Cerpen Takkan Pergi Lagi

Posting cerpen by: dinda

Hari ini dengan sangat terpaksa aku harus nganter adikku satu-satunya latihan ke sanggar nari. Kalau bukan karna iming-iming dia mau bantuin kerjaan aku, mungkin sekarang aku lagi nongkrong di cafe Pak Ulil. Cafe yang selalu rame dikunjungi anak-anak muda. Bukan cuma karna makanannya yang enak, tapi suasananya juga ngedukung banget buat refreshing and kumpul-kumpul bareng sama sohib. Kok, jadi promosi Cafe Pak Ulil?
Nah, begitu deh, alhasil sabtu pagi ini kiki (adikku yang super manja) dah sibuk bolak-balik ngebangunin aku. “Cepet dong ka! Aku nanti telat neh!!”, teriakknya entah untuk yang keberapa kalinya. Dan entah untuk yang keberapa kalinya juga aku menarik kembali selimut yang ditariknya. Dan terjadilah tarik menarik selimut yang akhirnya dimenangkan oleh aku. Hahaha.
“Ya udah, aku ga mau bantuin kakak ngetik proposal! Aku berangkat sendiri!”, ucap kiki beranjak dari kamarku. Spontan aku teringat akan perjanjian saling bantu itu dan meloncat ke luar kamar.”Woy!!! jangan gitu dong adikku yang manis. Oke..oke..15 menit yah”, rayuku sambil ngeluyur ke kamar mandi.
Setibanya di sanggar tari, ternyata masih terlalu pagi...sedangkan kelas tarinya dimulai jam 10, sambil senyum-senyum simpul kiki merajuk,”maaf kak, aku salah liat jam, tapi sebagai gantinya aku ajak keliling-keliling sanggar yuk”.
Sambil menggandeng tanganku, kiki mengajakku ke sebuah ruang pertunjukan kecil. Dari atas balkon ini aku bisa memandangi cewek-cewek yang sedang bersiap-siap untuk latihan. Mereka sedang asyik melakukan pemanasan di pinggir arena. Menurut kiki sih, sore ini mereka akan ada shooting untuk sebuah video klip.
“Nah....itu dia kak!!!”, teriak kiki membuyarkan perhatianku.
“Siapa?”, tanyaku penasaran.
“Itu..itu...tuh, cewek yang pakai topi kuning. Yang baru masuk. Lihat ga?”
“Liat..liat. Emang dia siapa?”, tanyaku lagi.
“Namanya Kak Rey. Dia dancer paling okeh disini. Tawaran shootingnya paling banyak. Keren abiz deh”.
“Kalo emang okeh, trus apa hubungannya ama kakak?”, tanyaku ga perduli.
“Yaa...siapa tau kakak bisa jadi pacarnya. Kan lumayan, aku bisa dapet kakak ipar plus guru private. Gratis!!!! Hehehe”
“Dia bukan type aku”, jawabku ketus sambil menatap lekat tampang serius adikku yang sepertinya sangat terkagum-kagum dengan kakak kelas tarinya itu.
“Kak Rey orangnya baik banget, ga sombong, ga pelit ilmu...emm...”
“Apa lagi?”
“Cantik...”
“Relatif”, sergahku.
“Manis...”
“Gula kalee”, sergahku lagi.
“Kaya...”
“Woy!!! emangnya aku cowok matre?”, jawabku kali ini.
“Lagian, jawabin aja sih. Pokoknya Kak Rey ini okeh banget deh kak. Ga akan nyesel dapetin dia”, bujuk kiki lagi.
“Kamu dibayar berapa sama dia buat jadi juru kampanye?”, tanyaku mengerenyit.
“Ihh, apaan sih kak Ivan. Ya udah kalo ga mau. Jangan nyesel yah”, ledeknya.
Aku hanya menanggapi ledekan kiki dengan senyuman. Rey? Nama yang ga asing buatku.

“Kak!!Kak!!..”,teriak kiki.
“Apa sih? Kamu ngagetin kak Ivan ajah”, ucapku. Kualihkan pandanganku ke arah yang ditunjuk kiki. Di tengah lapangan aku melihat seorang cewek berlari menuju tangga balkon. Gadis bertopi kuning yang baru saja diceritain kiki. Setibanya diatas balkon dia hanya berdiri menatapku yang membuat aku salah tingkah dan ketika dia buka topinya.
“Reyna?”, teriakku keheranan. Aku segera berlari menghampirinya dan memeluk erat tubuhnya. Untuk beberapa waktu kami tak berbicara dan dia menangis dipelukanku. Kiki menatap heran kearahku, namun seakan mengerti dia beranjak pergi menuju kelas tarinya.
Masih diatas balkon ini, Reyna duduk bersandar dibahuku sambil menggenggam erat tanganku. Dan sampai saat ini masih tak ada kata yang keluar dari mulut kami berdua.
“Akhirnya aku menemukan kamu juga”, ucapnya lirih.
“Apa?”, tanyaku pura-pura tak mendengar.
Sambil membenarkan posisi duduknya dia menatapku lekat sekali, air mata mulai menggelinangi sudut matanya lagi.
“Kamu jahat Van!”, tuturnya. “Kenapa kamu pergi? Semua pesanku ga pernah kamu balas dan kamu sama sekali tidak mencari aku?”, ucapnya kemudian dengan nada suara yang meninggi.
“Aku pergi supaya kamu bahagia Rey”, jelasku.
“Bahagia? Aku?”, tanyanya menyudutkan alasan kepergianku dua tahun yang lalu. Hijrahku kembali ke Jakarta memang dengan alasan untuk meninggalkannya, itupun atas permintaan orang tuanya yang telah menjodohkan dia dengan pemuda kaya yang sudah mapan. Sedangkan dua tahun yang lalu, aku bukanlah siapa-siapa.
“Bagaimana kabar suami kamu? Anak kamu?”, tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Sudahlah Van. Sepertinya kamu tidak pernah mengharapkan pertemuan denganku lagi”, ucapnya. Dia berdiri dihadapanku yang tertunduk membisu. “Untuk sekedar kamu ketahui Van, aku belum menikah”, jelasnya seraya pergi meninggalkanku yang terdiam.

Sudah dua tahun yang lalu aku merelakan keputusan orang tuanya untuk menikahkan dia dengan orang lain, tapi ternyata sampai saat ini dia belum menikah. Pelukannya, kehangatannya...apakah dia benar-benar hanya menanti aku kembali? Lalu bagaimana dengan aku? Motivasi yang ku dapat darinya membuatku seperti sekarang, semua berkecukupan, bahkan lebih. Tapi aku tak pernah berusaha mencari tau tentang dirinya lagi.
'Dia semakin cantik', gumamku sambil mengaduk segelas lemon tea yang es nya semakin mencair.
“Woy!!, ngapain lo ngelamun sendirian disini”, tegur Beno yang langsung menyambar lemon teaku dan menenggaknya habis. Aku tak bergeming.
“Van! Kenapa sih?”, tanyanya lagi,”ada masalah, cerita donk!!”.
“Eh Ben, elo ingat Reyna?”, tanyaku.
“Reyna? Em...emm...Reyna mana?”, tanyanya gelagapan.
“Reyna yang dulu di Bandung. Sabtu kemarin gue ketemu sama dia di sanggar tari tempat kiki latihan”, jelasku.
“Ohh...trus”, tanyanya lagi.
“Dia ga jadi nikah dengan cowok pilihan orang tuanya dulu. Siapa namanya? Emmm...Jardi!! Ingat ga lo?”
“Ohh iya, gue inget. Bagus dong”
“Bagus dari Hongkong!!”, celetukku.”Bodoh banget gue. Kenapa gue ga berusaha cari kabarnya dia yah?”.
“Yah, elo kan ga tau kalo dia ga jadi nikah?”, ucap Beno meredakan penyesalanku.
“Iya, tapi...”, ucapanku tiba-tiba terhenti, mataku tertuju pada meja diseberang kolam Cafe Pak Ulil.”Reyna, Ben!!!”, teriakku menunjuk kearah Reyna yang sedang duduk sendiri.
“Mana?”, tanya Beno.
“Itu”, jawabku kembali menunjuk kearah Reyna.
“Gue kesana dulu yah”, ucapku.
“Ya udah, gue juga mau pergi kok. Gue ada latihan hari ini”, tutur Beno.
“Oh ya udah”,jawabku.

