Lukisan Anggrek Bulan

Oleh : Krismas Pamangin

Semburat merah jambu di kaki langit mewarnai indahnya senja Pantai Losari. Via duduk termenung di atas bongkahan tembok yang sekali-kali diterjang ombak kecil. Di sampingnya sosok tegap Mur ikut terbuai dalam keindahan Pantai losari senja itu.

Keduanya membisu. Terhanyut dalam sentuhan imajinasi yang teramat romantis untuk dilukiskan sekedar dengan kata-kata.

"Via, udah hampir malam. Pulang, yuk?!" Akhirnya Mur angkat bicara. Via menoleh sejenak. Tersenyum. Sejurus kemudian, tatapannya kembali menerawang di atas hamparan laut biru. Enggan rasanya meninggalkan pantai ini. Mur berdiri, meraih tangan Via dan mengajaknya pulang.

Ayo. Ntar mama kamu marah. Udah hampir malam begini kamu belum juga pulang."

Via tersenyum, tak kuasa menolak tangan kekar Mur yang setengah memaksanya beranjak dari tempat itu. Pulang.

Berdua mereka menyusuri pantai sambil sesekali memungut kulit kerang dan melemparnya ke laut, menyisakan riak-riak kecil.

Via sungguh menikmati kebersamaan ini. Meski dia sadar, tak pernah sekalipun terucap kata cinta di antara mereka. Terlalu prematur menjalin hubungan lebih dari sekedar sahabat. Ya, hanya sahabat. Itu sudah cukup bagi Via. Walau sebenarnya dia sendiri tidak yakin mampu menepis kemungkinan yang lebih dari itu.

Mur adalah sahabat yang baik, juga kakak kelasnya yang paling banyak membantunya selama ini. Meskipun Via baru mengenal Mur tiga bulan yang lalu, ia merasa cowok itu punya kharisma yang pantas dikaguminya.

Perkenalan yang teramat singkat namun berkesan bagi Via. Mur tampil membelanya ketika ia datang terlambat saat orientasi penerimaan siswa baru di sekolahnya.

Kakak-kakak kelasnya yang melihat ekspresi gugup namun sangat polos di wajah imut Via, berebutan menjatuhkan vonis untuknya. Via hanya bisa menatap satu-satu wajah mereka. Mata yang memelas memohon keringanan hukuman atas keterlambatannya malah membuat kakak-kakak kelasnya semakin bersemangat mengerjainya.

Tanpa sadar mata Via berkaca-kaca. Dalam hati, perasaan sedih, takut, malu dan gugup menyatu dan melemaskan sendi-sendi ketegarannya. Ia hanya bisa tertunduk pasrah menikmati bentakan-bentakan kakak kelasnya. Terasa sakit sekali!

"Semua bubar. Biar aku yang mengurusnya!" Sebuah suara tegas penuh wibawa menghentikan eksekusi tak berbelaskasihan itu. Suara milik Mur, Ketua OSIS yang kini berdiri tegak di hadapan Via.

"Nama kamu Via Cemara, kan? Hmm... Nama yang bagus. Aku panggil Via aja ya?" Via mengangkat wajahnya perlahan. Tetapi kembali tertunduk.

"Maaf, Kak. Via terlambat." Akhirnya Via berani membuka mulut. Sekilas ia menangkap dua kata yang tertera di atribut cowok itu, Ariel Murion.

"Ya sudah. Kamu boleh masuk. Tapi melapor dulu sama panitia dan tinggalkan atributmu di sana," Mur menunjuk beberapa siswa yang duduk menghadap meja di pintu aula sekolah. "Jangan lupa temui aku di ruang sekretariat OSIS pada jam istirahat."

"Terima kasih kak. Permisi!" pamit Via sopan sambil dan beranjak meninggalkan Mur. Dalam hati ia berjanji suatu saat bisa membalas kebaikan Mur.

Tiga bulan berlalu, via merasa sudah amat banyak yang berubah dalam dirinya sejak masuk SMU. Ia merasa semakin dewasa dan memiliki makna hidup yang lebih besar.

Kehadiran Mur walau hanya sebagai teman memberinya banyak peluang untuk terlibat dalam berbagai kegiatan OSIS dan ekstrakurikuler di sekolah ini.

Entah kenapa Via merasa aman dekat dengan Mur. Ia ingin Murlah orang pertama yang ikut merasakan suka dan dukanya. Teman berbagi yang bisa menemaninya saat ia sedih, tertawa dan menagis.

Selama ini, mamalah yang menaunginya. Membelainya dan memberinya arti tentang perjuangan untuk meraih semangat hidup. Sekarang ia sudah dewasa. Bahkan lebih dewasa dari teman seumurnya. Besok, tanggal 25 Juli, umurnya sudah tujuh belas tahun.

Untuk kesekian kalinya Via mendesah. Tangan mungilnya masih sibuk menggerakkan sapuan kuas di atas kanvas. Sketsa yang tadi dibuatnya mulai dibentuk menjadi seraut wajah lelaki setengah baya persis seperti foto yang tergantung di dinding kamarnya. Foto papa!

Dua titik kristal bening menetes di pipinya. "Via rindu papa, Entah kenapa Via merasa papa belum meninggal seperti yang diceritakan mama. Akh andai Via bisa melihatmu sekali saja. Via akan senang, Pa. Via nggak bakalan menuntut apa-apa lagi. Cukuplah kehadiran papa. Itulah harta yang sangat berharga. Via sayang papa." Desahnya dalam hati.

Ditatapnya foto itu lekat-lekat. Mata yang begitu teduh. Sepertinya Via pernah melihatnya. Bahkan teramat dekat baginya. Tapi siapa ya? Via terus bertanya-tanya dalam hati.

"Lukisan yang bagus," Via kaget. Ternyata mama sudah berdiri di ambang pintu tanpa disadarinya. "Via belum tidur?"

"Belum ngantuk, Ma," Via berusaha menyembunyikan perasaannya di depan mamanya. Ia ingin terlihat tegar.

"Tidurlah, sayang! Besok kamu masuk sekolah. Malu kan kalau masuk sekolah dengan mata sembab kayak gitu?" Via hanya diam. Ditatapnya lekat-lekat mata mamanya, seakan mencari jawaban atas rasa penasarannya selama ini. Dan yang didapati hanya satu. Mama menyimpan satu rahasia yang tak ingin orang lain tahu. Bahkan Via sekalipun.

"Via boleh nanya sesuatu, ma?" Tanya Via perlahan. Sesaat mamanya terdiam. Tetapi kemudian mengangguk. "Apa benar papa udah meninggal?" Via menatap wajah mamanya lekat-lekat.

"Via pikir mama bohongin kamu?"

"Via percaya kok sama mama. Cuma. Hati kecil Via yang sulit percaya. Sepertinya mama menyimpan satu rahasia. Ya Sampai sekarang mama belum pernah cerita penyebab kematian papa. Dan di mana kuburan papa. Katakan, Ma! Via bukan anak kecil lagi. Via yakin mama lakukan ini demi kebahagiaan Via. Mama rela berbohong demi Via. Katakan, Ma!! Mama sayang Via. Ya kan Ma?" Via mulai terisak sambil mengguncang bahu mamanya yang hanya diam berdiri mematung. Tanpa disadari, dua titik Kristal bening menetes di pipi wanita itu.

Hening sesaat. Pandangan mama menerawang jauh. Menembus masa lalunya yang pahit. Ekspresi wajahnya menunjukkan kalau ia tak ingin masa lalunya terkuak kembali. Tapi, haruskah ia terus-menerus berbohong? Demi Via, buah hatinya. Miliknya yang paling berharga. Satu-satunya yang tersisa dari keretakan rumah tangganya. Bagaimanapun Via berhak tahu.

"Mama pikir, sudah waktunya Via tahu semuanya," ujar mamanya nyaris tak terdengar. "Ikut mama! Mama akan memperlihatkan sesuatu sama kamu." Tanpa banyak tanya Via bangkit mengikuti mamanya.

Sebuah lukisan anggrek bulan terpampang di depan mata Via. Di sudut kirinya nampak foto papa dengan mata teduh dan senyum khasnya. Via memandangnya tanpa berkedip. Lukisan yang teramat indah dan hidup meski framenya sudah retak di keempat sisinya.

"Hanya ini yang papa tinggalkan sebelum pergi. Lukisan ini dulunya adalah hadiah ulang tahun mama yang ketujuh belas dari papa. Sebenarnya ada dua. Tapi yang satunya ada sama papamu. Lukisan ini begitu berharga buat mama." Sejenak mama terdiam. Menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya seakan-akan ingin melepas semua ganjalan di dadanya.

"Papa sekarang di mana, Ma?" Tanya Via hati-hati. Ditatapnya wajah mamanya. Mencoba mencari kejujuran di sana. Namun yang tersisa hanyalah guratan duka menahun. Duka yang selama ini disembunyikan di wajah tulus itu perlahan mulai terkuak.

"Mama nggak tahu. Selama ini mama mengarang skenario kalau papa udah meninggal supaya kamu nggak bertanya terlalu jauh. Mama nggak ingin masa lalu yang menyakitkan itu membayangi keluarga mama. Cukuplah mama memilki kamu. Itu sebabnya mama mengikutkan kamu kursus ini dan itu supaya kelak kamu bisa mandiri. Mental kamu sudah siap menerima kenyataan yang menyakitkan sekalipun. Mama akui kamu butuh figur papa, meski mama telah berusaha menjadi mama sekaligus papa bagi kamu."

"Kalau Via boleh tahu, kenapa mama pisah sama papa?" kejar Via. Mamanya menunduk dalam-dalam. Berusaha menggali memori yang telah dikuburnya dalam-dalam.

"Keangkuhan. Ya, waktu itu mama ditawari kerja dari perusahaan berkelas internasional karena mama alumni Universitas terkenal di Australia. Papa nggak setuju. Katanya sepintar apa pun wanita, toh akan kembali juga mengurus rumah tangga." Sekilas mama menelan ludah getir. "Sejak itu, pertengkaran-pertengkaran kecil selalu menjadi warna rumah tangga. Mama nggak nyangka kalau pertengkaran itu berbuntut perpisahan. Seandainya ada yang mau mengalah. Kejadiannya nggak bakal seperti ini. Maafkan mama, Via! Sebenarnya mama pun sempat berpikir, mungkin ini hanya keputusan emosional, lagipula saat itu mama mengandung kamu. Mama sungguh takut nggak bisa membahagiakan kamu."

"Tapi mama masih mencintainya, kan?" Tanya Via.

"Mungkin." jawab mama singkat. Terlalu berat baginya memastikan perasaannya saat ini. Meski sadar selama ini dia berusaha menentang kata hatinya.

"Kalau mama masih mencintai papa, kenapa nggak ada niat kembali? Demi Via, Ma. Demi Via!! Mama tahu Via butuh kasih sayang papa."

"Mama ngerti, Via. Setelah perpisahan itu, mama kembali ke Makassar, mencoba memulai hidup baru. Tapi mama masih berusaha mencari tahu tentang keberadaan papamu. Sejujurnya mama nggak bisa melupakan bayang-bayang papa, apalagi si kecil Rion yang baru berumur 2 tahun."

"Rion???" Tanya Via penasaran.

"Kakakmu. Waktu itu pengadilan memutuskan Rion ikut papa demi masa depannya. Rion. Oh Rion, Sekarang dia pasti sudah besar. Tapi Dia nggak kenal mamanya mama yang mengandung dan melahirkannya." Desis mama tersendat. Air matanya tak tertahan lagi. Hati Via trenyuh. Hanyut dalam tangis dan pelukan mamanya. "Sebenarnya mama pernah mencarinya tapi mama kehilangan jejak mereka. Mereka meninggalkan Medan enam bulan setelah peristiwa itu."

"Udahlah, Ma. Itu bukan salah mama. Via nggak masalah kok. Justru Via harus berterima kasih ama mama. Mama terlalu banyak berkorban untuk Via." Ujar Via menetralisir gejolak hatinya. "Oya, udah larut malam nih. Via besok ada ujian kuis. Via tidur dulu ya!" Via mengecup pipi mamanya dan beranjak kembali ke kamarnya. Dia tidak ingin mamanya larut dalam kesedihan yang dalam. Cukuplah, ia sudah tahu semuanya.

Jarum jam menunjukkan Pukul 00.05. Ponsel Via berdering. Siapa lagi yang menelpon malam-malam kalau bukan Mur.

"Happy Birthday, My dear! " Suara usil Mur dari seberang. Via terharu. Mur yang paling pertama mengucapkan selamat ulang tahun untuknya.

"Thanks, Mur. You are the first to say happy birthday to me." Via tersenyum senang.

"Ooo. Im the first and may be the best." Mur tertawa renyah.

"Anything else?"

"Oya. Besok, sepulang sekolah, kita singgah di rumahku. Aku ada kejutan. Special for you. Aku tunggu di tempat parkir ya. Bye.!!" Telpon diputus tanpa memberi kesempatan Via bertanya lebih jauh.

Sepuluh menit Via duduk menunggu. Sosok Mur belum juga nongol. Via jadi bete. Dalam hati ia menggerutu.

"Hai, My dear. Dari tadi?" entah dari mana datangnya Mur sudah berdiri di sampingnya dengan mimik tanpa dosa.

"Dasar gilingan!! Aku sudah sepuluh menit menunggu. Kemana aja sih?"

"Sorry, Non. Biasa, Asisten Pak Rizal. Habis bantuin beliau bawa peralatan lab."

Detik berikutnya, Feroza violet milik Mur melaju di atas aspal mulus, menembus rinai gerimis siang itu. Sepanjang jalan, via lebih banyak diam.

"Via!" tegur Mur memecah kesunyian. "Mungkin ini ultahmu yang pertama sekaligus terakhir yang bisa kita rayakan bersama. Tahun depan papa rencana memboyongku ke Cambridge untuk kuliah di sana. Itu berarti kita nggak ketemu lagi."

"Itu kan kesempatan, Mur. Kapan lagi bisa sekolah di luar negeri. Sebagai teman dekatmu, aku ikut bangga, kok." Ujar Via datar. Meski hatinya menjerit. Bayangan kehilangan sosok sahabat sejati seperti Mur menggiringnya pada suasana hati yang hampa. Tanpa Mur, tak akan ada lagi yang istimewa. Hari-harinya hambar, tanpa tawa dan canda usil Mur.

"Masalahnya bukan itu, Via. Aku takut kehilangan kamu." Desis Mur lirih. Via tersentak. Mur menyadari perubahan air muka Via. "Maksudku, aku menganggapmu bukan hanya sekedar teman, tetapi juga sebagai adik yang mengisi kekosongan hari-hariku. Papa terlalu sibuk. Di rumah aku nggak punya teman."

"Mama kamu?" Tanya Via

"Mama?" Mur mengulang pertanyaan via. "Mama meninggal waktu aku masih kecil." Jawab Mur nelangsa. Via sedikit menyesal dengan pertanyaannya barusan.

"Sorry, Mur, aku nggak bermaksud membuatmu sedih."

"Nggak apa-apa kok, Via. Aku justru senang kamu care ama aku. Itulah sebabnya aku berat meninggalkan kamu." Sejenak Mur terdiam seperti kehabisan kata-kata. "Oya, kamu ingin kado istimewa apa untuk ultahmu?" Mur mencoba mengalihkan pembicaraan. Pamdangannya beralih ke wajah imut Via. Via menggeleng.

"Aku nggak perlu sesuatu yang istimewa. Ucapan selamat pun udah cukup. Cuman" Via menggantung kata-katanya.

"Cuma apa?" desak Mur sedikit heran.

"Akh nggak kok." Via menelan ludah. "Andai kau tahu, Mur. Aku merindukan papa. Kalau saja papa bisa hadir bersamaku, itulah kado paling istimewa. Dan hanya Tuhan yang bisa memberinya. Bukan kamu, Mur. Bukan juga mama. Aku sungguh ingin melihat seperti apa rupa papaku yang asli. Selama ini hanya foto yang bercerita padaku. Itu pun hanya sepenggal. Ya, papa memiliki mata teduh, periang namun tegas. Hanya itu yang bisa diceritakan selembar foto berbingkai di kamarku. Juga lukisan itu. Ya, masih ada satu, Mur. Aku yakin papa orangnya romantis, berjiwa seni dan penyayang. Mungkin jiwa papa seperti aku. Senang melukis dan sedikit melankolik. Lukisan anggrek bulan itu sedikit banyak juga berbicara tentang papa". Jerit batin Via.

Selanjutnya Via hanya membisu hingga perlahan feroza violet itu memasuki pekarangan yang tertata rapi dan natural.

Dengan sedikit ragu, Via melangkah memasuki ruang tamu yang sudah didekorasi dengan sangat indah. Di tengah ruangan, di atas meja ada kue tart dengan tulisan "HAPPY BIRTHDAY" berwarna biru berbaur dengan warna merah muda.

"Apa-apaan ini, Mur?" Via surprise. Keharuan menyeruak ke dalam hatinya. Mur hanya tersenyum.

"Special for you. Kita rayain berdua ya? Ayo, sini tiup lilinnya." Ajak Mur sambil menarik tangan Via. Via menurut. Namun langkahnya tiba-tiba berhenti.

Via terbelalak ketika tatapannya terbentur pada sebuah lukisan anggrek bulan yang terpampang jelas di dinding ruang tamu. Tanpa pikir panjang dia berlari mendekati lukisan itu. Di sudut kiri lukisan itu ada foto papanya. Persis sama dengan lukisan di kamar mama. Ditatapnya sekali lagi tanpa berkedip. Tidak salah lagi. Dia baru sadar, ternyata mata teduh itu, Oh Mata teduh itu juga milik Mur.

"Itu lukisan dan foto papa. Kado ultahku yang ketujuh belas dari papa. Kalau kamu suka, ambillah!" Mur tiba-tiba berdiri di belakang Via. Via menoleh, Detik berikutnya ia menghambur kedalam pelukan Mur yang masih terbengong-bengong.

"Kakak Riooooon!!!!!!"

Read More..
 
Cerpen Romantis

Catcher:
Mendadak Tini mendengar gempa menderu di dadanya mendengar pujian itu. Kok bisa-bisanya Gerdy muncul di sini. Padahal dia kan kakak kelas yang kebagian tugas mengurusi sound system untuk acara Kartinian sekarang.


Tini mematut-matut diri di cermin. Menghadap samping kiri, kanan, senyum sendiri. Lantas mendekatkan wajahnya sampai kira-kira hanya berjarak sepuluh senti dari cermin itu. Sempurna. Wajahnya sedang bersih sebersih-bersihnya, tanpa noda-noda cokelat, apalagi jerawat. Ia juga sudah mencabuti alisnya yang agak berantakan, supaya terlihat lebih rapi.
“Tin! Sedang apa kamu? Buka dong pintunya,” pinta Ibu dari balik kamar.
“Sebentar, Bu…!”
“Nih, coba pakai, sudah cocok belum.”
Enaknya jadi anak tukang jahit ya seperti ini. Setiap ada acara, Tini akan mempunyai kesempatan pertama dijahitkan baju oleh Ibu. Model yang paling sulit pun akan Ibu kerjakan tanpa ribut. Sudah gitu, gratis lagi. Paling-paling Ibu hanya minta dibuatkan teh hangat atau dipijit-pijit pundaknya.
Pantulan di cermin membuat Ibu terlihat sangat kagum. Tini memang sudah tumbuh menjadi gadis yang amat menawan. Ciri khas seorang kartini abad milenium yang energetic, penuh gaya, pandai, dan lincah. Lihatlah penampilannya dengan kebaya brokat modern, kain panjang dan selendang, benar-benar membuat Ibu pangling.
“Gimana, Bu, sudah cantik belum?” tanya Tini seperti mengharapkan pujian.
Ibu manggut-manggut dan mengacungkan jempol. Sesekali membetulkan letak selendang yang menjuntai di pundak Tini.
“Sebenarnya Tini deg-degan, Bu. Bagaimana kalau selop Tini nyangkut di karpet nanti? Atau kalau konde Tini terlepas ketika jalan di atas panggung? Belum lagi Tini kan gampang sekali keringatan. Jangan-jangan make up-nya sudah luntur sebelum giliran Tini dipanggil. Atau….”
“Tin, kalau belum apa-apa sudah cemas begitu, percuma dong. Meskipun baru kali ini ikut fashion show Kartini Millenium, bukan berarti kamu jelek. Yang penting tunjukkan rasa percaya diri kamu dengan mengangkat kepala seperti ini nih. Jangan lihat mata penonton, tetapi sejengkal di atas kepala mereka tatapan kamu arahkan.”
Kali ini Tini yang merasa kagum melihat Ibu. Cara Ibu berjalan seperti benar-benar sedang memperagakan sebuah acara mode. Begitu anggun, ayu, lembut. Bagaimana mungkin Tini bisa menirunya?

