas terhadapnya, saya tidak pernah merasakan ada ketertarikan kepada perempuan lain”

Kutipan 2 Debat ttg Hijab:

“Apakah anda salat?”

“ya, saya shalat, kadang-kadang” dijawab dengan sangat gugup

“Dapatkah anda mendirikan shalat tanpa menutup kepala, rambut dan badanmu?”

“Tentu saja tidak”

“Kemudian kenapa Allah menjadikannya wajib bagi perempuan hingga dia harus mengenakan hijab saat shalat meskipun ia sendirian atau tanpa laki-laki di dekatnya?”

“Jelaskanlah, kenapa Allah… ALLAH yang paling dekat kepada kita menginginkan kita tertutup rapat saat kita melaksanakan shalat?”

“Saya… saya tidak tau, tapi jangan anggap saya adalah seorang pesimis ttg hijab, namun, saya sungguh mengeluhkan tentang cara kalian, kaum fanatik, menggunakannya”

“Seorang pesimis ialah seorang yang mengeluh tentang kebisingan ketika seorang optimis mengetuk”

“Saudara saudari sekalian, Allah menghendaki perempuan mengenakan hijab ketika ia shalat hanya lantaran Allah menyukai ia dalam bentuk sempurna dan terbaiknya saat menghadap dihadapan NYA dalam shalat, sebab ia tidak sempurna tanpa hijab dan penutup”

Read More..
 
Novel Terbaru Harry Potter and the Deathly Hallows

Buku ketujuh diawali dengan Voldemort dan para Pelahap Mautnya di rumah Lucius Malfoy, yang merencanakan untuk membunuh Harry Potter sebelum ia dapat bersembunyi kembali. Meminjam tongkat sihir Lucius, Voldemort membunuh tawanannya, Profesor Charity Burbage, guru Telaah Muggle di Hogwarts, atas alasan telah mengajarkan subyek tersebut dan telah menganjurkan agar paradigma kemurnian darah penyihir diakhiri.

Harry telah siap untuk melakukan perjalanannya dan membaca obituari Albus Dumbledore; dan terungkaplah bahwa ayah Dumbledore, Percival, adalah seorang pembenci non-penyihir dan telah menyerang tiga Muggle, dan meninggal di Penjara Azkaban atas kejahatannya. Harry kemudian meyakinkan keluarga Dursley bahwa mereka harus segera meninggalkan rumah mereka untuk menghindarkan diri dari para Pelahap Maut. Keluarga Dursley kemudian pergi menyembunyikan diri dengan dikawal sepasang penyihir setelah sebelumnya Dudley melontarkan pengakuan bahwa ia peduli akan Harry.

Bersama-sama dengan anggota Orde Phoenix, Harry kemudian pergi dari rumah Dursley ke The Burrow. Dalam perjalanan itu, Hedwig, burung hantu Harry, terbunuh oleh kutukan pembunuh; George Weasley kehilangan sebelah telinganya; Mad-Eye Moody dibunuh oleh Voldemort sendiri. Belakangan, Harry mendapatkan penglihatan mengenai pelariannya; tongkat sihirnya telah bereaksi dengan tongkat sihir pinjaman Voldemort, menghancurkannya, dan ia juga kemudian mendapatkan penglihatan ketika Voldemort menanyai Ollivander si pembuat tongkat sihir, mengenai mengapa hal itu dapat terjadi.

Beberapa hari kemudian, Menteri Sihir tiba di kediaman Weasley dan memberikan warisan Dumbledore untuk mereka: Delumintaor untuk Ron (alat seperti korek api yang dapat memadamkan cahaya); buku mengenai kisah anak-anak untuk Hermione; dan untuk Harry, pedang Godric Gryffindor dan snitch pertama yang ditangkap Harry. Namun demikian, pedang tersebut ditahan, karena menurut kementerian pedang tersebut bukanlah milik Dumbledore. Ketiganya berusaha mencari tahu apa dibalik ketiga benda yang diberikan kepada mereka itu. Sehari kemudian adalah hari pernikahan Fleur Delacour dan Bill Weasley.

Setelah diberitakan bahwa Voldemort telah berhasil mengambil alih Kementerian Sihir; Harry, Ron, dan Hermione kemudian bersembunyi di Grimmauld Place nomor 12, rumah yang diwariskan Sirius Black kepada Harry. Ketiganya kemudian menyadari bahwa inisial R.A.B. pada liontin yang didapatkan Dumbledore dan Harry dalam buku keenam adalah Regulus Arcturus Black, adik Sirius. Mereka mulai mencari Horcrux yang dicuri Regulus di rumah keluarga Black itu. Dari Kreacher, mereka mengetahui bahwa ia telah membantu Regulus untuk mendampingi Voldemort menempatkan Horcrux berbentuk liontin itu di gua. Ketika Regulus merasa kecewa dengan Voldemort, ia memerintahkan Kreacher untuk kembali ke gua dan menukar liontin dengan yang palsu. Regulus terbunuh dalam proses itu. Pada akhirnya, mereka bertiga menyadari bahwa Mundungus Fletcher telah mencuri liontin tersebut dan kemudian direbut oleh Dolores Umbridge.

Setelah selama satu bulan memata-matai Kementerian Sihir, ketiganya berhasil mengambil Horcrux dari Umbridge. Dalam prosesnya, tempat persembunyian mereka diketahui dan terpaksa melarikan diri ke daerah terpencil, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dan tidak dapat lama tinggal di suatu tempat.

Dalam waktu beberapa bulan berpindah-pindah, mereka mendengar bahwa pedang Godric Gryffindor sebenarnya adalah palsu, dan ada yang melakukan sesuatu terhadap pedang aslinya. Dari Phineas Black, Harry mendapatkan bahwa pedang itu terakhir kali digunakan Dumbledore untuk menghancurkan salah satu Horcrux, Cincin Gaunt. Ron kemudian berselisih paham dengan Harry, dan pergi meninggalkan Harry dan Hermione. Harry dan Hermione kemudian pergi ke Godric’s Hollow untuk mencari tahu apakah Dumbledore telah meninggalkan pedang itu di sana.

Di Godric’s Hollow, keduanya mengunjungi tempat pemakaman keluarga di mana keluarga Potter dan Dumbledore dikuburkan. Di Godric’s Holow, mereka juga menemui Bathilda Bagshot, seorang kawan lama Dumbledore yang mengarang buku Sejarah Sihir. Di rumah Bagshot mereka menemukan gambar penyihir hitam Grindelwald, sanak Bagshot, yang pada masa lalu adalah kawan masa kecil Albus Dumbledore. Namun demikian, ternyata mereka terperangkap, karena “Bagshot” itu merupakan penjelmaan ular Voldemort, Nagini. Mereka berhasil melarikan diri dari Voldemort, tetapi tongkat sihir Harry hancur dalam kejadian itu.

Dalam pelarian mereka, Harry akhirnya menemukan bahwa pedang Godric Gryffindor tersembunyi di sebuah kolam beku di tengah sebuah hutan. Ia menyelam ke dalamnya untuk mendapati pedang tersebut. Kalung Horcrux mencoba mencekik Harry dan hampir menenggelamkannya hingga mati kalau tidak ditolong oleh Ron yang kembali. Keduanya menghancurkan Horcrux dengan pedang itu.

Ketiganya kemudian berbicara kepada Xenophilius Lovegood, ayah Luna Lovegood, dan menanyakan kepada mereka mengenai lambang Grindelwald yang telah berkali-kali muncul selama perjalanan mereka. Di rumah Lovegood, Harry, Ron, dan Hermione mendapatkan kisah penyihir kuno mengenai tiga bersaudara yang mengalahkan kematian, dan masing-masing mendapatkan benda sihir sebagai hasilnya - tongkat sihir yang tak terkalahkan (Elder Wand—tongkat sihir tetua), batu sihir yang dapat menghidupkan kembali yang telah mati (Resurrection Stone—batu kebangkitan), dan Jubah Gaib (jubah tembus pandang) yang tidak lekang oleh waktu. Harry menyadari bahwa jubah yang dimilikinya adalah adalah Jubah Gaib, dan segera menemukan bahwa Lovegood telah berkhianat dan menyerahkan mereka ke Kementerian. Luna, putrinya, telah ditawan dan Xenophilius berpikir untuk menyerahkan Harry Potter sebagai ganti tawanan. Ketiganya meloloskan diri dan berpikir untuk mengumpulkan ketiga benda sihir Deathly Hallows, untuk mengalahkan Voldemort.

Harry, Ron, dan Hermione kemudian tertangkap dan dibawa ke rumah Malfoy. Di sana, Hermione disiksa dan diinterogasi oleh Bellatrix Lestrange untuk mengetahui bagaimana mereka memperoleh pedang Godric Gryffindor, karena ia berpikir bahwa mereka telah mencurinya dari lemari besinya di Gringotts. Di bawah tanah, Harry dan Ron dipenjarakan bersama-sama dengan Dean Thomas, goblin Griphook, pembuat tongkat sihir Ollivander, dan Luna Lovegood. Harry berusaha mencari pertolongan dan Dobby muncul untuk menyelamatkannya. Dalam usaha meloloskan diri, mereka dihadang Wormtail yang kemudian terbunuh karena tercekik oleh tangan perak Wormtail yang dibuat Voldemort tanpa berhasil ditolong oleh Ron dan Harry. Mereka berdua kemudian menolong Hermione dengan bantuan Dobby, yang tewas dibunuh oleh Bellatrix.

Harry dan kedua sahabatnya kemudian berusaha mencari rencana baru. Ia menanyai Ollivander mengenai Elder Wand dan mendapati bahwa pemilik terakhirnya adalah Dumbledore. Dibantu Griphook, Hermione menyamar sebagai Bellatrix Lestrange dan bersama-sama Harry dan Ron memasuki lemari besi Bellatrix di Bank Gingrott’s. Di sana mereka menemukan satu lagi Horcrux, piala Hufflepuff. Griphook kemudian mengkhianati mereka dan melarikan diri dan mencuri pedang Godric Gryffindor. Harry, Ron, dan Hermione berhasil melarikan diri, tetapi pada saat yang bersamaan Voldemort menyadari bahwa mereka mencari Horcrux-Horcruxnya.

Harry mendapatkan penglihatan segera setelah pelarian mereka; ia dapat melihat melalui mata Voldemort dan mengetahui pikirannya. Voldemort akan mendatangi tempat-tempat Horcurxnya disembunyikan dan mengetahui bahwa mereka telah lenyap dan hancur. Secara ceroboh, Voldemort mengungkapkan bahwa Horcrux terakhir berada di Hogwarts. Ketiganya segera pergi ke Hogsmeade untuk mencari jalan masuk ke sekolah Hogwarts. Di Hogsmeade, mereka disudutkan oleh para Pelahap Maut dan diselamatkan oleh Aberforth Dumbledore. Aberforth membuka jalan terowongan ke Hogwarts di mana mereka disambut oleh Neville Longbottom. Pada saat menyelamatkan jiwa Draco Malfoy, Harry menemukan Mahkota Ravenclaw tersembunyi di Kamar Kebutuhan dan benda itu dihancurkan.

Di Shrieking Shack, mereka mendapati Voldemort membunuh Severus Snape dengan tujuan untuk mentransfer kekuatan Elder Wand kepada dirinya sendiri. Dalam sekaratnya, Snape memberikan memorinya kepada Harry. Dari memori itu terungkap bahwa Snape berada di sisi Dumbledore, didorong dengan cinta seumur hidupnya kepada Lily Potter. Snape telah diminta Dumbledore untuk membunuh dirinya jika situasinya mengharuskan demikian; karena bagaimanapun juga hidupnya tidak akan lama lagi akibat kutukan yang terdapat di Horcrux Cincin Gaunt. Selanjutnya, terungkap pula bahwa Harry adalah Horcrux terakhir Voldemort, dan ia harus mati juga sebelum Voldemort dapat dibunuh. Pasrah akan nasibnya, Harry mengorbankan diri dan Voldemort melancarkan kutukan untuk membunuhnya. Tapi alih-alih membunuh Harry, kutukan itu malah menghancurkan bagian dari jiwa Voldemort yang terdapat di tubuhnya. Pada akhirnya, setelah Nagini dibunuh oleh Neville, Voldemort kemudian terbunuh setelah mencoba menggunakan Kutukan pembunuh Avada Kadavra terhadap Harry. Kutukan itu berbalik menyerang Voldemort sendiri oleh Elder Wand.

Dalam kisah di akhir buku, pada tahun 2017, 19 tahun setelah Pertempuran di Hogwarts, Harry dan Ginny Weasley telah memiliki tiga anak bernama James, Albus Severus, dan Lily. Neville Longbottom telah menjadi guru Herbologi di Hogwarts. Ron dan Hermione telah memiliki dua anak bernama Rose dan Hugo. Draco Malfoy memiliki anak bernama Scorpius. Mereka seluruhnya bertemu di stasius kereta api King’s Cross, untuk mengantar anak-anak mereka bersekolah ke Hogwarts. Di sana diungkapkan bahwa bekas luka Harry tidak pernah sakit lagi setelah kekalahan Pangeran Kegelapan.

Klik disini untuk download Novel Harry Potter And The Deathly Hallows

Filetype: pdf
Filesize: 1.460 KB
Language: English
638 Halaman

Read More..
 
Novel Laskar Pelangi


Dunia Film indonesia saat ini sedang di gebrak dengan kehadiran film Laskar Pelangi, karya sutradara Riri Riza, Film ini sudah berhasil menembus angka 1,3 juta penonton sejak pemutaran perdananya 25 september lalu..dan ini masih merupakan hasil sementara dan akan terus bertambah, itu yang dikatakan oleh produser film ini Mira Lesmana, Film Laskar Pelangi ini diangkat dari Novel Laskar Pelangi yang di tulis oleh Andrea Hirata, Novel ini menjadi inspirasi banyak orang karena mengisahkan tentang pentingnya pendidikan bagi semua lapisan masyarakat. Novel ini telah terjual hingga jutaan eksemplar... anda ingin tahu sinopsis dari Laskar Pelangi ini?? Sudahkah anda membaca Novel Laskar Pelangi???

