Cerpen Ketegaran Cinta Bertakbir

Seorang sahabatku, Mimi namanya, kami bersahabat puluhan tahun sejak kami sama-sama duduk di sekolah dasar (SD). Mimi gadis sederhana, anak tunggal seorang juragan sapi perah di wilayah kami, memiliki mata sebening kaca, dan lesung pipit yang manis menawan siapa saja dan akan runtuh hatinya jika memandang senyumnya. Termasuk saya.

Dan nilai tambahnya adalah dia seorang yang sangat soleha, yang patuh pada kedua orang tuanya. Tetapi Ranu, ’’don juan’’ yang satu ini juga sangat menyukai Mimi. Track record-nya yang begitu glamor dan mentereng tidak meragukan untuk merebut hati Mimi.
Sedangkan saya, hanya bisa menatap cinta dari balik senyuman tipis ketegaran. Karena saya tidak mau persahabatan kami hancur.
Lambat laun, Mereka pun pacaran dari mulai kelas 1 SMP hingga menikah. Sebagai tetangga sekaligus sahabat yang baik, saya hanya bisa mendukung dan ikut bahagia dengan keadaan tersebut (walaupun hati ini sedikit teriris). Apalagi Mimi dan Ranu saling mendukung. Hingga tiba ketika selesai kuliah, mereka berdua ingin mewujudkan cita-cita bersama, membina keluarga, yang sakinah, mawaddah, dan warohmah.

Namun, namanya hidup pasti ada saja kendalanya, di balik kesejukan melihat hubungan mereka yang adem ayem, orang tua Ranu yang salah satu pejabat di daerah itu, menginginkan Ranu menikahi orang lain pilihan kedua orang tuanya. Namun Ranu rupanya cinta mati dengan Mimi, sehingga mereka memutuskan untuk menikah, sekalipun di luar persetujuan orang tua Ranu. Dan secara otomatis, Ranu diharuskan menyingkir dari percaturan hak waris kedua orang tuanya, disertai sumpah serapah dan segala macam cacian.
Ranu akhirnya melangkah bersama Mimi. Setelah menikah, mereka pergi menjauh keluar dari kota kami, Dumai, menuju Pekanbaru, dengan menjual seluruh harta peninggalan kedua orang tua Mimi yang sudah meninggal.
Masih tajam dalam ingatan, Mimi pergi bergandengan tangan dengan sang kekasih abadi pujaan hatinya Ranu, melenggang pelan bersama mobil yang membawa mereka menuju Kota Bertuah.

Selama setahun, kami masih rutin berkirim kabar. Hingga tahun kelima, di mana aku masih sendiri dan masih menetap tinggal di Dumai, sedang Mimi entah kemana, hilang tak ketahuan rimbanya, setelah surat terakhir mengabarkan bahwa dia melahirkan anak keduanya, kemudian setelah itu kami tidak mendengar kabarnya lagi.

Sampai di suatu siang yang terik, di hari Sabtu, kebetulan saya berada di rumah tiba-tiba saya dikejutkan oleh suara ketukan pintu kamar. Temanku mengatakan ada tamu dari Pekanbaru. Siapa gerangan? Pikirku ketika itu.
Sejenak aku tertegun ketika melihat sosok perempuan di depan pintu, lupa-lupa ingat, hingga suara perempuan itu mengejutkanku,”Faris….Faris kan!” katanya.

Sejenak, dia ragu-ragu, hingga kemudian berlari merangkulaku, sambil terisak keras di bahuku. Saat itu aku hanya bisa diam tertegun dan tak tahu hendak melakukan apa, meskipun aku tahu dia bukan muhrimku.
Kemudian aku menjauhkannya dari bahuku sambil masih ragu, bergumam pelan, “Mimi…Mimikah?”
Masyaallah…Mimi terlihat lebih tua dari usianya, namun kecantikan alaminya masih terlihat jelas. Badannya kurus dengan jilbab lusuh yang berwarna buram, membawa tas koper berukuran besar yang sudah robek di beberapa bagian.
Semula Mimi terdiam seribu bahasa pada saat aku tanya keadaan Ranu, matanya berkaca-kaca, aku menghela nafas dalam, menunggu jawabannya.

“Mas Ranu, Ris….Mas Ranu sudah berpulang kepada-Nya lima bulan yang lalu.”
Kata-kata Mimi membuatku tercekat beberapa saat, namun sebelum aku sempat menimpali, bertubi-tubi Mimi menangis sambil bercerita, “Mas Ranu kena kanker paru-paru, karena kebiasaannya merokok tiga tahun yang lalu, semua sisa peninggalan orang tuaku sudah habis terjual ludes, untuk biaya berobat, sedang penyakitnya bertambah parah. Keluarga mas Ranu enggan membantu, kamu tahu sendiri kan, aku menantu yang tidak diinginkan, dan ketika Mas Ranu meninggal, orangtuanya masih saja membenciku, mereka sama sekali tidak mau membantu,” katanya.

Dia bercerita, dia bekerja serabutan di Pekanbaru, mulai jadi tukang cuci, pembantu rumah tangga, dan sebagainya, hingga suaminya meninggal. “Keluarganya, hanya memberiku uang sekadarnya untuk penguburan Mas Ranu, hingga aku terpaksa menjual rumah tempat tinggal kami satu-satunya, dan dari sana aku membayar semua tagihan rumah dan hutang-hutang pada tetangga, sisanya aku gunakan untuk berangkat ke Dumai, aku tidak sanggup mengadu nasib di sana Ris,” kata-kata Mimi berhenti di sini, disambut isak tangisnya. Sedang aku yang sedari tadi mendengarkan tak kuasa juga menahan haru yang sudah sedari tadi menyesak di dada.
Mimi tertegun… dia memandangku nanar. kemudian dia mengulurkan tangan, memberikan seuntai kalung emas besar, sisa hartanya.
“Ini untukmu Ris.., aku gadaikan padamu, pinjami aku uang untuk modal usaha, dan kontrak rumah kecil-kecilan, aku tidak mau merepotkanmu lebih dari ini Ris.”

Pelan-pelan aku meraih kalung itu dari meja, menimbang-nimbang, pikiranku melayang menuju sisa uang di amplop, dalam tas. Jumat kemarin aku baru mendapat gaji. Sebagai pegawai di suatu instansi, gajiku sangatlah kecil jika dibandingkan dengan pegawai yang lain tentunya, tapi itulah sisa uangku. Aku mengeluarkan amplop tersebut dari dalam tas, di kamar, semua kuinfaqkan untuk Mimi, semata mata karena ikhlas.

Mimi menatap amplop di tanganku, sejurus kemudian aku meletakkan amplop tersebut di atas meja sambil berkata, “Ini sisa uangku Mimi, kamu ambil, nanti sisanya biar aku pikirkan caranya, kamu butuh modal banyak untuk mulai usaha.”
Singkat cerita, Mimi bisa mulai usahanya dari modal itu, mengontrak rumah kecil di dekat rumah saya.

Alhamdulillah, sekarang di tahun kedua, usahanya sudah menampakkan hasil. Mimi sudah sedemikian mandiri, banyak yang bisa aku contoh dari pribadinya yang kuat yaitu Mimi adalah pejuang sejati, ulet, sabar, dan kreatif.
Mimi tetanggaku kini dan setiap pagi selalu menyapa riang aku, wajah cantiknya kembali bersinar.Dia juga tekun mendengar keluh kesahku pada setiap permasalahan yang aku hadapi setiap harinya, termasuk ketika aku mulai mengeluh tidak betah di kantor sebagai pegawai sekian tahun, atau ketika aku menghadapi badai kemelut usia yang sudah berkepala tiga belum juga menemukan jodoh.
“Faris, Allah tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan seseorang atau Allah lebih tahu apa yang terbaik bagimu, sedangkan kamu tidak.”