“Tini tetap cemas, Bu.”
“Itu namanya demam panggung. Tak apa, teman-teman sekelas akan memberi semangat buat kamu.”
Benar juga kata Ibu. Teman-teman memang memberi semangat ketika Tini muncul di sekolah. Mereka bersorak melihat penampilan Tini yang beda dari biasanya.
“Gila, Tin. Hebat banget elu dandan. Feeling wali kelas kita memang oke ya milih elu yang akan mewakili kelas kita.”
“Bukan cuma gue, tetapi juga Melia,” jawab Tini yang mulai ribet dengan selendangnya.
“Ah, Melia kan sudah biasa ikut lomba-lomba seperti itu di luar sekolah, kalau kamu kan new comer. Makanya pasti seru banget! Terus terang kamu cantik sekali lho,” kata Gerdy, yang tiba-tiba muncul di samping Tini.
Mendadak Tini mendengar gempa menderu di dadanya mendengar pujian itu. Kok bisa-bisanya Gerdy muncul di sini. Padahal dia kan kakak kelas yang kebagian tugas mengurusi sound system untuk acara Kartinian sekarang.
“You look wonderful. Bener-bener beda,” ujar Gerdy lagi. Kali ini ia menyodorkan kertas karton bulat besar yang bertuliskan nomor peserta.
Tini jadi salah tingkah. Mau bilang thanks, nanti disangka yang lain dia memang merasa sok cantik. Tapi kalau diam, bisa-bisa disangka sombong oleh cowok itu.
“Ah, aku biasa saja kok. Yang bikin aneh kan konde ini.” Tini menyesal dengan jawabannya yang kacau. Apalagi ketika dilihatnya Gerdy tertawa, geleng-geleng, dan menjauh.
“Stupid lu!” makinya dalam hati. Mestinya tadi dia bilang tengkiu atau makasih, atau ah, yang bener, atau masa aku cantik sih?
Beberapa saat kemudian kelas mereka kembali riuh. Ternyata Melia sudah datang dan dia benar-benar cantik! Tini minder lagi. Kebaya yang dipakai Melia begitu mewah, berleher rendah, menampilkan kulit Melia yang putih susu. Kilau giwang yang menampilkan puluhan bias warna di telinga Melia menandakan bahwa perhiasan itu pasti mahal.
“Kalau gue gak juara satu, berarti jurinya juling,” celetuk Melia dengan arogannya. Lantas sejenak ia melirik ke arah Tini, yang agak kegerahan karena mentalnya mulai down. Pandangnya penuh selidik, mencermati sosok Tini, yang berubah keibuan karena kebaya yang dipakainya.
“Hai, Tin, selop elu gak matching sama tusuk konde. Bisa mengurangi nilai tuh,” kata Melia lagi. Padahal sebenarnya ia takjub melihat keanggunan Tini dari ujung rambut sampai ujung selop emasnya.

Lagi-lagi Tini merasa bodoh. Memangnya juri menilai sampai situ? Apa tusuk konde ibunya akan kelihatan dari atas panggung? Rasanya kebaya ini jadi kedodoran di badannya. Rasanya sarung yang dipakai tampak kumal bila berjejer dengan Melia. Jelas terlihat, Melia sudah berdandan habis-habisan. Dan terus terang hasilnya memang perfect!
“Mel, elu dan Tini sama kerennya. Tinggal beradu jalan di catwalk. Jangan sirik gitu dong.” Johan datang membela Tini.
“Pengalaman akan membuktikan siapa yang jadi juara nanti,” sahut Melia dengan cueknya.
“Kalo elu menang sih wajar. Kan elu udah biasa jadi juara. Justru kalo Tini bisa dapat nomor juga nanti, itu baru luar biasa,” tambah Ance.
Beberapa teman datang menghibur, sehingga air mata yang mulai menggenang di pelupuk tidak jadi keluar. Perlahan Tini mengelapnya dengan ujung tisu, supaya tidak merusak dandanan di wajahnya. Tini mulai menyesali pilihan wali kelas atas dirinya. Kalau beradu otak untuk urusan rumus atau hafalan, bolehlah memilih dia. Kalau beradu sprint atau men-dribble bola basket di lapangan, bisa dipastikan Tini akan menjadi juara. Tetapi ini? Tini mulai ragu, jangan-jangan sebenarnya teman-teman sekelas menertawai penampilannya saat ini. Jangan-jangan mereka tidak tulus memujinya.
Lagu Ibu Kartini dilantunkan begitu indah dan hikmat oleh paduan suara gabungan kelas IPA. Kemudian diulang oleh seluruh murid yang berbaris rapi di lapangan. Sebelum variety show, mereka memang melakukan upacara singkat terlebih dahulu untuk mengenang jasa-jasa Kartini di masa lalu. Setelah mengheningkan cipta, ada pembacaan sajak oleh salah seorang guru. Sungguh menyentuh.
Beruntung langit mendung, tidak panas terik. Jadi, para siswi yang berpakaian daerah tidak sibuk kegerahan oleh kostum yang dikenakan.
“Tin, nanti jangan lupa senyum, ya. Tinggal dua peserta lagi, baru giliranmu. Ingat lho. Senyum.” Kemala, yang adalah sahabat Tini, memberikan support.
“Gue takut yang kelihatan malah seperti kuda meringis, Mal.”
“Ah, elu. Masa, cewek jagoan sudah keok sebelum bertanding? Santai, tarik napas panjang. Ya… seperti itu.”
“Trims banget buat support elu. Semoga gue nggak mengecewakan.”


Meskipun sudah berulang kali menarik napas panjang seperti saran Kemala, Tini merasa dadanya tetap penuh kecemasan. Apalagi ketika nomornya dipanggil. Ia merasa, pundaknya berat karena stres. Pipinya menghangat karena deraan malu. Sempat tertangkap matanya Melia tengah mencibir ketika ia akan naik ke panggung.
Suara MC yang tengah memperkenalkan dirinya sebagai kontestan nomor sembilan semakin membuatnya nervous. Tini mengangkat kepala, tersenyum di ujung panggung dan mulai melangkah pelan. Ia ingat kata-kata Ibu tadi malam. Jalan dengan penuh penghayatan, tanpa melihat mata juri dan penonton. Kedua tangannya merapat ke dada dan memberi hormat dengan luwesnya. Tepukan dari teman-teman sekelas menambah rasa percaya dirinya. Kembali ia tersenyum, menunduk sejenak, berputar sekali lagi dan turun dari panggung.
Ketika selesai bergaya, di balik panggung Tini segera mengusap tetesan keringat di dahi dan lehernya.
“Tin, selamat ya.... Kamu cocok juga jadi peragawati.”
Gerdy muncul sambil membawa Aqua gelas. Tini tersipu mendengar pujian Gerdy. Apalagi ketika kakak kelasnya itu mengedipkan sebelah matanya. “Yah, meskipun gak juara, yang penting aku sudah mencoba,” kata Tini sambil menerima minuman dari tangan Gerdy.
“Berani taruhan, kamu pasti dapat nomor. Kalau kamu menang, aku yang nraktir kamu deh.”
“Kalau kalah?”
“Gak mungkin.”
Obrolan mereka terputus ketika Gerdy dipanggil oleh salah seorang anggota panitia. Cowok itu pamit sambil melakukan tos dengan Tini. Membuat Tini melambung, menciptakan khayalan tersendiri bersama Gerdy.
Hasilnya? Betul kata Melia, akhirnya Melialah yang terpilih sebagai Juara Pertama. Tetapi Tini tidak kalah bangganya ketika namanya dipanggil sebagai Juara Ketiga. Ini lompatan karir yang luar biasa, mengingat ia baru pertama kali mengikuti ajang seperti ini meskipun baru di tingkat sekolah.
“Benar kan kataku, kamu pasti dapat juara,” kata Johan dan Ance hampir berbarengan. Mereka berebut menyalami Tini, begitu juga yang lainnya, sejenak Tini merasa seperti menjadi seorang selebriti yang sedang naik daun.
Tini segera berganti pakaian di dalam kelas setelah selesai memperoleh pialanya. Ia tidak pulang dulu, karena sudah janjian akan ke rumah Niken. Ketika sedang wara-wiri ke sana-kemari di sekolah, tiba-tiba Louise memanggil sisa teman sekelas supaya berkumpul. Hanya ada kurang lebih lima belas anak.

“Melia kecelakaan di jalan tol tadi, ia banyak kehilangan darah dan perlu transfusi darah.”
Tini baru ingat pada Melia. Temannya itu memang langsung pulang, karena akan mengikuti seminar kecantikan sore harinya.
“Apa golongan darahnya?”
“B.”
“Ayo, cepat, antar aku ke rumah sakit. Golongan darahku sama dengannya. Siapa tahu aku bisa membantunya.”
Tini dan dua orang teman lain yang bergolongan darah B segera ke rumah sakit untuk membantu Melia. Selebihnya menunggu tumpangan untuk berbondong-bondong menjenguk.
Tini masih tidur-tiduran karena mengantuk. Mungkin itu akibat transfusi darah yang beberapa jam lalu dilakukannya. Sehabis makan, dengan porsi lebih banyak dari biasanya, ia langsung tertidur pulas.
“Tin, ada telepon dari wali kelasmu,” kata Ibu sambil menggoyang-goyangkan badannya.
Sontak Tini meloncat dan segera berlari mengangkat telepon.
Ibu hanya memperhatikan dari jauh sambil senyum-senyum. Dan senyum itu menjadi semakin lebar ketika melihat Tini menjerit girang sehabis meletakkan gagang telepon.
“Ada apa, Tin?”
“Ibu tahu, pialaku akan ditukar.”
“Ditukar? Kenapa?”
“Ternyata ada kehebohan di sekolah tadi. Tiba-tiba orang tua Melia mengaku, mereka telah menyuap dua dari tiga orang juri supaya Melia bisa menjadi juara satu. Wakil juri dari orangtua langsung mengaku, sedangkan juri yang mewakili seluruh murid baru saja mengaku setelah diinterogasi panjang lebar oleh kepala sekolah.”
“Lho, apa motivasi mereka sih? Cuma urusan begitu saja sampai makai sogok segala?”
Tini hanya tersenyum. Ia tahu, juri yang disuapnya itu adalah istri salah seorang kolega papa Melia yang kaya raya. Sedang juri yang satu lagi ternyata masih terhitung sepupu jauh Melia. Menyuap pihak guru jelas tidak mungkin. Tetapi perhitungan dua banding satu telah membuat Melia terpilih menjadi juara pertama.

Orangtua Melia mengaku karena menganggap bahwa kecelakaan yang terjadi akibat perbuatan mereka yang tidak jujur. Mereka menyesal, apalagi setelah mereka tahu Tini adalah salah satu murid yang menyumbangkan darah untuk keselamatan Melia.
“Aku senang sekali. Bayangkan, Bu. Juara dua!”
“Ibu juga senang, Sayang.”
“Bukan hanya itu, katanya lagi aku terpilih menjadi Kartini Milenium terfavorit, hasil dari pemungutan suara yang dihitung ketika aku di rumah sakit. Hadiahnya bukan piala, tetapi uang buku dari beberapa donatur yang bersimpati. Banyak yang menyesalkan Melia, padahal kalau tidak menyogok pun dia pasti keluar sebagai juara. Apalagi pengalamannya tampil di peragaan busana sudah menghasilkan beberapa piala di rumahnya. Sayang ya, Bu.”
“Kok kamu bisa jadi Kartini Favorit ya?”
“Itu lho, Bu. Penilaiannya dari segi akademis dan pergaulan, tetapi gerak cepatku yang langsung ke rumah sakit untuk donor darah menjadi nilai tambahnya. Kata wali kelas, itulah ciri seorang Kartini masa kini. Bukan hanya luwes saat memakai kebaya, tetapi bersikap sportif dan mampu mengatasi keadaan dengan cara yang paling tepat.”
“Ibu tidak menyangka, Nak. Sini Ibu peluk, Ibu bangga lho sama kamu.”
“Ada yang lucu, Bu. Kata teman-temanku, selama ini Melia sirik dengan prestasiku. Padahal aku tak pernah menganggapnya sebagai saingan tuh.”
Tini senyum-senyum lagi sendiri. Membuat Ibu semakin tidak mengerti. Tentu saja Ibu tidak akan mengerti, karena kali ini senyum Tini untuk Gerdy. Bukankah cowok itu berjanji akan mentraktirnya kalau ia bisa menjadi juara? Bukan soal traktirannya di mana atau kapan sih, tetapi jalan cerita setelah Gerdy selesai menraktirnya nanti. Tini berharap, ia akan beruntung juga menjadi juara mendapatkan cinta Gerdy yang keren itu. Kalau bisa sih jangan sampai ada saingan yang muncul tiba-tiba. Ia kepingin mendapatkan Gerdy dengan mulus. Rasanya Tini harus mulai berdoa dari sekarang, kan?


Read More..
 
Mimpi Romantis Sheila

Sheila ingat mimpinya berdansa dengan Brendan. Brendan yang mengajaknya turun melantai. Wah... mimpi-mimpiku akan jadi kenyataan, pikir Sheila girang.


Cowok keren itu memandang Sheila lembut dari lantai dansa hingga Sheila merasakan jantungnya berdebar tak karuan. Cowok itu mendatanginya. Berjuta rasa menyerang Sheila, cemas, gugup, senang, grogi dan entah apa lagi.
Cowok itu kian dekat, kaki Sheila gemetar.
“Hai…”
Oh God! Dia bilang hai, pekik hati Sheila. Sheila mencoba tersenyum, tapi suaranya untuk balas menyapa dirasanya seperti bebek, nggak enak didengar.
“Aku ingin mengajakmu berdansa….”
Mengajakku berdansa? Oh God! Sheila tambah gugup, kakinya tambah gemetar, dia tak mampu mengangkat wajahnya yang dirasanya pasti merah padam kayak kepiting rebus.
Cowok itu dengan lembut menarik jari jemari Sheila, memutuskan serba salahnya.
Sheila pun bangkit, dadanya makin keras berdebar, tangan cowok itu dirasanya begitu lembut melingkar di pinggangnya, aroma parfumnya begitu menawan penciumannya, lalu dengan sabar dia menuntun langkah kaki Sheila menuruti langkah-langkahnya. Dengan tatapannya yang penuh cinta, dia berusaha menenangkan Sheila, menentramkan gemuruh jantungnya. Sheila mencoba untuk tidak terus menunduk, dia ingin juga memperlihatkan matanya yang penuh cinta. Kini kaki-kaki Sheila dan cowok itu lincah melantai, di bawah tatapan berpasang-pasang mata yang iri.
Sheila tersenyum bangga, puas, hatinya menertawakan gadis-gadis di sekelilingnya. Mereka begitu cantik dan sempurna seperti putri-putri bangsawan, pakaian-pakaian mereka bercorak indah, terbuat dari sutra, tapi malam ini akulah yang Lady…Ha ha ha!
Buummmm!
Sheila nyaris terjatuh, jantungnya berdebar kencang. Ia memandang aneh ke cowok berambut kribo dan berhidung besar yang dibencinya, yang lagi mungutin buku-buku yang berjatuhan. Orang-orang di perpustakaan menoleh sambil ketawa.
“Sial” umpat hati Sheila kesal. Cowok keren bak pangeran yang tadi berdansa dengannya jadi hilang, raib entah ke mana.
Sheila mendengus membelalakkan matanya. Cowok itu selesai memunguti buku-bukunya, lalu tersenyum kepada Sheila. “Sialan lu! Kribo item jelek! Maki Sheila dalam hati.” Dia emang paling sebel sama cowok yang sering ditemuinya di perpustakaan ini.
Kembali Sheila merapikan buku-buku di rak tinggi itu.

Cowok keren bak pangeran itu muncul lagi, kini bahkan sudah memegang tangan dan mengusap gemes pipinya. Sheila memekik kegirangan, matanya memandang takjub wajah keren itu, yang hanya berjarak beberapa senti dari hidungnya, Sheila membayangkan sebentar lagi sang Pangeran akan semakin mendekatkankan hidungnya dan mencium….
“Hai…!”
Sheila tersentak kaget terbangun dari mimpinya, matanya langsung melotot, dia memandang tak percaya cowok di depannya. My God! Itu pangerannya. Ia benar-benar muncul di depannya.
Cowok yang mirip Fachri Albar itu tersenyum, aduhai, jantung Sheila berdetak gila-gilaan. Cowok itu menarik buku di depan Sheila.
Sheila cepat tersadar, pangerannya tertarik dengan buku-buku yang sedang dibacanya.
“Boleh aku pinjam yang ini?”
“Boleh… boleh,” jawab Sheila dengan suara bergetar.
Cowok itu mengangguk.
“Terima kasih Tuhan, Kau kabulkan doaku. Di perpustakaan ini memang tempat yang pas buat nungguin dia, karena dia memang suka baca buku. Akhirnya dia datang juga Tuhan, thanks Tuhan…”
“Kayaknya masih ada seri kedua buku ini, tapi aku nggak tahu di mana tempatnya.”
Wah kesempatan bagus nih, bisik hati Sheila girang, aku akan membantunya mencari buku itu dan perkenalan akan berlanjut, hingga suatu hari dia mengajakku kencan di sebuah pesta, berdansa dan….
Cowok itu mengikuti Sheila dari belakang, Sheila sendiri sedang berpikir, di mana tempat buku All About Love seri 2 yang dimaksudkan cowok itu, sudah beberapa hari Sheila jarang ngubek-ngubek tumpukan di beberapa rak buku karena waktunya akhir-akhir ini lebih banyak tersita untuk sebuah khayalan yang indah.

Read More..
 
DEBU ITU

Bukan aku membencimu
Tak ada alasan untuk itu
Dalam waktu kau selalu ada
Bukan aku membuangmu

Setelah pergi kau kembali
Bukan aku menyingkirkanmu
Aku tak ingin warna hari kelabu
Ahh…….mungkin kau hanya singgah

Kelam mendelik !!!
Menyapa sadis !!!
Setelah ku sapu bersih dan berkilau
Debu itu datang lagi

Cahaya itu redup lagi
Kusam berdebu
Debu itu memaksa !
Membuatku terpaksa menyapu lagi

Read More..
 