Sangat Luar Biasa Fenomena film Laskar Pelangi ini, sampai presiden kita bapak Susilo Bambang Yudhoyono ikut mempromosikan agar film ini ditonton oleh orang banyak, oleh semua kalangan, sampai anak jalanan.. Sukses Untuk Laskar Pelangi..

Sinopsis Film Laskar Pelangi

Hari pertama pembukaan kelas baru di sekolah SD Muhammadyah menjadi sangat menegangkan bagi dua guru luar biasa, Muslimah (Cut Mini) dan Pak Harfan (Ikranagara), serta 9 orang murid yang menunggu di sekolah yang terletak di desa Gantong, Belitong. Sebab kalau tidak mencapai 10 murid yang mendaftar, sekolah akan ditutup.

Hari itu, Harun, seorang murid istimewa menyelamatkan mereka. Ke 10 murid yang kemudian diberi nama Laskar Pelangi oleh Bu Muslimah, menjalin kisah yang tak terlupakan.

5 tahun bersama, Bu Mus, Pak Harfan dan ke 10 murid dengan keunikan dan keistimewaannya masing masing, berjuang untuk terus bisa sekolah. Di antara berbagai tantangan berat dan tekanan untuk menyerah, Ikal (Zulfani), Lintang (Ferdian) dan Mahar (Veris Yamarno) dengan bakat dan kecerdasannya muncul sebagai pendorong semangat sekolah mereka.

Di tengah upaya untuk tetap mempertahankan sekolah, mereka kehilangan sosok yang mereka cintai. Sanggupkah mereka bertahan menghadapi cobaan demi cobaan?

Film ini dipenuhi kisah tentang tantangan kalangan pinggiran, dan kisah penuh haru tentang perjuangan hidup menggapai mimpi, serta keindahan persahabatan yang menyelamatkan hidup manusia, dengan latar belakang sebuah pulau indah yang pernah menjadi salah satu pulau terkaya di Indonesia.


Tertarik Ingin Membaca Novel Laskar Pelangi?? anda bisa mendapatkan dan membaca Novel Laskar Pelangi dengan Mendownloadnya disini

Download Novel Laskar Pelangi

Terima Kasih.. Postingan ini atas sumbangan dan saran dari sang pencuri kode dan sinopsis diatas saya ambil dari Sini

Read More..
 
Cerpen Ini Kisahku

Saat membaca kisah ini, bayangkan lagu Peterpan, Kukatakan, mengalun pelan, mengiringi sekaligus menjadi soundtrack kisah ini.

Kukatakan dengan indah
Dengan terluka, hatiku hampa
Sepertinya luka

***

Kutulis kisahku, di sini. Pada karang dengan jari telanjang. Perih! Bukan hanya jari, namun seluruh persendianku, terasa dilumuri darah. Teramputasi! Seluruh ruang hatiku, porak-poranda oleh badai airmata yang sesamudera.
Bukan kurutuki takdir. Tak ingin menjadi pendosa dengan mengkufuri nikmat. Beginilah kenyataan. Inilah kisah yang harus kulakonkan, di antara para aktor lain yang begitu mudah mendapat peran jagoan, kaya, cakep... semua! Aku tak boleh bermimpi, aku harus tetap terjaga bahwa aku hanyalah pecundang.
"Kamu pengecut!"
"Biarin!"
"Kamu tahunya menangis. Bahkan saat Tuhan memintamu tersenyum pun, kamu tetap merasa dicurangi takdir."
"Kamu bukan aku, Sandi. Kamu hanya tahu bahwa aku telah betah dengan tangis. Kamu tak pernah merasa, betapa pedihnya luka yang membuatku menangis."
Pffuihh...! Sandi membuang ludah tanpa melepaskan tatapan sinisnya ke arahku. Emosi!
"Jadi kamu pikir, kemiskinan yang kamu sandang adalah luka? Semua ketidaksempurnaan yang kamu miliki adalah kesalahan Tuhan karena telah pilih kasih?"
"Cukup! Aku tidak pernah menyalahkan Tuhan," potongku saat untuk yang kedua kalinya dia menyebut nama Tuhan di depanku.
"Lalu kenapa masih mau bersembunyi dari semua orang?"
Desah napas keras seolah mengakhiri napasku. Aku memilih bisu. Benakku tetap merangkai untaian kalimat, sekilau mutiara, saat tertuang dalam kisah puisi ataupun cerpen, semua akan kagum. Mataku tetap menatap wajah Sandi, sahabatku. Sesekali kuburu dan kucari tatapannya, saat dia membuangnya dariku. Sinis!
Sandi satu-satunya yang tahu, jika Rudi Wijaya, yang selama ini digilai penikmat puisi dan cerpen remaja, adalah aku. Dan aku tak ingin, ada yang lain tahu. Aku lebih betah menjadi seorang Safar, nama asliku, daripada seorang Rudi Wijaya, nama pena yang sering kugunakan di setiap tulisanku.
Ya, aku bangga dengan diriku sebagai Safar. Seorang pekerja keras, yang tak pernah puas meski orang telah memujanya. Aku hanya bisa tersenyum, menertawai, ketika semua orang memujiku dan menganggap novel yang kuterbitkan indie, dan terjual laris meski aku pemula, adalah keajaiban.
Bagiku, dunia ini tak lagi menyisakan keajaiban. Semua harus ditukar dengan kerja keras. Terlalu menghina, novel yang kutulis selama tiga tahun, dan mendapat predikat The Best Seller, disebutnya sebagai keajaiban.
Patutkah disebut sebagai keajaiban, jika novel itu awalnya kutulis dalam bentuk steno, di atas kertas buram? Bukan kurang kerjaan, meski memang kekurangan kertas. Juga kekurangan dana, hingga steno itu adalah paket hemat, yang membuat biaya rental komputerku menjadi irit. Aku pernah punya mimpi. Punya komputer, dalam sebuah kamar yang ber-AC. Menarikan jari di atas keyboard komputer, sambil sesekali meneguk kopi susu. Tapi benar-benar hanya mimpi!
Masihkah ada yang mau menyebutnya sebagai keajaiban, jika tahu bahwa novel yang kini di tangannya, membuatnya terkagum-kagum, tertunda terbit karena aku harus menunggu celengan ayamku penuh, lalu kupecahkan. Semua karena harus kuterbitkan indie dan kubiayai sendiri. Tak adakah yang bertanya, mengapa novel yang di tangannya begitu buram, hasil fotocopy, dan terbit pada sebuah penerbitan yang sebelumnya belum pernah terdengar namanya?
Jika bukan keinginan yang keras seorang Safar, novel indie itu takkan pernah ada. Terlebih tak akan ada seorang Rudi Wijaya, yang kini dielu-elukan. Karenanya, aku benci pada diriku sebagai seorang Rudi Wijaya. Tahunya hanya menangis, dan melarikan diri dalam negeri khayalannya.
"Apa lagi yang menghalangimu untuk memiliki Tania? Kamu tinggal bilang, kamu adalah Rudi Wijaya, yang selalu dielu-elukannya selama ini. Kamu tinggal mencopot nama Safar dari dirimu, lalu berganti menjadi Rudi Wijaya."
"Tania terlalu...."
Sandi memotong. "Terlalu tinggi untuk kamu gapai? Begitu? Selamat datang di alam nyata, Safar. Kamu tidak sedang bermain di negeri khayalan yang sering kamu ciptakan. Hanya negeri dongeng yang selalu menjadikan cowok tajir hanya sepadan dengan cewek tajir pula."
Percuma aku jawab. Bicaraku hanya sia-sia. Sandi takkan pernah menyerah untuk memberiku semangat.
Dia benar. Mungkin terlalu lama larut dalam dunia fiksi, hingga aku tak pernah yakin bahwa ada dunia di luar imajinasiku. Dunia nyata. Dunia yang memungkinkan apa pun bisa terjadi. Seperti kejadian yang selalu kuangankan, bahwa Tania yang cantik, kaya, bisa dimiliki oleh seorang Safar yang...? Akh, aku takut melanjutkan kalimatku sendiri.
Tuhan, benarkah ada pungguk yang mewujudkan rindunya pada bulan? Tania bulan yang kumau. Hanya dia! Namanya bersarang di benakku. Sesekali terbang, namun akan selalu kembali dan hinggap di ranting hatiku yang rapuh.
"Aku yakin kamu telah ngaca, Safar. Tapi jangan karena dirimu cakep, lalu memberanikan diri mengirim surat untukku," ucap Tania saat itu.
Tak hanya berucap. Tania juga membanting pintu mobil, lalu menghamburkan sobekan suratku yang telah dicabiknya, Sakit. Butuh perjalanan waktu yang panjang, butuh benang jahitan yang panjang untuk menyatukan kembali bekas akutan luka yang Tania goreskan. Syukurku, saat itu tak ada yang melihatku. Tak sepasang mata pun menyaksikan aku tergeletak. Menggelepar seperti unggas yang terkena peluru.
Luka itu menjadi rahasia hidupku. Tapi tak kumengerti. Disakiti serupa itu, mengapa tetap saja aku mengharap. Tak adakah Tania yang lain, Tuhan? Tak adakah Tania lain yang pantas untukku? Aku tak butuh banyak. Satu saja!
Salahku mencinta pada rupa. Hingga tak bisa memuji, jika tak serupa Tania. Serupa cantiknya. Andai ada Tania lain, aku tak butuh dia berpunya ataupun bermewah-mewahan. Aku hanya butuh Tania yang setiap kudapatkan matanya, seperti kejatuhan bola salju. Luka lalu beku! Aku butuh Tania yang air mukanya selalu memancingku untuk tersenyum, meski telah dilukainya. Bahkan dibekukan!
"Kamu belum jera juga?" begitu kata Tania saat mendapatkan aku menatapnya di kantin yang sepi.
"Jangan karena aku tidak pernah jalan dengan cowok mana pun, hingga kamu dengan berani mau melangkah di sisiku sebagai pacar. Tidak akan, Safar! Aku punya cowok. Bukan di sekolah ini! Dia adalah...." kalimatnya terhenti.
Bukan aku yang memotong kalimat itu. Terhenti sendiri lalu melanjutkan langkah meninggalkanku. Cinta memberiku energi untuk memburunya.
"Siapa cowok itu, Tania? Katakan padaku, tunjukkan dan suruh cowok itu menghajarku habis-habisan. Agar aku jera mencintaimu. Agar aku takut berharap pada mimpi manis yang tidak pernah bisa kukecap. Aku harus bertemu cowok itu. Aku butuh orang yang bisa membuatku terjaga bahwa kamu tidak bisa kumiliki. Siapa orang itu?"
Aku seperti tak sadar apa apa yang kututurkan. Inilah kalimat terpanjang yang kuungkapkan pada Tania selama ini. Bahkan dalam surat untuknya pun, aku cuma berani berkalimat:
Kamu pernah melihat pungguk? Kalaupun pungguk benar-benar ada, tapi bagiku burung itu hanyalah kiasan untuk memberi antonim pada bulan yang cantik. Pungguk itu berkaki dua, tak punya sayap, bagaimana mungkin terbang ke bulan. Pungguk itu bernama Safar, Tania! Aku tak mungkin menggapaimu, maka jatuhlah untukku!
"Jadi kamu mau kenal dengan cowokku?"
Tania membuka tas. Mungkin untuk mengambil HP, lalu memperkenalkanku dengan cowoknya, atau mengambil foto dari tasnya. Tapi apa yang keluar dari tas itu membuatku tersentak.
"Ini dia orangnya!" ucapnya membusung dada.
Mataku terbelalak. Sebuah novel indie berjudul 'Kubawa Senja Pulang', dihempaskannya di meja tepat di depan mataku. Di situ tertulis nama penulisnya, Rudi Wijaya!
Itu namaku, Tania! Bisaku hanya membatin. Nama penaku. Nama seekor burung yang sering disebut sebagai pungguk. Itu adalah aku. AKU! Safar, yang begitu banyak orang meliriknya karena cakep, tapi banyak juga yang terhenyak ketika tahu bahwa aku anak seorang pembantu rumah tangga yang sering dibentak oleh Tania, anak majikannya.
Harusnya giliran aku yang membusung dada, jika Rudi Wijaya itu adalah aku. Safar! Tapi aku takut, Tania hanya menertawaiku. Biarlah, dia memujaku sebagai Rudi Wijaya, mungkin hingga sebuah keajaiban menyatukan kami.
Keajaiban? Aku menggeleng. Keajaiban tak ada!
Aku beranikan tersenyum untuk Tania. Meski dia balas dengan cibiran. Aku minta maaf atas salahku yang terlalu lancang mencintai Tania, anak majikan ibuku. Uluran tanganku tak disambutnya.
Aku bisa mengerti. Tania tak pernah menduga, perlakuannya untukku yang seolah bukan anak pembantu di rumahnya, membuatku salah menterjemahkan kebaikannya padaku.

***

Selesai membaca kisah ini, bayangkan lagu Peterpan, Kukatakan, tetap mengalun pelan, mengiringi sekaligus menjadi soundtrack kisah ini.

Kukatakan dengan indah
Dengan terluka, hatiku hampa
Sepertinya luka
Kau beri rasa yang berbeda
Mungkin kusalah
mengartikannya
Kau hancurkan hatiku... hancurkan lagi
Untuk melihatku...