Lalu Mimi mengajak aku melihat kepulasan tidur anak-anaknya di ruang tamu yang ia jadikan ruang tidur, sedangkan kamar tidur ia jadikan dapur untuk memasak (sungguh rumah yang mungil). Mereka berjejal pada tempat tidur susun yang reyot, kemudian katanya, “Lihatlah Ris, betapa berat menjalani hidup seorang diri, tanpa bantuan bahu yang lain, kalau tidak terpaksa karena nasib, enggan aku menjalaninya Ris. Sedang kamu, bersyukurlah kamu, masih memiliki masa depan yang panjang.“

Aku pun berhenti dari pekerjaan yang lama, sekarang aku bekerja lebih mapan dari yang dulu. Karena setiap pulang kerja aku melintas di depan rumah Mimi, dan terus memperhatikan ketegarannya, akhirnya Allah menumbuhkan kembali cinta di hatiku. Sampai suatu saat aku pun melamarnya agar hubungan kami dihalalkan oleh syari’at. Mimi hanya bisa menunduk malu dan tersenyum melihat anak-anaknya yang akan memiliki ayah yang baru. Allahu Akbar…

Read More..
 
Cerpen Sajak Bisu untuk Cinta

Aku menunggu sejam yang lalu dalam terik suci mentari hingga mengalunnya rintik sunyi hujan di sore itu. Kudengar hingga kunanti kereta senja yang datang di ufuk timur tiba. Aku pun tak tahu siapa dan mengapa diriku berada di sini dalam keheningan siluet senjamu. Dalam ruang-ruang dimensi atau wujud tiada hendaki cinta bernaung dalam gelora asmara di setiap jiwa anak cucu Adam diciptakan.

Genderang hati ini bertabuh dengan simfoni haru pilu, lalu hancurkan puing-puing hati biru kelabu. Wujud dentuman ornamen melirih kian menderu, sendu, dalam tangisan nian syahdu.
Kucoba warnai hari-hariku bagai rona kehidupan cintaku. Mungkinkah asmara dalam raga bersenandung rindu harus malu pada hamparan luas lautan kian menebar emosi dan tetesan embun dalam hati pelangi biru di langit Lazuard.

Menatap indah cakrawala penuh harapan dan cinta di balik Gunung Fujiyama hanya bersama sosok indahmu. Kutorehkan namamu dalam hati bunga Edelwiss, lalu kulukis cantiknya parasmu dalam beribu ratapan sajak-sajak pelangi. Tepercik kata-kata mimpi, bersungging senyum dewi-dewi cinta. ‘’Akankah kau pergi tinggalkan diriku sendiri sehingga kau nanti kembali dalam ruang dan dimensi yang lain?’’ tanyaku.

‘’Mungkin biarkan cinta bersemi dalam keabadian seiring ilusi waktu,’’ sahut Rose seraya menatap pilu. Sontak aku terpana dan bergemuruh dalam ingar-bingar cintamu.
‘’Jangan engkau biarkan cinta bersemi dalam ilusi waktu,’’ pintaku. ‘’Mengapa?’’ sahutnya seraya memegang tanganku dalam indahnya cakrawala sore itu.
‘’Karena waktu kian sirna terempas dan tersungkur hingga tercabik prahara kenistaan,’’ ujarku.
‘’Lalu harus dengan apa kubuktikan karena kusungguh mencintaimu dan cintaku tak bersayap seakan malaikat malu menatap keabadian cinta kita,’’ pinta Rose penuh kebimbangan.

‘’Biarlah cinta turun bagai setetes embun dari beribu pelangi yang hiasi kehidupan cinta,’’ ujarku singkat.

Kuempaskan kata bertakhta retorika itu dalam ruangan dimensi lain hingga waktu kian sirna dan musnah tersungkur luka. Tercabik prahara dusta, lalu tercekam badai durjana yang tak kunjung reda. Angin-angin sunyi mendendangkan ornamen cinta buatku nian pilu.

“Apa kau tahu, mengapa ombak datang menggema mengikis jiwa-jiwa yang hampa dan badai menyeruak luluh lantak, lalu memorak-porandakan raga-raga tak berdosa dalam siluet senjamu,” ungkapku masih bimbanng.

Kupilin waktu tuk beranjak diam dalam heningnya malam dan galaunya hati, mengapa Tuhan kini tak kunjung bantu diriku.
Sang waktu terbungkam prahara kenistaan. Kini pujaan tinggal kenangan dan harapan adalah bualan. Kuhapus cinta setahap demi setahap, namun tak berarti. Kepedihan yang kian kurasa seolah kini tersingkir luka lebam tersedu sedan dalam angan. Namun, kini engkau hadir dan berikan puing-puing cinta dalam tutur lembutmu.

Kereta senja menanti tiap hela napasku, bergulir seiring terempasnya pujaan ke dalam retorika ilusi fatamorgana yang kini hanya tinggal kenangan. Sebuah cinta, hanya sebuah nama di hati.. Bulan pelita gundah gelisah di jiwa sehingga kutermanyun mimpi-mimpi dalam ingar-bingar ilusi. Kisah cintaku penuh penantian kata, dalam sorot sinarnya mulai sayup terangi bekunya hati ini. Pesonanya pahit tuk diterjang seakan tercabik sebilah parang yang tajam dan kejam.

‘’Mungkinkah sedihku kian meratapi dan menggaru biru kelabu?” ungkapku dalam ringkihan kebisuan.
Kereta senja menanti tiap hela napasku, kumeratap malu lalu embuskan ayatýÿ-ayat cinta dalam napas terakhirku. Biarlah cinta sejati bersemi di hati, walau mata terbuka dan tertutup, cintaku kian abadi.

“Kuhapus air mata dalam duka, Kupejamkan mata dalam duka, Kuempaskan raga dalam elegi cintamu, dan Kurentangkan jiwa dalam sukma keabadian.. “
Harusnya kutahu, cinta kian turun seiring gemuruh hujan. Sosok dewi cinta menari-nari berdendang alunan simfoni indah sepanjang masa. Cinta tak mengenal perubahan karena perubahan itu merupakan perjanjian. Sayang, cinta tak mengenal perjanjian.
Kuharap kedamaian yang terpancar dari egomu memberikan sekelumit janji yang lebih indah diungkapkan dengan kebisuan. Beribu kata kian menjerit tuk diucapkan atau memang selalu ada hal indah yang terlupakan dan seharusnya lenyap terbakar egomu…(*)

*Penulis adalah mahasiswa Politeknik Negeri Malang
———————————–
Para sobat-sobat X-presi, terutama yang suka nulis cerpen remaja dan puisi, kirimkan cerpen dan puisimu ke redaksi Harian Redaksi Riau Pos di Jalan Soebrantas KM 10,5 Pekanbaru. (Atau lebih baik dikirim ke email. Yahoo@perawang123. Khusus Cerpen panjangnya maksimal 4 halaman polio diketik spasi rangkap. Cerpen dan puisi yang dimuat, Xpresi akan memberikan imbalan. (red)

Read More..
 
Cerpen Cinta Laki-laki Biasa

MENJELANG hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau
menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang
dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya,
melainkan menjadi
milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman
Nania. Mereka ternyata sama herannya.

“Kenapa?” tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.

Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari
sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi. Berpasang-pasang
mata tertuju pada gadis itu.

Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu
neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yang barangkali
beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu.
Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas,
mencoba bicara dan menyadari, dia
tak punya kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan
spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus
adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap. Yang pertama
terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk
melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua
berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah
berkeluarga membawa serta buntut mereka.

“Kamu pasti bercanda!”

Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua,
disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan
Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita
melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!


“Nania serius!” tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli
memang
melamarnya.