Yang di sana !! cobalah ke sini Yang di situ !! cobalah ke mari Yang di atas !! cobalah ke bawah Hiii,,yang di bawah !! jangan diam saja Aku ingin be

Kala kita melukis tentang semua keindahan
Kita melupakan semua keburukan
Kala kita terbang jauh dari kenyataan
Kita melupakan semua kenangan

Hanya dalam mimpi kita tersenyum
Hanya dalam mimpi kita tertawa
Hanya dalam mimpi kita bahagia
Hanya dalam mimpi kita tenang

Saat kita tersentak dan terbangun dari mimpi
Kita sadar bahwa kita hanya segelintir manusia yang sombong
Saat kita belajar tuk berjalan
Kita sadar bahwa kita hanya segelintir manusia yang pasti terjatuh

Kawan……di dalam mimpi kita selalu bermimpi
Tanpa lelah kita kuras pikiran
Ketika bayang mimpi menghampiri
Kita berlari mengejar meski samar

Read More..
 
HATIKU,,HATINYA,,HATIMU

Yang di sana !! cobalah ke sini
Yang di situ !! cobalah ke mari
Yang di atas !! cobalah ke bawah
Hiii,,yang di bawah !! jangan diam saja

Aku ingin bertanya satu hal!
Ya,,,ada hal lain juga sih.

Kenapa sih gak bisa Satu?
Kenapa sih gak bisa diam?
Kenapa sih jadi diam?
Kenapa sih gak bisa mengerti?
Kenapa sih gak bisa sabar?
Kenapa sih,, dan masih banyak sih lainnya,,untuk kalian!

Aku cuma butuh pengertian kalian
Cobalah jalani hidup dengan hati jangan pakai kepala!
Masih gak mengerti? Lebih baik rendahkan dulu volume pribadimu
Dan kita bertanya dengan hati,,,hati,,,dan hati,,,


DI PERSIMPANGAN JALAN
Karya : Idris Siregar, SH

Menemui banyak bibir mungil mengais kata
Dengan menjuntaikannya kehamparan jendela kenderaan
Aku tersentak dari lamunan café dan resto
Sebingkai menu yang menyelusupkan nikmat
Tergeser dan jatuh dalam bias rona wajah mereka
Kapan mereka usaikan dahaga
Kapan mereka menyeka itu peluh
Kapan mereka membuang sedu sedan

Menemui banyak mata mengejar asa
Dengan menaruhkan jemari di bawah matahari
Aku tersentak dari bayangan sofa dan ruang asri
Sebentuk lampu yang terangi sanubari
Tersisih dan menepi ke jejak kaki mereka
Kapan almanak milik mereka
Kapan peta terbaca mereka
‘Tuk tiba di wilayah bahagia
Bukannya daerah purba dan tuna!

Read More..
 
KAKTUS

Bunga kaktus
Teramat paham
Pada gelar
Yang dipentas
Di trotoar

Kabut
Direbah halilintar
Lalu turun air hujan
Sederas biji buah ketumbar
Dan kota membangun perahu
Dari lembar kain jemuran
Daun pintu
Juga batang-batang tumbang

Kenapa ada tangis yang pilu

Keluh keringat bercampur karat
Wajah-wajah gersang
Berhimpitan
Berdesakan

Menyeru jalur arah arakan
Menuju gedung
Yang dikononkan menggiurkan

Kenapa ada api berkobaran

Malam dalam cahaya temaram
Bunga-bunga berpindah tangan
Harumnya menyebar
Diantara tubuh yang kedinginan
Pada lontar
Yang dicipta selembar Koran

Kenapa ada darah tanpa luka

Sedang kaktus
Masih menyimpan durinya
Dalam-dalam

Read More..
 
RENCANA SEPULUH HARI KE DEPAN

Ketika bijak berbicara
Apa yang hendak kau sampaikan
Mengenai amarah alam
Yang tak juga hentikan setiap luapan

Daratan jadi lautan
Malam bertambah kelam
Sementara bisu kampung-kampung tak juga reda

Ini adalah serapah hari
Tanggul-tanggul pecah
Mulut telah lelah meminta petuah

Sampaikan pada penguasa langit
Apa rencana sepuluh hari kedepan

Ruang itu hilang sudah
Tenggelam bersama harapan
Petak kenangan yang tak mungkin hadir kembali

Ketika bijak berbicara
Apa yang hendak kau sampaikan
Mencari celah di setiap alir kerinduan
Masa kecilpun hilang
Sawah ladang raib dalam sekejap waktu

Di mana lagi tempat pijakku
Sementara tanah-tanah kini tak terlihat
Pohonan tinggal puncak yang ranggas
Bubungan begitu lindap di mata

Masih lekat dalam ingatan
Semburan itu mengawali segala kisah
Mengumpulkan segelintir orang
untuk merencanakan kerja
sepuluh hari ke depan

Read More..
 
NYANYIAN SUNYI KEMISKINAN

Tadi malam buta
Setelah matahari tidur
Aku menggadaikan nyawaku
Pada seorang lintah darat
Yang biasa mencekik orang-orang di kampungku
Aku ingin pagi nanti
Setelah matahari bangun
Aku bisa pergi ke pasar cicadas
Membeli tahu,
Kangkung,
Juga beras
Yang harganya semakin sombong
Tidak mau lagi bersahabat dengan orang-orang sepertiku

Tapi setelah pulang dari pasar aku pasti bingung
Uangku habis
Dan lusa esok
Nyawaku pasti sudah dijual lintah darat
Dan di beli saudagar kaya
Dengan harga lebih tinggi

Read More..
 
SENANDUNG RINDU RADEN BUDIRING

Melalui keperihan di lambungku, aku mencoba menyusun bahasa. Menari bersama asap dupa. Seakan-akan ruh para leluhur datang menjengukku. Menanyakan tentang keris pusaka dan tentang kematian yang disesalkannya. Ada cahaya bintang yang menyelinap di atas atap. Menggerak-gerakan sisa malam yang sempit. Aku tidak mengerti. Inikah yang disebut penyesalan? Kelewang, keris dan juga bambu runcing tetap tergantung di dinding yang tenta. Tiba-tiba kitab hasil pertapaan berhamburan. Membentk peta kegelisahan yang selama ini terpendam dalam kalbu.

Di jalan-jalan raya. Suara delman memecah sunyi. Roda-roda berpaling dari luka. Berputar. Seakan telah menemukan isyarat kebahagiaan di pinggir-pinggir jalan. Lalu kita menimbun kata-kata dari sisa pertempuran yang sia-sia. Ribuan anak balita bersila di sudut goa. Membaca garis perlawanan yang kita titiskan dalam dendam. Namun adakah di sana Tuhan membaca pikirannya? Sehingga kematian tidak perlu lagi disesalkan?

Aku menyaksikan orang-orang bernyanyi di televisi dengan lagu yang tak pernah diajarkan oleh nenek moyangnnya. Sebuah lagu yang tak mampu membangkitkan asmaraku untuk bercinta. Aku merindukan tubuhku lahir pada abad pertama dari putaran dunia. Berjumpa dengan adam yang masih meragukan dirinya manusia. Seorang pemuda menelepon kekasihnya di pagi buta. Adalah hawa menyisir rambutnya disana? Atau sedang bernyanyi untuk meredamkan perih setelah pembunuhan putranya? Tiba-tiba aroma firdaus yang kudus menampar sudut hatiku.

Purnama telah membagi cahayanya. Gerhana tersimpan dihatiku. Lalu kembali kusucikan tubuhku dengan baris-baris doa.

Bagaimana mungkin aku bisa menghentikan tetes airmata di pekarangan rumah sementara mimpi dari malam ke malam selalu berkemas diri untuk pergi dan meninggalkan luka baru di pelupukku. Hembusan angin begitu dingin memporak-porandakan istana yang kubangun di dadaku.

Tahun ini seakan-akan menunggu matahari pecah di ubun-ubun. Debu tetap menempel di lipatan baju. Tiba-tiba di selokan belakang rumah terdengar senandung lagu daerah mengalir dengan deras, mencari muara di hatiku. “di mana kemerdekaan itu?” teriak seorang lelaki dengan busur di tangannya. Tanah perbatasan-tanah perbatasan berapa purnama yang dibutuhkan untuk mengenalmu? Dalam buku harian kutulis namamu yang selalu terancam bencana.
Hari pertengahan musin hujan telah tiba. “Anakku negeri baru menunggumu”.

Read More..
 
WAJAH NEGERIKU


Aku membuka mata kecilku
Gelap dan dingin, emak masih mendekap aku
‘aku mau main, mak!’
“tidak bisa Nak, langit sedang marah’.

Aku membuka mata kecilku besoknya
Gelap dan lebih dingin dan sangat pengap
‘aku ingin main, Mak!’ aku berbisik menggema
‘Nak, kita tidak lagi bisa keluar rumah’

Emakku mencari mulut kecilku, memberikan susunya
Aku mulai merasa hangat, ‘Emak takut?’ bisikku
‘Emak tidak ada waktu untuk ketakutan, Nak
Emak sibuk meminta ampun’

Kepala kecilku berdengung oleh suara Emak
‘kenapa lama sekali emak meminta ampun?’
‘Nak, banyak sekali nama yang harus emak sebut
untuk dimintakan ampunan pada Tuhan…….’

Aku membuka mata kecilku
Setitik cahaya mengintip menyilaukan,
Dan suara orang-orang ramai menggali rumahku
“Allah Maha Besar …..mereka selamat!”

Untuk pertama kalinya dalam hidupku,
Aku melihat senyum terindah wajah emakku
Dan aku bernazar, suatu saat yang sama kelak……
Emak tidak menyebut namaku…….

Read More..
 
Cerpen : Aku ingin Jatuh Cinta Lagi

“Aku ingin jatuh cinta lagi!” ucapku lirih di depan cermin. Keinginan dan dorongan hatiku untuk jatuh cinta lagi begitu kuat seperti muntahan yang terus mendorong keluar dari dalam perut untuk menghilangkan rasa mual.

Saat ini, aku sudah mempunyai seorang kekasih, namanya Juned. Juned yang kuliah di fakultas ilmu sosial dan politik yang menurut persepsiku sesuai dengan penampilannya. Rambut gondrong, jins belel, rokok di tangan, dan suka berdemonstrasi bila ada isu-isu sosial politik yang mencuat ke permukaan dan dianggap tidak sesuai hati nuraninya.Tapi, kadang Juned juga bisa seperti penghibur yang melemparkan canda nakal yang membuatku tertawa terpingkal. Juned tidak seganteng Ashton Kutcher tapi cukup membuatku tak bisa tidur. Juned bukan cowok berbadan atletis yang didamba setiap cewek untuk selalu berada dalam dekap hangatnya. Dia cenderung kurus tapi cukup membuatku aman berada di dekatnya.

Juned bukan cowok yang selalu memperhatikan penampilan bahkan bisa dibilang jarang mandi tapi cukup membuatku selalu merindunya. Juned yang begitu sederhana dan Juned yang apa adanya. Aku menyayangi Juned dan aku mencintainya hingga saat ini.

***

“Kenapa sih?” tanya Juned suatu hari. Kukernyitkan dahiku tanda tak mengerti ucapannya barusan.

“Kamu itu kenapa?” tanya Juned lagi.

“Maksudnya?” aku balik bertanya masih dengan tak mengerti maksudnya.

“Sebulan ini aku ngerasa kamu jadi aneh,” ucap Juned.

“Apa aku seperti monster, sampai-sampai kamu menganggap aneh diriku ini?” kulemparkan canda. Tapi aneh, Juned tak menanggapi seperti biasanya.

“Aku serius!” pandangan mata Juned seperti memaksa meminta jawaban. Kami terdiam sejenak. Aku ragu.

“Aku ingin jatuh cinta, Jun!” akhirnya keluar juga kata-kata itu dari mulutku setelah sebulan berusaha menyembunyikan hal ini darinya. Rasanya lega sekali setelah mengucapkan kata-kata itu. Kubayangkan reaksi Juned, dia bakal kaget dan marah tapi ternyata tidak. Juned diam saja. Hanya sedikit kaget terlihat dari air mukanya. Di saat seperti ini, keheningan sejenak menjadi teror sepi yang berkepanjangan.

“Pit, aku mencintaimu… sangat mencintaimu dan kamu tahu itu.” Kuanggukkan kepalaku.

“Saat ini, kamu memang pacarku, milikku. Tapi, hatimu tetap milikmu sendiri. Kamu berhak menentukan langkahmu sendiri. Berhak menentukan siapa yang kamu cintai.”

“Kamu nggak ngerti aku Jun!”

“Aku ngerti. Sangat mengerti dengan keinginanmu. Jangan memaksakan diri bersamaku bila kamu tak menginginkannya,” Juned beranjak pergi meninggalkanku.
“Juned tak mengerti apa yang kurasakan. Aku hanya ingin sensasi jatuh cinta itu datang lagi padaku. Rasa berdebar-debar bila menunggu kedatangannya seperti ilalang di tanah lapang menanti sang hujan di musim kemarau. Bukan seperti rutinitas menunggu sang mentari muncul dari arah timur saat pagi hari.

Aku ingin rasa kangen begitu menyerangku bila lama tak bertemu. Aku ingin rasa berbunga-bunga itu datang lagi saat senyuman manis dilemparkan ke arahku. Saat ini, aku hanya ingin jatuh cinta, itu saja. Apakah salah?

***

Hari ini aku sengaja menunggu Juned di kampusnya. Wajahnya yang kuyu masih saja kurindukan. Sedikit canggung memang setelah lama tak bertemu, tapi semuanya berjalan baik-baik saja.

“Sudah jatuh cinta lagi?” kalimat pertama yang meluncur dari mulut Juned.

“Sudah, malah berkali-kali!” jawabku.

“Kamu sendiri gimana?” sambungku.

“Aku nggak tahu Pit, rasanya aku tidak bisa jatuh cinta lagi. Aku berusaha melupakan kamu tapi tak pernah bisa. Semakin aku berusaha melupakanmu, bayanganmu makin lekat. Jadi, sekarang kubiarkan bayanganmu merajai diriku tanpa berusaha menghilangkannya. Orang bilang waktu yang kelak akan menghapusnya. Tapi, aku juga masih meragukan apakah kelak waktu benar-benar bisa menghapusnya. Sampai saat ini, detik ini, aku masih sayang kamu Pit.” Kata-kata Juned meluncur begitu saja seperti kereta api express yang tak pernah berhenti di stasiun-stasiun kecil. Tapi, nadanya makin melemah seperti orang yang sudah kehilangan harapan. Di sudut hatiku, ada rasa bahagia yang meletup-letup. Juned masih sayang dengaku.

“Jun, aku jatuh cinta padamu berkali-kali!”

“Benar Pit yang barusan kamu ucapkan? Kamu sedang tidak mempermainkan aku kan?” Juned menggoyang-goyangkan bahuku, sepertinya Juned tidak percaya dengan apa yang kuucapkan dan dia terus mengulang pertanyaannya.

Aku mengangguk. Bukankah cinta seperti ini yang diinginkan setiap orang? Jatuh cinta berulang kali pada orang yang sama. Terlihat jelas rona bahagia di wajah Juned, tapi bukan Juned kalau dia tidak bisa menahannya. Tidak langsung memelukku seperti yang aku lihat di film-film, tapi aku tahu kalau Juned benar-benar menyayangiku. Aku mencintai Juned dengan segala kesederhanaannya.

-disadur dari milis HanyaWanita

Read More..
 
Bisikan Angin Sepanjang Zaman

Ada kalanya camar lelah terbang menyapa anginangin tanpa bentuk yang hanya berasarasa. Anginangin menelisik ke tiap lubanglubang sekedar menakzim apapun. Zaman semakin berkerut seperti wajah lansia penyot. Letihnya dari teknologi yang membunuh segala samudera. Angin mencatatnya sebab dialah semua akan terungkap. Telingamu selebar benua, pantaslah dengar bisikbisik angin mengeluh sendu.
Teropong ke luas jagad meski tidak perlulah sampai ke nebula. Bukankah kini napasmu semakin sempit karena asap kotor perlahan menarik ruhmu? Cerobong pabrik dan knalpot hitam menjalar semau. Barang kali, jika bisa mengintip lewat rahim pada seluas bumi, para jabang bayi enggan bersapa dengan angin dunia bahkan memilih diam dalam rahim. Sebab buku catatan pesakit asma tumpukmenumpuk.
Janganlah kita membuat kisah trauma para pendatang kehidupan. Karena teknologi pembunuh yang kian bawa kebulan virus asap bisa terendap. Masuk garasi. Pabrik mati. Atau saringlah jadi pahlawan super di antara keliar angin yang tak pernah berujung pada hitungan. Atau kayuhlah rodaroda jari dalam peluh tenaga sepasang kaki berbetis dan cepatnya langkah menantang angin. Di sanalah, kau terbebas.
Bicara pula pada pepohon, sekiranya mereka mau menghirup kebulan asap untuk membingkis pada kami sebuah jernih untuk paraparu kami. Hingga tak usalah pegunungan dengan sawah aduhainya berhijrah ke kota. Karena nuansa hijau bisa lahir juga dalam detik terakhir yang tanggalkan ringis sakit.

Read More..
 
Maut Itu Memisahkan Kita

Aku selalu suka akan hujan. Rintiknya yang membasahi tanah membuatku nyaman. Hujan memiliki ritme yang menarik, lebih menarik daripada musik. Hujan juga membawa keuntungan untuk banyak orang. Dari mulai menghalau kekeringan, mengisi kolam-kolam warga sampai membawa keberuntungan pula untukku. Karena hujanlah kita bertemu. Karena itu aku selalu menantikan hujan, seperti aku menanti kamu.

Hujan adalah mak comblang kita. Andai saat itu tidak hujan, kita mungkin tidak akan pernah bertemu. Waktu itu aku sedang menunggu jadwal kuliah selanjutnya di sebuah kafe kecil dekat kampus. Aku sedang memperhatikan proses hujan, dari mulai rintik-rintik lalu beranjak besar dan kian besar diiringi angin kencang. Tiba-tiba pintu kedai terbuka dengan gemerincing bel di atasnya, seorang pelayan menyambut wanita muda cantik, yaitu dirimu. Dengan rambut dan baju yang basah kamu menyusuri kafe dan kemudian memesan secangkir capuchino hangat. Aku mendengar suaramu tentu saja, walaupun hujan deras, suasana kedai ini sangat sepi. Bahkan suara dentingan sendok adukan kopi pun jelas sekali. Aku bisa dengan leluasa memandangimu tanpa harus ketahuan olehmu, tentu saja berkat kaca yang mengelilingi kafe mungil ini.

Pesananmu datang, secangkir capuchino hangat yang langsung kamu teguk. Selagi menikmati kopimu, kamu memandangi jalan raya yang masih diguyur hujan deras sore itu. Entah bagaimana, kamu memiliki inisiatif untuk melihat kaca juga, pandangan kita pun akhirnya bertemu…tapi lewat kaca. Sungguh lucu. Kita selalu menertawakan kejadian itu saat kita bersama. Hmm..Sejak saat itu kita berkenalan, dan menjadi semakin dekat. “Ya ampun, ternyata lo senior gw yah..hahaha..maaf yah, gw ga tau,” katamu saat itu. Ya..jelas kamu tidak tahu, aku kan tidak eksis di kampus. Kamu mahasiswi 2 angkatan di bawahku tapi berbeda jurusan. Aku fotografi, kamu seni rupa.