Ini kisahku. Bukan sembarang aku mengambil lagu ini sebagai sound track kisahku. Bukan kesamaan kisah, tapi kesamaan rupa antara aku dan Ariel Peterpan. Ya, aku mirip Ariel. Sangat mirip! Esok atau lusa, kamu bertemu Ariel, hati-hati minta tanda tangan dan foto bareng. Jangan sampai salah orang, bukan tak mungkin itu aku, Safar. Penulis yang memakai nama pena, Rudi Wijaya. ©

Read More..
 
Cerpen aku ingin menikah

"Aku ingin menikah, Sayangku!"
Itu awal dari suratnya. Membuat jantungku berdegup kencang, dan menahan rasa dalam baur. Kukuatkan diriku untuk melanjutkan membaca surat itu, perlahan.
"Aku ingin menikah, Sayangku! Bukan karena semata aku ingin menunaikan hal yang selama ini diserukan oleh agama bagi umatnya yang telah akil-balig, tetapi aku ingin juga menikmati keindahan dan kebahagiaan pernikahan itu sendiri."
Aku menggeleng tanpa sadar.
"Bagiku, pernikahan merupakan sebuah kemantapan batin. Bukanlah hal yang mudah memang untuk menjalani sebuah pernikahan, suatu ikatan sakral yang tak bisa dipermainkan selayaknya ketika berpacaran. Tetapi aku inginkan itu. Aku ingin menikmati susahnya menjadi seorang istri, mempunyai anak dan mengurus mereka. Aku merindukan semua hal itu, dan aku menganggapnya sebagai suatu ibadah karena ada cobaan dan tantangan yang harus aku lalui. Tidak mudah memang menjalani gasingan roda rumah tangga sementara aku juga tengah meniti karier."
Lagi-lagi aku menggeleng tanpa sadar. Padahal wajah manis itu tidak sedang berada di hadapanku. Ia berada jauh, sangat jauh di suatu tempat.
"Bukankah sudah sering kuceritakan dulu bahwa, aku ingin sekali menikah muda. Kau mau tahu alasannya? Karena aku merasa tertantang untuk melakukan hal itu. Boleh jadi semua itu obsesi. Tetapi menjalani hal berat tersebut, aku akan merasa bangga menjadi seorang istri sahih, sekaligus menyandang status ibu bagi anak-anakku. Kau tahu, betapa bahagianya dapat melihat perkembangan mereka dari kecil hingga dewasa. Dan ketika penatku buncah setelah seharian bekerja, aku akan dihibur oleh celoteh kecil dari anak-anakku. Anak-anak yang kulahirkan sendiri dari rahimku. Lagipula, aku juga merasa sudah melakukan perbuatan berpahala jika dapat mengurus suami yang aku cintai dengan dengan layak. Bukankah itu juga merupakan limpahan cinta yang aku aplikasikan dalam perbuatan? Setiap malam pula, aku akan berdandan secantik mungkin di hadapan suamiku agar aku dipeluknya, dan aku dan ia akan bercumbu sampai fajar."
Aku bergidik. Takut membayangkan kenyataan itu.
"Aku tahu, mungkin semua keinginanku ini terlalu picik. Aku pun sadar, ini tidak gampang untukmu. Sebab aku tahu, terlalu banyak hal yang mesti kau selami sebelum benar-benar dapat mewujudkan keinginanku tersebut, menikah! Tetapi keinginanku tersebut bukanlah hal yang muskil. Aku yakin Allah selalu akan memberi jalan bagi umatnya yang ingin berusaha. Allah akan membuka pintu rezeki kau dan aku. Meski aku sadar, saat ini kepapaan kita merupakan aral yang menghambat perwujudan keinginan aku itu. Maafkan aku jika ini terlalu muluk dan sedikit obsesif."
Aku hela napas panjang. Pikiranku berkecamuk.
"Kau tahu, Sayangku? Betapa aku ingin menikah. Betapa aku ingin mengamalkan ibadah nikah. Dengan menikah, berarti aku telah menyempurnakan ibadahku dan juga agamaku. Menikah bukanlah hal yang menakutkan, setidaknya menurut versiku, karena semua tak akan berbeda, kecuali hidup bersama dalam tanggung-jawab dan kewajiban masing-masing."
Aku semakin kalut. Menggigil dalam diam.
"Sayangku, dengan menikah bukan berarti kau akan terpasung bagai penjara. Tidak. Kau masih bisa beraktivitas seperti biasa. Yang berbeda hanyalah dimensi dan ruang yang berbeda pula. Kau masih akan memiliki waktu luang. Begitu pula sebaliknya dengan aku. Kita hanya perlu mengganti status kita yang lajang dengan suami bagi kau, dan istri bagi aku."
Aku masih membaca suratnya dengan hati galau.
"Aku bisa membayangkan betapa bahagianya dapat memiliki kesempatan untuk berumah tangga. Betapa semua ini adalah anugerah yang tidak setiap orang mendapatkannya. Kau dan aku akan saling menyayangi. Saling berbagi. Saling bercengkerama. Dan mungkin saling bertengkar untuk memadukan ketidaksepahaman. Namun aku yakin, kita adalah pengawal dan penjaga hati bagi diri kita masing-masing. Kau akan merawatku, demikian pula sebaliknya. Aku akan merawatmu. Kita akan sehidup-semati!"
Aku terhenyak. Kalimat dalam suratnya menohok dadaku. Aku terlalu miskin untuk mewujudkan keagungan yang dikehendakinya!
"Sayangku, keinginan ini sesungguhnya sudah kupendam sejak lama. Namun selama ini aku bagai pecundang yang tidak berani mengungkap. Hati dan batinku tidak akan pernah tenang selamanya. Bahwa hubungan yang telah kita bina selama ini akan tersuruk di dalam limbah dosa. Bahwa hubungan yang telah kita rajut selama ini akan terempas oleh kekerdilan kita yang salah mengarti. Sesungguhnya banyak godaan yang kelak akan menghancurkan hidup aku dan kau jika kita masih bertahan dan menepis 'pernikahan sakral' yang merupakan ibadah itu."
Aku tepekur serupa patung.
"Sayangku, tentulah kau akan mengartikan semuanya ini terlalu naif bagi kita yang belia. Mungkin. Apalagi aku masih saja merintis karierku yang baru seumur jagung. Demikian pula dengan kau yang baru ingin merdeka dan mandiri, terlepas dari tanggung jawab kedua orangtuamu yang sudah uzur. Tetapi aku yakin, semua itu dapat kita padukan seiring-sejalan jika kita memang bersikeras menjalaninya dengan sepenuh hati. Ya, sepenuh hati. Seperti cinta yang telah kita bina selama ini."
Aku memejamkan mata. Mencoba untuk meredakan kecamuk di benakku.
"Pikirmu, kita ini mungkin terlalu rapuh, dan berlagak tegar dengan membangun bahtera rumah tangga. Sayangku, pikirmu betapa bernyalinya aku yang berani mengarungi deru dan kerasnya ombak kehidupan dengan bahtera rumah tangga yang dinahkodai olehmu. Tetapi tidak, Sayangku. Tidak. Bukankah sudah kukatakan bahwa, Allah, Insya Allah, tidak akan membiarkan kita tenggelam jika bahtera rumah tangga kita selalu berada di jalan yang benar? Kalaupun ada gelombang, itu hanyalah riak-riak kecil dan merupakan cobaan hidup buat menempa kita menjadi tangguh dan kuat. Jadi, perkenankanlah aku mewujudkan impianku ini, Sayangku. Biarlah semuanya; karier dan cinta dalam rumah tangga kita seiring-sejalan dan berjalan secara alami."
Aku mengusap wajah, mencoba menghalau resah dan gentar.
"Menurutku, satu tahun sudah cukup untuk mengenal karakter kita masing-masing, dan aku rasa telah cukup mengenalmu. Apa pemahamanku ini salah?"
Aku mengangguk tak sadar, lantas menggeleng cepat menggebah pengakuan nuraniku tadi.
"Mungkin kau akan terbebani oleh permintaanku ini, Sayangku. Tetapi bukan maksudku membebanimu dengan masalah baru meski saat ini kau masih berkutat dengan masalahmu yang belum terpecahkan sendiri, yang saat ini tengah belajar untuk mandiri dan dewasa dan tak tergantung lagi oleh orangtuamu yang tergolong sederhana. Namun aku hanya tidak ingin kita terjerembab di dalam cinta yang telah tercemari nista. Terkutuklah kita nantinya, Sayangku. Dan aku lebih memilih hidup sengsara di dalam bahtera rumah tangga yang rapuh ketimbang harus menanggung beban dosa yang kita ciptakan di atas kenikmatan ragawi."
Mataku mulai memanas. Tegarku diaduk haru. Aku teringat kedua orangtuaku yang sudah tua, serta dua orang adikku yang masih kecil-kecil, yang mesti aku tanggung. Berapa nyawa yang akan kuhidupi kelak?!
"Tahajudlah, Sayangku. Keputusan ini memang mahaberat. Namun Allah pasti memberi petunjuk dan akan meringankan segala beban batin yang kau pikul."
Aku seperti gila. Kuacak-acak rambutku sembari menggigit bibir. Airmataku sudah jatuh berlinang.
"Maafkan aku, Sayangku. Aku merasa cinta terlalu sempurna untuk dikotori dengan nista. Bukan karena aku ini suci, namun justru karena itulah aku ingin mensucikan cinta kita. Menempatkannya di tempat teratas, dan jauh dari tagut."
Aku menjerit tanpa sadar. Menelungkupkan kedua belah telapak tangan di wajahku yang sembap.
"Sayangku, cinta yang suci akan menyempurnakan kita menjadi insan yang lebih baik. Menikah adalah ibadah. Dan bukannya mengikat kita serupa belenggu. Renungilah semua itu."
Aku sesenggukan. Airmataku tak terbendung. Tiba-tiba menjadi lebih cengeng ketimbang bocah.
"Biarlah kita belajar untuk menjadi dewasa di dalam pernikahan sakral ini, Sayangku. Biarlah waktu akan menempa dan membentuk kita menjadi manusia yang tegar di jalan yang telah kita pilih: Pernikahan! Jangan sangsi dengan keputusan mahaberat yang telah kita putuskan bersama: Pernikahan! Ketidakberdayaan dan kelemahan hanya belenggu yang senantiasa mengikat kita dalam mungkir, sehingga bila cuai kelak, maka kita akan dijerumuskan dalam sesat cinta terlarang. Aku tidak ingin kita jatuh dalam zinah. Dan penuhi permintaanku yang mungkin hanya kupinta seumur hidupku: Nikahi aku!"
Aku seperti sudah tidak sanggup meneruskan membaca surat darinya.
"Yakinlah dengan jalan yang kita pilih ini, Sayangku. Lalui semuanya dengan ikhlas."
Aku menelentangkan diri di pembaringan, tubuhku lemas di antara tangisku yang sedu.
"Atas nama cinta yang wangi, sudilah kau menikahiku, Sayangku. Seberat apapun keputusan itu. Karena aku yakin, jalan yang kau putuskan, suatu saat kelak, akan indah pada waktunya! Sebab Allah Maha Besar, dan akan membimbing serta menuntun kita dengan cahaya-Nya! Yakinlah!"
Aku bangkit dari berbaring, masih berusaha meraih surat darinya yang kuempaskan sesaat tadi. Surat yang membuat aku seperti pengecut yang kehilangan nyawa. Surat darinya itu kulanjutkan sekilas dengan ekor mataku.
"Aku tidak peduli, seberapa besar cintamu kepadaku. Mungkin juga kau tak pernah tahu, seberapa besar aku mencintaimu dan mengharap kau untuk menjadi pendampingku. Tetapi jika Allah menghendaki, maka kaulah yang akan dipilih-Nya untuk menjadi ayah dan imam untuk aku dan anak-anakku kelak."
Aku menjatuhkan diriku di lantai, bersujud dan tafakur dalam tangis. Bimbing aku ya, Allah! Aku telah siap menghadapi semua 'cobaan' yang mungkin Engkau berikan kepadaku dalam bentuk pernikahan ini. ©

Read More..
 