“Tidak ada yang lucu,” suara Papa tegas, “Papa hanya tidak
mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!”

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik.
Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata
kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang
pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

“Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan?” Mama mengambil inisiatif
bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, “maksud Mama siapa
saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?”

Nania terkesima.

“Kenapa?”

Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.

Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami.

Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa
Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!

Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur. Bakatmu
yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun
yang kamu mau!

Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak,
dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata
‘kenapa’ yang barusan Nania lontarkan.

“Nania Cuma mau Rafli,” sahutnya pendek dengan airmata mengambang di
kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak
menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.

“Tapi kenapa?”

Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa,
berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa.

Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.

“Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!”

Cukup!

Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter
kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga
begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari
ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali
karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya
fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak ‘luar biasa’. Nania Cuma
punya idealisme
berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur
duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.

Mereka akhirnya menikah.

***

Setahun pernikahan.

Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di
belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih
belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata
mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania
bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia
meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.

“Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada
Nania.”

Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.

Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.

“Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu!”

“Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar!”

“Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan
sukses!”

Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes.

Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.

Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.

Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!

Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?

Rafli juga pintar!

Tidak sepintarmu, Nania.

Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.

Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka
beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

“Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan
tidak
perlu lelaki untuk menghidupimu.”

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua.

Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal
Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan.
Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki
anak-anak. Padahal itu
tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang.

“Tak apa,” kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak
terlalu memforsir diri.

“Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.”

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu.

Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa
menangkap hanya maksud baik.

“Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya?”

Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu
seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.

Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan
pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat
sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania.

Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang,
uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan
Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan
mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik
saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.

Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.

Cantik ya? dan kaya!

Tak imbang!

Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania
belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia
yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak.
Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu,
tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.

***

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar.

Sudah lewat dua minggu dari waktunya.

“Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera
dikeluarkan!”

Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam
rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu
merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan
jam, mereka akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu
shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan
shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum
satu pun yang
datang.

Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama,
Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah
dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat
sekali.

“Baru pembukaan satu.”

“Belum ada perubahan, Bu.”

“Sudah bertambah sedikit,” kata seorang suster empat jam kemudian
menyemaikan harapan.

“Sekarang pembukaan satu lebih sedikit.”

Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa
memiliki sense of humor yang tinggi.

Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua.

Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia
sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan
mereka meleset.

“Masih pembukaan dua, Pak!”

Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah
tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi
tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.

“Bang?”

Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.

“Dokter?”

“Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.”

Mungkin?

Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu? Bagaimana
jika terlambat?

Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena
Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia
tak suka merasa sendiri lebih awal.

Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat
ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter
itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang
ombak. Berayun-ayun.
Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap
teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak,
sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki
itu tak berhenti melafalkan zikir.

Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.

“Pendarahan hebat.”

Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah.

Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah!

Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.

Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara
Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda.

Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di
pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat
seperti kanker.

Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

***

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya
ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak.
Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan,
fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah
oleh membawanya pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah
sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak
banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit,
kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat
Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap
kantor tidak perlu
diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam.

Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring
di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak
famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap
dan bercanda mesra.

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.

“Nania, bangun, Cinta?”

Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan
kening istrinya yang cantik.

Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir
untuk pasrah, Rafli masih berjuang.

Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam
tangan istrinya mesra.

Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan
membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu.
Sambil tak bosan-bosannya berbisik,

“Nania, bangun, Cinta?”

Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan
Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di
mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi
orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania.

Anak-anak merindukan ibunya.

Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak
bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak
bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang
cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab.

Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan
mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata
yang meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.

Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki
biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir.
Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu
per satu. Setiap sore setelah
pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania
ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan
tahun yang sedang jatuh cinta.

Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan
wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania
selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu.
Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?

Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu
meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling
cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.

Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama
itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton
bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli,
melakukan hal yang
sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di
sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang
berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum
hangat di antara wajahnya yang
bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan,
juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi
pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.

“Baik banget suaminya!”

“Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!”

“Nania beruntung!”

“Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.”

“Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya
memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!”

Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.

Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi,
merasa tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar
mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu.
Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?

Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.
Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak
yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih
dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna. Meski
kecantikannya tak lagi sama
karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang
tak pernah berubah, untuk Nania.

Read More..
 
Cerpen Titipan Hujan

Jalanan kota bertuah ini masih becek karena hujan semalam. Kemarin sore, Pak Junaidi menyuruhku untuk mengantarkan proposal ini ke tempat salah satu kenalan lamanya yang kini tengah mengurusi perusahaan karet. Ia membekaliku dengan upah Rp100.000, itu semua tidak termasuk uang konsumsi dan transport.

Memang, usaha yang dibuka Pak Junaidi tidak dapat dikatakan usaha besar. Namun, jika ditinjau dari peluang ke depan, usaha yang digelutinya cukup menjanjikan. Sebenarnya aku bukanlah anak buah Pak Junaidi. Saat itu aku tak sengaja bertemu dengannya di salah satu rumah makan tempat aku bekerja sebagai pelayan. Sejak saat itu ia sering mempekerjakan aku di luar jam kerja.

Tepat di samping salah satu travel yang berwarna biru, aku berhenti sejenak. Memperhatikan kalau-kalau masih ada lowongan kosong untukku. Namun, belum sempat aku bertanya, si supir langsung saja melarikan mobilnya. Aku pun hanya terdiam melihat mobil itu dengan tatapan kosong. Hmm…

Tak jauh dariku ada sebuah travel lagi yang pintunya masih terbuka. Sepertinya masih ada lowongan untukku. Sambil bergegas menuju pintu travel itu, aku perhatikan nomor polisi kendaraan itu. Cukup unik BM 8956 FU. Aku pun naik dan memilih duduk di dekat pintu. Karena, menurut pengalaman, aku akan selalu muntah jika bepergian jauh.

Aku pun duduk dengan tenang sembari menunggu penumpang yang lain. Karena, sopir travel ini segera tancap gas jikalau penumpang memenuhi travel ini. Dari jendela aku dapat menghirup udara segar yang dapat menahan aku agar tidak pusing selama dalam perjalanan. Di sebelahku ada seorang pemuda yang sepertinya sedang serius dengan ponselnya. Aku mengamatinya lekat-lekat.
“Eeheemm…,” aku berdehem untuk mengalihkan perhatiannya.
Pemuda itu menoleh dan tersenyum simpul kepadaku. Ia sesaat menilik pakaianku, kemudian sibuk kembali dengan ponselnya. “Abang mau ke mana,?” tanyaku.
“Nggak ada. Jumpa teman,” sahutnya. Aku tersenyum saat melihat gerak-geriknya yang sepertinya sedang dilanda kasmaran.
“Teman apa teman?,” godaku kepadanya.
“Hehehe… Nggaklah, bang. Emang abang mau ke mana?,” tanyanya berbalik kepadaku.
“O… Ini. mengantar proposal,” sahutku sambil tersenyum.
“Memang abang mau ketemu sama teman lamanya, ya?,” tanyaku kembali.
“Nggak sih, bang. Kami udah lama kenalan lewat internet. Dan sekarang kami janjian mau ketemu. Katanya dia nanti menunggu di restoran ToraTori.”
“Oh… Kalau boleh tau, temannya cewek atau cowok?,” tanyaku kembali.
“Ehm,,, cewek bang…”

Aku tersenyum mendengarnya. Aku pernah merasakan apa yang ia rasakan saat ini. Saat itu aku berumur 18 tahun dan berjanji dengan seorang siswi yang sekolahnya bersebelahan dengan sekolahku. Memang, masa-masa sekolah adalah masa yang paling indah. Hingga saat ini aku masih mengenangnya.