Seingatku kau selalu ceria. Entah berusaha ceria atau memang kamu selalu ceria, aku belum tahu saat itu. Memang aku sering mendapatimu merenung, tapi aku kira itu hanya karena kamu sedang bad mood. Kamu selalu memamerkan karya-karyamu padaku, meminta pendapatku dan kamu selalu marah kalau kubilang karyamu bagus. “Aku ingin dikritik,” begitu katamu. Kamu aneh, lucu, menyenangkan. Sampai 2 bulan lalu kamu tidak selucu, seaneh dan menyenangkan seperti dulu. Bukan, bukan karena kamu yang berubah, bukan karena kamu jadi menyebalkan atau tiba-tiba berubah menjadi Mimi Hitam si nenek sihir. Tapi kamu berubah karena penyakitmu. 2 bulan lalu, kamu sering tidak masuk kuliah. Kamu juga suka menghilang tiba-tiba, tidak ada kabar, untuk kemudian tiba-tiba muncul lagi dan seperti tidak terjadi apa-apa. Sampai pada akhirnya saat aku menjengukmu di rumah sakit, kamu mengaku bahwa kamu sakit keras.

Ha?Sakit keras..?bercanda kamu. “Tidak, aku tidak bercanda,” katamu saat itu sambil tersenyum. Manis tapi miris. Aku cuma menggenggam tanganmu, dan berkata semua akan baik-baik saja. Kata-kata menenangkan yang sungguh basi, ya aku tahu itu. Aku tidak habis pikir bagaimana kamu bisa tahan, kanker stadium akhir yang kamu derita itu kata orang sungguh menyiksa. Tapi kenapa setiap aku datang, kamu masih bisa tersenyum? Kenapa kamu masih bisa berusaha menertawakan gurauan-gurauanku yang tidak lucu? “Apa kalau tertawa terasa sakit?”. “Sedikit,”, katamu sambil tersenyum. “Kalau begitu tidak usah tertawa, kalau memang menyakitkan.”

Seminggu yang lalu, sahabatmu, Dina menelepon. “Disya meninggal Fir, pagi tadi jam 9”. Deg. Aku kaget, tapi entah bagaimana aku sudah tahu, cepat atau lambat itu terjadi. Aku hanya tak tahu maut akan cepat meraihmu seperti ini. Aku tidak menangis, air mataku sudah habis terkuras untuk menangis saat kamu sakit. Bisa dibilang aku sudah pasrah.

Rumahmu ramai, penuh anak kampus dari angkatanmu. Ya, kamu cukup terkenal diantara teman-temanmu, tidak seperti aku tentu saja. Mungkin kalau aku meninggal yang datang cuma kamu ya Dis, eh tapi kamu pun tak mungkin datang, karena kamu sudah meninggalkanku duluan. Dina menyambutku, membawaku ke jasadmu Dis Kamu tetap cantik seperti dulu, bedanya kamu tidak mengenakan sneakers converse pink kesayanganmu itu dan bajumu pun bukan kamu banget. Serba putih tanpa model. Padahal kamu benci warna putih. “Aku lebih suka hitam, putih itu gampang kotor,” begitu selalu katamu. Ingin aku teriak di sana, meminta mereka untuk mengganti kafan putihmu dengan warna hitam.

Disya, kamu menyakitiku. Ya, aku sakit melihatmu terbujur kaku disitu sedangkan aku masih di sini sendirian. Sendirian menantimu dan sampai akhir hayatmu pun kamu bukan milikku lagi. Kamu miliki yang di Atas sekarang, sampai jumpa di akhirat nanti Disya.

Read More..
 
Pinky Boy, Why I Love U

Gue gak bisa ngerti kenapa hadir 1 makhluk super duper aneh ke dalam hidup gue. Dia cowo tapi suka banget warna pink dan segala sesuatu yang ada pink-pinknya. Sikapnya juga jauh lebih peka dibanding cowo-cowo pada umumnya. Dibilang banci? Ga ada tampang kebanci-bancian, dibilang cowo abis? Juga nggak karena hobinya pake baju warna pink. Tapi 'keanehan'nya itulah yang bikin gue terus-terusan penasaran ma dia. Gue tegaskan ya, gue cuma penasaran aja. Enough.

Namanya Putra. Kalo denger dari namanya sih macho abis. Gak ada yang nyangka kalo ternyata dia hobi ngoleksi segala sesuatu yang warnany pink. Pertemuan gue ma dia terjadi kira-kira 3 bulan yang lalu. Itu pun di momen yang tak disengaja sama sekali. Ya iyalah, gak mungkin donk seorang Putri yang jago karate mau dengan sengaja, sukarela dan senang hati kenalan sama cowo penyuka warna feminin kaya gitu.Balik ke intinya, waktu itu gw ma dia lagi sama-sama beli baksonya Mang Uje di kantin belakang kampus. Gue ma dia saling tubrukan dan mengakibatkan kuah basonya dia ngotorin baju bertulisan 'Rock Is My Blood' kesayangan gue. Grrr.....kontan aja gue langsung naek pitam. 'Eh, mata lo dimana siy, jalan ga liat-liat!'hardik gue. Jawaban dia cuma 1 kata, 'Maaf'.Nggak mau memperpanjang masalah, gue langsung pergi ke toilet untuk membersihkan bekas tumpahan kuah baso tersebut.

Hari itu gue ketemu lagi sama tu cowo. Kali ini ditempat parkir. Motor dia ma gue diparkir bersebelahan. Gak satu kata pun yang keluar dari mulut masing-masing. Kita cuma saling liat, berasa pernah ketemu. Y emang, tadi siang gitu gue barusan marah-marah ma dia. Tapi ada satu pemandangan yang cukup membuat gue kaget bukan main. Oh, my God! motornya dia itu jenis skutermatic warna pink, yang lebih pas dipake buat kaum hawa. Cck..cck...kebanting banget sama kuda besi yang gue bawa. Motor gue motor sport yang harusnya dipake ma cowo. Gue perhatiin aja dari atas sampe bawah, gue makin kaget lagi karena ternyata semua yang dia pake ada unsur warna pink-nya. Gilee benerr!Banci kali ya tu cowo.

Hari-hari selanjutnya, gue jadi semakin sering ketemu dia karena ( lagi-lagi ) secara kebetulan, kita satu kelas di mata kuliah Bahasa Indonesia. Gue yang tadinya sebel banget gara-gara dia ngotorin baju gue,jadi sering ketawa ngeliat tingkah dan hobinya dia yang aneh bin ajaib. Beberapa kali kita terlibat dalam diskusi perkuliahan, dan gue pikir, otaknya lumayan cerdas, bukan lumayan lagi, cerdas banget malah. Pernah suatu kali gue ngobrol santai sama dia di taman. gue tanya kenapa sih dia suka banget warna pink, ' warna pink itu bikin hati gue tenang' begitu jawabnya. 'Hah?tenang??' Koq bisa, pikir gue. ' warna pink itu akan selalu mendekatkan gue pada seseorang nun jauh disana' lanjutnya lagi. Duh, gue jadi makin bingung sama jawabannya dia. Belom sempet kebingungan itu hilang, dia malah nanya balik ke gue, 'Nah, elo..nama lo kan Putri, kenapa nggak suka warna pink dan justru sukanya sama semua yang berbau cowo?lo kan cewe bukan cowo!hehehe' Hhh..iya juga ya, kalo dipikir-pikir baik gue ataupun dia sama-sama aneh. Apa jangan-jangan roh kita ketuker ya?? 'hus!aneh-aneh aja lo!' sergahnya. 'loh, bukannya kita berdua sama-sama aneh kan?!!hahaha'

Semakin lama, gue jadi berteman akrab sama si 'Pinky' - panggilan akrab gue ke dia - Entah kenapa gue merasa nyaman aja ngobrol dan sharing bareng dia. Yah, walaupun terkadang dia bikin gue ilfil juga karena warna kesukaannya itu. 'yang bilang cowo gak boleh cinta sama warna pink tu sapa?!ga ada kan?anggapan orang kalo cowo penyuka warna pink adalah banci tu cuma label aja yang ditempelin di otak masyarakat, yang akhirnya jadi ngaruh ke imej dan persepsi masing-masing orang, padahal kenyataannya, gak semua cowo pecinta warna pink tu banci, contohnya gue!' Iya juga, bener kata dia. Nggak ada peraturan yang bilang kalo cowo dilarang suka warna pink. Tapi tetep aja anehhh....

Gue masih aja penasaran tentang gimana awal mulanya Pinky suka sama warna pink bahkan sampe tergila-gila kaya gitu. Gue sering tanya ke dia, tapi dia bilang 'ga penting tau awal mulanya'. Entahlah, dia emang suka nggak jelas.Hmm.. mungkin Tuhan kasian juga kali ya sama gue yang terus penasaran, dan akhirnya membuat gw jadi tau gimana latar belakang Pinky cinta sama warna pink. Ternyata, mantannya Pinky itu maniak warna pink, tapi sayang..dia udah meninggal 3 tahun lalu. Gue tau cerita itu dari ibunya Pinky. Saat cewenya pergi, Pinky hampir frustasi dan nggak bisa nerima kenyataan, tapi untunglah ada banyak teman dan sahabat yang terus mensupport dirinya. Sejak saat itu dia mulai mencintai warna pink yang juga merupakan warna kesayangan almarhumah cewenya. Pinky merasa bahwa sang pacar selalu ada didekatnya ketika ia mengenakan segala seuatu yang berwarna pink.

Diam-diam gue kagum sama Pinky. Dia tipikal cowo yang gue idam-idamkan. Sekian lama gue berkutat dengan trauma dikhianati, gue dah bosen. Gue mau berubah dan membuka hati gue buat orang lain. Gue sadar ternyata nggak semua cowo sama. Gue nemuin ada yang berbeda dari Pinky. Dia yang bikin gue mau kembali jadi cewe feminin kaya dulu sebelum mantan gue yang brengsek itu nyelingkuhin gue. Tapi, apakah Pinky udah mau membuka hatinya kembali buat cewe lain, misalnya gue??Gue hanya bisa berdoa semoga itu bener-bener terjadi. Gue akui, gue ga cuma penasaran sama dia, tapi juga mengagumi dan mencintainya.Hh..Pinky, kenapa si gue harus jatuh cintanya sama lo?Padahal dimata gue lo anehhhh.. Bener juga kata Agnes Monica, kadang cinta tak ada logika.

Read More..
 
Cerpen Terbaik Puisi Kenangan

Di bulan maulid ini
Aku teringatkan Rasul ku.
Teringatkan sejarah perjuangan hidup baginda.
Yang pernah ku baca didalam kitab2 agama.
Dan hati ini merasa sayu
Terasa ingin berjumpa dengan beliau
Dan ingin mencium tangannya yang mulia itu.

Di bulan maului ini
Aku teringatkan juga arwah bapaku
Terkenang perjuangan hidup beliau
Bersusah payah menolong bangsanya sendiri
Sehingga kami anak2nya memikul beban kesusahan hidup
Akibat hatinya yang teramat suka menolong orang lain yang didalam kesusahan.

Dibulan maulid ini...
Aku terfikirkan diriku sendiri
Yang hidup serba lapang dan tenang
merasa cukup dengan amal dan ilmuku
Sibuk dengan urusan keluarga dan kerjayaku
Yang selalu dihantui oleh bayangan wajah arwah bapaku
Dan perjuangan hidup Rasul ku!

Dan aku maseh tidak dapat berbuat apa-apa!

Read More..
 
Bermain dengan adik sendiri

Namaku Mona, umurku 24 tahun, aku sudah menikah dan mempunyai satu anak lelaki.. Berikut ini aku ingin berbagi pengalaman tentang hubunganku dengan adik kandungku sendiri.
Kejadian ini terjadi dua tahun yang lalu ketika aku berusia 22 tahun dan adikku berusia 18 tahun.
Kami adalah 3 bersaudara, kakakku Diana telah menikah dan ikut suaminya, sedangkan aku dan adikku tinggal bersama orang tua kami. Aku sendiri berperawakan sedang, tinggiku 160cm berat badan 52kg, orang bilang aku montok, terutama pada bagian pinggul/pantat. Payudaraku termasuk rata2 34 saja. Kulitku yang putih selalu menjadi perhatian orang2 bila sedang berjalan keluar rumah.
Aku mempunyai seorang pacar berusia 2 tahun diatasku, dia adalah kakak kelas kuliahku. Aku dan pacarku berpacaran sudah 2 tahun lebih, dan selama itu paling jauh kami hanya melakukan petting, sailng raba, saling cium dan saling hisap…..
Pacarku sangat ingin menerobos vaginaku jika saat petting, tapi aku sendiri tidak ingin hal itu terjadi sebelum kami menikah, jadi aku mengeluarkan air maninya dengan cara swalayan, yaitu mengocok kontolnya. Aku juga kerap dipaksa menghisap kontol pacarku yang mana sebenernya aku agak jijik melakukannya.
Keseringan petting dengan pacarku membuatku menjadi haus akan belaian lelaki dan selalu iingin disentuh, sehari saja tidak dibelai rasanya tersiksa sekali… entah kenapa aku jadi ketagihan… Sampai akhirnya kau sendiri melakukannya dengan tanganku sendiri dikamarku sendiri. Sering aku meraba-raba payudaraku sendiri dan mengusap-usap memeku sendiri sampai aku orgasme.
Inilah kesalahan ku, aku tidak menyadari kalau selama ini adikku John sering mengintip aku… ini aku ketahui setelah dia mengakuinya saat berhasil membobol keperawananku, kakaknya sendiri.