Perlahan tapi pasti, kumantapkan hatiku untuk menyapa Reyna. Entahlah, apa masih pantas aku mendapatkannya? Yang aku mau saat ini adalah mendapatkan maaf darinya.
“Hai Rey”, sapaku. Dia terkejut dengan kehadiranku dan sambil memalingkan wajahnya, jelas terlihat dia membasuh air matanya dengan sehelai tissue.
“Boleh aku duduk disini? Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu”, pintaku. Hanya anggukan kecil yang kuterima, namun cukup menjawab bahwa aku diberi kesempatan untuk berbicara.
“Kamu sama siapa?”, tanyaku basa-basi.
“Kamu mau ngomong apa, Van?”, tanyanya.
“Eh..yah..aku...aku mau minta maaf”,jelasku.
“Untuk apa? Kamu salah apa sama aku?”, tanyanya kembali membuatku semakin merasa bersalah”
“Untuk kali ini, tolong dengarkan penjelasan aku. Yah?”, pintaku. “Malam itu, ayah kamu meminta aku untuk ninggalin kamu, karena dia ingin kamu menikah dengan orang yang sudah mapan. Ayah kamu ingin kamu bahagia. Aku sadar diri, saat itu aku tidak bisa menjanjikan apa-apa sama kamu. Makanya dengan berat hati aku kembali ke Jakarta. Aku juga ingin kamu bahagia”, jelasku.
“Kenapa kamu tidak menanyakan pendapat aku? Aku juga berhak memutuskan mana yang mau dan yang tidak mau aku jalani! Asal bersama kamu itu sudah cukup buat aku, Van. Kita berusaha sama-sama. Bukan dengan kamu ninggalin aku sendiri”, jawabnya. Ah, Reyna, kenapa aku harus menyesali semua ini.
“Tolong mengerti posisi aku saat itu Rey. Kalau aku pertahankan kamu, aku ga bisa kasih apa-apa?”, jelasku lagi.
“Kalau sekarang, kamu bisa kasih aku apa?”, tanyanya ketus.
“Insyaallah, aku bisa memberikan apa yang kamu mau Rey”.
“Tapi kenapa setelah kamu menyadari kamu sudah bisa memberikan aku sesuatu, kamu tidak mencari aku?”, tanyanya.
“Aku...aku pikir kamu telah menikah dan aku ga mau ganggu kehidupan kamu Rey”, belaku.
“Tapi seandainya saja sekali waktu kamu datang mencari aku, kamu pasti akan tau aku menikah atau tidak kan?”, ucapnya penuh kekecewaan.
“Maaf Rey, jujur...aku takut ketemu kamu lagi. Aku takut kecewa”,tuturku.
“Setiap kali aku pulang ke Bandung, aku selalu menanyakan tentang kamu. Apakah kamu datang mencari aku? Menelphone aku? Tapi tiap kali kutanyakan itu, tiap kali itu juga aku kecewa dengan jawaban yang kuterima”, jelasnya.
“Maaf Rey, sungguh benar-benar maaf... Aku pernah liat kamu di Cafe Xtra, aku teriak-teriak panggil kamu, tapi kamu ga dengar. Aku tersadar saat itu, mungkin kamu sedang bersama suami kamu, makanya aku langsung pergi”
“Cafe Extra?? Aku juga ketemu sama Beno. Sudah sering aku titip pesan lewat dia, aku kasih no hp aku supaya di kasih ke kamu. Aku berharap sekali saja kamu menghubungi aku. Tapi nihil. Selalu sibuk alasan yang kamu beri. Bahkan untuk aku Van?”.
“Beno!!!???”, tanyaku bingung.
“Yah...Beno!”.
“Tapi Beno ga pernah memberitahu aku tentang....ah pantes aja”, gerutuku.
“Kenapa? Masih mau kasih alasan apa lagi Van?”,desaknya.
“Rey,...”,ucapku menatap lekat matanya.”Aku ga tau harus bilang apa sama kamu. Aku hanya minta kamu memaafkan aku. Selebihnya jika kamu inginkan aku menjauhi kamu, aku akan pergi”, tuturku pasrah.
“Van, kamu ga pernah berbuat salah sama aku. Untuk apa minta maaf? Tapi tolong satu hal. Bilang sama Beno, untuk kesekian kalinya aku ga bisa menerima cinta dia”. Reyna meninggalkan aku yang tercengang dengan pengakuannya tadi. 'Beno?', sahabatku sendiri ternyata usaha dibelakang aku. Jadi selama ini dia sudah tahu kalau Reyna ada di Jakarta dan dia mencari aku. Dan semua pesan-pesan dari Reyna ga ada satupun yang disampaikan ke aku, no hp Reyna? Pantas dia gelagapan waktu aku bilang aku ketemu sama Reyna.

Keesokan harinya mamah memintaku untuk menjemput kiki di sanggar tarinya, latihan hari ini agak larut malam karena mereka akan manggung di salah satu tempat hiburan di Jakarta. Akupun ga berani untuk masuk ke dalam, aku meminta kiki untuk mencariku di parkiran saja. Baru saja kubalikan badan, aku melihat Reyna dijemput oleh seorang cowok. Mereka sedang ngobrol disebuah sedan sambil memasukkan beberapa barang ke bagasi belakang. Kelihatannya obrolan mereka sangat serius dan tiba-tiba tangan cowok itu menampar Reyna dengan kerasnya. Sesaat aku sempat mau menghampiri mereka, tapi aku tahan amarahku sambil mengawasinya. Cowok itu menarik lengan Reyna dan memaksanya masuk ke dalam mobil dan untuk kedua kalinya dia menampar Reyna lagi. Aku tidak dapat mengendalikan amarahku lagi. Kuhampiri cowok itu dan bogeman keraspun aku layangkan ke wajahnya dan dia tersungkur di samping mobil.
Kuhampiri Reyna yang menangis terisak, tapi begitu kupeluk tubuhnya, tangisnya semakin kencang.
“Rey, maaf...tapi dia siapa? Kenapa dia menyakiti kamu?”, tanyaku sambil menenangkan tangisnya.
“Dia...dia...orang yang dijodohkan ayahku dua tahun yang lalu. Ayah sudah memutuskan perjodohan ini dengan orang tuanya, tapi dia tetap memaksa. Aku lari ke Jakarta dan dia tetap mencariku. Akhirnya dia menemukan aku dan memaksa aku kembali ke Bandung”, jelasnya.
“Kenapa dia menampar kamu Rey?”, tanyaku.
“Dia sering menampar aku semenjak kepergian kamu Van. Dia bilang kamu ga perduli sama aku dan ga akan pernah bisa aku miliki. Semenjak itu aku pergi dari Bandung dan mencari kamu”.
“Ya Allah, Rey...maafkan aku sayang, maafkan aku”, ucapku lirih semakin mengeratkan pelukanku.”Aku janji aku ga akan meninggalkan kamu lagi. Aku janji”.
Malam itu, kubiarkan Reyna menangis dipelukanku untuk terakhir kalinya. Karna aku tidak akan membuatnya terluka lagi dan sedetikpun aku takkan beranjak dari kehidupannya.
***

Read More..
 
Cerpen Prakata


AKU INGIN PULANG

“Manusia terlalu sering terhadap sesuatu yang terkadang sesuatu yang ditakutkan itu belum tentu terjadi dan bahkan tak pernah terjadi”


Tulisan ini kupersembahkan untuk setiap manusia yang terlahir dengan cinta dan kasih sayang. Manusia yang hidup dalam naungan dan limpahan cinta.

***

Siapakah diriku ini?

Dimanakah aku, apa yang aku cari, untuk apa aku hidup, apa yang kuharapkan dari hidup, aku bingung. Semua pertanyaan hati itu semakin menggangguku, mengganggu jiwa, hati dan pikiranku. Kemana aku harus melangkah dan berpijak. Bukankah aku manusia yang mengenal Tuhan, mengenal segala perintah-perintah-Nya, menjalankan segala perintah dan peraturan-Nya, tetapi mengapa aku masih seperti ini, manusia yang tidak memiliki tempat berdiri, manusia yang terombang ambing oleh maksiat dan ketidakyakinan akan ke-Esaan Tuhan. Haruskah kematian yang menyadarkanku.

Aku ingin kembali, kembali menjadi manusia. Aku tidak mampu, rasa maluku kepada Tuhan, rasa maluku pada diriku sendiri, rasa takutku bila kelak akan mati. Haruskah aku berlari. Mencari dunia lain yang dapat menampungku, manusia penuh dengan dosa dan kehancuran ini.

Andaikan dapat, aku ingin hidup sendiri di padang pasir yang tandus dan dan kering. Agar aku dapat manjerit sekeras-kerasnya. Aku ingin menangis sepuas-puasnya, tanpa harus takut dan malu. Agar segala sakit yang kurasakan dalam jiwa ini dapat kubuang. Sakit yang telah menghancurkan kehidupanku selama puluhan tahun lamanya.

Namun hatiku tak mampu. Haruskah kematian yang menyadarkanku.

Dua puluh tiga tahun lalu, sesuatu yang sangat mengerikan telah menimpaku, kejadian yang telah membuat tujuh petala langit dan tujuh petala bumi murka melihatnya. Sesuatu yang telah membunuh jiwa, hati, perasaan dan pikiranku sebagai manusia yang sebenarnya. Malapetaka itu telah merenggut sifat manusia yang sesungguhnya dari dalam tubuhku.

Jiwaku diam, setan telah menusuk hati dan perasaanku, terlalu dalam hingga menembus pusat darah diotakku, mengalir, bersatu dalam aliran dan denyut nadi, memenuhi rongga sumsum di tubuhku. Ia telah mencabut fitrah diriku dengan keji, membuang dan mencampakkannya kedalam kubangan dosa.

Haruskah aku menangis, haruskah aku menjerit, meronta dengan apa yang kualami, sedang aku tidak merasa rugi dan terganggu dengan kejadian itu. setan telah merangkulku dalam dekapan api, menyelimuti hati dan jiwaku dalam kubangan nafsu. Aku diam, karena aku tidak merasakan rasa itu.

Haruskah kusesalkan semua yang sudah tertulis untuk hidupku, untuk apa, toh waktu tidak bisa berbalik untuk mengembalikan kesucianku, mengembalikan fitrahku sebagai manusia, manusia yang suci dan manusia yang sesungguhnya. Tidak ada yang harus kusalahkan, tidak orang tuaku, toh ini sudah suratan takdirku yang harus aku jalani.

Aku menyesal. Jiwaku selalu menjerit agar belenggu yang merantai jiwa, hati dan perasaanku dapat terlepas. Aku menangis dalam kehampaan. Karena hatiku tak mampu melepas belenggu yang merantai jiwaku.

Aku terlalu kotor. Bau busuk telah menyebar dari seluruh pori-pori tubuhku. Dalam darahku masih mengalir nafsu-nafsu itu. Aku nyaris mengakhiri hidupku. Seandainya bukan karena keyakinanku terhadap Allah, mungkin aku akan mengakhiri hidup ini. Aku bukan hanya berbuat dosa, akan tetapi menjadikan manusia-manusia lainnya ikut berdosa akibat ulahku tanganku.