“Abang mau ngantar proposal ke mana?,” tanya pemuda itu.
“Hmm… Saya kebetulan disuruh bos saya ke kantor temannya di daerah Bangkinang”.
Tak terasa travel ini telah penuh dengan penumpang. Dan sepertinya supirnya telah bersiap-siap untuk berangkat.

Selang beberapa detik, semua pintu telah ditutup dan si supir hendak memasuki travelnya. Namun, dari depan travel tampak seorang ibu tua yang memanggil sopir travel ini. Si supir pun turun dari tempatnya dan menghampiri ibu yang tengah sarat membawa kantung belanjaan yang cukup banyak jumlahnya. Dari kaca travel yang bening aku dapat melihat keduanya berbicara sangat serius.

Kadangkala ibu tua ini melihat ke arah travel dan sepertinya memaksa si supir untuk melakukan sesuatu. Sekitar lima menit lamanya si sopir dan ibu tua ini merundingkan sesuatu. Kemudian, mereka berdua berjalan ke arah travel bersamaan. Kemudian si sopir membuka pintu yang tepat berada di sebelahku.
“Maaf, Pak. Bisa turun. Soalnya ibu ini ada kepentingan yang harus berangkat cepat,” si supir berkata kepadaku.
“Lho… Kok saya yang turun?,”tanyaku.
“Ya, Pak. Siapa lagi? Tolonglah, Pak. Ibu ini harus cepat sampai ke rumah. Anak-anaknya masih kecil-kecil, Pak,” si supir masih membujukku.

Mendengar alasan yang satu ini aku tak mampu bicara lagi. Bagaimanapun aku dapat merasakan apa yang ibu ini rasakan saat ini. Sama seperti perasaan ibuku ketika aku masih kecil mungkin. Hmm… Lagi-lagi aku kembali ke masa lalu. Saat dimana aku merasa tenang berada dalam pelukan hangat ibu. Saat itu aku tak mempedulikan apa yang harus aku kerjakan untuk menyambung hidup. Tak seperti sekarang. Sebenarnya aku masih ingin melanjutkan sekolah sampai ke perguruan tinggi. Namun, kini ibu telah tiada dan begitu juga dengan ayah

Aku segera turun dari travel. Walaupun sedikit kecewa karena tak dapat berbincang lagi dengan pemuda di sebelahku tadi. Sebenarnya aku penasaran tentang siapa gadis yang hendak ia temui. Aku menoleh ke belakang sesaat dan disana tampak travel-travel lain yang sedang menunggu penumpangnya. Aku bergegas dan naik ke travel itu. Tak butuh waktu lama untuk menunggu travel penuh karena aku adalah dua penumpang terakhir yang masuk. Dan, travel ini mulai melaju di Jalan Raya Pekanbaru-Bangkinang. Di sebelahku duduk seorang mahasiswi yang sepertinya baru saja pulang dari kuliahnya. Segan rasanya mengajak ia berbicara. Ada baiknya aku diam saja.

Hamparan sawah dan ladang-ladang memenuhi sisi jalan ini. Apalagi saat kami sampai di daerah Kualu Nenas. Tampak banyak para pedagang yang menjajakan keripik nenas dan buah nenas segarnya. Mereka senantiasa menjual buah-buah nenas ini dengan harga yang relatif murah. Dari nenas kemudian pemandangan alam berpindah ke ladang-ladang karet milik masyarakat. Travel terus melaju di jalanan yang basah. Sepertinya baru saja hujan mengguyur daerah yang kulewati ini. Dari tempat duduk aku dapat melihat kaca depan mobil ini. Sepertinya perjalananku masih jauh.
Duapuluh menit kini, aku dilanda rasa bosan. Aku tak lagi nyaman menikmati perjalanan ini. Punggungku terasa sakit karena terlalu banyak duduk. Dari dalam tas cangklong lusuh yang tengah aku sandang, aku mengambil sebuah buku catatan kecil. Didalamnya ada terselip bolpoin biru.

Aku mencatat semua apa yang kurasakan. Orang-orang kebanyakan bilang bahwa saat ini aku sedang menulis puisi. Namun, aku sama sekali tak pernah berpikiran seperti itu. Aku sama sekali tak berpikiran untuk menjadi sastrawan atau apalah. Saat ini aku hanya menyalurkan apa yang ada di pikiranku. Tiba-tiba…

Travel yang kutumpangi berhenti. Sebelum melihat keadaan sekitar kumasukkan catatan kecil dan bolpoin itu ke dalam tas cangklongku tadi. Sesaat kulihat bagian depan kaca mobil travel ini. Tepat diarah jam sebelas, ada sebuah mobil yang reyot di bagian sampingnya. Sepertinya mobil ini baru saja mengalami kecelakaan. Supir travel yang kutumpangi langsung turun tanpa memperdulikan kami. Sepertinya ia ingin tahu apa yang terjadi. Dari dalam mobil, kuamati lekat-lekat mobil yang naas itu.

Sepertinya aku mengenalnya. Tapi, kapan? Tak sengaja mataku terpaku pada nomor polisi kendaraan itu BM 8956 FU… Hah… Sesaat aku terperanjat. Mobil itu berwarna putih dengan garis biru di pintunya. Bukankah itu mobil yang nyaris aku tumpangi? Dan saat ini posisi aku tergantikan oleh ibu tua tadi. Ya Tuhan… Ingin rasanya aku sujud syukur. Namun, mengenang kejadian yang baru saja terjadi, aku juga dilanda nelangsa. Bagaimana keadaan anak-anak ibu tua itu? Bukankah mereka masih kecil-kecil? Dan, bagaimana dengan teman si pemuda tadi yang sedang menunggunya di restoran Tora Tori ?

Aku termenung sesaat hingga supir travel yang kutumpangi kembali masuk seraya berkata, “Semua penumpang dan supirnya meninggal. Aku kembali terperanjat. Malang benar nasib mereka. Apalagi sebelum kejadian itu aku sempat menggantikan posisiku dengan ibu tua tadi. Dan, aku juga sempat bercerita dengan salah seorang penumpangnya.

Kembali travel yang kutumpangi melesat cepat dan tak lama setelah itu aku telah sampai tepat di depan kantor temannya Pak Junaidi. Aku langsung masuk dan tak butuh waktu lama untuk menyerahkan proposal ini. Seusai dari kantor temannya Pak Junaidi, aku melangkah keluar dan seketika terbaca olehku “Restoran ToraTori”. Hmm… Aku teringat pemuda malang yang baru saja kutemui.
Aku melangkah masuk dan mengamati sekeliling. Di ruangan ini hanya ada tiga orang. Seorang pemuda dan gadisnya ada di salah satu meja. Dan di salah satu meja tampak seorang gadis belia yang sepertinya sedang menunggu seseorang. Langsung kuhampiri gadis itu dan berkata,
“Kamu menunggu siapa?”
“Hah……’’
Gadis itu hanya terdiam sesaat dan kemudian berkata, “Aku menunggu teman dari Pangkalan Kerinci. Sekarang dia dalam perjalanan ke sini dari Pekanbaru”, sahut gadis belia itu. Aku mengangguk perlahan dan kemudian berkata ‘’ Apa kau sebelumnya belum pernah bertemu dengannya?”
“Hah… Belum”, jawab gadis itu heran.
“Kalau saya boleh menyarankan, lebih baik kamu sekarang pulang dan mendoakan agar pemuda yang kamu tunggu-tunggu itu.”
“Memang, kamu siapa?”, tanya gadis itu penuh selidik.
“Aku bukan siapa-siapa. Namun, percuma kamu menunggu pemuda itu. Dia sudah tidak ada lagi di dunia ini. Baru saja travel yang ditumpanginya kecelakaan dan semua penumpang serta supirnya meninggal dunia”, sahutku.
Seketika hening menyelimuti restoran ini. Dan tak terduga, si gadis belia meneteskan air mata dan membasahi pipinya yang pucat pasi mendengar berita dariku. Mungkin berita itu titipan dari hujan yang sejak kemarin mengguyur kota bertuah ini.