Awal mulanya, ketika itu aku, mamaku dan adikku John pergi ke supermarket 500m dekat rumah. Karena belanjaan kami banyak maka kami memutuskan untuk naik becak. Saat itu aku memakai celana panjang ketat setengah lutut, dan karena kami hanya naik satu becak, aku memutuskan untuk di pangku adikku, sedangkan mamaku memangku belanjaan. Diperjalanan yang hanya 500m itu, ketika aku duduk di pangkuan adikku, aku merasakan sesuatu bergerak-gerak dipantatku, aku sadar bahwa itu kontol adikku, keras sekali dan berada di belahan pantatku. Aku membiarkannya, karena memang tidak ada yang bisa kulakukan. Bahkan ketika di jalan yang jelek, semakin terasa ganjalan dipantatku. Karena aku juga sangat rindu belaian pacarku yang sudah 3 hari tidak ke rumah, diam diam aku menikmatinya.
Sejak kejadian itu, aku sering melihat dia memperhatikan tubuhku, agak risi aku diperhatikan adikku sendiri, tapi aku berusaha bersikap biasa.
Suatu hari, aku dan pacarku melakukan petting di kamarku… Aku sangat terangsang sekali… dia meraba dan membelai-belai tubuhku. Sampai akhirnya pacarku memaksakku membuka celana dalamku dan memaksaku untuk mengijinkannya memasukkan kontolnya ke memekku. Tentu saja aku keberatan, walaupun aku sangat terangsang tapi aku berusaha untuk mempertahankan keperawananku. Dalam ketelajanganku aku memohon padanya untuk tidak melakukannya. Dan anehnya aku malah berteriak minta tolong. Hal ini di dengar oleh adikku John, dia langsung menerobos kamarku dan mengusirnya, saat itu juga pacarku ketakutan, karena memang badan adikku jauh lebih besar. Aku lansung menutupi tubuhku yang telanjang dan aku yakin adikku melihat ketelajanganku. Dan pacarku sendiri langsung memakai pakaiannya dan pamit pulang.
Sejak itu, pacarku jadi jarang ke rumah. Dari selentingan teman-teman ku, pacarku katanya mempunyai teman cewe lain yang sering jalan dengannya. Tentu saja aku sedih mendengarnya, tapi aku juga merasa beruntung tidak ternodai olehnya.
Suatu malam aku berbincang-bincang dengan adikku, aku berterima kasih padanya karena dia telah menggagalkan pacarku menodaiku. Aku kaget ketika adikku ngomong bahwa, aku ngga bisa menyalahkan pacarku karena memang bodyku sexy sekali dan setiap laki-laki pasti ingin merasakan tubuhku. Ketika kutanya, jika setiap lelaki, apakah adikku juga ingin merasakan tubuhku juga… dia menjawab:
“Kalau kakak bukan kakakku, ya aku juga pengen, aku kan juga lelaki” aku sangat kaget mendengar jawabannya tapi aku berusaha itu adalah pernyataan biasa, aku langsung aja tembak, “emang adik pernah nyobain cewe?” dia bilang “ya, belum kak”…. itulah percakapan awal bencana itu.
Malam harinya aku membayangkan bercinta dengan pacarku, kau merindukan belaiannya… lalu aku mulai meraba-raba tubuhku sendiri… tapi aku tetap tidak bisa mencapai apa yang aku inginkan… sekilas aku membayangkan adikku… lalu aku memutuskan untuk mengintip ke kamarnya… Malam itu aku mengendap-endap dan perlahan-lahan nak keatas kursi dan dari lubang angin aku mengintip adikku sendiri, aku sangat kaget sekali ketika melihat adikku dalam keadaan tak memakai celana dan sedang memegan alat vitalnya sendiri, dia melakukan onani, aku terkesima melihat ukuran kontolnya, hampir 2 kali pacarku, gila kupikir, kok bisa yah sebesar itu punya adikku… Dan yang lebih kaget, di puncak orgasmenya dia meneriakkan namaku… Saat itu perasaanku bercampur baur antar nafsu dan marah… aku langsung balik kekamarku dan membayangkan apa yang baru saja aku saksikan.
Pagi harinya, libidoku sangat tinggi sekali, ingin dipuaskan adikku tidak mungkin, maka aku memutuskan untuk mendatangi pacarku. Pagi itu aku langsung kerumah pacarku dan kulihat dia sangat senang aku dating… ditariknya aku ke kamarnya dan kami langsung bercumbu… saling cium saling hisap dan perlahan-lahan baju kami lepas satu demi satu sampai akhirnya kami telanjang bulat. Gilanya begitu aku melihat kontolnya, aku terbayang kontol adikku yang jauh lebih besar darinya… sepert biasa dia menyuruhku menghisap kontolnya, dengan terpaksa aku melakukannya, dia merintih-rintih keenakkan dan mungkin karena hampir orgasme dia menarik kepalaku.
“Jangan diterusin, aku bisa keluar katanya” lalu dia mula menindihi ku dan dari nafasnya yang memburu kontolnya mencari-cari lubang memekku… begitu unjung kontolnya nempel dan baru setengah kepalanya masuk, aku kaget karena dia sudah langsung orgasme, air maninya belepotan diatas memekku…
“Ohhhhh…” katanya.
Dia memelukku dan minta maaf karena gagal melakukan penetrasi ke memekku. Tentu saja aku sangat kecewa, karena libidoku masih sangat tinggi.
“Puaskan aku dong… aku kan belum…” rengekku tanpa malu-malu. Tapi jawabannya sangat menyakitkanku…
“Maaf, aku harus buru-buru ada janji dengan sisca” katanya tanpa ada rasa ngga enak sedikitpun. Aku menyembunyikan kedongkolanku dan buru-buru berpakaian dan kami berpisah ketika keluar dari rumahnya.
Diperjalanan pulang aku sangat kesal dan timbul kenginanku untuk menyeleweng, apalagi selama diperjalanan banyak sekali lelaki yang mengodaku dar tukang becak, kuli bangunan sampai setiap orang di bis.
Begitu sampai rumah aku memergoki adikku yang akan pergi ke sport club, dia mengajakku untuk ikut dan aku langsung menyanguppinya karena memang aku juga ingin melepaskan libidoku dengan cara berolah raga.
Di tempat sport club, kam berolah raga dari senam sampai berenang dan puncaknya kami mandi sauna. Karena sport club tersebut sangat sepi, maka aku minta adikku satu kamar denganku saat sauna. Saat didalam adikku bilang “kak, baju renangnya ganti tuh, kan kalau tertutup gitu keringatnya ngga keluar, percuma sauna”
“Abis pake apa” timpalku, “aku ngga punya baju lagi”
“Pake celana dalem sam BH aja kak, supaya pori-porinya kebuka” katanya
Pikirku, bener juga apa katanya, aku langsung keluar dan menganti baju renangku dengan BH dan celana dalam, sialnya aku memakai celana dalam G-string putih sehabis dari rumah pacarku tadi… Tapi “ah, cuek aja.. toh adikku pernah liat aku telanjang juga”.
Begitu aku masuk, adikku terkesima dengan penampilanku yang sangat berani… kulihat dia berkali-kali menelan ludah, aku pura-pura acuh dan langsung duduk dan menikmati panasnya sauna. Keringat mencucur dari tubuhku, dan hal itu membuat segalanya tercetak didalam BH dan celana dalamku… adikku terus memandang tubuhku dan ketka kulihat kontolnya, aku sangat kaget, dan mengingatkanku ke hal semalam ketika adikku onani dan yang membuat libidoku malah memuncak adalah kepala kontolnya muncul diatas celana renangnya.
Aku berusaha untuk tidak melihat, tapi mataku selau melirik ke bagian itu, dan nafasku semakin memburu dan kulihat adikku melihat kegelisahanku. Aku juga membayangkan kejadian tadi pagi bersama pacarku, aku kecewa dan ingin pelampiasan.
Dalam kediaman itu aku tidak mampu untuk bertahan lagi dan aku memulainya dengan berkata:
“Ngga kesempitan tuh celana, sampe nongol gitu”
“Ia nih, si otong ngga bisa diajak kompromi kalo liat cewe bahenol” katanya
“Kasian amat tuh, kejepit. Buka aja dari pada kecekik” kataku lebih berani
“Iya yah…” katanya sambil berdiri dan membuka celananya…
Aku sangat berdebar-debar dan berkali-kali menggigit bibirku melihat batang kemaluan adikku yang begitu besar.
Tiba-tiba adikku mematikan mesin saunanya dan kembali ke tempatnya.
“Kenapa dimatiin” kataku
“Udah cukup panas kak” katanya
Memang saat juga aku merasa sudah cukup panas, dan dia kembali duduk, kami saling memandang tubuh masing-masing. Tiba-tiba cairan di memekku meleleh dan gatal menyelimuti dinding memekku, apalagi melihat kontol adikku.
Akal warasku datang dan aku langsung berdiri dan hendak keluar, tapi adikku malah mencegahku “nanti kak”.
“Kan udah saunanya ” timpalku, aku sangat kaget dia berada tepat di depanku dengan kontol mengacung ke arahku, antara takut dan ingin.
“Kakak udah pernah gituan belum kak” kata adikku
“Belum” kataku, “emang kamu udah..?” lanjutku
“Belum juga kak, tapi pengen nyoba” katanya
“Nyoba gimana???? Nantikan juga ada saatnya” kataku berbalik kearah pintu dan sialnya kunci lokerku jatuh, ketika aku memungutnya, otomatis aku menunggingi adikku dan buah pantatku yang besar menempel di kontolnya.
Gilanya aku malah tetap diposisi itu dan menengok ke arah adikku. Dan tak kusangka adikku memegang pinggulku dan menempelkan kontolnya dibelahan pantatku yang hanya tertutup G-string.
“Oh kak…. bahenol sekali, aku pengen nyobain kak” katanya dengan nafas memburu.
“Aw… dik ngapain kamu” timpalku tanpa berusaha merubah posisiku, karena memang aku juga menginginkannya.
“Pengen ngentot kakak” katanya kasar sambil menekan batangnya kepantatku.
Aku menarik pantatku dan berdiri membelakanginya, “Aku kan kakakm John, inget dong”
Adikku tetap memegang pinggulku “tolong kak.. asal nempel aja.. nga usah dimasukkin, aku ngga tahan banget”
“Tolong kak,” katanya memelas. Aku di suruh nagpain juga mau kak, asal bisa nempelin aja ke memek kakak”.
Pikiranku buntu, aku juga punya libido yang tak tertuntaskan tadi pagi.. dan membayangkan pacarku menunggangi sisca, libidoku tambah naik..
“Persetan dengan pacar brengsek” batinku.
“Jangan disini” pintaku.
“Sebentar aja kak, asal nempel aja 1 menit” katanya meremas pinggulku.
“Kakak belum siap” kataku.
“Kakak nungging aja, nanti aku panasin” katanya.
Bagai terhipnotis aku menuruti apa katanya, sambil memegang grendel pintu, aku menungginginya dan dengam pelan-pelan dia membuka G-stringku dan melemparkannya. Dan dia jongkok di belakangku dan gilanya dia menjulurkan lidahnya menjilat memeku dari belakang…
“Oh… ngapain kamu dik…” kataku tanpa melarangnya.
Dia terus menjulurkan lidah dan menjilati memekku dari belakang.. ohhhh… gila pikirku… enak banget, pacarku saja ngga mau ngejilatin memekku, adikku sendiri dengan rakus menjilati memekku
“Gila kamu dik, enak banget, belajar dimana” rintihku… Tanpa menjawab dia terus menjilati memekku dan meremas remas bokongku sampai akhirnya lama-lama memekku basah sekali dan bagian dalam memekku gatal sekali…
Tiba-tiba dia berdiri dan memegang pinggulku..
“Udah panas kak” katanya mengarahkan kontolnya kepantatku dan memukul-mukul kepala kontolnya kepantatku….
“udah….” kataku sambil terus menungging dan menoleh ke arah adikku…
“Jangan bilang siapa-siapa yah dik” kataku.
Adikku berusaha mencari lubang memekku dengan kepala kontolnya yang besar… dia kesulitan…
“Mana lubangnya kak..” katanya.
Tanpa sadar aku menjulurkan tangan kananku dan menggengam kontolnya dan menuntun ke mulut goaku…
“Ini dik” kataku begitu tepat di depannya, “gesek-gesek aja yah dik”.
“Masukin dikit aja kak” katanya menekan kontolnya.
“aw… dik, gede banget sih” kataku, “pelan-pelan….”.
Begitu kepala kontolnya membuka jalan masuk ke memekku, adikku pelan-pelan menekannya.. dan mengeluarkannya lagi sedikit sedikit… tapi tidak sampai lepas… terus ia lakukan sampai membuat aku gemas….
“Oh.. dik…. enak…. dik…. udah yah…” kataku pura-pura…..
“Belum kak…. baru kepalanya udah enak yah….”
“Memang bisa lebih enak…???” kataku menantang.
Dan…. langsung menarik pinggulku sehingga batang kontolnya yang besar amblas ditelan memekku”
Aku merasakan perih luar biasa dan “aw…. sakit dik…” teriakku.
Adikku menahan batangnya didalam memekku ….
“Oh…kak…nikmat banget…..” dan secara perlahan dia menariknya keluar dan memasukannya lagi, sungguh sensasi luar biasa. Aku merasakan nikmat yang teramat sangat, begitu juga adikku…
“Oh, kak… nikmat banget memekmu..” katanya.
“Ssssshhhh… ia dik… enak banget” kataku.
Lima belas menit dia mengenjotku, sampai akhirnya aku merasakan orgasme yang sangat panjang dan nikmat disusul erangan adkku sambil menggengam pinggulku agar penetrasinya maksimum.
“Oh.. kak.. aku keluar.. nikmat banget…” katanya
Sejenak dia memelukku dari belakang, dan mulai mencabut kontolnya di memekku…
“Ma kasih kak” katanya tanpa dosa dan memakaikan celanaku lagi. Aku bingung bercampur menyesal dan ingin menangis. Akulangsung keluar dan membersihkan diri sambil menyesali diri.. “kenapa adikku????”
Dalam perjalanan pulang adikku berulang-ulang minta maaf atas perbuatannya di ruangan sauna… Aku hanya bisa berdiam merenungi diriku yang sudah tidak perawan lagi…
Kejadian itu adalah awal petualangan aku dan adikku, Karena dua hari setelah itu kembali kami besetubuh, bahkan lebih gila lagi.. kami bisa melakukannya sehari 3 sampai 5 kali sehari semalam.
Satahun sudah aku di tunggangi adikku sendiri sampai ada seorang kaya, kenalan bapakku melamarku, dan kami menikah. Untungnya suamiku tidak mempermasalahkan keperawananku.
Akhirnya aku di karunia seorang anak dari suamiku, bukan dari adikku.. karena aku selalu menjaga jangan sampai hamil bila bersetubuh dengan adikku.
Sampai sekarang aku tidak bisa menghentikan perbuatanku dengan adikku, yang pertama adikku selalu meminta jatah, dilain pihak

Read More..
 
CERPEN TERBAIK SINGAPURA - SIKAP

Manusia hari ini suka bersangka-sangka
Ada sangkaan baik...Ada sangkaan buruk...

Orang yang suka beribadah disangka riak
Orang yang relax disangka malas
Orang yang pakai baju baru disangka menunjuk
Orang yang pakai baju buruk disangka zuhud (hina)

Orang yang makan banyak disangka pelahap
Orang yang makan sikit disangka diet
Orang yang baik disangka buruk
Orang yang buruk disangka baik

Orang yang suka senyum disangka mengejek
Orang yang masam disangka merajuk
Orang yang bermuzakarah disangka mengumpat
Orang yang diam disangka menyendiri

Orang yang nampak menawan disangka pakai susuk
Orang yang nampak ceria disangka membela

Mana kita tahu ...
Yang diam itu kerana berzikir kepada Allah

Mana kita tahu ...
Yang senyum itu kerana tujuan bersedekah

Mana kita tahu ...
Yang diam itu kerana mengenangkan nasib masa depan dirinya

Mana kita tahu ...
Yang menawan itu kerana bersih hati dan mindanya

Mana kita tahu ...
Yang ceria itu kerana cergas cerdas otaknya

KASIH....

Kau adalah sumber inspirasiku
kehadiranmu dalam hidupku
membawa sinar bahagia
Kau sungguh istimewa bagiku


KASIH....
Mencintai dirimu
memberiku harapan
Setiap kali aku kecewa
kau datang mengubati kekecewaanku
lalu aku bangkit semula

KASIH....

Tidak pernah kulupa
kau selalu menggembirakanku
Setiap kali aku bersedih
bila mengenangkanmu
hatiku bertukar menjadi gembira

KASIH....

Setiap kali aku kesunyian
kau selalu disampingku
Setiap kali kau tersenyum
membuat jantungku berdenyut denyut

KASIH....

Kutujukan puisi kasih ini istimewa untukmu
sebagai tanda betapa bermaknanya kau bagi diriku

KASIH....

Aku amat mencintaimu


CERPEN SEDIH TERBAIK SINGAPURA - SUATU PENYESALAN.....

Suasana didalam bilik bersalin begitu sunyi sekali. Yang kedengaran hanyalah suara rintihan Rohani menahan kesakitan hendak melahirkan. "Subhanallah....sakitnya...isk...isk...isk...isk... aduuh....Bang sakit nya tak tahan saya" keluh Rohani pada suaminya Zamri yang ketika itu ada disisinya. "Apalah awak ni....susah sangat nak bersalin. Sudah berjam-jam tapi masih tak keluar- keluar juga budak tu. Dah penat saya menunggu. Ni... mesti ada sesuatu yang tak elok yang awak sudah buat , itulah sebabnya lambat sangat nak keluar budak tu, banyak dosa agaknya." rungut Zamri kepada isterinya, Rohani pula.

Sebak hati Rohani mendengar rungutan suaminya itu, tetapi dia tidak menghiraukannya, sebaliknya, Rohani hanya mendiamkan diri sahaja dan menahan kesakitannya yang hendak melahirkan itu. Rohani tahu sudah hampir 3 jam dia berada dalam bilik bersalin itu tetapi bayinya tidak juga mahu keluar. Itu kehendak Allah Taala, Rohani tidak mampu berbuat apa apa, hanya kepada Allahlah dia berserah.

Sejak Rohani mengandung ada sahaja yang tidak kena dihati Zamri terhadapnya. Zamri seolah olah menaruh perasaan benci terhadap Rohani dan anak yang dikandungnya itu.

Jururawat yang bertugas datang memeriksa kandungan Rohani dan kemudian bergegas memanggil Doktor Syamsul iaitu Doktor Peribadi Rohani. Doktor Syamsul segera datang dan bergegas menyediakan keperluan menyambut kelahiran bayi Rohani itu. Rohani hanya mendiamkan diri menahan kesakitan dan kelihatan air matanya meleleh panas dipipi gebunya itu. Rohani menangis bukan kerana takut atau sakit tetapi kerana terkenang akan rungutan Zamri tadi.

Saat melahirkan pun tiba. Doktor Syamsul menyuruh Rohani meneran ..."Come on Ani. You can do it...one more...one more Ani." Kata kata peransang Doktor Syamsul itulah yang membuatkan Rohani begitu bertenaga dan dengan sekali teran sahaja kepala bayinya itu sudah pun keluar...?Alhamdulillah,? bisik Rohani apabila dia melihat sahaja bayinya yang selamat dilahirkan itu.

Tiba-tiba Rohani terasa sakit sekali lagi dan dia terus meneran untuk kali keduanya, sejurus itu juga keluar seorang lagi bayi, kembar rupanya. "Tahniah Rohani, You got twin, boy and girl, putih macam You juga." Begitulah kata kata pujian dari Doktor Syamsul. "Tahniah Zamri, it's a twin" Doktor Syamsul mengucapkan tahniah kepada Zamri pula. Zamri hanya mendiamkan diri sahaja setelah menyaksikan kelahiran anak pertamanya itu, kembar pula . Doktor Syamsul memang sengaja menyuruh Zamri melihat bagaimana keadaan kelahiran anak anaknya itu.

Rohani sudah mula merancang akan nama untuk anak anaknya itu. Yang lelaki akan diberi nama Mohammad Fikri dan yang perempuan akan diberi nama Farhana. Rohani merasa begitu lega sekali setelah melahirkan kembarnya itu, tetapi sesekali bila dia teringat kata kata Zamri sebelum dia melahirkan hatinya menjadi begitu sebak dan sedih sekali.

Sebenarnya memang terlalu banyak kata-kata Zamri yang membuat Rohani berasa jauh hati sekali. Terutamanya sepanjang dia mengandung. Tetapi Rohani hanya bersabar, kerana dia tahu kalau dia mengadu pada emaknya tentu dia akan dimarahi semula. Jadi dia hanya mendiamkan diri dan memendam rasa sahaja.

Kedua dua anaknya, Mohammad Fikri dan Farhana telah diletakkan dibawah jagaan Nursery di Hospital Universiti Singapura (NUH) untuk memberi peluang Rohani berehat sebentar, kemudian nanti dapatlah dia menyusukan kedua kembar yang comel itu.

Tiba tiba fikiran Rohani menerbang kembali kedetik detik semasa dia mengandung dahulu. Zamri memang selalu memarahinya, ada sahaja perkara yang tidak kena. Macam macam kata kata nista yang dilemparkan kearah Rohani. Ada sahaja tuduhan yang tidak masuk akal, semuanya dihamburkan pada Rohani seolah olah melepaskan geram. Tidak sanggup rasanya Rohani menghadapi itu semua tetapi demi kestabilan kandungannya, Rohani kuatkan juga semangat dan pendiriannya.

Yang paling menyedihkan sekali ialah sewaktu Rohani mula mula disahkan mengandung. Zamri tidak percaya yang Rohani mengandung anaknya, dua kali dia membuat pemeriksaan Antenatal untuk mengesahkan kandungan isterinya itu. Keraguan timbul didalam hati Zamri tentang anak dalam kandungan Rohani itu. Zamri tidak boleh menerima kenyataan yang Rohani akan mengandung sebegitu awal sekali sedangkan mereka berkahwin baru 3 bulan. Kandungan Rohani sudah masuk 2 bulan... bermakna Rohani cuma kosong selama sebulan sahaja selepas mereka berkahwin. Bagi Rohani pula itu perkara biasa sahaja yang mungkin turut dilalui oleh pasangan lain juga.

Setelah membuat pemeriksaan Doktor, Rohani pulang kerumahnya dalam keadaan sedih. Pada mulanya Rohani berasa sangat gembira bila dia disahkan mengandung tetapi sebaliknya bila Zamri tidak mahu menerima anak dalam kandungannya itu, perasaannya terus berubah menjadi duka pula. Zamri menuduh yang Rohani berlaku curang, dan anak dalam kandungannya itu adalah hasil dari kecurangan Rohani sendiri. Hati isteri mana yang tidak remuk. Hati isteri mana yang tidak kecewa apabila dituduh sebegitu rupa oleh suaminya sendiri. Rohani pasrah......

Pernah suatu ketika Rohani bertengkar dengan suaminya. "Kenapa abang berlainan sekarang ni, tak macam dulu, pelembut, suka berjenaka, ini tidak asyik nak cari kesalahan Ani sahaja. Mengapa bang?" Rohani bertanya kepada Zamri .

"Kaulah penyebab segalanya. Tak payahlah nak tunjuk baik." Tempelak Zamri. Entah jantan mana yang kau dah layan kat opis kau tu." sergah Zamri lagi.

"Abang syak Ani buat hubungan dengan lelaki lain ke? Subhanallah??.Kenapa Abang syak yang bukan-bukan ni, Anikan isteri Abang yang sah, tak kanlah Ani nak buat jahat dengan orang lain pulak, Bang"? sangkal Rohani pula. "Allah dah beri kita rezeki awal, tak baik cakap macam tu. Itu semua kehendak Allah." Rohani menghampiri sambil memeluk badan suaminya tetapi Zamri meleraikan pelukannya dengan kasar sekali sehingga tersungkur Rohani dibuatnya. Serentak itu juga Rohani menangis . Zamri langsung tidak mengendahkannya. Deraian airmata Rohani semakin laju. Rohani hanya mampu menangis sahaja. Amat pedih sekali Rohani rasakan untuk menahan semua tohmahan dari Zamri, suaminya yang sah.

"Woi, benda-benda tu boleh terjadilah Ani. Kawan baik dengan bini sendiri, suami sendiri, bapak dengan anak, hah! emak dengan menantu pun boleh terjadi tau, apatah lagi macam kau ni, tau tak. Dulu tu kawan lama kau yang satu opis dengan kau tu, Amran, bukan main baik lagi budak tu dengan kau." Bentak Zamri lagi. Tanpa disangka sangka rupanya Zamri menaruh cemburu terhadap isterinya.

"Entah-entah keturunan kau, darah daging kau pun tak senonoh ....heee teruk. Nasib aku lah dapat bini macam engkau ni." kutuk Zamri lagi pada Rohani. "Bawa mengucap Bang, jangan tuduh Ani yang bukan-bukan. Ani bukan perempuan yang tak tentu arah. Walaupun Ani hanya anak angkat dalam keluarga ni, Ani bukan jenis macam tu, Ani tau akan halal haram, hukum hakam agama.

?Memang Ani tak pernah tau asal usul keluarga kandung Ani, tapi Ani bersyukur dan berterima kasih pada emak angkat Ani kerana menjaga Ani sejak dari kecil lagi. Ani dianggapnya seperti darah daging sendiri.? Rohani mula membangkang kata kata nista suaminya itu. "Abang jangan cuba nak menghina keluarga kandung Ani kerana walaupun mereka tidak membesarkan Ani tetapi disebabkan merekalah, Ani lahir kedunia ini.? Tambah Rohani lagi dengan sebak didada.

Semenjak peristiwa pertengkaran itulah, setiap hari Rohani terpaksa pergi ke tempat kerja Zamri apabila habis waktu bekerjanya. Sementara menunggu Zamri pulang Rohani berehat di Surau tempat Zamri bekerja. Zamri bekerja sebagai seorang salesman handphone di salah sebuah Pusat membeli belah dan kerjanya mengikut shif. Kalau Zamri bekerja shif malam terpaksalah Rohani menunggu Zamri sampai tengah malam. Begitulah keadaannya sehingga apabila perutnya semakin membesar pun Zamri masih memaksanya. Terpaksalah Rohani berbohong kepada emak dan keluarganya yang lain dengan mengatakan yang dia buat kerja overtime semata mata untuk mengelakkan pertengkaran dan tuduhan serta kata nista suaminya itu.