Aku ingin pulang. Kembali dalam hidup yang sesungguhnya. Bantulah daku. Aku sudah tidak sanggup lagi. Aku takut kematian akan merenggutku sebelum sempat melepaskan belenggu yang melilit jiwa, hati dan perasaanku.

Aku ingin pulang.

Aku ingin pulang.

Aku ingin pulang.

Read More..
 
Cerpen ANTARA DUA BENDERA

Karya: Subhi

Orang-orang yang berada di sekitar rumah Abu mencium bau menyengat. Bau itu makin lama makin menyengat. Sebagian tetangga Abu merasa curiga. Namun, untuk mendobrak pintu rumah yang sudah beberapa hari terkunci dari dalam, tidak ada yang berani. Makin lama, seiring dengan tiupan angin bau tercium sampai jauh.

Entah dari mana asalnya, tiba-tiba sepasukan tentara berhenti di depan rumah Abu dan di susul oleh ambulan PMI. Rumah itu didobrak secara pakasa. Dugaan orang benar. Abu sudah menjadi mayat. Tubuhnya tertelungkup di antara dua bendera, tangan kanannya menjangkau merah putih, tangan kirinya menjangkau bendera berwarna merah hitam berlambangkan bulan bintang. Di sekitar mayat Abu terlihat bunga-bunga lumpur mengering, jejak sepatu lars memenuhi kamar berlantai semen kasar. Tim evakuasi PMI mengangkat mayat ke ambulan. Tak lama kemudian, sirine meraung-raung. Ambulan meluncur cepat.

Siapakah Abu?

Ketika Jepang menjajah Indonesia, lelaki itu, kata orang masih bayi. Tetapi, ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, ia sudah bijak-bijaknya bicara dan dengan nada patah-patah menyanyikan lagu Indonesia Raya. Ketika timbul gerakan DI-TII kabarnya dia menjadi gerilyawan.

Ketika di daerahmya ramai-ramai meminta referandum, dia tidak berbuat apa-apa, tetapi ia banyak berharap, pada dasarnya bagi dia apapun yang ditempuh oleh petinggi negara hendaknya dapat menghentikan kematian yang sia-sia. Hatinya nyaris tidak lagi berfungsi sebagaimana fungsi hati manusia, dia melihat kematian demi kematian sama seperti membaca sebuah berita perampokan di sebuah surat kabar. Dia takut kalau-kalua karena itu Tuhan mencabut nilai kemanusiaan dari hati semua orang. Karena itu, dia sering meminta dalam doanya agar negerinya cepat aman.

Dalam kehidupan sehari-hari dia tidak banyak bicara. Kalaupun terpaksa bicara akan dilakukannya bila dia telah yakin lawan bicaranya tidak memihak kepada siapa-siapa dari mereka yang bertikai. Kata yang keluar dari mulutnya pun mudah diingatkan orang, “Mungkin saja”.

Sebagai petani, Abu sudah lama tidak ke ladang atau ke sawah. Dia tidak mau berurusan dengan siapa pun. Dia trauma, karena dulu, sesekali waktu, ketika dia pulang dari lading, seorang temannya menanyakan, “Hei, Abu, baru pulang dari latihan, ya?” pertanyaan ini membuat dia tidak tidur semalaman. Bahkan berlanjut sampai beberapa malam.

Sejak peristiwa itu dia tidak pernah lagi pergi ke ladangnya. Apa lagi setiap hari, setiap malam, dia mendengar suara tembakan. Keesokan harinya, catatan hariannya pun bertambah dengan masuknya salah seorang teman, atau kerabatnya sebagai korban penembakan misterius. Wajarlah dia merasa lebih tenteram hidup ketika orang-orang kampungnya ramai-ramai memanggul senjata melawan penjajah. Dia merasa senang menyambut para pejuang pulang dari medan pertempuran. Sambil berlari-lari dengan badan telanjang dia dan teman-temannya meneriakkan kata “merdeka”…

Sejak anaknya yang bungsu dan dua orang cucunya tewas dalam perjalanan pulang dari mesjid, lelaki itu tidak pernah terlihat berjamaah magrib lagi. Agaknya, kematian itu membuat dia lebih memilih salat di rumah saja. Ingatannya pun mulai terganggu. Hampir setengah dari jumlah anak-anaknya yang telah meninggal dunia, mati secara tidak wajar. Yang lebih membuat hatinya gebalau, anaknya yang sulung, yang selama ini membantu biaya hidupnya, hilang tak tahu rimbanya. Karena itu, setiap ada berita ditemukan mayat, dia selalu mencari informasi kepada tetangga-tetangganya. Dia menanyakan sedetil-detilnya tentang ciri mayat yang ditemukan.

Sekarang ada suatu persoalan yang berkecamuk dalam hati tuanya yang semakin rawan. Sejak lepas magrib dia merasa tidak tenang.sebentar dia ke dapur, sebentar dia ke sumur yang terdapat di luar rumahnya. Agaknya berita tentang akan diadakan razia ke rumah-rumah penduduk membuat dia serba salah. Ke mana harus ia amankan bendera berwarna merah berlambang bulan sabit dan bintang itu? Namun, untuk menyesali apa sudah dia lakukan, tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Sebab, sejak kecil dia telah diajarkan orang tuanya untuk menghargai pemberian orang, sekecil apapun pemberian itu. Apalagi dia menerima pemberian itu menyangkut solidaritas terhadap teman-temannya. Tapi, karena itu pula sekarang ia merasa cemas yang luar biasa.

Bendera itu semula sudah disimpan di atas loteng. Menurut lelaki itu, di tempat itu pasti akan aman, tetapi tiba-tiba pikirannya berubah. Benda itu dilipat dan di bungkus dengan plastik lalu diganduli batu dan dijatuhkan kedalam sumur. Tak lama kemudian, timbul pula keraguannya, benda itu cepat diambil dari sumur dan dikuburkan malam itu juga di samping rumahnya. Beberapa saat kemudian dia mendengar suara orang berjalan di samping rumahnya. Hatinya semakin kacau. Dia merasa suara itu pasti suara langkah orang memata-matainya. Mungkin ada yang tahu apa yang dikuburkannya. Setelah dia merasa yakin suara orang melangkah sudah semakin jauh, dia bergegas menggali kembali dan bendera itu diambilnya kembali.

Di bawah sinar lampu yang temaram, di atas lantai, dikembangkan bendera itu berdampingan dengan bendera merah putih. “Alangkah indahnya kalau kedua bendera itu dapa berdampingan, tidak saling menutup satu oleh yang lain” piker lelaki tua itu. Lalu dia merenung sejenak, kemudian dia mengambil buku catatannya. Dengan tangan gemetar dia menulis, “Anak-anakku. Sebagai orang tua, aku merasa bangga. Kudengar dari orang, kamu Ismail telah menjadi prajurit yang berjuang untuk membebaskan negeri kita dari kemiskinan. Kamu pasti tambah kekar terlihat mengenakan pakaian loreng, tapi pernahkah kau tahu, aku sebagai ayahmu mencemaskan keselamatanmu. Bahkan jika TNI mencarimu, orang merasa serba salah. Diberitahukannya keberadaan kamu, kamu pasti akan mengancamnya. Namun, jika mereka merahasiakannya, mereka akan mendapat perlakuan yang tidak diinginkan. Tidak jarang terjadi, ketika ada penyisiran, rakyat yang tidak tahu-menahu yang menjadi korban. Oleh karena itu, pikirkanlah anakku. Aku yakin, dengan sudut pandang manapun kamu menilai, kamu tidak ingin orang-orang kampung menjadi korban atas sesuatu yang tidak pernah mereka lakukan. Bukankah kamu dulu pernah kuajari, jangan menyakiti hati atau jasad manusia, sebab, semua makhluk yang ada kan mengutukmu. Kalaupun ajaranku itu salah, tapi yakinlah kamu, tujuanku satu. Apapun alasannya, aku ingin di dalam darahmu mengalir nilai-nilai kemanusiaan. Ingatlah, anakku. Sesuatu yang baik harus diperjuangkan dengan cara yang baik pula. Kekerasan tidak akan menyelesaikan persoalan.

Anakku, Ahmad. Kamu adalh putra kebanggaan keluarga. Ketika ibumu masih hidup, dia sering memuji keberanianmu membela kebenaran. Aku sering menina bobokkanmu dengan tembang-tembang perjuangan. Masih ingatkah kamu syair tembang itu? Aku melihat mata kecilmu berkaca-kaca setiap aku menembang “Toke-toke neuptron, yum sabon bek lagee yum ija. Yum brueuh bek tat melambong, matee ulon so nyang jeut keu teuntra”.

Alhamdulillah, Ahmad. Meskipun dengan terpaksa aku harus menjual dua petak sawah, kemu sudah berhasil menjadi seorang prajurit Negara. Tapi masihkah ada di hatimu nilai-nilai kejujuran dan keberanian membela kebenaran. Jika itu masih ada, jika satu saat aku menghadap Tuhan, arwahku akan tenang di sisi Tuhan. Meskipun sejak kamu menjadi prajurit kamu belum pernah menjumpaiku, aku yakin kamu tambah tampan, kekar, dan gagah perkasa. Satu hal yang perlu kuingatkan, taklukanlah musuhmu dengan cinta kasih. Sebab, musuh yang bertekuk lutut karena cinta kasihmu mereka akan berikrar dalam hatinya untuk setia kepadamu sampai akhir hayatnya”.

Buku catatan itu pun ditutupnya. Sejenak dia menatap foto-foto hitam putih yang terpajang di dinding, satu persatu. Dia menarik nafas panjang. “Tuhan, damaikan negeriku. Damaikan hati anak-anak negeri. Sudah cukup lama kami hidup dalam resah. Masih adakah hari-hari yang indah untuk kami nikmati?”.