Read More..
 
CERPEN - Cinta bukan Perawan

Hampir setiap malam Minggu, rumah kost saya, menjadi pangkalan
beberapa orang. Ada Dosen, mahasiswa, seniman, WTS, aktifis, dan
lain-lain. Semua kumpul. Pertemuan ini, tidak terjadwal. Tetapi hampir
setiap malam minggu, rumah kost saya tidak pernah sepi oleh
kawan-kawan, yang kadang-kadang hanya mampir untuk ngopi, lalu pergi
tanpa ucapan terima kasih. Malam itu, ada perdebatan yang cukup
menarik. Persoalan perawan dan cinta, sedang menjadi diskusi. Semua
berjalan saling timpal. Sesekali muncul ketegangan. Sesekali juga
muncul ketidak-seriusan. Semua berjalan tanpa moderator. Yang menjadi
moderator, hanya kecerdasan emosional masing-masing. Mulanya, saya
menceritakan, bahwa ada seorang laki-laki, yang baru saja menikah. Dan
pagi harinya, Laki-laki itu, mengusir dan mengembalikan isterinya
kepada orang tuanya, karena ketahuan isterinya tidak lagi perawan.
Yang terjadi, adalah perceraian, sehari setelah pernikahan. Pernikahan
hanya berjalan satu malam.
Wah, gila! Itu bukan tipe laki-laki yang menghargai cinta, Tukas
Kenthus, menyela pembicaraan saya.
Entar dulu, Thus. Ini cerita belum selesai, main potong saja Kau, Sela
Mat Solor kesal.
Lanjut Lim!, Kata Mat Solor menyuruh saya meneruskan ceritanya.
Terpaksa, isterinya harus pulang ke rumah orang tuanya. Dan sampai
sekarang, dia menjadi janda kembang di desa.
Nah, enak juga tuh janda kembang. Yok kita kesana, Sela Kathing, tanpa
beban. Cerita saya hanya sampai disitu. Dan cerita saya ini kemudian
menimbulkan perdebatan.
Bagaimanapun, aku tidak setuju dengan cara laki-laki itu, Ujar
Kenthus, seperti tidak tahan menahan emosi.
Kalau aku sepakat. Bagaimana akan mencintai, kalau isteri kita tidak
lagi perawan. Ini akan mengecewakan kaum laki-laki", tukas yang lain.
Emangnya, dari mana dia tahu kalau isterinya tidak perawan? tanya
Benjo lugu.
Lhah, kau ini gimana Njo. Kalau saat hubungan intim tidak mengeluarkan
darah, ya tentu saja sudah tidak lagi perawan. Makanya, sering-sering
bergaul dengan manusia, Njo, jangan Ngubeg di Pesantren aja.
Lor, kau jangan bawa-bawa pesantren di sini. Ini nggak ada kaitannya
dengan perdebatan malam ini, Ujar Benjo agak tersinggung.
Iya deh, maafkan saya Pak Kiai. Mat Solor meledek. Kali ini Benjo
memilih diam.
Tapi, Njo, keluar darah pada malam pertama, itu juga bukan jaminan,
apakah perempuan itu perawan atau tidak. Solor itu terlalu sempit,
Kata Likun, anak Fakultas kedokteran, yang baru getol-getolnya
berdisikusi.
Perawan, itu bisa saja pecah, gara-gara olah raga, atau jatuh. Dan
pada malam pengantin, bisa saja tidak mengeluarkan darah. Tambah Likun
menjelaskan pada Benjo.
Kun, biar Benjo cari info sendirilah. Itu tak perlu Kau jelaskan.
Semua orang juga sudah tahu. Mat Solor agak kesal, karena persoalan
jadi mentah, oleh pertanyaan Benjo yang lugu.
Tapi bener, Kun. Itu perlu Kau jelaskan. Tidak keluarnya darah pada
malam pertama, itu bukan menjadi tuduhan, bahwa perempuan itu tidak
perawan. Ini cuma akal bulus laki-laki saja, Ujar Munthul, WTS Kampung
baru.
Jadi itu Njo, Kau dengar kan? Solor menimpali. Benjo hanya bersungut
tidak setuju dengan cara Mat Solor. Kalau aku begini. Seandainya,
perempuan itu mengaku sebelum menikah, aku masih bisa toleran, Sonop
memulai lagi diskusi.
Wah, bagaimana kau bisa bilang begitu, Nop? Di dunia ini, hampir
setiap laki-laki, meng-idamkan perawan! Sela Mat Solor.
Ya, boleh saja meng-idamkan perawan, tapi kan aku nggak salah, kalau
aku lebih menghargai kejujurannya, dari pada harus membuang-nya, hanya
lantaran perempuan itu tidak perawan?!.
Jadi kau lebih mencintai kejujuran dari pada keperawanan?.
Ya! Tegas Sonop.
Justeru akan lebih menyakitkan bagi perempuan, jika hanya lantaran dia
tidak perawan, lalu laki-laki itu membuangnya.
Setuju aku Nop, dengan Kau ! Timpal Munthul merasa dibela.
Bahkan, aku sangat menghargai dengan Mbak Munthul, dengan mengaku
jujur, dia seorang WTS, ketimbang diam-diam, tetapi tidak lagi
perawan.
Bagus, Nop. Timpal Munthul lagi.
Wah, malam ini, Kau bakal dapat jatah ranjang dengan Munthul. Nop
Gelak tawa seketika menggelegak, memecah keseriusan malam.
Kampang, Kau Lor. Kawan ya kawan, tidur semalam harus bayar, dong.
Emangnya, aku ini milik negara apa?
Tapi bener. Kalau laki-laki meng-idamkan perawan, sementara laki-laki
itu sudah tidur dengan banyak perempuan, itu kan cuma egois-nya
laki-laki. Belum lagi sudah meniduri pacarnya yang dulunya masih
perawan. Itu ego, Ujar Munthul lagi.
Tapi, ya nggak bisa begitu dong, Sela Benjo.
Lha, Iya Munthul tak mau kalah.
Laki-laki banyak yang sudah meniduri perempuan. Sementara, dia masih
ingin mendapat perempuan yang masih suci, perawan dan ting-ting. Apa
itu bukan egosi?!
Ya, kalau saya kan belum, Mbak..? Benjo memprotes.
Sekarang saja Kau masih di Pesantren. Kalau sudah keluar, aku nggak
jamin, Kok!
Sabar, Njo, ini hanya diskusi, Saya mencoba menenangkan Benjo, yang
sepertinya, malam itu banyak tersinggung. Maklum, selain umurnya masih
relatif muda, Benjo memang orang yang sensitif.
Kalau Kau Kun?! Tanya Saya pada Markun, yang sedari tadi hanya sibuk
main game.
Ha, apa? Markun gugup.
Wah, Jaka Sembung bawa golok, nggak nyambung goblok!
Kacus, Kau! Aku kan nggak ikut-ikutan. Lanjut sajalah.
Tapi, pacarmu itu udah nggak perawan, Kun! Mat Solor memancing Markun.
Ya, biarin aja, memang aku yang paling dulu nidurin dia. Kenapa mesti
pusing. Yang lain bengong. Markun kembali main game.
Nah, sekarang, gimana dengan kasus, perempuan yang dipulangkan,
gara-gara tidak perawan tadi? Solor mengembangkan topik pembicaraan.
Kalau aku, mestinya perempuan menuntut ke pengadilan!: Sela yang lain.
Alaah, Sekarang mana ada pengadilan yang adil. Keadilan hanya untuk
orang-orang berduit..
Iya bener, pengadilan kayak pisau. Kalau ke bawah, tajam. Tapi kalau
ke atas tumpul.
Ya, itu kan hanya ikhtiar..
Kalau aku, tidak akan mengusir atau me-mulangkan perempuan itu ke
rumah orang tuanya..
Lalu? Mat Solor penasaran dengan pendapat saya.
Ya, tetap aku jadikan isteri. Yang lain menatap saya. Mereka sedang
menunggu lanjutan kata-kata saya. Sebab, saya mungkin agak berbeda
dalam menyikapi persoalan ini.
Kalau dipulangkan ke orang-tuanya. Yang pasti, kita, sebagai
laki-laki, akan mendapat sebutan laki-laki goblok. Kenapa kita tidak
selektif memilih perempuan. Kenapa sebagai laki-laki tidak berhasil
mengorek keterusterangan perempaun calon isteri kita se-detil mungkin.
Ya, bagaimana bisa dia terus terang. Pasti takutlah perempuan itu.
Jangan-jangan akan ditinggal pergi, setelah mengaku. Ujar Kathing,
yang baru beberapa menit ikut bergabung.
Ya bisa-bisa kita. Masak sih, dengan kecintaan kita, perempuan itu
tidak bisa kita suruh terus terang? Dan kedua, kalau perempuan itu
di-pulangkan hanya lantaran tidak lagi perawan, seluruh keluarga akan
malu. Masyarakat yang menjadi tamu, lambat laun akan segera tahu.
Keluarga kita malu, perempuan itu malu. Dan semua telah mempermalukan
diri sendiri.
Wah, Lu ideal-banget, Solor menyela.
Ini kan pendapat. Kau boleh saja tidak setuju, Lor. Jangan potong aku
dulu.
Iya deh, aku tahu, ini kan rumah kost-mu. Entar aku nggak boleh tidur
sini, gara-gara aku nggak setuju dengan pendapatmu Kembali, gelak tawa
memecah keseriusan.
Dan buat aku, memaknai cinta bukan pada perawan dan tidak perawan.
Janda sekalipun, kalau memang aku cinta, kenapa harus kutolak. Aku
justeru tidak jujur pada diri sendiri, ketika aku pungkiri panggilan
nuraniku, untuk mengatakan cinta pada janda sekalipun, misalnya.
Ah, itu kan karena kau juga sudah tidak lagi perjaka, Lim, Sela yang
lainnya lagi.
Tapi nggak bisa begitu. Sekalipun aku masih perjaka, aku tetap pada
pendirianku. Bahwa Cinta bukan identik dengan keperawanan.
Cinta ya cinta. Cinta adalah anugerah dari Tuhan, yang tidak mesti
harus dinodai dengan persengketaan, apalagi dengan persoalan perawan
atau tidak perawan.
WTS sekalipun!? tanya Solor.
Mungkin. Lebih baik punya isteri mantan WTS bermental perawan, dari
pada perawan bermental WTS.