Cerpen biarkan aku mencintaimu dalam sunyi

Kekasihku, jika engkau membaca e-mail ini, cobalah untuk mulai belajar melupakanku. Aku tahu kenyataan itu memang pahit dan berat buatmu, terlebih lagi buatku. Apalagi jika mengenang hari-hari penuh warna bersamamu, malam-malam yang liar bermandi peluh di apartemenku atau siang yang penuh gairah di hotel, tempat dimana kita saling melepas rindu sesaat sebelum kembali ke kantor masing-masing.
Masih teringat jelas dalam benakku saat pertama kita bertemu, pada sebuah akhir pekan yang basah diguyur hujan seharian, dalam cafe yang disiram cahaya temaram diiringi tembang jazz melankolis. Kamu datang ke arahku dengan pesona kemilau kelelakianmu yang segera memporak-porandakan hatiku seketika dalam hitungan detik. Aku tak sempat berkata apa pun, saat dengan sopan dan bersahaja, kamu mengajakku melantai. Tanganmu yang kekar memegang lembut bahuku dan harum napasmu menggetarkan seluruh urat dalam tubuhku yang dahaga oleh cinta, saat kita berdansa dalam remang lampu cafe yang romantis. Hatiku tak mampu memungkiri bahwa, aku jatuh cinta padamu pada pandangan pertama.
"Jadilah kekasih rahasiaku," katamu di ambang pintu apartemen saat mengantarku pulang pada malam berkesan itu. Kamu lantas mencium dahiku dengan lembut, tanpa perlu menunggu persetujuanku lebih dulu. Jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. Sebuah fenomena yang tak pernah aku rasakan dari lelaki manapun yang pernah singgah dalam relung hatiku selama ini.
Aku tak punya kekuatan apa pun untuk menolak permintaanmu meski aku tahu sesungguhnya kamu telah memiliki keluarga yang dengan cemas menunggumu di rumah. Aku begitu terlena olehmu dan gelora gairah purba yang tiba-tiba muncul dalam diriku telah menghempaskan kita berdua dalam lautan petualangan cinta tak bertepi.
Sejak itu, kita merajut hari demi hari dengan ceria. Sorot matamu yang teduh namun tegas membuatku merasa selalu nyaman berada di dekatmu. Aku senantiasa merasa tersanjung ketika dalam setiap e-mailmu kepadaku, kamu selalu menyelipkan sebait-dua puisi cinta yang membuatku seperti melayang ke langit yang ketujuh. Tahukah kamu kekasihku, aku selalu menyimpan rapi puisi-puisi cintamu itu dalam helai demi helai buku harianku yang setiap malam aku buka kembali, membacanya pelan dengan bibir bergetar, berulang-ulang, sampai setiap kata demi katanya meresap dalam setiap sumsum tulangku, mengaliri setiap nadiku dan akhirnya menggelegak dalam sebuah orgasme misterius yang berpendar-pendar dalam setiap relung kamarku. Kamu memang paling tahu bagaimana membuatku berharga, kekasihku.
Aku masih ingat betul salah satu momen kencan kita yang membuatku senantiasa mengenang betapa indah melewatkan hari demi hari bersamamu.
"Jangan pernah me-rebonding rambutmu, Sayang," katamu padaku saat kita melewatkan senja temaram di bibir pantai seraya membelai ikal rambutku.
"Kenapa?" tanyaku penasaran.
"Setiap kali membelai rambutmu, aku merasakan sensasi yang berbeda saat jari-jariku memilin dan menelusuri ruas demi ruas rambutmu. Ketika ruas rambutmu bergerak kembali menjadi ikal saat jariku lepas dari ujungnya, rambut itu meretas lurus sejenak, lalu berpilin lagi, perlahan tapi pasti seperti alunan ombak di depan sana. Aku begitu menyukainya," jawabmu tulus.
Aku tersipu dan kemudian kita tertawa bersama, kemudian memandang debur ombak yang menghempas pantai serta merasakan desau angin senja yang sejuk. Kamu kemudian memeluk pundakku erat-erat dan bersama-sama lagi kita terpana menyaksikan keindahan mentari beranjak ke peraduan di ufuk cakrawala meninggalkan jejak-jejak merah jingga.
Aku tahu, kamu tentu tidak akan setuju pada keputusanku ini, namun percayalah ini jalan terbaik yang mesti kita tempuh, untuk saling memelihara bara api cinta kita secara elegan. Kemarin, ketika secara tidak sengaja kita bertemu di mal, kamu mengenalkan aku pada istri dan anakmu. Saat itu aku tahu, dari balik sorot matanya yang polos dan sederhana, istrimu memendam kepedihan yang lebih berat dari yang aku rasakan saat ini. Pun dari binar mata ceria, Ananda, anakmu aku menangkap seberkas cahaya pilu dan kehilangan sosok ayah yang didambakannya. Dalam pertemuan yang begitu singkat itu aku pun segera mendefinisikan ulang makna hubungan kita. Bukan semata atas dasar 'solidaritas sesama wanita', tapi lebih dari itu, komitmen rahasia yang kita bangun dalam setiap cumbuanmu dan desah napasku, pada dasarnya begitu rapuh terutama oleh kesangsianku memaknai hubungan kita lebih lanjut. Keluarga yang dengan setia menunggumu di rumah lebih berarti dari diriku yang bagimu sekedar penyalur hasrat kelelakianmu. Aku merasakan kepedihan luar biasa merambati hatiku saat menyaksikan kalian sekeluarga berjalan mesra berpelukan di hadapanku, setelah pertemuan di mal kemarin.
Sungguh beruntung Mbak Rita, istrimu, yang memiliki tajam mata elangmu dan kekar tubuhmu. Meski sudah berulang kali kamu katakan: "Dia boleh memilikiku, tapi hatiku hanya untukmu," lewat bisik lirih di telingaku, selalu, sesaat setelah kita menuntaskan hajat percintaan kita. (Ketika itu, aku memang tidak peduli entah pada berapa banyak wanita lain kamu ungkapkan pernyataan yang sama). Saat ini aku baru menyadari sepenuhnya bahwa 'kepemilikan' atas hatimu hanya semu belaka.
Bahwa aku mencintaimu sepenuh jiwa, aku tidak memungkirinya. Malam demi malam kulalui tanpa sedikit pun melewatkan lamunan tentangmu. Termasuk membangun keluarga bahagia bersamamu dengan anak-anak yang lucu sebagai perekat rumah tangga kita. Namun semuanya mendadak hilang tak berbekas, ketika menyadari bahwa aku hanya menjadi kekasih rahasiamu, yang menemanimu berlari dari jiwamu yang dahaga karena cinta yang mengerontang. Seperti katamu setiap kita usai bercumbu: "Istriku tidak pernah memberi lebih baik seperti yang telah kamu persembahkan kepadaku."
Pada saat yang sama, kamu sering bercerita tentang kelucuan Ananda, putri semata wayangmu yang baru berusia dua setengah tahun. Dengan bersemangat dan mata berpijar, kamu mengisahkan bagaimana Ananda belajar mengucapkan kata demi kata. Kamu kemudian memperagakan bagaimana Ananda salah mengeja kata yang kamu ajarkan, lalu kita pun tertawa berderai. Kamu pun pernah bercerita bahwa setiap pagi, dengan setia, Ananda akan membangunkan tidurmu yang lelap dengan menarik kumis atau bulu betismu dengan gemas. Kita pun kembali tertawa bersama mendengarnya. Aku senang mendengarmu tertawa begitu lepas dan renyah.
Kamu sangat menyayangi Ananda — yang sering kali aku tangkap dari sorot mata elangmumu yang berpijar setiap kamu bercerita tentangnya. Sempat terbersit rasa cemburu di hatiku namun segera kutepis jauh-jauh, karena dia adalah buah hati tercintamu. Tapi tak urung, kesedihan terkadang menyeruak dalam batinku, bahwa sesungguhnya, tidak hanya aku yang menempati sisi relung hatimu. Ada senyum polos Ananda di sana yang membuatmu senantiasa ceria meniti hari. Yang paling membuatku kian nelangsa adalah, aku ingin kisah yang kamu tuturkan adalah tentang tingkah lucu anak kita, yang lahir dari kehangatan rahimku, buah kasih kita berdua.
Kita memang telah siap menempuh segala resiko dari hubungan rahasia kita. Namun dari lubuk hatiku paling dalam, setelah pertemuan dengan keluargamu kemarin, aku tak kuasa untuk segera menetapkan hati berpisah darimu, meski kepedihan melanda jiwaku saat ini. Cinta memang tidak dibangun untuk membuat rasa kehilangan, tapi pada akhirnya aku menyadari cinta antara kita mempunyai batas tepiannya sendiri. Sesuatu yang, sesungguhnya aku sadari akan terjadi sejak awal, cepat atau lambat, namun akhirnya kuingkari saat pesonamu membetotku dan membawaku ke dalam pusaran cintamu yang melenakan.
Aku akan simpan rapat-rapat kenangan manis di antara kita dalam bilik hatiku, dan kemudian membiarkannya mengendap dalam senyap.
Kekasihku, mulai saat ini, cobalah belajar melupakanku sebagaimana saat ini aku telah mengunci rapat-rapat pintu hatiku untukmu. Aku tetap menyimpan puisi-puisi cintamu padaku sebagai monumen paling berharga tentangmu pada tempat yang aku harapkan tidak akan aku buka lagi sampai kapan pun.
Aku pun tidak akan me-rebonding rambutku seperti pintamu, agar aku senantiasa merasakan telusur jarimu yang membelai mesra ikal rambutku, memilinnya perlahan kemudian meresapinya dalam-dalam pada setiap desah napasku setiap kali ritual percintaan kita usai. Jangan pernah mencoba untuk menghubungiku dengan cara atau dalih apa pun, sebab semuanya akan berakhir sia-sia.
Aku ingin kamu menghormati pilihan yang telah kuambil dan juga tak akan kusesali, atas nama bara api cinta yang telah kita tumbuh-suburkan dalam dada kita masing-masing selama ini. Yang telah kita titipkan lewat debur ombak yang mengalun seperti ikal rambutku, yang berlalu bersama desau angin senja. Tapi kekasihku, biarkan aku mencintaimu, dalam sunyi. ©

Read More..
 
Cerpen Tentang Kesetiaan

Cewekku namanya Caca. Sebenarnya dia baik. Apalagi wajahnya cantik dan dia adalah seorang yang periang. Suasana jadi selalu ramai. Dan malam ini, aku seneng banget bisa berduaan sama Caca setelah kesibukan di kampus. Malam ini indaaahh.... banget! Tapi sebuah sms telah mengacaukan semuanya. Dan Caca yang cantik dan baik itu, berubah bagai kucing yang sedang mengamuk.
Caca menyodorkan ponselku setelah dia membaca sms yang masuk tadi. Caca memang selalu 'menguasai' ponselku saat kami sedang bersama-sama. Wajahnya sereemm banget! Aku jadi penasaran. Ada yang nggak beres nih!
Ternyata dari Maya!
'Malam. Sebel deh nggak bisa ketemu elo. Dari kemarin adaaa aja alasan. Skrg lo dmana?'
"Ada ya, temen yang rajin laporan; jam segini ada di sini, lagi begini, mau begitu, nanti begini, besok bla-bla-.bla! Selalu ada selamat pagi, sore, malam... terus selalu mau tahu ada dimana, ngapain...." Caca melotot. "Sumpah! Sebenernya hubungan kalian sampe mana sih? Ada apa? Nggak mungkin cuma sobatan. Atau.... Temen Tapi Mesra?"
Aku memilih diam. Caca pantas marah. Dia pasti cemburu. Hei, cemburu kan tanda cinta. Berarti Caca cinta banget dong sama aku!
"Gue juga punya sobat cowok, Bim! Tapi nggak gitu-gitu banget! Gue bisa hapal, dalam satu minggu, sms dari cewek reseh itu bisa masuk ke hp lo lebih dari dua puluh kali! Hebat!"
Aku masih diam.
"Gue pikir, setelah petengkaran-pertengkaran kita, lo akan membatasi hubungan lo sama cewek itu. Terutama setelah pertengkaran terakhir kita minggu lalu. Eh... ternyata hasilnya masih sama ! Lo masih kayak begini?"
"Ca, coba simak lagi. Baca sekali lagi. Dia bilang kan sebel nggak bisa ketemu gue dan selalu ada alasan. Nah, berarti gue udah berusaha menjauhi dia, kan? Ayolah, jangan rusak malam ini, Ca!"
"Malam ini udah kelewat rusak! Gue mau pulang!"
Caca beranjak tanpa babibu lagi. Malam ini keindahannya sudah berakhir.

***

Aku bukan sahabat yang baik. Aku juga bukan kekasih yang baik. Aku tak tahu apa sebutan yang tepat untukku. Saat sahabatku membutuhkan aku, aku malah mengabaikannya demi sebuah janji pada kekasih.

Caca berhak marah dan cemburu. Cewek mana pun pasti akan berlaku sama. Maya adalah salah satu kawan baikku sejak kecil. Bersama teman yang lain, kami selalu bersama-sama. Kemudian kami semua pisah sekolah, tapi kami tetap berkomunikasi dan janji bertemu. Terakhir hubungan itu masih tetap terjalin saat kami masing-masing duduk di bangku SMA. Sejak kami duduk di bangku kuliah hubungan itu terputus. Kami masing-masing sibuk. Saat aku mulai pacaran sama Caca, tiba-tiba Maya menghubungiku lagi dan komunikasi kami kembali lancar. Tapi Caca nggak bisa menerima. Di mata Caca, aku dan Maya terlalu dekat.
Maya benar-benar sahabatku. Tidak lebih. Kalau menurut Caca aku terlalu memperh atikan Maya, benar! Aku tahu banyak tentang Maya . Di balik sikapnya yang rame, ternyata suatu saat dia bisa begitu rapuh dan menja di orang yang sangat lemah. Maya memang lemah. Dia tidak seperti kelihatannya. Kalau sudah begitu aku hanya bisa me meluknya. Berada di dekat Maya membuatku merasa dibutuhkan.
Maya tahu tentang Caca. Jelaslah, aku ceritakan semua hal tentang cewek cantikku itu pada Maya. Kepada Caca aku juga bercerita tentang sahabatku Maya. Dan mereka sudah pernah kupertemukan. Mulanya Caca bisa menerima kalau aku sobatan sama Maya. Tapi lama-lama kemudian Caca mulai menunjukkan tanduknya. Dia mulai nggak suka melihat aku teleponan sama Maya. Dia juga benci banget kalau melihat sms Maya muncul. Aku juga bingung. Aku nggak mungkin memutuskan persah abatanku dengan Maya begitu saja, terutama karena aku tahu banyak apa yang sedang menimpa Maya... Maya sedang membutuhkan seseorang. Kebetulan orang itu adalah aku.