Tak lam sesudah itu, dalam waktu hamper bersamaan Ahmad dan Ismail muncul. Sejenak mereka berpelukan. Abu tak kuasa membendung perasaannya. Bulir-bulir bening menetes perlahan, membasahi pipinya yang semakin keriput dimakan usia. Ahmad dan Ismail pun demikian. Mereka saling mengejek dengan menyebutkan kejelekan masing-masing ketika masih kanak-kanak.

“Bang, apa masih mengulum-ngulum nasi? Wah repot juga kalau tiba-tiba dalam barisan disuruh menyampaikan laporan. Bias-bisa nasinya yang keluar dari mulut, bukan laporan”.

“Mad, Mad, di TNI apa pangkatmu?”

“Sersan Satu, Bang”

“Kalau abang, meskipun tidak tamat SMU dan baru jadi prajurit, wah, kedudukan abang sudah setingkat Komandan Kompi. Eh, tapi ngomong-ngomong, bagaimana ketika kamu menjadi TNI, apa kebiasaanmu yang ketika ingin tidur harus mengelus rambut ayah, masih terus berlanjut. Rambut siapa yang kamu elus?”

“Bang, bang. Kok repot-repot. Kubelikan wig, kuanggap itu rambut ayah, kuelus-elus, lantas aku pun tidur, bereskan?”

Tak lama kemudian kedua prajurit yang saling berseberangan itu meninggalkan Abu. Abu kembali sendiri, dia sendiri lagi, seperti malam-malam yang lalu. Keesokan harinya, Abu ditemukan menjadi mayat dengan luka-luka tembak di sekujur tubuhnya.

Kematian Abu sangat misteri, ditambah lagi pada keesokan harinya orang-orang menemukan mayat Ismail dan Ahmad tergeletak tidak jauh dari rumahnya.

Read More..
 
Cerpen BEO


Karya Subhi

Tiap hari, berjam-jam, dia menatap tanah yang telah menghitam karena menyatu dengan abu. Dengan dibantu penyangga ketiak, dia berdiri menatap sisa bangunan yang kini telah luluh lantak. Bagian depannya rata dengan tanah. Yang paling merisaukan hatinya bukan kehancuran bangunan itu, tapi karena di dalam reruntuhan tersebut terkubur semua kenangan, di atas tanah hitam itu pula kedua orang tuanya telah dipaksa menghadap Ilahi dengan cara yang paling mengenaskan. Bagian tubuh mereka cerai-berai dan terbakar.

Jika kejadian ratanya rumah itu terjadi secara alami atau telah ditakdirkan memang harus terjadi, dia dapat menerima kenyataan itu walau dengan hati berat sekalipun, tapi karena itu dalam penilaiannya merupakan rancangan Orang Tak Dikenal (OTK) untuk kepentingan mereka, sampai mati pun akan membekas dalam relung hatinya yang teramat dalam.

Lelaki yang baru beranjak usia dewasa itu, Udin namanya, ia hanya dapat menatap lirih sambil berdoa, agar kedua orang tuanya diterima di sisi Ilahi. Setiap dia menatap reruntuhan itu, Udin tak kuasa membendung tangisnya. Makin lama dia menatap, makin jauh pula pikirannya menerobos lorong-lorong waktu.

Malam itu, sepulang dari pengajian rutin yang diprakarsai oleh pemuda desanya, ketika dia mengerjakan PE ER Fisika, terdengar jam antik di ruang tamu berdentang sepuluh kali. Karena keadaan daerah tidak aman, ditambah lagi pada sore harinya terjadi kontak senjata antara aparat Keamanan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), suasana terasa sangat sunyi. Tidak ada kenderaan melintas. Dalam kesunyian itu, dia mendengar suara sepeda motor merau-raung memecah kesunyian malam. Bagi Udin dan masyarakat di sekitarnya, hal itu dianggap sebagai suatu isyarat akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Walaupun PE ER-nya belum tuntas dikerjakannya, Udin bergegas membenahi buku-buku. Namun, belum selesai dia membenahi buku-bukunya, sebuah dentuman yang sangat keras terjadi. Rupanya, rumahnya telah menjadi sasaran pelemparan granat oleh OTK. Hanya itu yang dia tahu, selebihnya dia tidak sadarkan diri.

Setelah beberapa saat dia mendapat pertolongan, Udin pun sadar. Tapi, hal itu tidak berjalan lama. Dia kembali pingsan ketika mendengar kedua orang tuanya telah menjadi korban keganasan aksi OTK. Sejak itu pulalah, Udin sering histeris. Dia terkadang berteriak sendiri, menangis, melempar-lempar benda-benda yang ada di sekitarnya. Memaki-maki siapa saja. Dia telah mengalami histeria. Karena itu pula dia sempat dirawat di rumah sakit jiwa.

“Udin, mari kita pulang, Nak!”

“Ke mana aku harus pulang, Pak Cik. Rumahku, orang tuaku, telah tiada dan semua harta, dan kehidupan kami telah terkubur di sini”.

“Pulang ke rumah Pka Cik”.

“Tidak, Pak Cik, aku juga ingin berkubur di sini supaya mereka puas”.

“Udin, kau masih muda. Hari-harimu masih panjang…”

“Tapi hari-hari yang gelap dan menakutkan, Pak Cik. Apa arti kehidupan ini bagiku? Mereka telah merenggut nyawa orang-orang yang kukasihi. Nyawa mereka telah disentak paksakan lebih kasar dari cara malaikat maut”.

“Jangan berkata begitu, Udin. Yakinlah, semua itu ada hikmahnya”.

“Apa hikmahnya? Apa untungnya orang tua mati dengan cara begini? Apa mereka tidak berpikir, jika ini terjadi atas diri keluarga mereka, bagaimana?”

Pak Cik diam membisu, air matanya tak dapat dibendung. Dia juga terbawa arus kenangan alam bawah yang teramat deras. Terkadang kenangan yang satu dengan yang lain bertubrukan.

Ayah Udin adalah sosok saudara yang sangat peduli terhadap nasib keluarga Pak Cik dan keadaan adik-adiknya yang lain. Beberap hari sebelum meninggal ayah Udin bertengkar dengan istrinya karena dia dinilai terlalu memperhatikan Pak Cik. Yang paling menghujam ke relung0relung hati Pak Cik, kepergian ayah Udin terjadi setelah beberapa hari dia membeli burung beo dari Pak Cik dengan harga yang cukup mahal. Harga itu tidak wajar lagi dinilai oleh istrinya, tetapi ayah Udin tak peduli, ia sengaja membayar mahal supaya Pak Cik dapat membayar biaya perobatannya di rumah sakit. Namun, belum lagi pertengkaran itu mereda, burung beo itu hilang.ayah Udin menuduh istrinya melepaskan burung itu untuk melampiaskan sakit hati kepadanya. Istrinya tidak mau dituduh begitu karena memang dia merasa tidak pernah melakukannya.

Pertengkaran mereka memuncak ketika pembicaraan sampai kepada kebolehan yang dimiliki beo. Ayah Udin menganggap kebolehan itu sebagai suatu aset yang bernilai jual tinggi, sementara istrinya beranggapan kebolehan burung beo itu akan membawa bencana terhadap keluarga mereka. Jawaban istrinya dijadikan sebagai dasar yang kuat untuk melancarka tuduhan, kecurigaan bahkan ancaman.

“Jika kamu tidak dapat menemukan beo itu, kamu akan tahu akibatnya!”

“Biasanya abang tidak pernah tertarik untuk memelihara beo, mengapa tiba-tiba abang begini. Bagi abang sekarang lebih berhargaseekor beo dari pada aku. Jika memang sudah demekian tekad abang, baiklah, besok aku akan ikut rombongan orang yang mengungsi. Barang kali sampai disinilah bahtera rumah tangga kita dapat bertahan dank au Udin, jika kau sayang ibu, besok kita mengungsi, tetapi jika kau sayang ayah, bantulah mencari beonya yang hilang”.

Pada malam harinya, ketika ibu Udin mengemaskan pakaian yang akan

Dibawa, ketika Udin masih diliputi kegalauan, ketika ayah Udin merenungkan hari-hari yang pernah dilalui bersama istrinya, sebuah ledakan terjadi amat dahsyat.

“Pak Cik, kalaulah dulu, ketika dalam kandungan aku tahu bahwa aku akan dilahirkan di bumi Aceh yang porak poranda seperti ini aku akan memohon kepada Tuhan agar aku dilahirkan bukan di Aceh”.

Pak Cik tersentak dari lamunannya.

“Kalau dulu aku tahu bahwa yang akan membunuh ayahku, ibuku, adalah saudaranya sebangsa, setanah air, bangsa yang bersemboyankan negeri yang gemah ripah loh jinawi aku akan mencalonkan diri sebagai malaikat maut. Dengan wewenang itu, aku akan mendahului mereka. Akan kucabut nyawa orang tuaku dengan penuh kasih sayang sebagai baktiku kepada mereka dan bukti setiaku kepada Tuhan dalam menjalankan perintah”.

Udin seperti tidak memperhatikan kalau Pak Cik semakin hanyut dalam

pusaran kenangan.