Sudah Jam tiga pagi. Mbak Munthul sudah pergi jam dua belas tadi,
untuk melayani para laki-laki yang tega menghianati cinta isterinya di
rumah. Beberapa kawan juga sudah mendengkur. Mereka tidur tak
beraturan. Mereka membawa mimpinya masing-masing. Mungkin ada juga
yang mimpi tidur dengan perawan.

Read More..
 
CERPEN CINTA BIRU MENYENTUHKU

Petugas kebersihan berseragam biru-biru, Bandara Soekarno Hatta, mengambil beberapa potong kertas dari bawah kursi ruang tunggu VIP yang telah sepi. Memasukkannya kedalam kotak orange yang sejak seharian selalu menemaninya.

Dilihatnya sebuah Koran di kursi paling pojok. Diraihnya, sebelum Ia tersadar di balik Koran itu ada sebuah buku bersampul biru.

Milik siapakah buku ini? Kasian sekali pemiliknya, pasti sangat merasa kehilangan.

Dia buka cover buku itu. Halaman pertama.

Sepotong tulisan pendek…

“Samudra”

Tangan tuanya membalik lembar pertama dengan hati-hati seolah takut mengotori lembaran bersih buku itu.

***

(Biru, seorang yang selalu aku cintai, semoga Tuhan selalu bersamamu. Mendekapmu dalam kasih-Nya).

***

Diurungkan niatnya untuk membalik halaman kedua. Merasa tidak memiliki kewenangan untuk membaca buku milik orang lain. Di letakkan buku itu pada tempat semula. Kemudian membalikkan badannya dan beranjak pergi.

Baru beberapa langkah, dia berhenti.

Seandainya, ada orang yang mengambilnya?!

***

Rumah kontrakan yang sempit itu adalah satu-satunya tempat Ia bernaung dari panas dan hujan, selama ia mencari nafkah di kota besar ini, untuk menghidupi keluarganya yang Ia tinggalkan di kampung halamannya.

Setelah melepas lelah dan makan malam alakadarnya, ia merebahkan badannya. Pandangannya terhenti pada sebuah buku di atas lemari tua, satu-satunya benda dalam ruangan itu.

Buku bersampul biru yang tadi siang Ia temuakan di bandara tempat Ia bekerja.

***

Aku bangkit dari kursi setelah layar monitor komputerku mati.

Kuhampiri jendela lantai dua puluh satu apartemenku.

Lalu lintas di bawah sana masih sangat ramai, kulirik jam tanganku, menunjukkan jam 17.35. Pantas saja suasana lalu lintas begitu ramai, dan pantas saja perutku terasa sangat perih. Jam makan siang sudah jauh terlewat rupanya, bahkan sarapanpun merupakan hal yang aneh bagiku.

Kusambar jaket kulit kesayanganku, kukenakan sambil berjalan menuju Lift.

Kunyalakan Pak menteri B. 511 BR, mobil besar kesayanganku.

Sepuluh menit kemudian aku sudah berada di antrean panjang, sepanjang pusat perkantoran di kota tempat tinggalku saat ini.

Akhirnya aku memutuskan untuk memilih spagheti house untuk mengisi perutku yang semakin perih. Ku hampiri satu-satunya meja yang kosong di pojok kanan restoran tersebut. Rupanya banyak juga yang telat makan. Akh, sok tau sekali aku. Mungkin mereka hanya menghabiskan waktu menunggu lalu lintas agak sepi untuk menghindari macet, jadi sekedar duduk-duduk bersama temannya. Tertawa dan bercanda sambil melepas lelah setelah seharian bekerja.

Aku memesan Cheese Burger dan segelas cola dingin. Sambil menuggu pesanan, aku buka majalah yang tadi sempat aku beli di depan restoran, mmm..tidak ada yang menarik perhatianku.

****

Pesananku datang tepat ketika Lima orang anak remaja laki-laki dan seorang perempuan masuk dan langsung jadi pusat perhatian!

“Hahahahaha, give me five…”

“Lo keren banget waktu maen tadi Sha! Sumpah..!”

“yo'a, guee!”

Si gadis yang dipanggil “Sha” dengan bola basket ditanganya hanya tersenyum.

Gadis itu mengingatkan aku pada sosok “Biru”, satu-satunya gadis paling cuek yang pernah aku kenal yang hingga saat ini tidak mau beranjak dari hatiku..

“Tuhan, apa kabar Biruku…?” bisikku dalam hati.

“Sha.. lo mo makan apa?”

“mmmm… bentar masi bingung, aku masiiii seneng bangeeeet, aku nggak ngira bakal menang Jo..”

Tuhan, aku nggak ingin memandang ke arah mereka, tapi sialnya mejaku persis di sebrang meja mereka.

Gigitan pertama di Cheese Burgerku terasa sangat pahit menyaksikan kehangatan mereka, menyaksikan cara bicara gadis itu, tawanya, senyumnya..

Akh Tidak!

Terbayang dengan jelas sosok Biru lima tahun yang lalu, sama persis dengan gadis pemain basket di depanku!

