Cerpen Dua Tengkorak Kepala


Dapat Didownload di <http://massofa.wordpress.com>


Ada dua tengkorak kepala yang sampai saat ini masih membuat aku harus menghela napas dalam-dalam. Dua tengkorak kepala manusia yang paling memberikan arti bagi hidupku. Aku harus berurusan dengan dua tengkorak kepala itu. Ini bermula dan telepon interlokal Umi - ibuku: aku harus segera berangkat ke Lhok Soumawe, Aceh.

Umi telah dua kali menginterlokalku. Kata beliau, aku telah diangkat menjadi Ketua Panitia pemindahan kuburan kakekku. Aku sudah paham benar, Umi jangan sampai menginterlokal yang ketiga kali. Aku tentu tak mau menjadi anak durhaka.

Kali ini aku memilih pulang kampung lewat jalan darat. Dalam perjalanan dan Lampung hingga ke Aceh Selatan, banyak sekali jalan raya yang buruk. Lagi pula, kota-kota yang kulewati tak memberikan suasana batin bagiku.

Tapi, menjelang tiba di kota kecil Sidikalang, secara tak sengaja aku buka kaca mobil. Hidungku langsung menyerap aroma wanginya nilam.Kota ini mengingatkan sejemput keharuan tentang diri si Ali, sahabat karibku. Kecepatan mobil kuperlahankan. Mataku menikmati pemandangan pohon-pohon nilam yng merimbuni pelosok kota kecil ini. Tinggi tanaman ini cuma setinggi pepohonan bayam. Sekiranya Ali mengikuti pikiran logis Mak Toha-ibunya-ia sekarang ini sudah jadi saudagar kaya karena berdagang minyak nilam itu. Sebelum meninggalkan kota kecil ini, aku dah. Pikirku, Ali kini sudah terkubur menjadi tulang-tulang tengkorak karena pembantaian itu.

Seketika itu juga akan menyadari kewajiban mampir ke rumah Mak Toha. Benar-benar wajib! Dia adalah wanita baik hati yang kukenal sejak remaja di Lhok Seumawe. Keluarganya sudah kuanggap famili. Salah seorang anaknya Ali adalah teman sekelasku sejak di SMP. Ali tidak suka, dan tak pernah suka memakai gelar kebangsawanannya. Kami sepaham. Ini yang membuat aku dan Ali jadi akrab.

Dan senja itu aku mampir kerumah Mak Toha. Beliau sangat terkejut. Aku berdiri di depan pintu mengucap Assalamu'alaikum. Separuh menjerit beliau menyebut namaku.

"Kamu membuat Mak merasa Ali hidup kembali," katanya.


"Jadi benarlah cerita Ali telah wafat," kataku.


"Ya kata Mak Toha. "Tapi kami lillahi ta'ala. Kami sudah punya pundi-pundi surga jihad. Al-hamdulillah.

Aku dipersilakannya duduk menunggu dia membawa teh. "Dimana kamu dengar Ali telah mendahului kita ?"

"Dari Ja'far," kataku tenang. Namun dalam jiwaku muncul pergolakan batin: mengapa si Ali, temanku penari Seudati yang piawai, pemain drama dan pendeklamasi yang handal sampai gugur dengan sangat mengenaskan?

Tiba-tiba kuingat, sepucuk surat Ali yang dia kirim dari Tripoli, ibukota Lybia. Ketika kubaca suratnya, aku punya kesan fanatisme Ali pada diktator itu. Di akhir suratnya dia menulis: "dari putra Khadafi". Lalu tanda-tangannya. Namun kesan itu berubah lagi. Sebab, sepulang dia dan Lybia itu, Ali menulis surat kepadaku lagi. KaIi ini tidak ada fanatisme "putra Khadafi". Bahkan surat itu datang dari Medan: "Sekarang aku mengajar privat Bahasa Inggris di Medan. Walaupun Mak kami kaya, aku musti belajar mandiri. Mak mengajak aku berkebun nilam bila kita rajin bertanam nilam, harga minyak nilam bisa membuat kita kaya. Tapi menjadi kaya bukan tujuanku," tulis Ali dalam surat itu. Kalimat terakhir inilah yang terpenting.

Sejak itu aku tidak pernah menerima surat lagi dari Ali. Dan ternyata, tidak akan pernah lagi, selama-lamanya. Dia telah dibantai bersama teman-temannya tanpa diadili. Dia sudah menjadi Tengkorak bersama tengkorak-tengkorak lain yang dikubur secara masal.

Dan kini, diruang tamu Mak Toha si Ali tinggal kenangan. Bahasa Inggrisnya yang bagus, sampai-sampai dia menguasai serta Inggris tingkat Bahasa William Shakespeare. Kalau aku ingat semasa SMA dengan segala kelebihannya, Ali tak pantas dituduh memegang senjata, dan dibunuh. Harusnya mereka tak membunuh Ali melainkan mengagumi membaca puisi.