“Tuhan, apakah memang telah Engkau boreskan dalam catatan-Mu kehidupan seperti ini yang harus kami jalani? Jika memang benar, Tuhan, sampai kapan prahara ini berlalu? Dosa apakah yang telah kami perbuat sebagai anak negeri? Apakah karena kami tetap bertahan di negeri ini, kami harus menjalani semua ini. Tuhan, kami tidak tahu lagi harus berbuat apa. Berapa banyak anak negeri yang mati sia-sia. Terkapar di pinggir jalan, di parit-parit, atau dihanyutkan di sungai. Mungkin beberapa dari pemuda desa yang telah mengalami hal itu, ada beberapa dari mereka yang telah Engkau tetapkan dalam azawajalla akan menjadi pemimpin yang arif atau pemikir yang dapat menyumbangkan pikirannya untuk kemakmuran negeri ini. Jika memang pernah Engkau rencanakan seperti itu, berarti mereka bukan hanya sekedar membuat hati kami teriris, tetapi telah mengusik ketengan-Mu. Mereka telah menggagalkan rencana Engkau. Jika negeri kami tidak pernah Engkau takdirkan seperti ini, tunjukkan kepada kami orang-orang yang dapat melepaskan kami dari derita panjang ini. Kami rindu kedamaian, selama ini kami tidak dapat bersujud kapada-Mu dalam ketenangan malam”. Udin kembali tidak sadarkan diri. Dengan penuh kasih sayang Pak Cik menggotong tubuh lelaki malang itu.

Malam semakin kelam. Hanya dalam tidur dan mimpilah Udin mendapat

ketenangan. Malam itu Udin terlihat tertidur pulas. Udin terlelap dalam dekapan malam bagaikan seorang bayi tertidur lelap setelah disusui ibunya. Barang kali karena segala derita batinnya sudah terlampiaskan.

Pagi merangkak perlahan, menggeliat membangunkan manusia dari tidur. Sisa embun masih menempel di jendela kaca yang sudah kusam. Sesekali terdengar deru mobil berpatroli. Usai salat subuh, seperti hari-hari yang lalu, Pak Cik mengambil salah satu kitab yang pernah dipelajarinya ketika dia dulu mengaji di Dayah. Kitab itu dibacanya perlahan-lahan di bawah penerangan lampu yang temaram. Usai membaca kitab, seperti hari-hari yang lalu juga, dia ingin menyempatkan diri membangunkan Udin dan menuntun keponakannya itu berwuduk. Namun, alangkah terkejutnya Pak Cik ketika dia mendorong pintu yang sengaja tidak dikunci Udin agar jika dia memerlukan bantuan, Pak Cik dapat dengan leluasa memasuki kamar, Udin tidak berada di kamar, sedangkan tongkat penyangga ketiaknya tersandar di kepala tempat tidurnya. Pak Cik bergegas mencari senter dan keluar melalui jendela. Lelaki itu mengamati jejak kaki yang ada di luar jendela, jejak itu bukan hanya jejak kaki Udin, tetapi ada tiga ukuran yang berbeda dan tidak jauh dari jendela itu, Pak Cik mendapatkan bangkai seekor burung beo dan sepucuk surat.

Berita kehilangan Udin dan bangkai burung beo ini tersebar dari mulut ke mulut. Namun, jika ada orang yang tidak dikenal (bukan OTK) bertanya, orang enggan membuka mulut. Sepertinya sudah ada kesepakatan dalam masyarakat, jika hilang, cari diam-diam, jika ditemukan sudah jadi mayat, kuburkan pula secara diam-diam. Begitulah berita tentang kehilangan Udin. Bukan masyarakat sudah tidak saling peduli, tetapi mereka lebih memilih diam untuk menyelamatkan diri. Karena itu pula kebiasaan seperti duduk-duduk bercerita di kedai kopi pun sudah lama mereka tinggalkan.

Pak Cik sudah mencari Udin ke semua sanak saudara yang ada di sekitar desanya, bahkan ke beberapa desa lain yang berdekatan. Namun, Udin tidak ditemuinya. Pak Cik selalu pulang dengan perasaan hampa. Terkadang muncul juga rasa pasrah, tetapi jika memingat keadaan Udin dan pengorbanan orang tuanya dalam menyelamatkan dirinya, Pak Cik merasa berdosa jika tidak mencarinya sampai dapat.

Roda waktu terus berputar, setiap Pak Cik mendengar kabar tentang penemuan mayat, ia sudah berada di lokasi itu untuk memastikan apakah Udin atau bukan. Dia tidak peduli cuaca, panas atau hujan, tekadnya satu, ia harus menemui Udin hidup atau mati.

Suatu malam, seusai magrib hujan turun sangat lebat. Desa yang sudah lama terputus arus listrik itu semakin terasa mencekam, sesekali terdengar derak pohon tertiup angina yang diiringi kilat dan ditingkahi suara halilintar. Pak Cik mempertajam pendengarannya, kemudian melangkah kea rah datangnya suara. Dia berharap yang menggedor pintu yang akan dibukanya adalah Udin. Namun, sebelum dia membuka pintu, dia menanyakan siapa yang berada di luar.

Suara yang menyahut didengarnya agak asing. Pak Cik menyempatkan diri mengintip ke luar melalui lubang yang sengaja dibuat kecil di pintu. Pak Cik melihat di depan pintu itu berdiri dua orang yang mengenakan mantel hujan. Wajahnya tidak jelas karena ditelan kegelapan malam.

“Cepat, bukakan pintu!”

Namun, begitu pintu dibuka, Pak Cik tidak menemukan siapa-siapa. Tak lama kemudian, sebuah mobil patroli militer melintas. Pak Cik bergegas masuk.dia tidak ingin mendapat resiko dari keberadaannya di luar rumah. Dugaannya tidak meleset. Belum sampai lima menit dia menutup pintu, terdengar suara tembakan beberapa kali. Hanya berselang hitungan detik, terdengar pula tembakan balasan yang beruntun. Kemudian senyap. Hanya suara tetesan hujan yang mulai mereda terdengar menimpa atap seng rumahnya. Malam itu terasa benar-benar mencekam, terutama bagi Pak Cik sendiri.

Usai salat subuh, Pak Cik memberanikan diri melangkah ke luar rumah. Ia melangkah ke arah Timur, kea rah suara tembakan yang ia dengar apda malam harinya. Ternyata Pak Cik bukan orang pertama berada di tempat itu karena di tempat itu sudah berkumpul beberapa orang yang pada umumnya ingin memastikan apakah yang tertembak itu sanak saudaranya yang sudah lama menghilang atau bukan. Sebab, di tempat itu kematian lebih cepat berlangsung dari gerakan malaikat maut.

Dari sekian orang yang berkumpul, tidak ada yang mengenal satu pun dari kedua lelaki yang mengenakan mantel hujan yang kini telah menjadi mayat dengan luka tembak di sekujur tubuhnya. Kedua lelaki bermantel hujan itu tidak memiliki tanda pengenal apapun.

Harapan untuk menemukan Udin, menurut Pak Cik sudah tidak mungkin terwujud lagi. Mungkin saja, jika tidak melintas mobil patroli militer kedua lelaki bermantel hujan itu akan menjemputnya. Apalagi mengingat isi surat yang didapati Pak Cik berdekatan dengan bangkai burung beo sangat mencemaskan hati. Surat itu pun ingin dimusnahkan. Namun, sebelum dimusnahkan, Pak Cik ingin membacanya untuk terakhir kali.

Surat yang terlipat kecil dan selama ini diselipkan dicelah lipatan peci itu dibawa ke mana saja dia pergi, kini dibukanya perlahan-lahan dan dibacanya. “Pada mulanya, kami tidak yakin bahwa burung beo itu pandai mengucapkan kata ‘merdeka’, tetapi setelah kami mendengarnya sendiri kami jadi percaya. Kami sudah membuat negosiasi dengan seorang pengusaha besar yang suka mengoleksi benda yang aneh-aneh. Untuk seekor burung beo pengusaha tersebut tidak segan-segan mengeluarkan uang milyaran. Akan tetapi, ketika transaksi itu terjadi, ketika pengusaha itu menyuruh mengucapkan kata ‘merdeka’, yang diucapkan beo, ‘keparat … keparat … gendut, lu!’. Gara-gara itu kami malu.

Walaupun begitu, pengusaha itu tidak ingin pulang dengan tangan kosong, dia meminta penggantinya yang sama anehnya dengan burung beo itu. Untuk itu kami menawarkan Udin sebagai penggantinya, pengusaha itu setuju dan berpesan, sewaktu-waktu nanti kami akan datang lagi jikayang kami bawa ini mampu mengundang decak kagum rekan bisnisku. Karena itu, siap-siaplah!”

Usai membaca surat tersebut, Pak Cik mengambil korek api. Dengan tangan gemetar, surat itu dibakarnya. Pak Cik memutuskan untuk meninggalkan kampong halamannya. Dia pergi ke mana saja yang dirasakan aman. Dia terpaksa meninggalkan apa saja yang sudah diperolehnya selama ini. Sebab, di sini, di negeri yang selama ini dipertaruhkan segala suka dan duka untuk sebuah cita-cita, negeri yang selama ini dikanal kaya hasil buminya tidak lagi menjanjikan harapan-harapan apa-apa baginya kecuali kematian. Dan di mana-mana, bayangan kematian itu terasa semakin akrab.

Read More..
 
A’aboud

A’aboud, hari menjelang senja. Matahari pun seolah enggan segera masuk kedunia lain diseberang sana. Sambil duduk memegang sebuah Mushaf kecil, aku memperhatikan mereka dari jendela kamarku.

Aida (12), Hanif (10), Harist (9) dan Chairul (6), adalah anak Paman Hasbi tetanggaku. Menjelang sore mereka memang sering bermain dan berlari-lari. Seperti sore ini. Mereka berlari-lari riang diselingi canda tawa diantara reruntuhan dan puing-puing bangunan yang hancur diterjang rudal Israel.

A’aboud, adalah desa sepi sejak Israel membabi buta menyerang Ramallah beberapa tahun lalu. A’aboud yang berjarak 17 kilometer di barat laut Ramallah ini juga tidak luput dari terjangan mortal dan peluru-peluru kendali kaum zionis.