Sejak kecil aku selalu merasa bahwa aku adalah makhluk yang paling dimanjakan oleh Tuhan di dunia ini. Bagaimana tidak, aku memiliki orang tua yang penuh cinta dan kehangatan. Mom yang cantik, lembut. Dad yang gagah dan menyenangkan. Aku tidak pernah kekurangan apapun selama hidupku.

Tapi pada akhirnya semua berubah begitu cepat. ketika aku beranjak dewasa dan jatuh cinta pada seorang bernama Biru . Seorang perempuan biasa yang lembut, ramah, penuh cinta tapi sangat memegang prinsip.

“Sam, kamu tahu kita berbeda, kita tidak bisa bersama. Agama yang aku yakini, melarang aku menikah dengan kamu. Aku tidak bisa melanjutkan ini. Ingat Sam, ketika kita sedang berjalan di tepi pantai, semakin kita ketengah akan semakin sulit kita kembali. Selagi kaki-kaki kita belum basah, selagi kita masih di tepi, sebaiknya kita kembali. Aku tidak bisa menjadi kekasihmu.”

saat kau mengucapkan itu, aku melihat dari sorot matamu yang paling jujur dan aku sangat meyakininya. rasa cintamu padaku sebesar rasa cintaku padamu. Kenapa pergi Biru?! kenapa?!

Tuhan menciptakan sebongkah yang bernama “perasaan” yang indah, tapi sangat sulit aku pahami.

Begitu pahit dengan cerita sedih yang tidak berkesudahan karena sebuah perbedaan. Tapi juga membawakan sebongkah kebahagiaan yang tak terhingga.

Itulah terakhir aku melihatnya..

***

Hampir satu jam aku berada di pelataran parkir. Tak terasa pipiku basah.

Ku kenakan kaca mata hitamku. Menghidupkan pak menteri dan keluar dari pelataran parkir. Beberapa orang gadis menatapku, bahkan ada yang nekad berteriak “hai gondrong, godain kita dong..”

“so cool banget seeh..”

Akh, peduli apa dengan mereka. Inilah aku. Inilah hidupku.

Aku membuka pintu apartemenku. Sepiiii… setiap hari selalu seperti ini. Sepiii.. dan sepiii..

Ku hempaskan tubuhku di atas karpet di samping tempat tidur.

Ku buka laci kecil dan ku keluarkan beberapa pil penenang dari botolnya.

Ku isap dalam-dalam Malboroku. Pahit tercekam di tenggorokanku. Tenggorokanku makin sesak saat kuingat adegan di spagheti house tadi.

Sedang apa Biru sekarang..?

Semua kenangan seperti film yang diputar kembali dalam ingatanku. Tentang sosok bernama Biru, pertama kali bertemu dengannya saat aku datang ke satu kota untuk ikut ujian masuk perguruan tinggi negeri.

Tidak ada kesan apapun tentang Biru, tapi setelah hampir setiap hari minggu sepulang dari Gereja aku bertemu dengan dia. Masih tidak ada yang istimewa. Akhirnya aku harus bertemu setiap hari dengan Biru di sebuah tempat bimbingan belajar favorit di kota itu.

Masih belum ada yang istimewa..

Sampai suatu sore, aku papasan ditempat parkir dengan Biru, pandangan kami bertemu, itulah pertama kalinya aku bertatapan dengan Biru, saat memandang ke dalam matanya ada yang bergetar di dalam sini, dan aku tidak tahu itu apa.

“Hai..” sapaku

“Hai juga.” Biru tersenyum lembut sekilas, tapi sungguh senyumnya membuat aku salah tingkah.

Aku membenikan diri..

“Aku Samudra, panggil aja Sam, kita sekelas tapi nggak kenal..”

“Aku Biru..”

Sejak perkenalan itu, selain di tempat les, kami sering bertemu tanpa disengaja, di toko buku, di toko kaset, di taman bacaan, di lapangan olah raga umum.

Biru sipecinta basket.

Ntah mulai dari mana, aku makin dekat dengan Biru. Biru yang periang. Biru yang tidak pernah kehabisan ide. Dengannya aku bisa tertawa sekeras-kerasnya.

Setiap hari minggu, sepulang dari Gereja aku menjemput Biru dari mentoring di ITB (sejenis sekolah minggu mungkin kalo di agamaku).

Aku mulai sering rindu tawanya. Kejahilannya. Ide-ide segarnya. Tidak pernah sekalipun aku merasa bosan ada di sampingnya.

Aku masih ingat ketika dengan halus Ia menepis tanganku, saat tanganku hendak menyentuh pipinya ketika dia menangis.

Biru tidak pernah membiarkan aku menyentuhnya. Dia menyampaikannya begitu halus, kenapa dia tidak mau disentuh. Alasan yang tidak aku pahami pada mulanya, muhrim, khalwat, dan lain-lain. setelah aku kenal Raffa barulah aku mengerti.

salahkah aku semakin ingin memilikinya.

Isakku tak dapat ku tahan lagi. Aku sangat merindukan Biru.

Aku tahu ini sangat cengeng, tapi seolah-olah biru sudah masuk kedalam darahku, menyatu dengan hatiku, pikiranku. Hah! Ini sungguh gila!

Terakhir aku melihatnya lima tahun yang lalu sebelum aku memutuskan lari dari rumah suatu malam di mana untuk pertama kalinya tangan Dad menyentuh pipiku! Lebih tepatnya menampar pipiku!

Hardikkannya masih terngiang ditelingaku!

“Mempelajari Islam?!”

“Apa maksud kamu?!!”

“Tidak!”

Rasa sakit di wajahku tidak seberapa, tapi sakit di dalam sini yang tak terhingga.

Memang aku yang bersalah. Aku melakukan sebuah kesalahan yang tak termaafkan. Aku pantas untuk mendapat tamparan dari Dad.

Aku begitu merindukannya. Biru…!

Kenangan akan Biru mengusikku kembali.

Lima tahun sudah semuanya Berlalu. Dalam lima tahun itu aku tidak pernah berhenti mencari tahu tentang Biru. Aku tahu persis dimana dia berada. Aku tahu betul dia sekolah dimana. Aku tahu betul Biru tidak memiliki kekasih, sampai dengan hari ini. Dan benar atau tidak, aku yakin masih ada cinta untukku di hatimu.

Sempat terlintas untuk menelponnya saat aku akan diambil sumpah. Seandainya Biru tahu, aku berhasil jadi Dokter. Tapi aku belum sempat berbuat untuk sesame melalui profesiku.

Ntahlah Biru..

Aku memang seorang laki-laki yang egois, aku tidak mudah bergaul, aku tidak punya banyak teman. Aku terlalu sombong dan angkuh untuk menunjukkan bahwa aku membutuhkan seseorang.

Aku memang terbiasa mandiri. Dan aku mampu melakukan apapun sendiri. Sangat mampu. Yang aku tidak mampu lakukan adalah… berhenti mencintaimu.

Berhenti memikirkanmu.

Aku bukan orang yang cengeng Biru, kamu tahu seumur hidupku, baru tiga kali aku menangis.

Tapi hari ini sudah lebih dari dua kali aku menagis. Hari ini saja. Aku kesepian Biru..

Semakin deras isakku. Aku raih ponselku, kutekan sederet nomor yang sudah sangat aku hafal. Hanya saja aku tidak sanggup untuk menyimpannya di dalam phone bookku.

“Halloo.. Assalamualaaikuum…”

“Hallo… siapa ini” ………………………………

Bergetar hatiku mendengar suara yang sudah sangat aku kenal, aku tidak bisa berkata apa-apa.

Dinginnya AC ruangan kamarku membuat hatiku semakin dingin dan membeku.

Ku hisap rokok terakhirku, pahit. Sepahit apa yang aku rasakan saat ini. Hatiku berdarah.