Dengan keadaan perut semakin membesar Rohani masih gagahkan juga dirinya pergi bekerja. Kadangkala apabila Zamri tidak menjemput Rohani ditempat kerja terpaksalah Rohani berasak asak menaiki bas untuk pulang . Begitulah keadaan Rohani sehinggalah hampir pada waktu bersalinnya. Pernah sekali Rohani minta dijemput kerana dia sudah larat benar tetapi sebaliknya Zamri membalasnya dengan kata kata kesat kepadanya, perempuan tak tau berdikarilah, berlagak senang lah, lagak kaya lah, perempuan tak sedar diri lah, tak layak jadi isterilah, menyusahkan dan macam macam lagi kata kata nista dilemparkan kepadanya.

Suatu hari Zamri dalam keadaan marah telah menarik rambut Rohani dan menghantukkan kepala Rohani ke dinding...Rohani hanya mampu menangis dan menanggung kesakitan. Ini semua gara-gara Rohani hendak pergi ke rumah Mak Saudaranya yang ingin mengahwinkan anaknya di Tampines. Emak Rohani sudah seminggu pergi kesana untuk menolong Mak Saudaranya itu. Hari sudah semakin petang jadi Rohani mendesak agar bertolak cepat sikit, lagipun langit sudah menunjukkan tanda tanda hendak hujan. "Hari dah nak hujan, Bang. Elok rasanya kalau kita pergi awal sikit bolehlah tolong apa yang patut.? Pinta Rohani.

Tanpa disangka sangka kata kata Rohani itu membuatkan Zamri marah dan dengan dengan tiba-tiba sahaja Zamri bangun. Dengan muka bengisnya, Zamri memandang Rohani. "Kau tahu aku penatkan, tak boleh tunggu ke, aku punya sukalah nak pergi malam ke, siang ke, tak pergi lansung ke." marah Zamri. Rohani menjawab,"Itu Ani tau, Abang kan dah berehat dari pagi tadi takkan masih penat lagi. Sepantas kilat Zamri datang kepada Rohani dan direntapnya rambut Rohani lalu di hantukkan kepala Rohani kedinding. Rohani tidak berdaya untuk menghalangnya. Ya Allah! Sungguh tergamak Zamri berbuat demikian...terasa kebas kepala Rohani dan dirasakannya mula membengkak. Pening kepala Rohani dibuatnya.

"Ya Allah, berilah aku kekuatan untuk menerima semua ini. Kau lindungilah aku dan kandunganku ini dari segala bahaya dan azab sengsara, Ya Allah.? Doa Rohani dalam hatinya dengan penuh keluhuran. Rohani memencilkan dirinya disudut dinding dan menangis sepuas puasnya.... "Bang, Ani minta maaf jika kata kata Ani tadi membuatkan Abang marah." Rohani memohon maaf kepada suaminya sambil tersedu sedu.

Hari itu seperti biasa Zamri ketempat kerjanya. Tiba tiba handphonenya berbunyi. Kedengaran suara Doktor Syamsul menyuruhnya datang segera ke hospital, kerana ada sesuatu yang berlaku terhadap Rohani.

Setibanya di hospital sahaja,"Zamri, kami sudah cuba untuk menyelamatkan Rohani tapi kuasa Allah melebihi segalanya, Rohani mengalami pendarahan otak yang serius, sebelum ini pernah tak Rohani jatuh atau... kepalanya terhantuk kuat pada sesuatu kerana sebelah kanan kepalanya kelihatan bengkak dan ada tanda lebam. Mungkin kesan dah lama ? Doktor Syamsul bertanya agak serius. Dia inginkan penjelasan sebenar dari Zamri. Zamri hanya mendiamkan diri.

Serentak itu juga Zamri teringat yang dia pernah menarik rambut Rohani dan menghantukkan kepala Rohani kedinding sekuat kuatnya...dan selepas kejadian itu Zakri tidak pernah sekali pun membawa Rohani ke Klinik untuk membuat pemeriksaan kepalanya. Rohani sering mengadu sakit kepala yang teruk ...namun Zamri tidak pernah mengendahkan kesakitan Rohani itu, malah baginya Rohani hanya mengada-ngadakan cerita ......saja buat buat sakit untuk minta simpati...

Sambil menekap mukanya dengan tangan Zamri menyesal...."YA ALLAH apa yang aku dah buat ni."

Doktor Syamsul menjelaskan lagi,"Doktor Zain yang merawat Rohani kerana Rohani mengadu sakit kepala yang amat sangat sewaktu dia memberi susu pada kembarnya di Nursery. Jadi Doktor Zain telah membawa Rohani ke Lab untuk membuat scanning di kepalanya dan confirm otaknya ada darah beku tapi malangnya ia sudah ditahap yang kritikal dan kami tak mampu melakukan apa-apa kerana Rohani tidak mahu di operation sebelum meminta izin dari awak Zamri.?

?Hanya satu permintaan terakhir arwahnya, dia minta awak membaca diarinya ini. I'm really sorry Zakri. Allah lebih menyayanginya.? kata Doktor Syamsul lagi lalu menyerahkan sebuah diari yang berbalut kemas dengan kain lampin bayi yang masih baru kepada Zamri.

BAHAGIAN KEDUA

Zamri mengambil diari tersebut. Satu lembaran kesatu lembaran dibukanya. Setiap lembaran tertulis rapi tulisan tangan Rohani mencoretkan peristiwa yang berlaku padanya setiap hari. Begitu tekun sekali Zamri membacanya dan ternyata banyak sekali keluhan, kesakitan & segala luahan rasa Rohani semuanya tertera didalam diari tersebut. Dan Zamri dapati setiap peristiwa itu semuanya adalah perlakuan buruk Zamri terhadap Rohani...

"Ya Allah, kenapa aku buat isteriku begini." keluh hati kecil Zamri penuh penyesalan selepas membaca setiap lembaran diari itu. Dan apabila tiba ke muka surat terakhir, tiba tiba Zamri terpandang bunga ros merah yang telah kering...membuat Zakri tertarik untuk membacanya...

Untuk suamiku yang tersayang, Zamri.

"SELAMAT HARI ULANG TAHUN PERKAHWINAN KITA YANG PERTAMA PADA HARI INI."Dengan air mata yang mula bergenang Zamri memulakan bacaannya....

Assalamualaikum.

Abang...

Ingat tak bunga Ros merah ni, Abang berikan pada Ani pada pertemuan pertama kita dulu. Sudah lama Ani simpan bunga tu Bang...

Bunga inilah lambang kasih sayang Ani pada Abang selama ini. Ia tidak pernah berubah pun walau telah kering.....Ani teramat menyayangi Abang. Ani sentiasa menyimpan setiap hadiah yang Abang berikan pada Ani. Abang tak pernah tahu kan... Itulah salah satu buktinya betapa sayangnya Ani pada Abang..

Terlebih dahulu Ani teringin sangat nak dengar Abang panggil Ani ?AYANG? seperti kita baru baru kahwin dulu...Abang panggil Ani ?AYANG?...terasa diri Ani dimanja bila Abang panggil macam tu...walaupun Ani cuma dapat merasa panggilan ?AYANG? itu seketika sahaja. Abang sudah banyak berubah sekarang. Perkataan ?AYANG? telah hilang dan tidak kedengaran untuk Ani lagi. Kenapa? Benci sangatkah Abang pada Ani? Ani telah melakukan kesalahan yang menyinggung perasaan Abang ke?

Abang...

Tulisan ini khas Ani tujukan untuk Abang. Bacalah semoga Abang tahu betapa mendalamnya kasihsayang Ani pada Abang. Abang tentu ingatkan hari ini merupakan hari ulangtahun perkahwinan kita yang pertama dan sebagai hadiahnya Ani berikan Abang.......Mohammad Fikri dan Farhana.

Buat diri Ani, Ani tak perlukan apa apa pun dari Abang cukuplah dengan kasih sayang Abang pada Ani. Ani akan pergi mencari ketenangan dan kedamaian untuk diri Ani. Ani pergi untuk menemuiNya. Ani reda Bang....

Harapan Ani, Abang jagalah kedua kembar kita tu dengan baik dan jangan sekali-kali sakiti mereka. Mereka tidak tahu apa-apa. Itulah hadiah paling berharga dari diri Ani dan mereka adalah darah daging Abang. Janganlah seksa mereka. Abang boleh seksa Ani tapi bukan mereka. Sayangilah mereka...

Dan yang terakhir sekali, Ani ingin mengatakan bahawa dalam hidup ini, Ani belum pernah mengadakan apa apa hubungan dengan sesiapa pun melainkan Abang sahaja di hati Ani. Jiwa dan raga Ani hanya untuk Abang seorang.

Ribuan terima kasih Ani ucapkan kerana Abang sudi mengahwini Ani walaupun Ani cuma menumpang kasih didalam sebuah keluarga yang menjaga Ani dari kecil hinggalah Ani bertemu dengan Abang dan berkahwin.

Ani harap Abang tidak akan mensia siakan kembar kita tu dan Ani tidak mahu mereka mengikut jejak kehidupan Ani yang malang ini dan hanya menumpang kasih dari sebuah keluarga yang bukan dari darah daging sendiri...tapi Ani tetap bersyukur kerana dapat mengecapi kasih sayang sepenuhnya dari keluarga angkat Ani. Ani harap sangat Abang akan sentiasa memberitahu pada kembar kita yang Ani ibunya, akan sentiasa bersama disamping mereka berdua, walaupun Ani tidak berkesempatan membelai mereka dan cuma seketika sahaja dapat mengenyangkan mereka dengan air susu Ani.

Berjanjilah pada Ani, Bang! dan ingatlah Fikri dan Farhana adalah darah daging abang sendiri...

Ampunkan Ani dan halalkan segala makan minum Ani selama setahun kita hidup bersama.

Sekiranya Abang masih tidak sudi untuk menerima kehadiran Fikri dan Farhana dalam hidup Abang, berilah mereka pada emak Ani supaya emak dapat menjaga kembar kita itu. Tentang segala perbelanjaannya, janganlah Abang risau kerana Ani sudah pun masukkan nama emak dalam CPF Ani. Biarlah emak yang menjaga kembar kita itu, sekurang-kurang terubat juga rindu emak sekeluarga pada Ani nanti bila memandang kembar kita. Comel anak kita kan Bang!Mohammad Fikri mengikut raut muka Abang...sejuk kata orang dan Ani yakin mesti Farhana akan mengikut iras raut wajah Ani...Ibunya...sejuk perut Ani mengandungkan mereka.

Inilah satu satunya harta peninggalan yang tidak ternilai dari Ani untuk Abang. Semoga Abang masih sudi menyayangi dan mengingati Ani walaupun Ani sudah tiada lagi disisi Abang dan kembar kita.

Salam sayang terakhir dari Ani Untuk Abang dan semua.

Doakanlah Kesejahteraan Ani.

Ikhlas dari isterimu yang malang,

Rohani

Sehabis membaca diari tersebut, Zamri meraung menangis sekuat kuat hatinya. Dia menyesal.......menyesal.......

"Sabarlah Zamri, Allah maha berkuasa. Kuatkan semangat kau, kau masih ada Fikri dan Farhana." pujuk Zul, kawan baiknya. Zamri hanya tunduk membisu.

Ya Allah...

Ani, maafkan Abang. Tubuh Zamri menjadi longlai dan diari ditangannya terlepas, tiba tiba sekeping gambar dihari pernikahan antara Zamri dan Rohani terjatuh dikakinya lalu segera Zamri mengambilnya.

Belakang gambar itu tertulis "SAAT PALING BAHAGIA DALAM HIDUPKU DAN KELUARGA. SEMOGA KEGEMBIRAAN DAN KEBAHAGIAAN INI AKAN SENTIASA MENYELUBUNGIKU HINGGA KEAKHIR HAYATKU.?

Zamri terjelepuk dilantai dengan berjuta penyesalan merangkumi seluruh tubuhnya. Dia seolah olah menjadi seperti orang yang hilang akal. Satu demi satu setiap perlakuan buruknya terhadap Rohani seperti terakam dalam kepala otaknya...setiap perbuatannya...seperti wayang jelas terpampang...kenapalah sampai begini jadinya...kejamnya aku...Ani, maafkan Abang?.maafkan Abang?. Abang menyesal??.

Sewaktu jenazah Rohani tiba dirumah suasananya amat memilukan sekali. Zamri sudah tidak berdaya lagi untuk melihat keluarga isterinya yang begitu sedih sekali diatas pemergian anak mereka. Walaubagaimanapun emak Ani kelihatan begitu tabah dan redha. Kedua dua kembar Zamri sentiasa berada didalam pangkuan nenek mereka.

Untuk kali terakhirnya, Zamri melihat muka Rohani yang kelihatan begitu tenang, bersih dan Zamri terus mengucup dahi Rohani. "Rohani, Abang minta ampun dan maaf." bisik Zamri perlahan pada telinga Rohani sambil menangis dengan berjuta penyesalan menimpa nimpa dirinya. Apabila Zamri meletakkan kembar disisi ibunya mereka diam dari tangisan dan tangan dari bedungan terkeluar seolah-olah mengusapi pipi ibu mereka buat kali terakhir dan terlihat oleh Zamri ada titisan airmata bergenang di tepi mata Rohani. Airmata itu meleleh perlahan-lahan bila kembar itu diangkat oleh Zamri.

Kembarnya menangis semula setelah diangkat oleh Zamri dan diberikan kepada neneknya. Jenazah Rohani dibawa ke pusara. Ramai saudara mara Rohani dan Zamri mengiringi jenazah, termasuklah kedua kembar mereka. Mungkin kedua kembar itu tidak tahu apa-apa tetapi biarlah mereka mengiringi pemergian Ani, Ibu mereka yang melahirkan mereka. Amat sedih sekali ketika itu. Zamri tidak mampu berkata apa-apa melainkan menangisi pemergian Rohani yang selama ini hidup merana atas perbuatannya.

Dan akhirnya Jenazah Rohani pun selamat dikebumikan. Satu persatu saudara mara meninggalkan kawasan pusara, tinggallah Zamri keseorangan di pusara Rohani yang masih merah tanahnya...meratapi pilu pemergian isterinya itu, berderai airmata Zamri dengan berjuta juta penyesalan ...

Sambil menadah tangannya, Zamri memohon pengampunan dari yang Maha Esa...

Ya Allah?.

Kuatkan semangat hambamu ini . Hanya Kau sahaja yang mengetahui segala dosa aku pada Rohani....ampunkan aku Ya Allah....

Dalam tangisan penyesalan itu, akhirnya Zamri terlelap disisi pusara Rohani. Sempat juga dia bermimpi, Rohani datang menghampirinya, mencium tangan, mengucup dahi dan memeluk tubuhnya dengan lembut mulus.

Zamri melihat Rohani tenang dan jelas kegembiraan terpancar dimuka Rohani yang putih bersih itu. Ani..., Ani..., Ani..., nak kemana Aniiiiiii. Zamri terjaga dari lenanya. Terngiang-ngiang suara kembarnya menangis. Emak dan keluarga mertuanya itu datang mendekati Zamri. Mereka semua menyabarkannya.....

Semoga Allah mencucuri rahmat keatas Rohani......





CERPEN TERBAIK SINGAPURA - CERPEN TANAH PUSAKA 11



"Milah, kau dah masukkan dalam kotak semua pakaian dan pinggan mangkuk itu?" tanya Mak Munah. "Sudah Mak,"jawab Milah dengat lembut. "Mana adik adik kau yang lain?' soal Mak Munah lagi. "Mereka semua ada dibelakang rumah pergi tengok Angah robohkan reban ayam."

Mak Munah bingkas bangun, terus ke belakang rumahnya. Dilihat anak anaknya Azman, Mira dan Azmi bergotong royong merobohkan reban ayamnya. "Man, kemari nak." '"Man, mak ingat kita jualkan sajalah ayam ayam ni semunya." usul Mak Munah. "Tapi kenapa mak?" soal Azman.

"Sudah bertahun Man pelihara ayam ayam ni, tiba tiba saja Mak suruh jualkan. Inikan hasil usaha Man sendiri. Man tak setuju." bantah Azman yang mula bergenang airmatanya. Mak Munah tahu anaknya itu amat sayang dengan ayam ayam tersebut tapi apa boleh buat dalam keadaan sekarang ini tiada jalan lain lagi yang dapat diambil selain menjual sahaja ayam ayam tersebut.

"Kita ni tempat tinggal pun belum tahu lagi Man, inikan pula ayam ayam tu, mana kita nak tarok. Lagi pun kalau kita jualkannya, duit hasil jualan tu bolehlah kita gunakan untuk tambahkan belanja dapor kita." pujuk Mak Munah. Betul juga kata kata Maknya itu, fikir Azman. Mak Munah masih menunggu jawapan Azman.

Suasana sunyi beberapa ketika. Kelihatan Mira dan Azmi sedang sibuk memberi semua ayam ayam itu makan. Setelah agak lama Azman termenung memikirkan cadangan Maknya itu, dia pun bersuara dengan tersekat sekat,"baiklah Mak, Man setuju tapi Mak mesti janji pada Man yang bila kita dah ada rumah sendiri nanti, Man nak pelihara semula ayam. "Baiklah Man, Mak setuju." jawab Mak Munah menarik nafas lega.

"Assalammualaikum, assalammualaikum, Munah." Kedengaran satu suara dari arah hadapan rumahnya. "Waalaikumsalam," jawab Mak Munah. "Oh Mak Itam rupanya.
Ada apa Mak Itam?"

"Begini Munah, aku dengar Pak Mail yang baru meninggal tu, kau kan tau dia tu, isterinya pun dah meninggal lama juga, tak ada anak anak pulak tu." Mak Itam memulakan ceritanya. "Jadi dia wakafkan tanahnya yang dibelakang rumah aku tu pada baitulmal, untuk siapa siapa yang tak ada tempat tinggal. Jadi aku datang ni nak suruh kau pergi mohon pada baitulmal, sebab setahu aku masih ada kawasan yang kosong lagi." tambah Mak Itam lagi.


"Tapi saya... "Tak ada tapi tapinya lagi Munah, lagi cepat kau pergi lagi cepat kau dapat." usul Mak Itam lagi. "Sementara nak buat rumah tu Mak Itam, mana kami anak beranak nak tinggal?" Mak Munah bertanya dengan nada perlahan bercampur sedih.

"La... rumah aku kan ada, sementara orang nak buat rumah baru kau tu, kau anak beranak tinggal aje kat rumah aku. Bukannya ada siapa. Anak anak aku semuanya dah ada rumah sendiri." jawab Mak Itam.

Dengan linangan airmata Mak Munah terus memeluk Mak Itam sambil berkata, "terimakasih Mak Itam, terimakasih. Saya tak tahu dengan apa saya nak balas budi baik Mak Itam ni.
Saya fikir dah tak ada orang yang nak pedulikan saya anak beranak. Amat mulia hati Mak Itam."

"Janganlah kau cakap macam tu, Munah. "Kita ni sesama Islam, sekampung pulak tu, kalau kita tak mahu tolong menolong sesama kita, siapa lagi?" Mak Itam bersuara sayu. "Sudahlah, cepat cepat kau kemaskan barang barang kau, nanti sekejap lagi budak Ajis sebelah rumah aku tu dengan kawan kawannya, datang dengan lori, tolong kau angkat barang barang.
Sekali lagi hati Mak Munah terusik dengan kebaikan Mak Itam.