Kota-kota di Tepi Barat lainnya juga dengan enteng saja diluluhlantakkan oleh tank-tank Israel. Keindahan kota Ramallah, kini tinggal jadi kenangan di tengah keganasan pasukan Israel yang membabi buta mencari orang-orang yang dicurigainya sebagai teroris.

Aku menghela nafas. Kembali tersenyum melihat keempat anak Paman Hasbi yang masih tertawa dan berlari-lari.

“Ukhti, kita kesana saja,” suara Harist menghentikan langkah dan tawa ke tiga bocah lainnya.

Aida, gadis kurus yang dipanggil ukhti tersebut terlihat berpikir sejenak. Sambil memandangi tempat yang ditunjuk Harist. Tangan kurusnya melipat-lipat ujung baju kusamnya yang tidak lagi pernah terkena air dan sabun.

Sementara itu, ketiga prajurit-prajurit mungil didepan Aida memandanginya. Hening. Seperti menunggu perintah.

Ukhti Aida adalah kakak tertua mereka bertiga, sehingga setiap rencana keputusan harus melalui persetujuannya. Aku terkadang tersenyum bila melihat mereka mengangkat kepala prajurit. Hanif juga sering diangkat kepala prajurit selain Aida.

“Kan, ini perang-perangan. Jadi harus ada pemimpin,” ujar Harist tiba-tiba.

Hemm.., aku menarik nafas. prajurit-prajurit kecil itu akan bermain perang-perangan lagi, gumanku.

Desa A’aboud memang cocok untuk tempat bermain. Karena ada beberapa mortar bekas yang berkarat, tank-tank yang terbakar menghiasi hampir sebagian wilayah di desa A’aboud.

Perang-perangan menjadi aktifitas favorit bagi anak-anak di Ramallah. Karena, selain sebagai napak tilas perjuangan orang tua mereka yang gugur juga menjadi ajang latihan mini terhadap perang yang sesungguhnya. Yaitu melawan kaum khufar Yahudi.

“Bagaimana ukhti, Boyeh, kan,” tanya Chairul. Bocal paling kecil diantara mereka. Suara cedalnya belum bisa hilang.

“Ayolah ukhti,” pinta Chairul lagi.

“Hmmm…., nggak usah deh. Ntar dimarahi ummi,” Hanif menyeletuk.

“Ah, akhi Hanif kok pengecut sih. Katanya mau Syahid,” sergah Harist jengkel. Mukanya terlihat masam.

Aku tersenyum. Anak-anak Paman Hasbi memang luar biasa. Aku teringat bagaimana paman Hasbi melawan beberapa tentara Israel saat menyerbu A’aboud. Paman Hasbi harus merelakan sebelah tangan dan kaki kirinya digergaji besi oleh tentara Israel hanya karena mencoba menolong seorang wanita yang hendak mereka perkosa.

Saat itu, Ramallah benar-benar merah membara. Api dan jeritan manusia silih berganti memenuhi langit. Ah…, aku seperti lelah untuk kembali mengingat kejadian itu.

Mataku kembali kearah prajurit-prajurit mungil itu.

“Mana tahu kita bisa cahid benelan lho. Kan enak masuk sulga,” celetuk Chairul lagi.

“Ok, kita kesana!” Suara Aida mengejutkan ketiga bocah cilik tersebut.

“Horee..!!! horee….!!” sontak Haris dan Chairul kegirangan. Tanpa sadar keempat bocah tersebut kembali berlari.

“Belalti kita main peyangnya cepelti sungguhan dong. Kan ada ludalnya,” ujar Chairul bersemangat sambil menunjuk kedepan, rongsokan rudal pejuang Palestina yang sudah tidak dipakai lagi.

Aku kembali tersenyum. Semangat Chairul paling menonjol diantara keempatnya.

Bisa jadi, semangat Chairul yang menggebu-gebu tersebut karena terobsesi cerita Paman Hasbi, abinya saat menjelang tidur. Aku sering mendengar celoteh Chairul saat menjelang tidur bersama abinya.

Terkadang aku elihat Paman hasbi bersama Chairul bermaja berdua diteras rumahnya. Seperti dua hari lalu. Kulihat Chairul menarik-narik jenggot putih Paman hasbi.

“Jika kita masuk surga, enakkk… sekali. Ada makanan yang enak-enak. Tempat tidurnya empuk, tempatnya bersih dan tidak ada perang-perangan lagi. Chairul mau ga masuk surga?” tanya abinya menggoda.

“Mau dong. Tapi cama abi. Ilul nggak mau cendili. Macuk culganya ama abi,” ucap Chairul manja sambil menarik-narik jenggot putih sang abi. Abinya tidak bisa menyembunyikan senyum mendengar celoteh bungsunya yang cedal.

***
“Allahu Akball …..,” pekikan Chairul membahana.

Aku terkejut. Pekikan Chairul membuyarkan lamunanku. Kulihat Harist, Hanif dan Aida yang berlari didepannya ikut terkejut. Namun mereka terus berlari menuju rongsokan rudal yang berjarak 100 meter dari rumahku.

“Allahu Akbar….”
“Allahu Akbar…”

Keempat bocah ini mengepalkan tangan kelangit. Seolah meminta restu langit agar mereka mencapai syahid. Sedangkan angin Palestina menerpa tubuh-tubuh kurus mereka yang kelaparan. Dalam sehari belum tentu keempat prajurit-prajurit mungil itu bisa mendapatkan roti yang bisa dimakan.

Aku memperhatikan angin yang mempermain-mainkan baju lusuh keempat anak Paman Hasbi tersebut.

Limapuluh meter lagi. Keempat bocah ini semakin bersemangat sambil bertasbih.

Didepan mereka, seperangkat bangkai peluncur roket telah menanti. Para pejuang Hamas meninggalkan bangkai ini begitu saja. Mungkin sebagai pelajaran untuk penerus mereka atau sebagai gambaran bahwa perjuangan ini tidak akan berakhir.

Aku menutup mata. Mencoba mengingat-ingat kapan dan bagaimana rongsokan rudal itu bisa teronggok disitu. Ah, aku tidak ingat. Konsentrasiku pecah.

“Ukhti tunggu….!!” Tiba-tiba suara Chairul kecil menghentikan lari ketiga bocah didepannya.

Aida, Hanif dan Harist berhenti. Membalikkan tubuh. Ketiga wajah mereka melihat kebelakang, Chairul jauh tertinggal. Ia terengah-engah kelelahan.

“Uhkti, Ilul capek….,” jeritnya.

“Ukh….., anak manja. Bagaimana mau masuk surga jika kamu cepat menyerah. Ayo semangat! Cepat!,” suara keras Harist mengejutkan Aida dan Hanif yang berada disampingnya.

“Emang kita apa benal-benal akan cahid, ukhti”, tanya Chairul dengan langkah sempoyongan. Keringat membasahi badannya.

Aida mendekati Chairul, menyapu keringat didahi adiknya dengan ujung baju yang dikenakannya. Lalu mencium kening Chairul.

“Mungkin saja,” kata Aida ragu.

“Bagaimana sih ukhti..,” protes Harist.

“Pasti dong syahidnya. Jika tidak untuk apa kita berperang. Tuh musuh udah dekat,” lanjut Harist sambil menunjuk bangkai roket peluncur didepan mereka.

Suasana tiba-tiba hening. Aku merasakan hawa aneh. Mataku seperti melihat bayangan api dan jeritan. Jeritan dan Merah itu… Ramallah….

Hatiku dag dig dug. memperhatikan keempat anak Paman Hasbi. Seperti ada yang lain di lingkungan A’aboud.

“Ayo dong, jadi nggak kita syahidnya. Ntar keburu habis waktu, nih,” tiba-tiba Hanif nyeletuk. Tumben Hanif jadi bersemangat. Padahal sedari tadi diam selalu dan sedikit penakut.

“Oke, kita baca Bismillah dan lari sekencang-kencangnya. Siapa yang pertama mencapai rudal, dialah yang akan syahid pertama.” Hanif mencoba mengambil alih komando.

Ketiga bocah tersebut saling berpandangan. Kecuali Chairul yang masih naik turun nafasnya. Bajunya mulai kering oleh angin Ramallah.

Akhirnya mereka setuju.

“Ayo kita berbaris,” Aida memberi aba-aba.

Mereka berempat berbaris sejajar. Aida, Hanif, Harist dan Chairul. Berdiri tegak. Menatap kedepan diantara reruntuhan bangunan. Angin memain-mainkan baju dan rambut mereka, seolah memberi kabar mereka akan syahid.

“Jangan lupa Bismillah,” suara Aida mengingatkan.

“Harus Takbir!,” tambah Hanif.

“Shalawat Nabi juga,” tegas Harist dengan membusungkan dada. Berdirinya tegap sekali. Siap.

“Abi dan Ummi,”

Suara Chairul membuat mata Haris mendelik. “Apa-apaan sih nih, anak,” pikirnya.

Aida dan Hanif mengernyitkan dahinya. Tapi ucapan Chairul tadi tak digubris ketiga bocah yang sudah semangat berdiri.

“Ok, kita mulai…..,” Harist memberi aba-aba.

Satu…., angin Palestina menderu kencang.
Dua…., keempat bocah menundukkan badan, siap.
Tigaaaa………..

Harist melangkah duluan, sekencang-kencangnya. Angin menampar-nampar wajahnya, lembut. Aida menyusul dibelakangnya, lalu Hanif dan Chairul.

Aku tiba-tiba menjadi semangat. Aku berharap Chairul bisa menang walau mustahil. Putra bungsu Paman Hasbi ini memang luar biasa unik. Aku menyukainya.