Dengan pakaian lengkap, kubiarkan air dingin deras dari shower membasahi rambut dan seluruh tubuhku.

Cairan hangat semakin deras mengalir di pipiku bersatu dengan pancaran air shower.

Kelepaskan tangisku sekuatnya, isak yang tadi kutahan pecah sudah. Membuat guncangan di bahuku. Lebih dari satu jam aku menangis di bawah shower.

Ku kenakan handuk untuk membungkus badanku yang mulai mengigil. Handukku langsung basah seketika, dari baju yang aku kenakan.

Sayup-sayup terdengar suara adzan. Hampir setiap subuh aku mendengarnya, karena belum sempat memejamkan mata dan tertidur.

Malam-malam yang panjang kulewati dengan kerja dan kerja mengejar deadline tulisan-tulisanku. Sejak mengenal Biru aku mulai suka menulis dan sanggup menghabiskan waktu berjam-jam di depan laptopku. Beberapa karyaku bertebaran diluar sana.

Suara adzan itu tidak pernah sekalipun membuat aku beranjak untuk shalat. Aku merasa Tuhan tidak adil, setelah aku masuk Islam, setelah aku belajar banyak hal tentang Islam, setelah aku merasakan perihnya tamparan Dad dipipiku. Setelah itu semua. Tuhan tetap saja tidak Bisa mempersatukan aku dengan Biru.

Biru tetap jauh, bahkan semakin jauh, dan semakin sulit aku jangkau.

Ntah kenapa, pagi ini aku begitu rindu shalat. Sesaat aku ragu, masih hafalkah aku bacaan shalat?

Apa benar yang dikatakan Raffa bahwa aku belum kaffah!

Apa itu kaffah?!

Apa benar aku tertarik Islam karena aku menginginkan Biru?!

Air wudlu membasahi wajah sembabku, ku ambil sajadah berwarna biru.

Aku rentangkan dengan lembut di atas karpet, lagi-lagi berwarna Biru.

Aku angkat kedua tanganku.

Aku menyebut nama-NYa..

Bergetar hatiku ketika nama-Nya.

Tidak aku duga, bacaan shalat masih melekat kuat dalam ingatanku.

Ruku.

Sujud.

sujud.

Rakaat pertamaku lancar.

Rakaat kedua, agak terbata-bata, suaraku tersekat ditenggorokan, saat cairan bening mulai terasa hangat di kedua pipiku.

Aku meleleh, berserah diri sepenuhnya.

Aku serahkan diriku, hidupku dan segala asa yang ada kepada Tuhan, pemilik hidupku.

Aku mohon ampunan atas segala dosa, pengkhianatan dan pengingkaranku akan kehadiran dan cinta-Nya selama ini, begitu lama aku berpaling dari-Nya.

Begitu lama aku melupakan-Nya. Begitu lama aku hidup dalam kesendirianku tanpa memperdulikan dan tanpa mengingat-Nya.

Angkuh!

Arogan!

Aku pura-pura dungu!

Pura-pura tidak tahu siapa pemilik hidupku.

Begitu lama aku terlena dan menggantungkan harapan pada Biru yang juga hanya sekedar makhluknya, sama dengan aku. Sama dengan yang lain.

Sujud terakhirku begitu lama, begitu dalam. Aku sungguh-sungguh merasakan kehadiran-Nya, keindahan berdua saja bersama-Nya. Begitu terasa tangan kasih-Nya, mendekapku penuh cinta.

Inilah cinta yang selama ini aku cari, Membuatku makin meleleh dalam rasa damai.

Begitu ringan rasanya tubuhku. Begitu ringan rasanya kepalaku. Beban yang selama ini menghimpitku hilang seketika. Sesak di dadaku hilang dalam sekejap.

Maafkan aku Tuhan…

Seandainya aku tau bagaimana keindahan dan kenikmatan yang tak terhingga saat bersama-Mu ini sejak lama.

Tidak akan pernah aku berpaling.

Tidak akan pernah aku mendustakan kasih dan cinta-Mu.

Nyaman tak terhingga, damai yang utuh. Penuh, menyeluruh.

Masih dalam sujud terakhirku.

Hening.

Suasana dalam ruangan kamarku hening. Hanya terdengar detak jam dinding.

Aku masih sujud dan enggan melepaskan hangat dan damainya berada dalam dekapan-Nya.

Kubiarkan diriku disana, dalam sujud panjangku.

Perlahan aku rasakan sosok Biru menjauh.

Menjauh..

Tapi…

Dia tersenyum, senyuman yang sudah sangat aku kenal.

Apa betul yang aku rasakan ini namanya ikhlas seperti yang dikatakan Raffa.

Hening…

Tak kudengar lagi suara detak jam dinding kamarku.

Tak kudengar lagi suara isak lembut karena bahagia.

***

Biru, pagi ini aku ada di Bandara Soekarno Hatta. Aku akan pergi menunaikan tugasku.

Aku harus pergi ke Daerah untuk mengabdikan diriku, mengamalkan ilmuku, banyak mereka yang membutuhkan uluran tanganku.

Biru, aku sudah menitipkanmu pada Tuhan. Aku sudah melepaskanmu, bukan berarti aku melupakanmu.

Aku berani melepasmu, karena-Nya.

Berani bukan berarti tidak takut, Biru. Tapi ini pilihanku.

Dan aku harus memilih.

Benar apa yang kamu katakan, saat itu aku membiarkan kakiku terus berjalan, hingga ketengah, dan aku terluka oleh goresan karang saat aku ingin kembali.

Biru, aku akan ke Yogya, disana aku akan mulai semuanya dari awal, aku akan melakukan banyak hal untuk saudara kita yang sedang menerima indahnya ujian dari Tuhan..

Biru, ini terakhir kalinya aku menulis tentang perasaanku padamu.

Mungkin aku tidak akan pernah menulis lagi.

Aku hanya akan menulis betapa indahnya mencintai yang seharusnya kita cintai..

Yaitu mencintai-Nya, Biru..

Mencintai Tuhan kita..

Aku bersyukur Tuhan telah merengkuhku, dengan caran-Nya sendiri yang begitu unik, yang tidak pernah kita sangka, tidak pernah kita duga.

Aku merasa Tuhan bicara padaku melalui sederhananya kamu, bersahajanya kamu, polosnya kamu, apa adanya kamu..

Terima kasih Tuhan..

sudah saatnya ku kembalikan semua kepada Engkau, Tuhan.

***

Petugas kebersihan bandara itu, menutup lembar terakhir buku bersampul biru dengan gambar Tulip kecil sebagai hiasan covernya.

Tangan tuanya itu menyeka air mata yang membasahi wajah penuh garis-garis.

Dengan kaki yang mulai terasa kesemutan, dia mencoba berdiri.

Dibukanya lemari pakaian tuanya, buku itu diselipkan dengan hati-hati diantara beberapa lembar pakaiannya yang terlipat rapi tapi sudah sangat usang. Diusapnya dengan lembut buku itu.

Sekarang Ia tahu buku itu sengaja ditinggalkan, mungkin Sam sudah memiliki buku Biru yang baru.

Direbahkan tubuhnya diatas tikar, sebait doa lembut nan tulus terdengar lirih dari bibir tuanya, untuk seorang Sam, pemuda yang tidak pernah dikenalinya. Doa yang tulus, doa yang tanpa pamrih. Terpujilah cintamu Sam, engkau kembalikan pada satu-satunya Dzat yang memang layak kamu cintai sepenuhnya.

Semoga, Tuhan mempertemukanmu Dengan Biru dalam satu ikatan suci kelak, ah seandainya Biru tau bahwa Sam sudah menjadi seorang muslim sejak lama.

*Kamu tidak pernah betul-betul sendiri.

Read More..