Sejak hari itu tinggallah Mak Munah anak beranak dirumah Mak Itam sementara menunggu rumah barunya siap. Selepas setahun Mak Munah tinggal di rumah Mak Itam, rumahnya pun siap, itupun sekadar sebuah rumah kecil yang zink dan papan papan dindingnya diambil dari rumah lamanya. Dia sudah berpesan pada si tukang buat rumah tu supaya zink dan papan dinding rumah lamanya tu jangan dipecahkan sebab dia tak ada duit nak beli papan dan zink baru.

Walaupun sudah berpindah ke rumahnya sendiri, Mak Munah selalu juga datang menjengok Mak Itam yang sudah tua tu. Anak anaknya pun selalu bermain main di halaman rumah Mak Itam.


Suatu hari sedang Mak Munah memasak didapur, kedengaran suara anak bungsunya Azmi memanggilnya cemas. "Mak cepat mak! cepat mak! Atuk Itam sakit. Tadi masa Mi main main dengan Kak Mira, Mi terdengar satu benda jatuh dari dalam rumah Atuk." Azmi menceritakan pada maknya.

Tanpa membuang masa Mak Munah segera berlari ke arah rumah Mak Itam. Tapi alangkah terperanjatnya Mak Munah bila dia melihat anaknya Mira menangis sambil menggoyang goyangkan badan Mak Itam. "Atuk, bangunlah! Atuk bangunlah! bangunlah!" Mira memanggil manggil nama Mak Itam lagi.


Dilihatnya Mak Itam sudah tidak bergerak lagi. Mak Munah tahu Mak Itam sudah tiada lagi.

Mak Munah tiga beranak menangis dengan sekuat kuatnya. Mak Munah berasa sangat sedih disaat Mak Itam meninggal dunia tiada orang lain disisinya melainkan anaknya si Mira yang masih kecil itu. Dia terus mengambil kain batik lepas menutup sekujur tubuh Mak Itam.

Dengan limpahan air mata Mak Munah berdoa, "Ya Allah, kau sahaja tempat aku mengadu, yang mengetahui apa yang berlaku. Aku bermohon padamu Ya Allah kau lepaskanlah Mak Itam dari azab kubur, kau selamatkanlah dia dari azab api neraka. Kau masukkanlah dia bersama sama orang orang yang beriman. Sesungguhnya kaulah yang maha pengasih dan penyayang."

Tiba tiba awan mendung, hujan pun turun dengan lebatnya seolah olah turut sama menangisi pemergian Mak Itam.





CERPEN TERBAIK SINGAPURA - CERPEN SEDIH TANAH PUSAKA


Cuaca pada pada pagi itu amat baik sekali. Angin sepoi sepoi bahasa terasa nyaman, daun daun pokok getah melambai lambai sesekali. Mak Munah melabuhkan punggungnya diatas kerusi diberanda rumahnya. Sekarang ini Mak Munah berasa puas dengan kejayaan anak anaknya, masing masing telah bekerja, ada yang berjawatan tinggi dan sudahpun mempunyai keluarga sendiri.

Kalau 20 tahun yang lalu, hidup Mak Munah sekeluarga amatlah miskin dan susah. Sudahlah diceraikan suaminya, ada rumah dan tempat tinggal pula, tiba tiba saja dihalau keluar oleh abang ipar dan kakak kandungnya sendiri. " Kau dan anak anak kau boleh keluar dari tanah ini," bentak Abang Longnya dengar kasar. " Tapi Abang Long, mana saya nak tinggal? Anak anak saya semuanya masih bersekolah lagi, dan Abang Long pun tahu yang saya ini sebatang kara tiada saudara mara yang lain, hanya pada Abang Long dan Kak Longlah tempat saya mengadu," rayu Mak Munah dengan linangan air mata. "Aku tak peduli, tanah yang kau duduk tu aku nak bagi bagikan pada anak anakku sebelum aku mati. Lagipun selama kau duduk ditanah ini satu sen duit pun kau tak campak pada aku laki bini."

Tersentak Mak Munah mendengarkan kata kata yang keluar dari mulut abang iparnya itu. Setahu Mak Munah tanah itu adalah tanah pusaka arwah bapanya. "Kak Long tolonglah saya, saya rayu pada Kak Long, saya rela sujud pada Kak Long, saya rela cium kaki KakLong, tapi tolonglah jangan halau saya anak beranak keluar dari sini,'' semakin kuat tangisan Mak Munah.

"Aku tak boleh buat apa apa Munah, tanah arwah abah tu, aku dah jualkan pada Abang Long kau. Jadi sekarang ini semua kuasa ditangannya."jelas Kak Long tanpa rasa belas kasihan lagi. "Sampai hati Kak Long buat saya anak beranak macam ini. Tergamak Kak Long. Dulu Kak Long janji saya boleh duduk sini sampai mati." rayu Mak Munah sambil menangis. Tanpa putus asa Mak Munah terus merayu kepada Abang Longnya,"Tak boleh ke Abang Long tunggu sampai salah seorang anak saya bekerja dulu, barulah saya keluar." "Tak boleh! Lagi lama kau duduk sini lagi sakit mata dan hati aku pada kau anak beranak. Sudahlah Munah, janganlah nak buang masa aku lagi. Sekarang juga kau boleh keluar. Keluar.......! Keluar.......! Keluar.......!" halau abang long seraya ditendangnya kepala Mak Munah yang bersujud dikakinya. Serentak dengan itu juga terdengar suara anak abang long yang nombor 3 marahkan Mak Munah. "Ei..... tak reti bahasa langsung orang tua ni." "Mak Munah, Encik tu memang dah bencikan sangat Mak Munah anak beranak. Usahkan tengok muka tengok kelibat Mak Munah pun dia dah menyampah". "Jadi nak tunggu apa lagi berambuslah sekarang". bentaknya dengan sombong.

Melihat keadaan ibunya yang meraung, Milah anak Mak Munah yang sulung, yang baru pulang dari sekolah terus memeluk ibunya dan turut menangis hiba. "Hey Mak Long, Pak Long, kalau dah benci sangat pada kami janganlah sampai menghina mak Milah sampai begitu sekali." marah Milah pada Pak Long dan Mak Longnya. "Kurang ajar punya budak, dah lah miskin tak ada bahasa pulak tu," hampir saja abang long menampar muka Milah. "Apa selama ini Pak Long ingat yang Pak Long anak beranak dah berbudi bahasa dengan kamilah. Sudahlah Pak Long jangan nak bermuka muka. Kalau sekarang Pak Long kedekut dengan tanah Pak Long yang sekangkang kera tu, Milah doa pada Allah Taala esok bila Pak Long, Mak Long nak mati susah, nanti mati dihimpit tanah." pekik Milah lagi. Dia sudah tidak peduli lagi apa orang nak cakap, dia kurang ajar ke atau apa ke yang penting sekarang dia puas dapat meluahkan isi hatinya. "Sudah Milah! sudah..........sudah.......... ," Mak Munah menjerit.

"Mari mak kita balik, kemaskan barang barang kita, cepat cepat kita keluar dari tanah sial ini," celupar sekali kata kata yang keluar dari mulut Milah akibat terlalu marah dan geram dengan sikap Pak Long dan Mak Longnya.

Jiran jiran sekeliling yang menyaksikan peristiwa itu turut sama menangis dan simpati dengan nasib Mak Munah. Kesian Mak Munah mana dia nak tinggal sekarang ini?


CERPEN PILIHAN SINGAPURA - MAAFKAN AYAH....MIRA

Jam sudahpun menunjukkan pukul 11.00 malam ketika Mansur duduk merebahkan diri di ruang tamu rumahnya. Dalam fikiran Mansur tentu isteri dan anaknya Mira sudah tidur nyenyak.

Tapi kenapa pintu bilik Mira masih terbuka? Mansur terpegun sebentar berdiri di depan pintu bilik Mira. Rupa rupanya Mira tertidur di meja belajarnya. Ditangan kanannya masih memegang pensil seolah olah baru selesai menulis sesuatu di dalam diarinya dan disisinya pula ada segelas kopi yang sudah pun sejuk.

Mansur terus mengangkat Mira ketempat tidurnya. Selepas itu dia mengemas meja belajar Mira yang berselerakkan dengan buku buku. Sebelum Mansur menutup diari Mira, dia ingin melihat apa yang ditulis oleh Mira itu.

Mansur termenung sejenak bercampur sedih selepas membaca diari tersebut kerana apa yang tertulis didalamnya, semua ceritanya berkisar tentang diri Mansur. Dan yang paling menyentuh hatinya ialah tulisan Mira ditiga lembaran terakhir diari itu.

Di lembaran pertama Mira menulis : "Hari ini ayah tidak jadi menemaniku ke Pesta Buku, mungkin ayah terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Aku amat faham dengan kesibukanmu ayah."

Tiba tiba Mansur teringat beberapa minggu yang lalu Mira memang ada mengajaknya ke Pesta Buku tersebut. Dia sendiri telah berjanji dengan Mira yang dia akan mengambil cuti untuk menemani Mira memandangkan sekarang ialah musim cuti sekolah penggal yang pertama.

"Ayah, minggu depan ada apa apa program tak?" Mira bertanya sewaktu Mansur baru hendak melangkahkan kaki untuk ke pejabat pada pagi itu.

Mansur tidak menjawab pertanyaan Mira itu sebaliknya bertanya semula kepada anaknya itu,”Ada apa sayang?"

"Kalau Ayah tak ada apa apa, boleh tak Ayah temankan Mira ke Pesta Buku minggu depan?" tanya Mira lagi.

"Insyaallah Mira, kalau tak ada apa apa hal Ayah akan ambil cuti tahunan ayah untuk temankan Mira,ok. ” Mansur memberikan jawapan seolah olah sekadar untuk melegakan hati anaknya itu.

"Terima kasih, ayah," sambut Mira dengan wajah yang sangat gembira sambil mencium pipi Mansur.

Mansur hanya tersenyum melihat tingkah laku anaknya itu yang begitu manja dengannya.

Di lembaran kedua Mira menulis lagi : "Hari ini sekali lagi ayah tidak jadi menemaniku ke kedai komputer, kerana aku hendak membeli dakwat printer aku yang sudah habis. Banyak projek sekolah aku yang mesti dihabiskan dalam masa beberapa hari ini. Sebenarnya aku sudahpun mengajak Ibu, tapi kan bagus kalau Ayah dapat ikut sekali. Tapi..... lagi-lagi ayah sibuk".

Sekali lagi Mansur teringat yang anaknya itu memang pernah mengajaknya pergi ke kedai komputer itu bersama sama ibunya.

Mansur sudah faham benar dengan kerenah Mira kalau hendakkan sesuatu mesti dia akan bertanya seperti ini, "Ayah petang nanti sibuk tak atau Ayah ada apa apa program tak petang nanti?"

Kata kata lembut yang keluar dari mulut anaknya itu membuatkan Mansur tidak dapat memberikan jawapan ‘TIDAK’, walaupun kadang kadang dia memang benar benar sibuk.

Di lembaran terakhir Mira menulis : "Hari ini dan untuk kesekian kalinya Ayah telah mengecewakan aku lagi kerana masih tidak dapat menemaniku ke pasar malam di tempat ku .

Pagi tadi aku mengajak Ayah ke pasar malam di tempat kami kerana hari ini adalah hari terakhir pasar malam itu. Aku sudahpun berjanji dengan Pak Man, penjual anak patung di pasar malam tersebut, yang aku akan membeli anak patung yang ditawarkan petang tadi sewaktu Pak Man lalu depan rumahku. Aku katakan pada Pak Man yang malam ini aku akan pergi bersama Ayah dan Ibu ke pasar malam dan aku akan membeli anak patung itu.

Tapi kerana Ayah masih belum balik lagi tentu Pak Man sudah pun menjualnya pada orang lain.

Pak Man, maafkan Mira ye!. Besok pagi pagi Mira akan tunggu Pak Man depan rumah Mira dan minta maaf pada Pak Man kerana Mira tak dapat pergi ke pasar malam semalam. Kali ini Mira yang akan minta maaf dulu sebab Mira yang berjanji, selalunya Pak Man yang terlebih dulu minta maaf bila Pak Man tengok Mira sudah menunggu di depan rumah menanti suratkhabar yang Mira pesan itu.

Pak Man selalu cakap,”maafkan Pak Man, Mira, hari ini Pak Man terlambat,” padahal sebenarnya Pak Man tak lambat pun cuma aku yang terlalu cepat menunggu.

“Pak Man tak mau kecewakan Mira kerana Mira sudah berpesan pada Pak Man yang kalau boleh hantar suratkhabar cepat cepat sebelum Mira pergi ke sekolah. Cuba kalau betul betul Pak Man lambat tentu Mira akan kecewa. Pak Man tak mau kecewakan harapan orang kerana memang susah untuk menyembuhkan hati orang yang kecewa kecuali kita minta maaf dengan tulus ikhlas pada orang yang telah kita kecewakan itu.”

Tiba tiba aku teringatkan Ayah aku. Aku amat sedih sekali kerana selama ini belum pernah sekali pun Ayah minta maaf padaku, bila Ayah tidak dapat melayan kehendakku kerana mungkin Ayah menganggap yang anaknya ini masih kecil, tentu tak tau apa itu perasaan sedih, kecewa atau kecil hati.

Aaa…ah. Aku tak nak bersangka buruk pada Ayah walaupun sebenarnya aku sangat kecewa dengan sikap Ayah tapi aku tidak ingin menyimpan kekecewaan itu didalam hatiku. Bahkan hatiku selalu terbuka untuk memaafkan ayah.

Tiba tiba hati Mansur menjadi hiba dan sayu lalu dia menangis bila membaca tulisan Mira yang terakhir itu.

Mansur mendekati Mira, anaknya di tempat tidurnya. Dia merenung wajah Mira sambil mengusap usap rambutnya.

Dengan linangan air mata Mansur berbisik ke telinga Mira,”Mira anakku sayang, maafkan ayah nak, Mira memang mempunyai hati emas. Ayah memang tidak pernah minta maaf pada Mira atas janji-janji yang tidak pernah Ayah penuhi padamu, nak. Dan Ayah selalu menganggap yang Mira sudah melupakannya, sebab setiap pagi Ayah tengok wajah Mira begitu ceria dan selalu tersenyum.”

“Tapi Ayah silap, itu cuma lakonanmu semata dan yang pasti Mira masih tetap menyimpan dan masih mengingatinya dalam tulisan tulisanmu ini.”

“Entah sudah berapa banyak kekecewaan yang ada didalam hatimu nak, seandainya Mira masih lagi tidak dapat memaafkan Ayah.”

“Ayah akan menunggumu sampai esok pagi untuk meminta maaf padamu, Mira.......”


Posted at Sunday, March 20, 2005 by wardah70
Comments (2)

Sunday, March 13, 2005
CERPEN PILIHAN SINGAPURA - TANGISAN YANG MENGAKHIRI SEBUAH KEHIDUPAN 2


Suasana sunyi dan sepi menyelubungi perkarangan wad ICU Hospital Besar Singapura, dimana Tuan Zaidi ditempatkan. Pak Mat dan keempat empat isteri Tuan Zaidi kelihatan termangu, melayani perasaan masing masing.

“Siapa waris kepada Encik Zaidi bin Omar?” Tiba tiba seorang doktor melayu yang baru keluar dari wad ICU bertanya. “Saya”. Keempat empat isteri Tuan Zaidi menjawab secara serentak. “Saya perlukan hanya seorang waris sahaja untuk menandatangani surat kebenaran pembedahan ini.” Kata doktor itu lagi.

Masing masing tercengang dan saling berpandangan antara satu sama lain, apabila doktor menerangkan yang Tuan Zaidi perlu dibedah dengan segera kerana dia mengalami barah paru paru yang amat serius sekali. Memandangkan Fatimah, isteri yang pertama jadi dialah yang lebih berhak untuk menandatangani surat kebenaran tersebut.

Penantian itu suatu penyiksaan buat keempat empat isteri Tuan Zaidi dan juga Pak Mat. Fatimah berdoa didalam hatinya,”Ya Allah, Kau selamatkanlah suamiku ini. Kau sembuhkanlah penyakitnya itu. Aku pohon padamu dengan sepenuh hatiku. Kau tolonglah aku Ya Allah.” Sehingga pukul 9.00 malam masih belum mendapat apa apa berita dari bilik pembedahan.

Tiba tiba,”Puan puan semua, saya mohon maaf bagi pihak hospital. Kami sudah berusaha semampu kami tapi nampaknya penyakit suami puan sudah terlalu serius. Jadi saya sarankan supaya puan puan semua bawalah dia pulang sahaja.”

Mendengar kata kata doktor itu, mereka semuanya menangis hiba…..

Selang beberapa bulan kemudianTuan Zaidi merasakan yang dia akan menemui ajalnya dalam jangkamasa yang terdekat. Dia pun mula memikirkan tentang segala kemewahan hidupnya selama ini dan mula berfikir, "Sekarang aku ada 4 isteri, tapi bila aku mati nanti aku akan tinggal keseorangan. Alangkah sunyinya aku nanti!"

Dia pun memanggil keempat empat isterinya satu persatu. Mula mula dipanggil isterinya yang keempat. "Abang sayangkan Anna melebihi daripada isteri isteri Abang yang yang lain. Abang beri Anna pakaian yang istimewa dan paling berharga, serta berbagai bagai kemewahan yang lain. Sekarang Abang dah terlantar sakit dan akan mati tak lama lagi, hanya satu yang Abang nak Tanya. Adakah Anna akan ikut sama untuk menemani Abang?"

"Tak mungkin. Abang dah mati dan Anna masih lagi hidup. Mana ada orang yang masih hidup ikut masuk dalam kubur sama sama dengan orang yang dah mati.” Lancang sekali isteri keempatnya itu menjawab, kemudian terus beredar meninggalkannya tanpa berkata-kata lagi. Jawapan yang di terimanya itu sungguh menyayat hatinya, bagaikan pisau telah menghiris jantung hatinya.

Kemudian dipanggilnya pula isterinya yang ketiga, "Abang dah curahkan segala kasih sayang Abang pada Maria sepanjang hayat Abang. Dan sekarang Abang sedang sakit menunggu maut saja, sudi tak Maria ikut bersama Abang kedalam kubur untuk temankan Abang?"

"Abang ni dah gila agaknya!" jawab isteri ketiganya dengan tegas bercampur marah. "Hidup ini lebih baik di sini. Didalam dunia ni. Bukannya dalam kubur! Maria akan berkahwin lagi setelah Abang mati." Hancur lebur perasaan Tuan Zaidi bila mendengar jawapan tersebut.

Tuan Zaidi tidak berputus asa lantas terus memanggil isteri keduanya pula seraya berkata, "Abang selalu mengadu hal kepada Ifah dan minta bantuan Ifah bila Abang ada masalah, dan Ifah pula selalu menolong Abang bila Abang dalam kesusahan. Untuk kali terakhirnya Abang masih perlukan bantuanmu lagi, Ifah.” “Apa dia, cakaplah bang?” Ifah bertanya lembut. Dalam hatinya merasa amat belas sekali melihat penderitaan suaminya yang tersayang itu. “Bila Abang dah mati nanti, boleh tak Ifah ikut bersama Abang kedalam kubur. Boleh Ifah temankan Abang. Taklah kesunyian Abang nanti.”