Ntah mengapa, hati ini terus berdoa untuk Chairul. Moga-moga Chairul menang. Tapi… Aku terkejut…

Sambil berlari, Chairul teringat kata-kata abinya. “Jika kita masuk surga, enakkk… sekali. Ada makanan yang enak-enak. Tempat tidurnya empuk, tempatnya bersih dan tidak ada perang lagi. Chairul mau ga masuk surga?”.

“Elul mau masuk surga. Tapi sama abi. Elul nggak mau sendili, Bi”.

Pekikan Tabkbir dan Tasbih membahana dari mulut Hanif. Salawat Nabi terus dikumandangkan Harist. Aida tak henti-hentinya berzikir dengan suara keras. Berlari sekencang-kencangnya. Tinggal 45 meter lagi.

Tapi tiba-tiba….., suara pekik Chairul mengejutkanku. Tidak terkecuali Aida, Hanif dan Harist.

“Allah…., Ilul masuk culga. Ilul syahid Abi.., Abi…, Ilul syahid Abi….”.

Aku, Aida, Hanif dan Harist terpaku melihat pemandangan itu. Tidak tahu apa yang terjadi. Chairul tergeletak bersimbah darah. Mulutnya berkomat kamit Syahid…syahid…

Sejurus kemudian Aida tumbang, tangannya mencoba menutup dadanya yang mengeluarkan darah…

”Harist…., kita……syah…..,” Aida tidak mampu meneruskan ucapannya. “Allahuakbar!”.

Seketika Haris dan dan Hanif bertakbir Allahu Akbar…..melihat saudara-saudaranya bergelimpangan dengan darah.

Tidak lama kemudian, mereka berdua juga bersimbah darah. Syahid. Darah segar mengucur dari kening Harist. Sedang Hanif dadanya bolong ditembus rudal sungguhan.

Nafas mereka hilang bersama angin Ramallah. Menuju langit ketujuh, bersama para syuhada-syuhada yang telah menumpahkan darahnya untuk Islam.

Aku terdiam. Mataku terpejam.

Epilog:
Keempat bocah tidak berdosa ini tidak mengira jika saat itu disekitar Areal rudal tersebut terdapat beberapa anggota militer Yahudi yang memang sedang mengawasi daerah tersebut. Merekalah yang menembak dan menghantar keempat bocah ini menjadi syahid. Yahudi kuffar. (Maret 2008).

Negeri Makian…………

Read More..
 
Negeri Makian II

Diary of Arakundo

Aku ingin bercerita,

Mengabarkan sesuatu. Kalian mau mendengarnya atau pun tidak, itu bukanlah
urusanku. Tugasku hanya untuk bercerita. Pun bisa jadi kalian semua tidak akan mengerti maksud dari ceritaku ini, karena kalian semua tidak pernah melihat dan tidak pernah merasakannya. Sedangkan aku, melihat dan merasakan semuanya.

Ah, andaikan saja kalian pernah merasakannya, minimal pernah mendengar secuil kisah ini, tentu kalian semua akan mengerti dan sepakat denganku, betapa hidup ini penuh dengan tipu daya dan kemunafikan.

Jujur, aku tidak pandai bercerita, tidak pandai memandu kalimat, bahkan untuk sekedar beretorika pun aku tidak mampu. Betapa bodohnya diriku……, bila saja aku tahu betapa kuliah di fakultas sastra itu sangat menguntungkan, sudah tentu aku akan kuliah disitu. Karena dengannya aku akan memiliki kemampuan untuk merangkai seutas kata menjadi sebuah kalimat, sehingga kalian tidak akan pusing bila membaca tulisanku ini.

Tetapi biarlah, toh aku harus tetap bercerita walaupun aku tidak pandai bercerita. Lagi pula itu bukan urusanku, tugasku hanya bercerita, titik!.

“ ARAKUNDO”.

Aku yakin kalian tidak pernah mendengar, kecuali orang Aceh, itupun tidak semua orang Aceh. Jika kalian pernah bepergian dari Medan menuju Banda Aceh, pasti kalian akan melewati ARAKUNDO.

ARAKUNDO, akhir perjalanan hidup dari kehidupanku. Sebenarnya aku enggan untuk menceritakan kehidupan yang telah berakhir ini. Tapi seperti ada sebuah beban yang memaksaku untuk menceritakannya. Bukan untukku, tetapi untuk mereka, mereka yang berakhir di ARAKUNDO. Jadi, kuharap janganlah kalian mencoba untuk menghentikanku. Baik kalian suka ataupun tidak, kumohon, biarlah aku meneruskan kisah ini, kisah yang telah memusnahkan hati, jiwa dan perasaanku.

Ya, kisah yang mematikan hati, jiwa dan perasaanku. Mungkin kalian menganggap diriku terlalu melankolis, terserah apa kata kalian! Aku tidak peduli!. Pun aku tidak ambil pusing apakah kalian pernah mengalami kematian ini. Jika kalian merasakan seperti apa yang aku rasakan, sungguh kalian akan menyesali hidup. Mengapa garis perjalanan harus seperti ini.

Bukan, aku bukannya menggugat Tuhan, bukan pula protes atas skenario Tuhan diatas sana. Kumohon, kalian jangan memvonisku seperti itu. Walaupun kalian berhak untuk mengatakannya. Janganlah kalian menambahkan kematianku. Setelah hati, jiwa dan perasaanku mati janganlah lagi kalian matikan juga sukma ragaku. Dialah satu-satunya yang masih tersisa dalam raga ringkih ini. Apakah kalian mengerti?

ARAKUNDO. Ah, aku sering melihatnya, bahkan terlalu sering. Hari-hariku senantiasa diwarnai olehnya, juga sebaliknya, aku ikut mewarnai perjalanan hidup ARAKUNDO. Otot-otot yang menghiasi tubuhku merupakan gambaran yang tidak bisa kalian pungkiri. Jika kalian tidak percaya, suatu saat kalian bisa menjumpaiku. Hanya sebuah pembuktian bahwa aku telah ikut andil mewarnai perjalanan ARAKUNDO.

Maaf, jika tulisan ini terlalu membosankan bagi kalian. Membosankan dari segi tehnik maupun kualitas. Tapi bagiku tidak. Karena aku merasakan setiap ”inci” waktu yang bergerak, saat ARAKUNDO bergejolak dan berdarah-darah. “Berdarah?”, benar. Selain diriku, gelapnya malam ikut menjadi saksi ARAKUNDO bedarah-darah.

Duh, andaikan saja kalian pernah merasakannya, minimal pernah mendengar secuil kisah ini, tentu kalian semua akan mengerti betapa hidup ini penuh dengan tipu daya dan kemunafikan.

Tahukah kalian, ayahku mengorbankan segala-galanya untuk ARAKUNDO. Berdarah-darah. Aku masih dapat merasakannya, aku masih dapat meresapi sakit itu, detik-detik akhir yang memisahkan diriku dari dekapannya untuk selama-lamanya.

Andaikan saja aku dapat meleburkan diriku kedalam tubuh kalian, menyatukan hati, jiwa dan perasaanku, tentu kalian semua akan merasakan apa yang aku rasakan saat ini. Akan merasakan sakit yang tengah aku rasakan saat ini. Sumpah. Aku tidak berbohong, kalian semua akan merasakannya.

Tapi aku ragu dengan kalian, kalian pasti tengah menertawai diriku saat ini. Aku tidak tahu, bisa jadi kalian menertawai kisahku atau menertawai tulisanku ini. Terserah!. Aku hanya ingin bercerita, agar seluruh asa yang tersisa dalam hidup ini dapat kuselamatkan. Tidak ada secuil keinginan agar kisah ini akan membuat kalian terharu, agar kalian jatuh sayang kepadaku. Tidak!!!!!. Sekali lagi TIDAK!!. Aku tidak membutuhkan rasa dari kalian semua.

Untuk itu diamlah. Jangan lagi mentertawaiku. Biarkan aku meneruskan tulisan ini…., waktuku sangat sempit.
Detik-detik yang sangat menyakitkan.

Saat itu :
Kami terus berlari, tidak tahu sudah berapa jauh jarak yang kami tempuh. Kakiku mulai lelah. Sudah satu jam lebih. Kakiku kaku.

Kupandangi wajah disampingku, peluh membanjiri tubuh ringkihnya. Sama seperti diriku. Nafasku semakin sesak.

“ Teruslah berlari, nak ”
“ Ayah, aku terlalu lelah. Aku tidak sanggup lagi untuk berlari. Sudah terlalu jauh kita berlari. Bisakah kita berhenti barang sejenak. Sejenak saja” aku putus asa.

Aku terlalu lelah, namun harus tetap berlari, berlari dan terus berlari. Nafasku semakin lemah. Perih dikakiku sudah tak tertahankan lagi. Gesekan serta goresan-goresan ranting dan ilalang telah membuka luka-luka dikakiku. Perih!!.

Ayahku menghentikan langkah. Aku mengikutinya, menghentikan langkahku.

“Ayah…….” Suaraku lirih sambil memegang tangannya. Ingin mengetahui apa yang terjadi. Mengapa Ia berhenti.

“ Afan ……..” Ia menatapku. Suara beratnya seperti menyimpan rasa takut yang amat sangat. Aku yakin sesuatu telah membuatnya seperti itu.
Aku tersadar. Aku tahu apa yang ia takutkan. Jantungku berdetak kencang. Refleks kupeluk tubuhnya…….

“Ayah…….” Air mataku terjatuh.
“ARAKUNDO!!!!”.

“Ayolah, nak. Bersabarlah. Jangan sampai mereka menyusul kita”.

Kami harus melewati sungai itu. Arakundo!!. Mungkinkah kami melaluinya dengan nafas yang lemah seperti ini. Sedangkan suara-suara tembakan semakin jelas terdengar “Ya Allah, selamatkan kami.’”