***

Hari ini aku ingin sekali menelepon Caca. Aku ingin minta maaf dan ingin merayunya. Tapi Caca pasti masih sebel banget sama aku. Kalau masih marah begitu, dia akan menolak teleponku atau malah menutupnya. Paling sial kalau dia malah ngamuk dan mengeluarkan kata-kata mantra di telepon. Wah, mending tunda dulu deh menelepon dia. Biar dia tenang dulu. Kalau sudah tenang, aku yakin Caca pasti mau menerima teleponku dan memaafkan aku. Malah Caca pasti kangen sama aku. Hah!
Mending aku telepon Maya dulu. Aku akan jelaskan soal smsnya kemarin malam itu.
"Haaa... lo jahat!"
Itu kalimat pertama yang aku dengar begitu ponselku nyambung ke nomornya.
"Gue sibuk, May!"
"Haaa... sok sibuk lo! Sampe nggak sempet hubungin gue. Jahat!"
"Udah ah jangan marah-marah mulu! Kan sekarang gue hubungin elo. Gimana, lo sehat kan, baik-baik aja kan?"
"Lumayan. Kemarin agak capek dan kambuh lagi. Tapi baik-baik aja, kok. Sekarang gue lagi nyiapin sumpahan buat lo!"
Itulah Maya. Ceria, rame dan sembarangan. Gayanya itu bikin aku menyukai persahabatan ini. Tapi Caca....
"Kenapa lo? Kok diam aja? Haaa... takut ya sama sumpahan gue? Tenang, sumpahan yang gue siapin ini nggak jahat-jahat banget. Cuma... 'sumpah jerawat lo tambah banyak, sumpah lo nggak ganteng lagi, sumpah lo nggak kawin-kawin.... hahaha!"
"Gue lagi berantem sama Caca!"
"Wah, seru tuh! Kenapa lagi?"
"Gara-gara sms lo semalem."
Sepi.
"May?"
"Gue jadi bingung. Gue kan cuma sms doang. Sms gue kan biasa aja, Bim. Nggak ada tanda-tanda apa pun. Apa lagi sampe ke pornografi."
"Iya, gue juga udah berusaha jelasin ke Caca, tapi dia nggak ngerti. Maafin Caca juga ya, May!"
"Maksud lo, selama ini hubungan kita jadi mengganggu hubungan lo sama Caca? Bim, aku kan nggak ngapain-ngapainin elo! Kita kan udah sobatan sejak kecil, sejak Caca belum ada di antara kita!"
Wah, aku nggak ngira Maya bisa protes begini.
"Pantes belakangan ini lo sulit banget dihubungi. Sms gue nggak dibales. Telepon gue nggak dijawab. Gue pikir lo bener-bener sibuk di kampus. Taunya lo bermaksud jauhin gue!"
"Eh, tapi beneran gue sibuk di kampus, May! Suer!"
Sepi.
"Ya, udah. Gue seneng kabar lo baik-baik aja. Lo tetep sahabat gue yang paling baik yang paling bawel... bye! Jaga diri baik-baik ya, May!"
Tep.
Baru saja ponsel kumatikan, di depanku sudah berdiri Caca plus dengan muka cemberutnya yang bikin cantiknya bener-bener hilang.
"Pantes dihubungin dari tadi hp lo sibuuukk terus."
"Caca? Ngapain ke sini?" Sumpah aku kaget. Nggak nyangka pacarku datang duluan sebelum aku minta maaf dan merayunya.
"Gue ke sini mau ngambil tas gue yang semalam ketinggalan di mobil lo! Jangan GR!" Caca beranjak ke mobilku yang kebetulan tidak kukunci. Aku segera menarik tangannya.
"Ca, maafin soal semalam ya."
"Aduh, Bim! Cape deh kalo cuma denger maaf, maaf, maaf."
"Abis gue mau ngomong apa lagi?"
Tak disangka tiba-tiba Caca meraih ponsel di tanganku dengan gerakan cepat. Dia mengecek sesuatu. Lalu...
"Barusan aja lo abis nelepon dia, ini buktinya!" Caca menunjukkan register di ponselku. Aku nggak bisa mengelak. "Sementara semalam kita baru berantem soal ini, eh lo udah asyik-asyik teleponan sama dia."
"Gue lagi jelasin ke dia, supaya dia nggak hubungin gue lagi...."
"Basi!"
"Bener, Ca!"
Caca tak menggubris kata-kataku, dia beranjak. Aku mengejarnya.
"Kita putus, Bim!" Caca menepis tanganku.
Oalah! Putus dari Caca? Bisa gempa bumi aku! Aku nggak mau kehilangan cewek cantik ini. Aku harus menyelamatkan hubungan ini.
"Plis, Ca. Masa putus sih? Apa sih yang salah dengan persahabatan gue dan Maya?"
"Ya jelas salah! Lo kan udah punya cewek. jaga dong perasaan cewek lo!"
"Oke, kasih gue kesempatan. Apa yang harus gue lakukan?"
Caca berhenti. Menatapku dengan matanya yang dingin.
"Cewek mana pun akan berlaku sama, Bim. Jangan sakitin gue! Kita udah sering bertengkar soal Maya, Maya...! Gue capek. Lo harus pilih gue atau dia!"
"Kenapa harus milih? Gue nggak perlu milih, Ca, karena lo memang pacar gue, sedangkan Maya cuma temen."
"Kalo emang gue begitu berarti buat lo, jauhin Maya. Sejauh-jauhnya! Cewek itu juga harus pergi sejauh-jauhnya dari lo. Cuma itu."
Aku terpekur. Lama kemudian aku mengangguk.

***

Aku menepati janjiku pada Caca. Sms dan telepon Maya tak kugubris. Lama-lama Caca mulai percaya lagi padaku dan aku merasa damai. Lama-lama juga Maya merasa kalau aku menjauhinya. Mungkin Maya kecewa. Suatu hari dia mengirim sms:
'Kangen bngt ngobrol sama lo, becanda, tertawa. Tp gw tau, ada Caca di sisi lo. Dan lo lbh memilih menjaga hati Caca. Tapi, Bim, berada di sisi lo membuat gw lbh kuat....'
Aku trenyuh membaca kalimat itu. Maya mungkin sedang kesakitan. Dia butuh seseorang. Tapi aku terikat janji pada Caca. Aku berharap ada orang lain saat ini di dekatnya.

***

Hubunganku dengan Caca semakin mulus. Sampai kemudian sms Maya membat pertahananku mulai goyah.
'Lo adlh sahabt terbaik gw. Lo yg slama ini memberi semangat bwt gw. Gw udh cb brtahan, Bim. Tp gw bener-bener butuh lo. Plis, Bim.'


Berapa lama aku tak menghubungi Maya? Sebulan dua bulan.... Aku tak ingat lagi. Maya sudah terlalu kesakitan. Saat seperti itu Maya butuh genggaman tanganku. Aku harus menemuinya. Tapi tiba-tiba Caca muncul.

***

Aku bukan sahabat yang baik. Aku juga bukan kekasih yang baik. Aku tak tahu apa sebutan yang tepat untukku. Saat sahabatku membutuhkan aku, aku malah mengabaikannya demi sebuah janji pada kekasih. Saat aku mencoba setia pada kekasih, pikiran dan perasaanku terus berkecamuk rasa bersalah.
Aku benar-benar bersalah pada Maya. Aku yang selama ini mengaku mengenal tentang Maya, mengetahui apa yang sedang menimpa Maya, ternyata berlaku tega... mengabaikannya!
"Dia penderita leukemia sejak dua tahun yang lalu, Ca. Saat kondisinya sedang lemah dan kanker itu terus menyerangnya, dia butuh seseorang di sampingnya. Sekedar menggenggam tangannya, memberinya kekuatan. Cuma gue yang tahu tentang ini. Dia sendirian, nggak punya siapa-siapa kecuali tantenya yang gendut dan galak itu. Dan akhirnya cuma gue yang, dulu, selalu menemaninya melalui kesakitan-kesakitannya. Belakangan setelah gue terikat janji untuk menjauhi Maya, gue nggak tahu siapa yang ada di sampingnya menggenggam tangannya, melalui masa-masa kesakitannya. Kamu tahu, Ca, saat kesakitan itu datang, Maya sangat tersiksa. Mengerang dan berusaha menahannya. Gue aja sering nggak kuat ngelihat dia begitu... kasihan, Ca. Kasihan Maya. Andai lo tahu betapa gue merasa amat bersalah pada Maya., karena dulu gue pernah berjanji pada Maya untuk selalu menemaninya melalui masa-masa ke sakitannya. Gue melanggar janji itu, demi lo, Ca! Maafin gue, Maya. Gue bukan sahabat yang setia, karena gue sedang mencoba menjadi kekasih yang setia. Maafin gue... maafin gue!"
Kalimat itu kuucapkan di depan tanah merah dan basah. Sebulan Maya berjuang melawan kesakitannya, benar-benar sendirian. Tanpa seorang pun di sisinya, menggenggam tangannya. ©

Read More..
 
Cerpen Hingga Ujung Waktu

Serapuh kelopak sang mawar
Yang disapa badai berselimutkan gontai
Saat aku menahan sendiri
Diterpa dan luka oleh senja....

Shit!
rutukku dalam hati. Kenapa lagu ini sih? Aku menarik napas dalam-dalam dan menghelanya dengan perlahan. Ini lagu yang paling tidak ingin kudengar, apalagi saat sekarang ini. Saat dimana aku tidak bisa melakukan apa-apa kecuali berbaring di atas ranjang dan mengistirahatkan kaki kananku yang patah karena kecelakaan mobil sialan tiga hari lalu itu. Ya, kecelakaan mobil gara-gara pacar 'tersayangku', si Karina, yang merengek-rengek minta dijemput karena supirnya tidak masuk kerja. Minta dijemput mau ke salon. Oh my God! Apa tidak bisa ya cuci rambut sendiri di rumah? Sudah bagus aku mau menjemputnya, eh masih saja dia menelepon ke handphone-ku saat aku sedang menyetir dan berteriak-teriak agar aku lebih cepat lagi sampai di rumahnya. Padahal dia tahu, aku paling tidak bisa ditekan seperti itu. Dan benar saja, pada saat aku sedang meladeni Karina di telepon, tiba-tiba sebuah mobil Kijang biru memotong jalur di depanku dan aku pun membanting setir agar menghindari tabrakan dengan mobil itu. Bodohnya lagi, aku malah menabrak pohon di sebelah jalan. Bagian depan mobilku hancur, kakiku pun patah, benar-benar hari yang sial! Parahnya lagi, gadis 'tersayangku' itu tidak bersikap simpatik sama sekali ketika mengunjungiku di rumah sakit, malah ngambek karena tidak bisa ke salon. Benar-benar menyebalkan!

***

Akhirnya aku menemukanmu
Saat kubergelut dengan waktu
Beruntung aku menemukanmu
Jangan pernah
berhenti
memilikiku....

"Kak Jason? Ada tamu buat kakak, nih. Cewek. Aku suruh masuk ya?" Tiba-tiba suara Sella membuyarkan lamunanku. Aku menoleh ke arah pintu dan mendapati adik perempuanku sedang menjulurkan kepalanya ke celah pintu kamarku. Di belakangnya, aku samar-samar melihat bayangan seseorang berbaju merah.
Wah, pasti Karina nih, mau minta maaf! ujarku dalam hati. Dengan sedikit sebal aku pun menjawab, "Ya, suruh masuk saja Sel. Thanks, ya?"
Namun, setelah Sella mempersilahkan tamu tersebut masuk, aku mendapati diriku sedang duduk berhadapan dengan seseorang yang tidak pernah aku sangka akan aku temui lagi setelah bertahun-tahun lamanya. Gadis yang berdiri di hadapanku sekarang ini bukanlah Karina, dan juga bukan teman-teman wanitaku lainnya—untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tidak bisa membaca apa yang dia pikirkan, dan aku tidak bisa lagi mengetahui isi hatinya dari raut wajahnya.

Semegah sang mawar dijaga
Matahari pagi bermahkotakan embun
Saat engkau ada di sini
Dan pekat pun berakhir sudah....

"Mel. Tumben kamu ke sini?" sapaku dengan suara bergetar. "Sudah hampir lima tahun ya, sejak kita terakhir bertemu."
Melissa, gadis itu, hanya tersenyum tipis dan berjalan menghampiri ranjangku. "Ya, Jason. Apa kabar kamu? Aku dengar dari Roy, kamu kecelakaan mobil beberapa hari yang lalu? Kok bisa?" tanyanya sembari menarik kursi dari belakang meja belajarku dan duduk di sebelah ranjangku, menghadapiku.
Aku menghela napas dan berujar, "Ceritanya panjang Mel, pokoknya ini semua gara-gara pacarku, Karina. Entah mau apa perempuan itu...."
Dengan tertawa getir, aku menatapnya dalam-dalam, namun ekspresi Melissa tidak berubah, tetap tak dapat dibaca. "Sejak kapan kamu di Indonesia, Mel? Terakhir aku dengar... kamu kerja di luar negeri?"
Melissa menganggukkan kepalanya. "Iya, aku sekarang kerja di Jepang, jadi konsultan ekonomi di sebuah perusahaan multinasional di sana. Lumayan, aku betah juga. Ini juga aku sedang ambil cuti, makanya aku bisa pulang. Dan kebetulan aku dengar kamu sedang rawat jalan, makanya aku mampir, sekalian menanyakan kabar kamu. Kamu sendiri, bagaimana kabarnya?"
"Aku baik-baik saja, sekarang sudah dapat kerjaan sebagai asisten dokter di Gleneagles. Yah, doakan saja ya semoga sukses nantinya, seperti kamu," sahutku sambil bercanda.
Melissa tertawa lebar, dan untuk sesaat aku bagaikan terbawa kembali ke masa lalu, dimana senyum dan canda tawanya hanyalah untukku seorang....
"Bisa saja kamu. Aku juga belum sukses, kan kamu tahu sendiri cita-citaku adalah...."
"... to eliminate world poverty," potongku dengan cepat.
Melissa membelalakkan matanya dan menatapku dengan aneh.
"Kok kamu bisa ingat? Kan sudah lama sekali!" sahutnya bingung.
"Yaaa, bagaimana aku lupa sih. Kamu kan sudah beratus-ratus kali mengatakannya padaku. Kalau sudah sebanyak itu, tentulah aku pasti ingat!" ujarku, lalu menderaikan tawa dan memberanikan diri untuk mengusap rambutnya. Aliran listrik bagaikan menjalar dalam tubuhku saat aku menyentuh dirinya. Sudah lama sekali....