Mendengar permintaan suaminya itu yang dianggapnya tak masuk akal, Latifah segera menjawab." “Maafkan Ifah bang, kalau selama ini Ifah tidak pernah kecewakan Abang tapi kali ini tidak mungkin Ifah dapat menolong Abang lagi kerana kita hidup sudah berbeza alam. Abang berada dialam kubur dan Ifah pula masih lagi hidup didunia ini. "Paling jauh pun, Ifah Cuma boleh temankan Abang setakat menghantar Abang ke kubur sahaja". Jawapan isteri keduanya itu, datang seperti halilintar yang membelah langit dan Tuan Zaidi merasa sungguh kecewa dengan jawapan yang diberikan oleh ketiga tiga isternya itu.

Dalam kesedihan dan kekecewaannya terhadap jawapan yang diberikan oleh ketiga tiga isterinya itu, dengan tiba-tiba satu suara memanggilnya dan berkata, "Imah akan tinggal bersama Abang. Imah akan ikut kemana saja Abang akan pergi untuk menemani Abang selamanya." Fatimah, isterinya yang pertama itu menyatakan kesanggupannya dengan linangan airmata.

Tuan Zaidi mendongak keatas, dan dilihatnya isteri pertamanya berada di situ. Dia kelihatan amatlah kurus kering, seolah-olah telah lama kebuluran tak makan.

Dengan perasaan yang amat sedih dan kesal sekali, Tuan Zaidi pun berkata, "Kesian Abang tengok Imah. Abang sepatutnya mengambil berat terhadap Imah sewaktu Abang masih sihat dulu! Abang lebih pentingkan isteri isteri Abang yang lain yang langsung tidak berguna lagi ketika Abang sakit ni. Sekarang Abang rasa sudah terlambat Imah…. Sudah terlambat….Abang menyesal !menyesal……..,” luah Tuan Zaidi dengan kuat sekali. Penyesalannya sudah tidak berguna lagi saat itu.

Tiba tiba kata kata itu terhenti….. Tuan Zaidi sudah kembali kerahmatullah dengan perasaan kecewa. Fatimah melaung dengan sekuat hatinya,”Abang, Abang....... maafkan Imah bang, maafkan Imah...Imah tak sempat untuk menjaga Abang disaat saat akhir hidup Abang. Fatimah terus menangis dengan hibanya. Dia begitu kecewa sekali dengan sikap madu madunya yang lain itu. Tidak berperikemanusiaan langsung. Pak Mat yang sejak tadi berdiri disisi Tuan Zaidi turut sama menangis mengenangkan nasib masa depan Tuan Zaidi……


Sejak kematian suami mereka ketiga tiga isteri Tuan Zaidi merasa bebas dari sebarang ikatan. Setelah harta peninggalan Arwah Tuan Zaidi dibahagi bahagikan menurut hukum faraid, isterinya yang kedua, Maria pun berkahwin lain. Manakala Suzanna dan Latifah pula kembali kepangkuan keluarga masing masing.


Tinggallah Fatimah seorang diri di rumah banglo dua tingkat itu bertemankan Pak Mat, drivernya. Fatimah selalu sahaja bersedih sehingga makan, pakainya pun sudah tidak terurus lagi.


Akibat terlalu rindu dan sedih mengenangkan arwah suaminya, akhirnya Fatimah pun meninggal dunia......




CERPEN PILIHAN SINGAPURA - TANGISAN YANG MENGAKHIRI SEBUAH KEHIDUPAN



Tuan Zaidi, merupakan seorang ahli perniagaan melayu yang terkenal di Singapura. Sebut sahaja namanya semua kawan kawannya sudah tahu yang dia mempunyai empat orang isteri yang cantik cantik belaka.


Alasan yang diberikan apabila ditanya mengapa beliau beristeri sampai empat orang pasti jawapannya ialah dia mahukan zuriat namun malangnya sampai sekarang pun isteri isterinya masih tidak dapat menunaikan apa yang diidamkannya itu.


Tuan Zaidi seolah olah sudah berputus asa, memandangkan umurnya yang sudah pun menjangkau ke usia tujuh puluh tahun, tentunya dia memerlukan sekurang kurangnya seorang pewaris yang dapat mengendalikan perniagaannya itu.


Pagi itu seperti biasa Tuan Zaidi kepejabatnya menaiki kereta mewahnya, Rolls Royce yang dipandu oleh drivernya, Pak Mat meninggalkan perkarangan banglo mewahnya yang dua tingkat itu.


Tuan Zaidi tidak pasti kenapa sejak kebelakangan ini hatinya begitu sunyi sekali walaupun hidupnya mewah, berumah besar, berkereta besar, dikelilingi oleh empat orang isteri yang cantik tetapi kehidupannya menjadi begitu suram sekali.


“Tuan, boleh saya tanya kenapa Tuan nampak berlainan sekali pagi ini?’’ Pak Mat memulakan bicaranya setelah dilihatnya keadaan Tuan Zaidi yang agak murung pada pagi yang nyaman itu.


“Mat, saya kaya, ada banyak harta, ada ramai isteri, ada beberapa buah kereta dan rumah tapi sejak dah tua ni, saya rasa jiwa saya semakin kosong dan tak pernah tenang. Kenapa ya Mat? Kadang kadang saya rasa lebih baik hidup macam awak, walaupun miskin tapi amat bahagia sekali saya tengok.”


“Sebenarnya Tuan, kebahagiaan bukanlah terletak pada kemiskinan atau kekayaan tetapi sebaliknya ia terletak dalam diri kita sendiri Tuan.” Jawab Pak Mat ringkas. Tuan Zaidi mendengarkan sahaja jawapan Pak Mat itu tanpa sebarang reaksi, sebaliknya fikirannya terus melayang mengenangkan telatah dan kerenah keempat empat isterinya itu.


Tuan Zaidi tersangat sayangkan isteri keempatnya, Suzanna. Tuan Zaidi selalu menghiaskannya dengan pakaian yang serba mahal lagi ekslusif, serta menjamu seleranya dengan berbagai jenis makanan yang serba lazat. Dia terlalu mengambil berat terhadap isteri keempatnya itu dengan memberinya segala apa yang terbaik sahaja dan tidak pernah menolak segala kehendaknya.


Dengan isterinya yang ketiga pula, dia selalu bermegah megah dengan kecantikkan Maria maklumlah dikalangan isteri isterinya, Marialah yang paling cantik dan anggun. Tuan Zaidi sentiasa dengan bangganya memperkenalkan Maria kepada kawan-kawannya setiap kali mereka pergi ke majlis majlis formal. Tetapi disebalik kebanggaannya itu, dia sebenarnya amat takut akan kehilangan isteri ketiganya ini, yang menjadi buah hatinya, akan lari pula mengikuti lelaki lain yang lebih muda memandangkan umurnya yang semakin lanjut itu.


Isteri Tuan Zaidi yang kedua Latifah, juga amat di sayanginya. Isterinya yang ini seorang yang amat bertimbangrasa, sentiasa bersabar, bahkan dia juga bertindak sebagai penasihat peribadi Tuan Zaidi. Tatkala Tuan Zaidi menghadapi sebarang masalah dia selalu merujuk kepada isteri keduanya ini, dan isterinya pula akan sentiasa membantu Tuan Zaidi dalam sesuatu keadaan yang amat menekan jiwanya.


Fatimah, isteri pertamanya pula merupakan seorang isteri yang amat setia kepadanya, dan telah banyak memberi bantuan kepada Tuan Zaidi dalam menyelenggarakan harta kekayaan serta perniagaannya. Disamping itu, isteri pertamanya jugalah yang sibuk mengendalikan segala urusan rumahtangga Tuan Zaidi. Namun demikian, Tuan Zaidi tidak menyayangi isteri pertamanya itu, walau pun isterinya amat mengasihi dan menyayanginya, bahkan dia tidak pernah ambil peduli langsung terhadap kebajikan isteri pertamanya itu.


Tiba tiba lamunannya terhenti apabila drivernya memberhentikan kereta dihadapan pejabatnya. Seperti biasa drivernya akan membukakan pintu untuknya. Bila Tuan Zaidi hendak keluar sahaja dari keretanya tiba tiba dia terasa dadanya sakit, pandangan matanya menjadi kabur, keadaan sekelilingnya berpusing ligat. Dan dengan tidak semena mena sahaja Tuan Zaidi terjatuh lalu pengsan.....


Melihatkan keadaan tuannya yang sudah pengsan itu, Pak Mat dengan segera memanggil seorang pengawal keselamatan yang ada disitu, untuk membantunya mengangkat Tuan Zaidi masuk kedalam kereta. Tanpa membuang masa Pak Mat terus membawa Tuan Zaidi ke Hospital Besar Singapura. Tiba sahaja di hospital, tanpa membuang masa Pak Mat terus sahaja menelefon keempat empat isteri Tuan Zaidi, untuk memberitahu mereka tentang kejadian tersebut.


Tidak berapa lama kemudian keempat empat isterinya pun tiba di hospital, Fatimah, isteri pertama Tuan Zaidi terus meluru ke arah Pak Mat. ”Macamana boleh jadi begini Pak Mat?” “Setahu saya, tuan kamu tu tak ada apa apa penyakit.”


“Alah... kakak mana tahu. “Abang Zaidi tu memang selalu mengadu sakit dada bila tiba gilirannya kerumah Ifah,” isteri kedua Tuan Zaidi tiba tiba menyampuk. “Aa..ah. Betul Kak Imah. Kadang kadang tu, Abang Zaidi sampai jatuh pingsan. Mula mula dulu tak teruk sangat. Tapi sejak kebelakangan ini semakin teruk Maria tengok,” kata Maria pula seolah olah memberi sokongan kepada Latifah.


Setelah mendengar pengakuan dari kedua dua madunya itu, Fatimah tiba tiba merasa sedih, mengenangkan nasib dirinya, apa akan terjadi sekiranya suaminya yang dicintai itu meninggal dunia memandangkan dirinya yang hanya sebatang kara itu.


Bersambung....




CERPEN PELAMIN ANGANKU TELAH MUSNAH....

Hujan turun dengan lebatnya justeru itu juga menandakan berakhirnya pesta majlis perkawinan antara Alia dan Jefry. Kebanyakkan tetamu semuanya sudah pulang.

Ramai saudara mara Jefry yang menyertai langkah mereka kekamar pengantin pada malam itu, sambil tersenyum dan berbisik sesama sendiri seolah olah mengusik kedua pengantin baru tersebut. Tetapi tidak demikian dengan expresi wajah Alia. Alia nampak tegang, gugup bahkan kelihatan sedikit ketakutan berbanding dengan Jefry yang kelihatan tenang sahaja.

Perkahwinan ini bukanlah kehendak hati Alia dan Jefry. Bahkan sebelum ini sebenarnya mereka tidak pernah bersua muka apalagi berkenalan antara satu sama lain. Ia adalah keinginan kedua orang tua mereka masing masing. Bagi mereka berdua, sebagai anak kepada seorang ahli korporat yang terkenal dikalangan masyarakat Singapura seperti keluarga mereka itu, mereka berdua tidak mampu menolak keinginan kedua orang tua masing masing demi maruah keluarga.

Tetapi bukan sebab perkahwinan itu sebenarnya yang menggelisahkan hati Alia, bukan juga karena keperibadian Jefry, yang dilihatnya sangat kacak, tenang, ramah, lembut, bahkan teramat lembut, tetapi sebaliknya Alia amat takut dan bimbang dengan keadaan dirinya sendiri. Ada rahsia yang tersembunyi disebalik raut wajahnya yang ayu itu. " Maklumlah, baru pertama kali..." Ibu Alia berusaha menenangkannya sepanjang siang tadi, namun tidak berhasil, Alia tetap juga berwajah sugul.


Jam sudah menunjukkan pukul 12.00 tengah malam. Suasana diluar yang tadinya kedengaran begitu riuh rendah sekali dengan suara saudara mara Jefry, tiba tiba bertukar menjadi senyap dan sunyi. Barangkali mereka semua sudah tidur, fikir Jefry. Di kamar, pengantin nampaknya kekok, kaku dan begitu sepi sekali. Tiada komunikasi antara keduanya.

Jefry kelihatan sangat tenang sekali, tetapi sebaliknya Alia terus menerus kelihatan gelisah, masih terbayang lagi dibenak fikirannya akan pengalaman buruknya yang telah merenggut kegadisannya! hal itulah yg terus membelenggu fikirannya, dia tidak berkesempatan menceritakan hal yang sebenarnya kepada Jefry, lagi pun Alia merasa takut.

Memang tragedi itu bukan kehendaknya, dia menghadiri satu pesta ulangtahun kawan baiknya, Sally. Kamal, kawan sekerjanya, lelaki yang di anggapnya paling baik ternyata adalah lelaki yang paling buas. Kamal telah memberinya ubat tidur ketika dia mengadu sakit kepala hingga secara tidak sedar Alia telah menyerahkan kegadisannya kepada lelaki keparat itu yang sehingga kini hilang entah kemana. Sejak peristiwa itu Alia jadi takut, bingung, sedih dan macam macam lagi perasaan yang menghantui dirinya.

Tiba tiba lamunan Alia terhenti. "Abang lihat sejak dari tadi Lia termenung, kelihatan gelisah saja. Macam ada sesuatu yang Lia fikirkan dan sembunyikan dari Abang," tenang Jefry bertanya memulakan bicara pada malam yang indah itu. Apa... Lia tak suka Abang?" soal Jefry lagi. "Bukan, bukan itu, sama sekali bukan." Alia masih cuba menyembunyikan lagi perasaannya. "Cuma Lia belum biasa dengan Abang," balas Alia lagi.

Mereka memang belum pernah kenal antara satu sama lain, kerana sudah bertahun tahun lamanya Jefry menetap di Amerika. Cerita tentang Jefry hanya sedikit sahaja yang Alia tahu, itu pun Ibunya yang memberitahunya. Kata Ibu Alia, Jefry baik orangnya, kaya raya dan berpangkat.
Hal itulah yang membuat Alia bertambah takut, was was dan cemas sekali.

"Alia! Lia tahu tak yang abang sudah biasa hidup di negeri yg sangat bebas pergaulannya antara lelaki dan perempuan, bersikap terbuka, tak perlulah Lia malu malu lagi dengan Abang. Abang tahu pernikahan kita ini adalah pilihan orang tua kita, itu sudah pasti, tapi budaya kita, menghendaki Abang untuk menghormatinya dan sanggup mengambil risiko dari sebarang keputusan yang Abang buat" Jelas Jefry dengan panjang lebar.

"Lia tahu, tapi tidak mudah bagi Lia untuk memahami Abang dalam waktu yang sesingkat ini. Bagilah Lia sedikit masa lagi" jawab Alia dengan lembut. "Apakah Abang kurang menarik untukmu?" "Bukan itu masalahnya, Lia sudahpun menerima Abang, sejak kita diijabkabul siang tadi, cuma...." "Cuma apa? masalah kegadisan?" Tersentak Alia mendengar pertanyaan yang terpacul keluar dari mulut suaminya itu.

Ini membuatnya bertambah tambah gelisah, malu, takut dan macam macam lagi perasaan yang datang ketika itu. Dadanya juga semakin berdebar. "Jangan bimbang, Abang sudah biasa hidup di Amerika, hal itu bukanlah menjadi hal utama dan terpenting bagi seoarng gadis.."

Nyaris saja Alia tersedak karena terkejut mendengar kata kata Jefry itu. Bagaimana Jefry boleh meneka dengan cepat dan tepat sekali. Hairan Alia memikirkannya. Alia terdiam seketika.

Jefry meneruskan kata katanya, "Tentu Lia terperanjat bukan! macamana Abang boleh tahu tentang kejadian itu. Kamal, lelaki yang telah memperkosamu itu adalah kawan baik Abang semasa kami sama sama belajar di Amerika dulu." secara tidak sengaja Jefry menceritakan tentang perkara itu, tetapi tiba tiba dia menyesal sekali. "Ah....... kenapa begitu lancang sekali mulut aku pada malam bersejarah ini." Jefry berkata dalam hati.

Hancur hati Alia disaat itu, rahsia yang bertahun tahun disembunyikannya telah terbongkar oleh suaminya sendiri. Alangkah sedihnya Alia. Tiba tiba air matanya mengalir deras membasahi pipinya yang gebu itu.

"Lia, setiap orang mempunyai rahsia masing masing, setiap orang ingin dipandang suci, bersih, baik tapi itu semua tidak mungkin dapat mengubah kenyataan hidupnya, demikian juga dengan Abang..." terputus disitu sahaja cerita Jefry.

Dengan penuh keraguan Alia menatap wajah Jefry. "Kenapa dengan Abang? sudah ada isteri? sudah ada anak? atau..... ada gadis lain yang Abang cintai?" tanya Alia bersungguh sungguh.

Jefry menghela nafas panjang, " Lebih parah dari itu..., Abang sama saja seperti Alia, badan dan tubuh Abang saja nampak lelaki, tapi sebenarnya jiwa Abang, jiwa Abang ....." "Kenapa dengan jiwa Abang, kenapa bang, kenapa...? soal Alia lagi bertalu talu. "Abang "GAY", Abang "GAY" Alia." Masyallah! tiba tiba sahaja dunia terasa gelap. Badan Alia bertukar menjadi begitu lesu sekali, Betulkah apa yang aku dengar ini, bisik Alia sendirian. Betul ke apa yang dikatakan oleh suamiku itu?

Alia tergamam.... Jefry yang tampan itu seorang Gay? Gay!Gay!.... berulangkali Alia menyebut kata-kata itu. Suasana hening seketika, masing masing berbicara dengan fikiran masing masing. Alia merasa amat kecewa sekali, lelaki yang diharapkan dapat membahagiakannya rupa rupanya seorang Gay.

Malam pertama yang seharusnya indah bagi sepasang pengantin yang 'normal' ternyata hanya bertukar menjadi kepedihan, kesedihan, kepiluan bagi Alia, bukan sahaja suaminya tahu tentang rahsianya, tapi lebih buruk lagi, dia menikahi seorang Gay?!
Patutlah Jefry nampak tenang sahaja, sejak siang tadi tanpa sebarang reaksi, tidak resah juga tidak bahagia, rupa rupanya ternyata dia seorang Gay.

Alia menyalahkan dirinya sendiri, itulah, bila niat untuk berkahwin tidak berasal dari hati nurani sendiri, calon suami atau isteri belum kita ketahui betul betul, hal hal buruk seperti ini memang mudah terjadi. Yang tinggal adalah satu penyesalan dan tangisan yang tiada hentinya.

"Abang, kalau Abang sudah tahu yang Abang ini seorang Gay, kenapa Abang bersedia untuk mengahwini Lia?" dalam tangisan Alia bertanya. Kenapa Abang tergamak melakukan ini semua. Kenapa???" tangisan Alia semakin kuat.

Dengan rasa bersalah Jefry menjawab,"Abang hanya menurut kehendak mak ayah Abang! Abang sangat sayang pada keduanya...."

"Sekarang bagaimana? tak kan kita hendak terus hidup berpura pura begini semata mata hendak menjaga hati orang tua kita?" "Entahlah, Abang pun tak tahu. Tapi Abang rasa elok kalau Lia ikut Abang balik ke Amerika, disana kita boleh fikirkan tentang masalah kita ini, lagipun bukankah menurut hukum islam, Lia sudah sah menjadi isteri Abang? Mungkin kita tidak menikah secara fizik, secara badani atau pun emosi, tapi ada hukum yang telah mengikat kita berdua. Abang tidak ingin melihat kedua dua orang tua kita kecewa disebabkan keputusan yang kita ambil... Kita harus bijak Lia."

Keadaan kembali sunyi. Kamar pengantin yang dihiasi indah sudah tidak bermakna lagi buat Alia. Alia sudah kecewa dan dia tidak pasti lagi apakah esok masih ada!!! Pelamin anganku telah musnah sama sekali........

Read More..