“Bismillahhirrahmanirrahimm….” Ayahku menengadahkan kedua tangannya. Berdo’a, khusyuk. Suara dan kilatan senjata api semakin mendekat.

“ Anakku, cepat naik kepunggung ayah….” kata ayahku sambil berjongkok.
Dalam diam aku langsung menaiki punggung kurusnya. “Ya Allah, selamatkan kami” do’aku. Air mataku berjatuhan membasahi pundaknya.

Ayahku, Ia berlari sekencang-kencangnya dan bertakbir. “Allahu Akbarrrrrr…!!
Sungai didepan kami tampak damai menyambut, tenang seperti samudra. Namun….., tenaga kami…….

“Afan…berpeganglah………..”
Aku menutup mata. Berdo,a.

***

Maaf, aku menangis. Tolong jangan kalian tertawakan. Biarkan aku sendiri dalam sedih. Berilah kesempatan padaku untuk kembali membayangkan siluet wajah takut ayahku, wajah lelah ayahku, wajah sedih ayahku, wajah putus asa ayahku. Biarlahhhh………, kumohon kalian memahami keadaanku saat ini.

Ayahhh…….
Ayah.., aku rinduuuu………..

ARAKUNDO.

Lembaran-lembaran hitam yang menyakitkan. Lembaran-lembaran yang telah mematikan hati, jiwa dan perasaanku. Aku yakin, banyak diantara kami orang-orang Aceh yang mengalami kisah sepertiku. Bisa jadi mereka lebih menyakitkan dan mematikan raga-raga mereka yang tetap membisu.
Ah, andaikan saja kalian pernah merasakannya, minimal pernah mendengar secuil kisah ini, tentu kalian semua akan mengerti betapa hidup ini penuh dengan tipu daya dan kemunafikan.

Tolong dimaafkan jika tulisanku ini terkesan mengada-ngada. Seolah-olah aku memanipulasi data dihatiku. Aku tidak perduli jika kalian menertawakanku. Toh ada angin tempatku bercerita. Toh ada bumi tempatku bersandar. Toh ada air tempatku melepaskan kesedihanku.

Kematian hati, jiwa dan perasaan. Mungkin memang sudah menjadi hidup bagi kami. Bagi manusia-manusia yang hidup dalam negeri…….makian…

Read More..
 
CERPEN TERBARU

Mentari Dibalik jeruji

Sebuah kisah yang dihimpun dari berbagai sumber..

Matahari mulai menghangati bumi. Pancaran sinarnya tak hanya menyinari permukaan tanah, tetapi juga mencoba menembus jeruji-jeruji besi yang setia menemani kami. Seolah-olah berusaha untuk membuang pengap yang menyengat. Bau pesing manusia, bau keringat, bau mulut dan bau ketiak semuanya bersatu dan bertebaran menghiasi ruangan kecil seukuran tiga kali lima ini. Deburan ombak nun jauh jauh disana terdengar bergemuruh. Dipendengaranku ia lebih mirip sebuah alunan lagu keputusasaan.

Pemerintah memang sangat cerdik dalam membangun bangsal penahanan. Dengan meletakkan bagunan ditengah pulau yang jauh dari pulau-pulau lainnya akan menjamin para tawanan tidak akan ada yang berani kabur. Bila berani kabur juga, jika bukan senjata polisi pulau maka ikan-ikan buas yang akan menjadi ancaman serius yang lebih mematikan.

Aku membalikkan badan, lelah dan bosan. Ntah mengapa hari ini sipir belum juga membuka kunci jeruji yang memasung ini.

Seseorang beranjak malas, dari tempat tidur yang hanya beralaskan tikar lusuh. Dengan langkah gontai ia mendekati pintu. “Dreukkk… drekkk…. drukkk..!!!”. Tangan kekarnya menggoyang-goyangkan jeruji besi yang menghalangi kami dari dunia luar, seolah-olah akan merebohkannya. Mungkin maksud hati agar sang sipir segera membuka kunci jeruji ini. Mulutnya mengeram kesal. Ia membalikkan tubuhnya, kembali keperaduannya.

Kami memandangnya. Dengan keras ia merebahkan tubuhnya keatas dipan yang tidak layak digunakan lagi. Kami memandangnya, lelaki itu beranjak bangun kembali. Memandangi kami satu persatu. Semuanya diam. Sudah tahu apa yang dinginkan dan apa yang akan dilakukannya.

Lelaki yang kami kenal sebagai tuan besar, alias boss dibangsal kami ini mulai melepaskan satu persatu helaian kain yang melekat ditubuhnya. Bugil. Bau dekil yang sudah memenuhi ruangan pengap ini serasa semakin menganga. Bau yang keluar dari ketiak, selangkangan, lipatan kulit dan bulu-bulu yang bergelantungan ditubuhnya. Bau itu terasa menusuk-nusuk hidung kami yang berada disekitarnya.

Ia mendekati seorang pemuda yang baru seminggu bergabung bersama kami. Pemuda itu pun sudah faham akan tugas yang harus dilakoninya. Pemuda itu melepaskan seluruh pakaiannya. Aku memalingkan pandangan kearah lain. Mencoba menghirup udara segar sinar matahari yang masuk dari celah-celah jeruji. Beberapa diantara kami menutup kuping. karena suara desahan dua insan yang sedang menikmati surga dunia itu dapat membangkitkan syahwat terlarang. Syahwat yang mampu merubah otot dan syaraf manusia normal menjadi manusia yang aneh. Aneh karena keterpaksaan dan ketidakberdayaan…………..

Seorang sipir datang, tangannya menggenggam ratusan kunci. Ia memandang satu persatu wajah kami. Wajahnya tersenyum saat melihat dua orang lelaki dibelakang kami sedang bergumul bugil. Erangan-erangan mereka begitu jelas terdengar, seolah saling berkerjaran dengan debur ombak yang selalu menghiasi pendengaran kami. Sipir tersebut tidak mempedulikannya. Ia segera membuka pintu jeruji yang menyiksa kami, lalu berlalu. Membuka jeruji-jeruji lainnya yang berdampingan dengan kamar kami.

Aku dan teman-teman bangsal berhamburan keluar. Mencoba membuang rasa mual, penat, bau anyir dan amis yang telah menyelimuti kami sejak kemarin sore. Beberapa penghuni dari kamar lainnya ikut berhamburan memenuhi lapangan rumput yang berada tepat di depan setiap kamar mereka. Lapangan mungil seolah dipaksakan untuk menampung puluhan manusia.

Tidak lama kemudian, pemuda yang telah digagahi tuan besar tadi keluar dengan keringat yang membasahi wajah dan tubuhnya. Rambutnya acak-acakkan. Bagian depan celana kumalnya terlihat basah, mungkin bekas lelehan air mani yang tidak sempat mereka bersihkan. Dibelakang pemuda tersebut menyusul boss kami. Penampilannya tidak jauh berbeda dengan apa yang kami lihat pada pemuda berusia sembilan belas tahunan tadi. Bahkan lebih parah. Bahkan ia sepertinya lupa untuk mengancing celana lea yang dikenakannya. Karena bulu-bulu halus menyembul keluar dari celah reslitingnya.

“ teng……!!! teng…..”

Suara lonceng membuyarkan pandangan dan pikiran kami. Bergegas kami menuju ruang antrian yang sangat memuakkan. Hanya demi semangkuk bubur -lebih layak disebut makanan bebek- kami harus antri berjam-jam. Namun apa boleh buat. Karena makan siang pun tidak bisa diharap untuk dapat mengenyangkan rasa lapar yang selalu mendera kami.

Penjara memang sebuah kesialan. Manusia tidak lebih baik dari seekor anjing bila telah berada didalam jeruji besi. Karena jeruji besi belum tentu menjadikan manusia menjadi lebih baik. Malah bisa sebaliknya. Karena hukum rimba berlaku di dalamnya. Hak asazi manusia diabaikan. Semua hukum manusia dapat hilang seketika, bahkan hukum Tuhan sekalipun. Nyawa manusia dalam jeruji benar-benar tidka berharga.

Bila sebelum masuk seseorang tidak pernah merasakan ganja kering, minuman keras, sabu-sabu dan semua jenis obat-obatan terlarang. Justru dipenjara seseorang bisa menikmati itu semua. Bila semula ia hanya merasakan desah nafas seorang wanita, maka jangan heran bila keadaan itu akan berubah. Seorang-laki-laki akan jatuh cinta dengan laki-laki lain hanya untuk menyalurkan hasrat seksualnya. Parahnya, perbuatan laknat itu terkadang akan terus dibawa hingga ia keluar dari dalam jeruji.

________
Aku tersentak. Seorang sipir yang bertugas membagikan jatah bubur pagi ini memakiku dengan sebutan babi. Hanya karena ia melihatku menyalip seseorang antri antri makanan. Aku sudah berusaha untuk tidak terlihat, namun lapar diperukku sudah tidak dapat kutahan lagi.

Seorang sipir menyeretku, boss kamarku ikut memegangiku. Mereka berdua membawaku dalam ruangan interogasi yang paling ditakutkan oleh seluruh penghuni jeruji besi ini. Teman-teman sekamar denganku menatapku tanpa ekspresi. Hanya seseorang yang memeperhatikanku, menatapku dengan rasa iba. Hatiku bergemuruh. Kulihat air matanya jatuh membasahi kedua pipinya. Aku benar-benar merasakan rasa itu.

Kemarin aku melihat dirinya digagahi oleh seorang pemuda. Ia sempat menjerit panjang menahan sakit yang amat sangat. Tapi jeritan itu seketika dihentikannya, saat aku memandang matanya yang penuh luka dan duka. Aku memalingkan wajahku, karena aku bisa merasakan sakit yang tengah dirasakannya.

Dengan tangan terborgol aku dipaksa duduk dalam ruangan yang………. Bersambung…...

Read More..