Akhirnya aku menemukanmu
Saat kubergelut dengan waktu
Beruntung aku menemukanmu
Jangan pernah berhenti memilikiku....


"Ah, masa sih!" Melissa tersipu malu. "Kamu selalu begitu deh, ingat hal-hal yang aneh mengenai aku. Tidak pernah ingat yang bagus-bagus."
"Tentu saja aku ingat yang bagus, Mel! Mau bagaimanapun juga, kamu kan cinta pertamaku!" protesku dengan ekspresi lucu.
Melissa berhenti tersenyum dan menundukkan kepalanya, ekspresinya lagi-lagi sulit dibaca. Duh, salah lagi deh.... Harusnya memang tidak boleh bawa-bawa masa lalu lagi! sesalku dalam hati.
"Mel...." ucapku dengan halus, mencoba untuk memperjelas situasi.
"Jas, sepertinya kamu haus ya, aku ambilkan minum ya!" potongnya dengan ekspresi ceria yang seperti dibuat-buat.
Sebelum aku mampu mengatakan hal-hal lain lagi, dia beranjak dari kursinya dan berjalan menuju meja belajarku untuk mengambil gelas minumku. Namun, pada saat itu, bukan dialah yang aku perhatikan, melainkan bayangan kerlipan sesuatu yang bersinar di tangannya. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya—mungkinkah?
"Ini Jas, minum ya? Kamu kan lagi sakit, harus banyak minum air!" ujarnya sembari kembali duduk dan memberikan gelas kepadaku.
Dengan senyum lemah aku menurut dan meneguk air yang ada di dalam gelasku dan meletakkannya di meja sebelah ranjangku setelahnya. Sambil tersenyum Melissa meletakkan kedua tangannya di atas lututnya dan kali ini aku dapat melihat secara jelas cincin emas putih berhias berlian yang melingkari jari manis tangan kanannya.
"Mel. Kok tumben kamu pakai cincin? Bukannya seingatku, kamu paling tidak suka ya?" tanyaku sambil mencoba biasa-biasa saja, padahal hatiku sudah tidak enak setengah mati.
Tiba-tiba ekspresi Melissa berubah, rona merah menghiasi wajahnya dan dia menundukkan kepalanya. Aku terdiam, tidak tahu harus berucap apa. Setelah terdiam untuk beberapa lama, akhirnya dia pun bicara.
"Ini cincin tunanganku, Jas. Aku akan menikah bulan depan dan setelah menikah, aku akan pindah kembali ke Jakarta. Salah satu alasan aku datang hari ini adalah untuk memberitahukan hal tersebut kepadamu, dan untuk mengundangmu ke hari pernikahanku." Suaranya bergetar. "Kamu harus datang, ya?"
Pada saat itu aku dapat merasakan wajahku memucat. Aku merasa mual sekali. Pada saat itu, semua kenangan yang pernah aku lalui bersama Melissa kembali membayangiku secara bergantian....
Saat kami bertengkar untuk pertama kalinya, setelah dua bulan kami berpacaran. Aku sedang marah, marah sekali waktu itu, dan aku berteriak kepadanya agar pergi dariku, agar tidak menggangguku lagi. Aku ingat pada saat itu dia kaget sekali melihatku seperti itu, airmata mengalir di kedua belah pipinya dan dia lari menjauhiku sembari menangis tersedu-sedu. Pada saat itu, pada saat aku melihatnya menangis karena aku, hatiku bagaikan terkoyak dan aku pun mengejarnya, ingin menarik semua kata-kataku yang telah melukai hatinya, untuk mengatakan padanya bahwa aku mencintainya!
Saat kami berciuman untuk pertama kalinya, setelah hampir setahun kami berpacaran. Itu adalah saat-saat di mana aku sedang merasa benar-benar jatuh, benar-benar depresi dan benar-benar sendiri. Namun Melissa tidak pernah meninggalkanku, dengan sejuta kata-kata penghiburan ia mampu menyejukkan hatiku, dan segala yang ia lakukan membuktikan kepadaku bahwa ia benar-benar mencintaiku. Saat bibir kami bersentuhan, pada saat itulah aku tahu, bahwa memang dialah satu-satunya gadis untukku!
Saat kami mengucap janji untuk saling mencintai selamanya, saat aku menyematkan cincin di jari manisnya. Cincin murah yang aku beli dari hasil kerja sambilanku, cincin yang menandakan bahwa Melissa adalah gadis milikku, dan hanya milikku seorang. Pada saat itu aku benar-benar yakin bahwa masa depan kami tidak mungkin dipisahkan, bahwa kami akan menikah suatu saat nanti dan bila saat itu tiba, Melissa akan menjadi milikku sepenuhnya.
Saat kami berpisah, saat aku meninggalkannya tanpa sekali pun menoleh lagi ke belakang. Aku harus mengucapkan kata-kata yang menyakiti hatinya agar dia pergi dan menjauh dariku. Dia tidak tahu bahwa pada saat itu hatiku sama hancurnya dengan dirinya, dia tidak tahu betapa sulitnya bagiku untuk menyakitinya. Namun aku benar-benar berengsek, bahkan setelah putus pun aku terus menyakitinya, aku melakukan hal-hal yang tidak pernah dapat dia lupakan. Aku tahu, bahwa aku tidak pantas baginya. Tapi aku tidak bisa mengenyahkan perasaan ini, bahwa masih ada suatu tempat di hatiku untuknya bahkan hingga sekarang.

Hingga ujung waktu
Setenang hamparan Samudra
Dan tuan burung camar
Tak 'kan henti bernyanyi....


Namun gadis yang sekarang duduk di hadapanku bukanlah Melissa yang dahulu milikku. Dia bukanlah Melissa yang selalu memanjakanku, yang selalu menomorsatukanku, yang selalu mencintaiku. Wajahnya tidak berubah, bibirnya masih menyunggingkan senyum yang sama seperti lima tahun lalu, matanya masih memancarkan cahaya yang sama, cahaya penuh cinta. Hanya saja, tatapan itu bukanlah ditujukan kepadaku lagi. Apakah egois bila aku masih ingin memilikinya?
Ekspresi wajah Melissa perlahan berubah dari malu menjadi bingung. "Jas? Kamu tidak apa-apa? Kamu masih sakit?" ujarnya khawatir sembari menyipitkan matanya. "Mau aku panggil Mama kamu?"
Aku berusaha tersenyum, walaupun sulit. "Aku tidak apa-apa kok, Mel. Kaget saja, tahu-tahu kamu sudah mau menikah. Padahal sepertinya baru kemarin kita berpacaran...."
Melissa tertawa. Tawa yang tulus. "Iya ya, sebenarnya kita berpacaran lama juga ya, hampir tiga tahun waktu masa SMA dulu. Yah, semuanya tinggal kenangan manis. Betul, tidak?" candanya.
Aku terdiam. Mungkin bagi Melissa, semua itu hanya kenangan. Namun bagiku tidak. Sampai detik ini, masih ada bagian dari hatiku yang kusimpan hanya untuk dia. Mungkin untuk selamanya, mungkin hingga ujung waktu. Sudah lima tahun kita tidak bertatap muka, ataupun saling memberi kabar, namun ketika kami bertemu, aku merasa diriku terbawa kembali ke masa lalu, masa-masa yang bahagia, masa-masa di mana dia adalah milikku seorang. Gadis-gadis yang aku pacari setelah dirinya, bahkan Karina pun, tidak akan pernah bisa menggantikan Melissa. Dia cinta pertamaku, dan akan tetap menjadi cinta pertamaku selamanya....
Hanya Melissa satu-satunya gadis yang paling mengerti diriku. Hanya dia yang mengerti betapa besar gengsiku, betapa moody diriku apabila sedang dilanda masalah, betapa besar tekananku bagi diriku sendiri. Saat Melissa memutuskan untuk pergi lima tahun lalu dari hidupku, saat dia bahkan tidak mau menjadi sahabatku, aku merasa bahwa aku telah kehilangan seseorang yang sangat penting dalam hidupku. Seseorang yang telah membuatku menjadi diriku yang sekarang ini. Aku tidak ingin kehilangan Melissa, tidak dahulu, tidak sekarang, tidak selamanya.
"Mel..." mulaiku. Aku ingin mengatakan padanya, bahwa aku masih mencintainya, bahwa hanya dialah satu-satunya gadis yang pernah benar-benar aku cintai. Gadis yang ingin aku jadikan sebagai istriku, sebagai pendamping hidupku, hingga ujung waktu....
Namun dia memotong ucapanku setelah dengan kaget melihat jam dinding di atas ranjangku. "Wah, sudah jam tiga siang, Jas! Aku harus pergi nih, ada janji sama Adam, tunanganku. Dia mau ngajak aku lihat-lihat property di komplek rumah orangtuanya. Yah, aku lega kamu baik-baik saja, Jas." Melissa tersenyum. "Kamu harus datang ya, bulan depan! Aku benar-benar harap kamu bisa datang." Dia bangkit dari kursinya dan meluruskan roknya.
Aku menatapnya tanpa dapat berkata apa-apa. Da mengembalikan kursi yang dia duduki ke tempatnya semula dan mengulurkan tangan kanannya kepadaku.
Aku ingin sekali menarik tangan tersebut dan memeluknya, mengatakan padanya bahwa aku tidak mau dia menjadi milik pria lain, bahwa hanya akulah pria yang paling tepat untuknya. Namun... aku tak sanggup. Aku tahu, inilah kebahagiaannya, bersama Adam, dan aku tidak akan pernah dapat memberikannya kebahagiaan yang sama, betapa keras aku mencoba. Pada akhirnya, aku menyambut uluran tangannya dan menyalaminya.
"Selamat ya Mel. Aku bahagia untukmu." Kata-kata palsu tersebut meluncur dari bibirku. Aku tidak dapat menyangkal bahwa hatiku sakit sekali ketika mengucapkannya. "Aku dan Karina pasti akan datang."
Melissa tersenyum hangat dan menepuk bahuku. "Begitu dong, Jas. Oke deh, nice seeing you again. Take care, ya?" Dia pun beranjak pergi, berjalan menuju pintu kamarku dan membukanya. Sebelum menutup pintu kamarku, Dia menjulurkan kepalanya di celah pintu dan berucap, "Cepat sembuh ya, Jas!" Kemudian, dia menutup pintu dan... dia telah pergi. Meninggalkanku, seperti aku meninggalkannya lima tahun silam.
Aku tidak sadar bahwa pada saat itu, setetes airmata mengalir di pipiku dan jatuh di atas telapak tangan kiri yang sedang memeluk bantal di pangkuanku. Lantunan lagu masih membayangiku, dan mendengarnya aku tidak lagi terbuai, namun bercampur antara rasa sakit dan kekosongan yang mengisi relung hatiku pada saat ini.

Saat aku berkhayal denganmu
Dan berjanji pun terukir sudah
Jika kau menjadi istriku nanti
Pahami aku saat menangis

Saat kau menjadi istriku nanti
Jangan pernah berhenti memilikiku

Hingga ujung waktu....

(Sheila On 7) ©

Read More..
 
Cerpen Peri-Periku

Dulu ketika nenekku masih ada, nggak pernah kulewatkan malam-malam tanpa dongengnya. Yang paling kusuka kalau ceita itu ada tokoh peri-nya. Sayangnya nenekku nggak pernah bisa menjelaskan mengapa peri-peri itu harus perempuan.
"Sudah dari sananya, Sisi. Lagian kalau lelaki namanya pasti bukan Peri, mungkin Parjo," kata Nenek.
"Ah, Nenek!" seruku tak puas. Sampai akhirnya Nenek meninggal, aku belum menemukan jawaban yang pas.
Di bangku kelas empat SD baru kutemukan sosok peri lelaki. Mmm, sebenarnya dia juga manusia. Cuma suatu hari aku lupa bahwa saat itu ada tugas menggambar. Sampai di kelas buru-buru kukerjakan. Sebenarnya aku nggak begitu bisa karena Pak Minto mewajibkan murid perempuan menggambar bunga. Sampai tanda bel masuk berbunyi, aku masih belum yakin dengan apa yang telah kugambar.
Pak Minto meminta kami mengumpulkan tugas.
Dadaku dak-dik-duk sewaktu ia mulai memeriksa gambar-gambar di depannya. Hening, Pak Guru yang berkumis lebat itu berkerut tak lama kemudian.
"Sisilia! Apa yang kamu gambar ini?" teriaknya kemudian.
"Bunga, Pak," jawabku langsung.
Pak Minto mengangkat buku gambarku dan menunjukkan karya besarku itu ke depan teman-temanku. "Ayo siapa yang tahu bahwa gambar ini bunga?" tanya Pak Minto.
Tahu-tahu sebentuk lengan diangkat dari bangku belakang.
"Primadi! Ya, bunga apa ini?"
"Bunga matahari ketabrak truk lantas ketiup angin ribut!"
Seisi kelas tertawa. Termasuk aku. Tapi Pak Minto malah semakin marah. Ia kemudian menyuruh aku dan Primadi berdiri di sudut kelas selama pelajaran menggambar. Pertolongan Primadi memang nggak besar, hanya menemaniku dihukum di depan kelas. Tapi itu sudah jadi cukup alasan untuk kemudian aku memanggil dan menganggapnya sesosok Peri.
Meski mulanya ia nggak suka, tapi akhirnya mau juga. Apalagi ketika anak-anak lain juga memanggil sama sepertiku. Dan nama panggilannya semula, yakni Jabrik, sudah terlupakan. Lagian rambutnya memang sudah dikeriting.
Peri pertamaku ternyata tak bertahan selamanya. Saat kenaikan ke kelas enam, ia pindah entah ke mana. Kalau nggak salah ke London mengikuti ayahnya yang harus tugas di sana. Sebulan kemudian aku sakit parah. Bukan karena ditinggal Peri, tapi kata Dokter ginjalku rusak. Saking lamanya aku dirawat, aku terpaksa mengulang sekolahku di kelas enam sementara teman-temanku masuk SMP. Tapi yang sempat menghiburku, aku menemukan Peri yang kedua.
Sore itu hari pertamaku di ruang rawat. Seorang anak perempuan yang semula terbaring di sebelah tempat tidurku tahu-tahu meloncat ke sebelahku. Rambutnya yang tipis dan rontok hampir menakutkanku kalau saja ia tak buru-buru tersenyum manis.
"Kamu mau ikutan main denganku?" tanyanya. Matanya bergerak nakal.
"Main? Main apa?"
"Pokoknya rame. Begini, sebentar lagi akan datang suster memeriksa kita. Nah, pas giliran aku dimasuki termometer, kamu harus memanggilnya dan mengajak bicara selama mungkin. Sanggup?"
Aku hanya mengangguk. Sepuluh menit kemudian datang suster memeriksa enam anak yang satu ruangan denganku. Setelah suster itu memasukkan termometer ke dalam mulut anak perempuan itu aku langsung memanggil suster itu. Kukeluhkan sedikit perutku. Ia memeriksa dan menghiburku. Setelah kurasa cukup, ia membalik ke arah anak perempuan itu.
Sedetik kemudian aku melihat wajah sang suster pucat dengan mulut menganga. Ia kemudian buru-buru meninggalkan kami. Aku baru tahu apa yang terjadi kemudian. Ternyata anak perempuan itu punya termometer yang sama dengan suster tadi. Termometernya ia masukkan ke dalam air panas yang sudah ia siapkan. Saat suster itu membalikkan badannya ia menukar termometer di mulutnya dengan miliknya. Pantas saja kalau suster tadi kaget karena melihat suhu yang tertera di atas normal.
Ia lantas menyebutkan namanya Peni. "Tapi kamu boleh memanggilku apa saja. Di sini para suster memanggilku si Bandel, ada juga yang memanggilku Botak," katanya.
"Bagaimana kalau kamu kupanggil Peri saja. Aku suka nama itu."
"Boleh saja. Karena kamu menambahkan huruf R di namaku, aku juga akan menambahkannya di namamu. Aku akan memanggilmu Sisir. Hehehe...."
Kebandelan peri yang kedua ini ternyata jauh melebih kebandelan anak cowok yang pernah kutahu. Ia bahkan pernah membawa seekor kecoa dari toilet lalu melepaskannya di pundak suster yang datang. Tentu saja suster itu jadi meloncat-loncat kegelian dengan wajah pucat. Di balik itu, peri juga cukup baik dengan sesama teman di ruangan. Ia suka membagikan buah-buahan di mejanya terutama untuk Wanda yang sepertinya jarang dibesuk.
Dua minggu dirawat jadi tak terasa. Sampai suatu pagi saat aku terbangun, aku nggak melihat Peri di ranjangnya. Setelah diberitahu Peri meninggal dunia semalam, aku menangis seharian. Aku benar-benar kehilangan dia. Papa akhirnya memindahkan aku ke ruang lain agar nggak membuat sakitku bertambah parah.
Masuk bangku SMP aku kembali mencari-cari orang yang bisa kujadikan Peri ketigaku. Akhirnya kudapatkan ketika aku mengikuti kegiatan paduan suara di sekolah. Namanya Ferry, tapi ia tak keberatan ketika kupanggil Peri.
Ia banyak menolongku mengajarkan cara bernyanyi yang baik, juga bahasa Inggris. Bahkan ia mau saja menemaniku ke mana pun, walau misalkan pada acara yang anak lelakinya hanya dia. Aku nggak tahu mengapa ia begitu baik, sementara aku belum pernah menghitung kebaikanku.
Cuma belakangan aku melihat kejanggalan yang tak kumengerti. Peri ketigaku ini sering ngobrol dengan teman-teman cewek yang lain soal teman-teman cowok yang ganteng. Dia juga pernah setengah memaksa meminta foto abangku ketika main ke rumahku. Karenanya, aku terpaksa meninggalkannya. Lagi pula ia mulai akrab dengan Eko, anak lelaki yang cara dan jalannya itu mengingatkanku pada seekor bebek.
Sejak itu aku agak selektif memilih calon-calon Peri-ku. Bahkan di bangku SMA aku nggak menemukannya sama sekali. Sekali cowok bernama Ferdi mendekatiku dan menyatakan ingin memacariku.
"Boleh saja, tapi kamu harus mau kupanggil Peri," kataku memberi syarat.
Mulanya ia menyetujui. Tapi ketika aku mulai memanggilnya dengan nama itu di depan teman-teman dan keluarganya, ia mulai menjauhiku. Ah, biarin aja. Aku yakin kok suatu saat nanti akan benar-benar hadir sosok Peri di hadapanku.

***

Siapa bilang perploncoan di bumi Indonesia ini sudah dihapuskan?
Aneh, kok masih bertahan juga sih, sisa-sisa peninggalan kolonial di sini. Seperti yang kualami kini. Setelah masa orientasi kampus yang melelahkan, para mahasiswa baru diminta ikut perkemahan yang diadakan himpunan jurusan. Ancaman bagi yang nggak ikut cukup menakutkan. Akan dikucilkan! Nggak boleh ikut kegiatan himpunan yang spektakuler sekalipun, bahkan nggak boleh ngobrol dengan senior.
Terpaksa aku ikut. Meski aku mendengar dari senior lain bahwa perploncoan himpunan mahasiswa jurusan Jurnalistik adalah yang paling sadis di fakultas Komunikasi.
"Ya, turun semua! Istirahat sepuluh menit! Jangan ada yang cengengesan!" Seorang senior perempuan berteriak ketika truk yang ditumpangi empatpuluh lima mahasiswa baru berhenti di sebuah perkebunan teh.
Aku turun seperti yang lainnya. Kubuka botol air mineral dari ranselku. Baru seteguk air kurasa, tahu-tahu suara jeritan terdengar keras di dekatku.
"Heh, siapa yang suruh kamu minum? Cepat berdiri dan pergi menghadap Tatib di sana!" Senior bawel itu menghardikku.
Aku berdiri tanpa bisa protes dan berjalan mencari senior yang bertanda khusus. Aturan mainnya memang telah ditetapkan, yang menghukum cuma senior dari bagian tata tertib. Akhirnya kudapatkan juga senior mengenakan pita merah di lengan bajunya yang tengah berdiri sendiri.
"Maaf, Kak, saya diminta menghadap karena kesalahan saya," kataku tanpa berani menatapnya.
"Apa kesalahan kamu?" Suara itu terdengar menggelegar.
"Minum sebelum waktunya."
"Bagus. Siapa nama kamu?"
"Sisilia."
"Siapa? Sisilia?"
Kulihat di melotot ke arahku. Entah hukuman seberat apa yang akan ia berikan setelah mendengar namaku.
"Kamu tahu siapa saya?" tanyanya kemudian.
"Tahu. Kakak dari bagian Tatib."
"Bego kamu! Maksudnya nama saya!" Suaranya makin meninggi.
Aku mencoba mengamatinya sekilas. Rasanya aku nggak melihat senior satu ini ketika pegarahan kemarin.
"Lihat muka saya! Perhatikan!"
Aku mengamati mukanya. Rahangnya yang kukuh, hidungnya, matanya, dan... kok yang muncul malah nama Justin Timberlake. Tapi nggak mungkin Justin membentakku dalam bahasa Indonesia.
"Ya, sudah kalau nggak mengenal. Kali ini kamu lolos dari hukuman. Tapi kalau nanti menghadap lagi masih belum kenal saya juga... awas!"
"Terima kasih, Kak!" Aku langsung berbalik lega. Buru-buru aku ke kelompokku. Rasanya masih ada waktu untuk istirahat beberapa menit.
"Diapain kamu tadi?" tanya Arni yang dekat denganku sejak penataran.
"Nggak diapa-apain. Kamu lihat sendiri dari sini, kan? Cuma aku disuruh nyari tahu namanya. Padahal dia kan nggak datang di acara kemarin, jelas aku nggak tahu namanya."
"Jadi kamu benar-benar nggak tahu namanya? Ya, ampun kamu tuh kuper banget sih. Dia kan Kemal, mantan coverboy empat tahun lalu. Cukup sering lho dia mejeng di majalah. Malah sempat main sinetron. Kamu tahu Winda yang dari Sukabumi itu. Nah, dia malah pengen kuliah di jurusan ini gara-gara ngefans berat sama Kemal," jelas Arni panjang lebar.
Aku ternganga. Oh, jadi dia coverboy. Pantas lagaknya macam begitu. Tapi apa iya sih cuma karena dia coverboy dan pernah main sinetron semua orang harus tahu namanya. Bagaimana dengan aku yang cuma hobi baca komik Asterix dan nonton film Hollywood? Benar-benar keterlaluan!
Belum reda rasa gusarku, para senior sudah menyuruh bersiap-siap untuk melakukan perjalanan melintasi dua bukit sebelum sampai ke lokasi perkemahan. Entah sengaja atau nggak, dalam perjalanan beberapa kali aku melihat Kemal tengah memandang ke arahku. Mungkin dia tengah merencanakan hukuman paling memalukan untukku kelak.
Karenanya, aku berusaha untuk nggak membuat kesalahan sekecil apapun lagi. Tapi dasar sial, tengah malam ketika diadakan pemeriksaan perbekalan, aku ketiban sial. Lilin yang kubawa patah meski aku sudah menyimpannya hati-hati.
"Kamu ke pos satu dan beritahu kesalahanmu!"
Buru-buru aku berlari sebelum dibentak kasar. Pos satu yang kucari tak jauh dan betapa kagetnya aku ketika melihat siapa senior yang sudah menungguku.
"Lagi-lagi kamu! Nah sekarang pasti kamu sudah tahu siapa saya. Kalau benar, kamu nggak akan dihukum...."
"Nama Kakak... Kemal."
"Cuma itu?"
"Kakak pernah jadi coverboy, juga main sinetron."
"Ada yang lain?"
Oh, apalagi yang kutahu? Mestinya aku tadi bertanya banyak pada Arni.
"Kamu benar-benar keterlaluan. Tutup matamu dengan ini," katanya sambil memberikan slayer. Aku segera mengikatnya hingga menutup mataku. Tanganku kemudian ditariknya dengan kasar hingga aku harus berlari mengikutinya. Entah berapa jauh aku berlari, tapi mendengar teriakan-teriakan sekitarku, aku yakin bukan cuma aku yang diperlakukan seperti ini.
"Sekarang buka slayernya!"
Aku menuruti kalimat itu. Kulihat ia masih berdiri di depanku. Setelah berlari tadi kurasa tubuhku sedikit hangat, tapi aku nggak tahu berada di mana kini karena di sekitarku hanya ada pohon teh.
"Apa kamu sekarang bisa mengenaliku?" tanyanya bersiteguh.
Aku tetap menggeleng. Rasanya aku benar-benar tersiksa.
"Bagaimana kalau kusebutkan 'bunga matahari ketabrak truk lantas ketiup angin ribut', kamu ingat?"
Aku mengerutkan dahiku. Rasanya nggak percaya mendengar kembali kalimat yang dulu pernah kudengar. Jadi....
"Kamu Peri, hm maksudku Primadi. Tapi kamu kan Kemal...." Aku terbata-bata.
"Kemal Primadi. Tapi dulu selalu menyingkat nama depanku. Lagian orang lebih senang memanggilku Jabrik, sampai kemudian kamu memanggilku Peri.... Oh, syukurlah kamu sekarang sudah mengingatku. Bertahun-tahun aku mencari kamu. Bahkan aku ikutan coverboy dengan harapan kamu kemudian bisa mengenalku dan menyuratiku. Tapi nggak ada. Tahu nggak, setelah pisah dengan kamu, aku selalu berusaha mencari penggantimu, dengan syarat bernama Sisil. Tapi nggak ada yang seperti kamu."
Aku tersenyum. "Sekarang setelah ketemu, apa yang akan kamu lakukan?"
"Aku ingin kita bisa dekat lagi seperti dulu. Bahkan kalau bisa.... Eh, ada senior yang datang.... Jadi itu kesalahanmu! AYO TUTUP MATAMU!"
Aku terpaksa menahan tawa mendengar nada suaranya yang tiba-tiba meninggi itu. Aku nggak peduli lagi bagaimana Peri yang pertama singgah dalam hidupku ini mengajakku berlari kembali menuju perkemahan. Aku gembira tanpa bisa kujelaskan bentuknya.
Dan perploncoan ini jadi nggak terlalu mengerikan buatku. Apalagi Kemal, eh Peri sempat berbisik tadi, "Kalau kena hukuman cepat cari aku biar kamu nggak sampai dimacam-macamin yang lain!"
Hihihi, curang sebenarnya. Tapi biar bagaimana juga, tugas seorang Peri di mana pun memang harus menolong sih! ©

Read More..
 
cerpen Kidung Camar Pulang

Badai dan kabut yang berbaur membuat suasana kian mencekam. Vita berusaha menerobos tantangan alam itu cuma dengan lampu senter kabutnya. Ia nggak peduli air hujan yang sudah menyelusup flanelnya, melewati raincoat kuningnya. Ia harus buru-buru sampai ke arah suara ribut di lembah gunung yang ditapakinya.
"Vita, syukur elo sampai juga! Kita harus segera membawanya turun," Arief menunjuk seorang peserta pendidikan dan latihan dasar yang terbaring.
Bibir cowok itu tampak kelu, sesekali bergetar seperti hendak meneriakkan kesakitannya. Vita langsung menggigit bibirnya sewaktu memeriksa perut cowok itu yang membiru. Ternyata ia tak cuma dehidrasi, tapi juga infeksi lambung.
"Cepat bawa turun! Seharusnya kalian mggak perlu menunggu komando gue! Cepat!" Vita berteriak lantang.
Tenggorokannya yang kering kehausan membuat Vita terjaga dari tidurnya. Rupanya bayangan itu telah membuat keringatnya keluar berlebihan. Diliriknya sebentar jam beker di atas meja. Sebentar lagi pukul enam pagi.
Vita mengusap rambutnya ke belakang. Diteguknya air putih yang biasa ia siapkan di atas meja. Masih agak malas Vita meninggalkan kamar. Ia memandang sederatan foto yang memadati dinding kamar.
Matahari terbenam di pantai selatan, sunrise di puncak Gunung Slamet, kawah putih Gunung Patuha, sampai riak Danau Segara Anakan di Rinjani. Semua menjalin keindahan di balik petualangan yang dilakukan Vita.
Mana mungkin gue ninggalin ini semua, Vita membatin.
"Mbak Vit, ada telepon!" teriak lantang dan ketukan pintu yang dilakukan Deza memaksa Vita segera meninggalkan kamarnya.
"Lain kali nggak perlu teriak-teriak begitu, Za!" hardik Vita kesal.
"Kirain Mbak Vita masih tidur."
Vita bergegas ke ruang tengah setelah sekali lagi memelototi adiknya. Diambilnya gagang telepon yang digeletakkan di atas meja kecil.
"Vita di sini. Dengan siapa nih?" sapa Vita seperti biasanya.
"Yola. Ada berita penting, Vit. Kayaknya kami nggak bisa ngajak elo ke Pantai Pangumbahan lusa," suara Yola terdengar ragu.
"Kenapa? Jangan mentang-mentang gue kena skorsing kampus lantas kalian jauhi. Acara kali ini di luar kegiatan klab kita, kan?" sewot Vita.
"Semalam Rob datang ke markas. Dia nggak ngizinin kami ngajak elo."
"Kenapa? Apa alasannya?"
"Dia nggak jelasin apa-apa. Sebaiknya elo temui Rob aja. Sudah ya, Vit!" Yola buru-buru meletakkan horn-nya. Ia nggak mau kebagian getah atas kesewotan Vita.
Usai mengembalikan gagang telepon ke tempatnya, Vita langsung menutup mukanya dengan telapak tangan. Ia masih belum mengerti dengan rentetan kejadian yang tak menyenangkan hatinya.
Diawali saat ia menjabat komandan lapangan pendidikan dan latihan dasar pada kelompok pecinta alam di kampusnya bulan lalu. Vita tak menyangka cobaan yang harus dihadapinya begitu berat. Salah seorang peserta meninggal akibat dehidrasi dan infeksi lambung saat berada di medan. Peristiwa itu membuat rektorat menskoring ketua panitia dan komandan lapangan selama satu semester. Buntutnya, Papa dan Mama, yang memang sejak semula tak mengizinkan Vita menjadi petualang, membuat pilihan untuknya, tetap berpetualang atau tak pernah menginjak lagi rumah ini.
"Maaf, teman-teman, kali ini gue benar-benar akan berhenti. Ini keputusan orangtua gue, kecuali gue bisa menawarnya suatu saat nanti," cetusVita di depan teman-teman klabnya, tiga minggu yang lalu.
"Gue nggak pernah percaya pada burung camar yang bilang bakal berhenti terbang, padahal belum seluruh pantai dia jelajahi," celetuk Dion, si rambut gondrong.
Vita cuma mengangkat bahunya. Ternyata apa yang dikatakan Dion tak keliru. Ia tak betah melewati hari-harinya begitu saja tanpa cerita-cerita petualangan. Maka saat ia mendengar beberapa temannya akan memburu matahari tenggelam di Pantai Ujung Genteng lantas membantu pelepasan penyu ke laut di daerah Pangumbahan, ia buru-buru mendaftarkan diri dalam rombongan.
Dan kini Rob menghalanginya.
"Mbak Vita, minggu depan aku pinjam peralatan hiking-nya ya," suara Deza membuat kepala Vita terdongak.
"Buat apa? Kamu pengen ikut-ikutan kakakmu ini. Memangnya sudah punya izin dari Papa dan Mama? Mendingan kamu sibuk dalam organisasi kayak Mama dan Papa. Mereka nggak pernah suka anaknya naik gunung atau nyusurin pantai!" Mulut Vita terkunci mendadak. Ia baru sadar Mama sedang berdiri di dekatnya sewaktu Deza mengedipkan mata.
"Mama dengar kamu akan jalan-jalan lagi," ucap Mama sambil duduk di dekat Vita. Kalau di hari Minggu pakaiannya serapi itu sudah bisa ditebak Vita. Pasti Mama akan pergi dengan Papa ke pertemuan suatu yayasan sosial.
"Pasti dari Rob?" terka Vita.
"Semalam waktu kamu dan Deza ke bioskop sampai larut malam, Rob datang ke sini. Dia menunggu kamu cukup lama," tutur Mama.
Dan selama menunggu kedatanganku, Mama mencekoki Rob dengan banyak hal, tebak Vita dalam hati. Dapat dibayangkan cara Mama membujuk Rob agar membantu seorang Vita menjauhi gunung. Mama dengan lihai memilih kalimat dan berbagai cara agar Rob bisa mati-matian mencegah Vita pergi ke Pantai Pangumbahan.
"Rob anak yang baik. Mama senang kamu akrab dengannya. Dia juga merencanakan untuk menghentikan hobinya naik gunung dan semacamnya itu."
Vita terhenyak. Nggak percaya. Bagaimana mungkin si Macan Gunung itu berikrar sedemikian rupa? Apa komentar anggota klab pecinta alam yang lain di kampusnya bila mendengar hal ini? Pasti Mama telah menghasut Rob habis-habisan!
"Lho, mau ke mana kamu?" tanya Mama melihat Vita yang sedang diajak bicara malah berdiri. Padahal ada satu hal yang teramat penting yang masih ingin disampaikan kepada Vita.
"Vita mau menemui Rob, Ma."
"Rob janji akan ke sini siang ini."
"Vita ingin menemuinya pagi ini juga," tegas Vita.

***

"Selamat pagi, Vit!"
Vita cuma terdiam di ambang pintu kamar kos Rob. Ia pandangi pundak kukuh di depannya. Mestinya sejak setengah tahun lalu ia sudah bisa bersandar di pundak itu bila hatinya galau seperti saat ini. Tapi Vita masih riskan melakukannya.
"Masuklah. Gue ke rumah semalam," ujar Rob.
"Sebelum atau setelah kamu datang ke markas, memaksa teman-teman kita untuk melarang gue pergi bareng mereka?" tanya Vita setelah duduk di salah satu kursi.
"Gue lakuin itu untuk kebaikan kita semua," jelas Rob. Ditatapnya mata tegar gadis di depannya. Mata seekor camar.
"Elo terlalu berlebihan, Rob. Gue pikir itu percuma. Gue tetap akan pergi."
"Sekalipun nyokap nggak kasih izin?"
"Gue nggak akan minta izin," sahut Vita.
"Terserah elo kalau memang demikian. Gue tetap megang amanah nyokap elo. Karena elo tetap bersikeras melanggar ikrar elo dulu, maka jangan salahin kalo gue ninggalin elo," ancam Rob datar.
"Rob!" Vita tak percaya kalimat itu akan dilontarkan Rob. Pengorbanan cinta dan hobi Rob untuknya benar-benar mengada-ada, seperti keputusan pemuda cengeng belasan tahun.
"Gunung, pantai, camar... semua pun akan kutinggalkan," susul Rob samar. Ia menyembunyikan alasan kuat yang mendorongnya mengucapkan semua itu. Satu-satunya yang ia inginkan, Vita mengurungkan niatnya kembali berpetualang.
Vita berdiri buru-buru. Sebelum meninggalkan kamar Rob ia masih sempat berkata, "Baik, Rob, kalau itu keputusan elo. Gue hargai. Tapi gue harap elo nggak nyesel dengan keputusan yang tergesa-gesa itu!"
Entah berapa kerikil yang ditendang Vita dalam perjalanan pulang ke rumah.

***

Masih terlalu gelap sebenarnya untuk ke luar tenda. Vita yang mulanya ingin mengawali pagi ini dengan menapaki pantai taman laut Ujung Genteng memilih tempat lain di sebelah barat. Didudukinya bibir dermaga kecil Belanda yang tinggal puing-puing.
Angin pagi yang berhembus membuat Vita menyipitkan matanya. Mata yang masih lelah karena semalam ia tak cukup tidur.
Tadi malam untuk kedua kalinya tidur Vita menyajikan ulang peristiwa satu bulan yang lalu. Ia bangun dari tidurnya dan menafsirkan maksud alam mengulangi mimpi itu.
Apakah ini semata-mata karena kegelisahanku? Vita membatin. Karena aku telah melanggar ikrarku sendiri? Karena Rob meninggalkan aku?
Sejujurnya, Vita memang nggak tenang sejak keberangkatan kemarin subuh. Berangkat dari rumah, ia membawa beban batin atas pelanggaran ikrar yang dibuatnya sendiri. Vita belum tahu apakah Mama dan Papa akan mengusirnya begitu mereka tahu putrinya kembali berpetualang.
Lalu Rob. Teman-temannya seperti tahu kejadian yang dialaminya bersama Rob. Mereka memandang Vita dengan mata menyalahkan. Vita sudah berusaha meyakinkan teman-temannya bahwa mereka harus menghargai keputusannya.
"Pokoknya kalian nggak perlu pusing-pusing mikirin aku dan Rob. Soal Rob kemudian berhenti berpetualang itu juga urusannya. Siapa tahu itu cuma gertak sambalnya. Kita semua tahu kan, bagaimana gilanya ia naik gunung. Dan soal aku sendiri, kalau ada apa-apa yang terjadi denganku, aku akan menanggungnya sendiri. Nggak perlu kalian merasa bersalah," tutur Vita panjang lebar.
Vita cuma yakin ia tak akan apa-apa pergi tanpa Rob. Walau kemudian pada perjalanan baru menyadari bahwa ia merasa kehilangan seseorang yang selalu menemaninya berpetualang. Mati-matian ia menepis perasaan kehilangannya.
Vita memandang sekeliling pantai. Ia berharap perjalanannya kali ini tak diganggu beban apa-apa lagi. Dihirupnya udara pantai segar. Matahari mulai menebarkan cahayanya, menyibak keindahan pantai.
Vita ingin sekali sesekali membawa Mama dan Papa ke pantai atau gunung. Agar mereka dapat mengerti mengapa Vita begitu menyukai gunung dan pantai. Keindahan alam itu tak bisa ia bawa ke rumahnya cuma dengan foto belaka.
Dilihatnya di kejauhan Dion dan Akuy tengah membawa kakap merah hasil belian dari nelayan. Vita bermaksud meninggalkan dermaga menuju taman laut. Tapi mendadak Akuy menyodorkan HP-nya. Rupanya sinyal portal yang dipakai Akur lumayan kuat juga.
"Vit, elo harus pulang!" suara Rob.
"Kenapa? gue baru sehari." Vita bingung.
"Mama meninggalkan kita kemarin sore...."

***

"Teruskan saja petualanganmu, Vit. Lupakan larangan Mama. Sesaat sebelum pergi, Mama sudah menyadari kekeliruannya melarangmu berpetualang. Papa juga tak berhak melarangmu."
Itu kalimat yang dilontarkan Papa saat menyambut kepulangan Vita ke rumah. Hati Vita semakin giris karena kalimat itu terus membayanginya saat ia bersimpuh di makam Mama.
"Maafkan Vita, Ma," Vita bergumam dengan mata basah. Tangisnya sudah habis dalam perjalanan pulang. Ia merasa ada setumpuk dosa yang menghimpitnya. Bagaimana mungkin putri satu-satunya melewati upacara pemakaman yang sakral itu.
"Nggak usah nangis, Vit," pinta Rob halus. Ia memberi kekuatan pada Vita dengan genggaman tangannya.
"Mengapa elo nggak segera nyeritain soal penyakit Mama kalo elo emang udah tahu, Rob?" sesal Vita tanpa maksud menyudutkan Rob.
"Mama yang meminta agar gue nggak ngasih tau. Mama nggak ingin kelihatan lemah di depanmu. Gue pikir, ketegarannya menurun pada elo, Vit."
Vita termangu. Siapa yang menyangka jantung Mama sudah rapuh, padahal sehari-hari ia tampak sehat dan penuh aktivitas. Kalau saja ia tahu sebelumnya, Vita akan terus berada di sisi Mama.
"Elo akan meneruskan petualanganmu, Vit?" usik Rob.
Vita menggeleng. "Gue bisa ninggalin hobi gue itu, asal elo janji nggak ninggalin gue, Rob," kata Vita.
"Gue janji!"
Tanpa ragu-ragu Vita menyandarkan kepalanya di bahu Rob. Sejak pagi tadi di pantai Ujung Genteng, ia menyadari betapa berartinya bahu Rob saat kegalauannya hadir. Pada sosok Rob, Vita akan membawa akhir semua petualangannya.
Vita dan Rob meninggalkan makam yang masih gembur itu. Senja telah larut ditelan malam. Vita berdoa dalam-dalam agar dukanya turut larut bersama senja. ©

Read More..