Ali hafal hampir semua karya Shakespeare. Suatu sore dia kerumah ku, hanya untuk memberi berita ini:" Hai, ternyata Shakespeare punya puisi-puisi khusus dia bukan hanya sutradara dan pengarang drama, dan juga bukan hanya seorang yang suka melucu. Dia ternyata seorang penyair yang bagus. Pamanku baru saja mengirim buku ini dari Singapura. Kamu bacalah salah satu puisinya:

So shalf thou feed on Death,

That feeds on men,

And death once dead,

There's no more dying then

Yang mengejutkanku, dia terjemahkan karya besar itu dalam bahasa Aceh yang sempurna. Di Aceh Puisi memang sudah menjadi biasa, dan jadi bahasa sehari-hari, karena negeri ini kaya dengan para penyair lisan. Puisi Shakespear yang dibaca lisan oleh Ali dalam Bahasa Aceh - apalagi tentang maut-menanamkan ketenangan batin khusus bagi banyak orang sudawh menjadi karakter orang Aceh, kalau maut sudah sekali menjemput, tidak ada lagi kematian berikutnya. Mati hanya datang satu kali.

Pernah aku sangat sibuk mencari naskah drama "Tanda Silang," karya penulis asing yang sudah disadur oleh W.S. Rendra. Kami pernah membaca resensi pementasannya.

"Kita perlu menanamkan keberanian pada orang Indonesia. Ada yang bilang pada saya, satu kalimat terhebat dalam drama 'Tanda Silang' itu. Mengenai kematian dan pahlawan. Tapi saya sangsi kalimat itu orisinil. Tolong kamu carilah naskah itu. Liburan kwartal kamu cari ke Medan. Kita pentaskan untuk perpisahan sekolah," desak Ali.

Aku tentu dengan mudah menemukan naskah itu di Medan. Medan kota paling gila drama. Herannya tertera di naskah itu, penerjemahnya adalah Sitor Situmorang, bukan W.S. Rendra. Tidak penting bagiku meneliti soal siapa penerjemahnya. Kami akan mementaskan drama ini di Lhok Seumawe. Sudah banyak sekolah SMA di Medan mementaskan drama ini. Tapi begitu naskah stensilan itu dibaca Ali, dia berteriak marah:"Wah, ini ada kalimat jiplakan dari drama Julius Caesar karya Shakespeare."

"Jiplakan?" tanyaku

"Ya! Kalimat ini ada dalam drama Julius Caesar."


Ali mengeluarkan buku dari lacinya. Dia menunjukkan dua kalimat itu sebagaimana tertera di buku aslinya:


Cowards die many times before their deaths, The Valiant never taste of death but once.


Hampir saja Ali membatalkan rencana pementasan itu. Untung ada Ustadz Tengku Muhamad Diah- guru agama kami - menyarankan agar si Ali tidak emosional.

"Bukankah kalimat itu agung, Ali?" ucap Ustadz.

"Ya. Terlepas dari orisinalnya, memang agung Pak Ustadz: Para pengecut mati berkali-kali sebelum ajalnya tiba. Pahlawan tidak merasakan ajal kecuali satu kali."

Setelah dua puluh lima kali latihan selama tiga bulan, ketika dipentaskan benar-benar sukses. Terutama karena hebatnya permainan Ali. Tapi di balik tepuk tangan riuh itu, Ali tak gembira. Gadis yang dicintainya, Cut Nur'aini, akan menikah dengan Tengku Faisal seorang saudagar Aceh yang bermukim di Malaysia.

Mak Toha sempat tahu persis kejadian yang menimpa Ali itu. Beliau bercerita: "Waktu Mak mengajak Ali pindah ke Sidikalang ini, dia memutuskan melanjutkan sekolah di Singapura."

Lalu beliau menawarkan suguhan ubi rebusnya:"Ini ubi rebus sebesar paha kamu. Nah, kembali kepada cerita si Ali tadi," lanjut Mak Toha, "Dia katakan pada Mak, bahwa dia ada menulis surat pada kamu. Kata almarhum kepada Mak lagi, kamu melanjutkan sekolah di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Yogya. Katanya kamu kepingin mengisi ilmu untuk bersiap diri jadi saudagar."

Aku hanya bisa tersenyum.

Aku menambahi cerita Mak Toha: "Saya ada sekali menerima suratnya, Mak, justru cap pos dari Sidikalang ini."

"Itu benar. Katanya dia tak betah di Singapura. Katanya lagi, malas awak di Singapura 'ndak nambah ilmu. Itulah dia, teman kamu: akhirnya mau merantau ke Mesir. Mumpung uang ada, Mak dorong dia merantau. Niat baik jangan ditunda'kan? Tapi dasar si Ali. Hatinya diperturutkannya berbelok merantau ke Lybia itu. Tapi demi Allah, dia ke Lybia tidak di sekolah militer. ABRI bikin isyu, ketika akan menangkap Ali, dikatannya si Ali latihan militer di Lybia. Itu fitnah. Disana dia malahan jadi pembantu guru Bahasa Inggris. Muamar Khadafy itu orangnya angkuh, pandai sekali berbahasa Perancis dan Inggris. Dia suka merendahkan orang bodoh. Si Ali dulu pernah bercerita, Khadafy sekolah militernya di Inggris, dibiayai oleh Sultan Idris. Bahkan ketika dia merebut kekuasaan, usianya masih Dua puluh sembilan tahun."

Mak mulai menyeka airmatanya. Aku sudah mulai gelisah ingin segera meneruskan perjalanan ke Lhok Seumawe. Kulihat tambah banyak cerita Mak, tambah berlinang airmatanya. Sementara otakku membayangkan, temanku itu sudah jadi tengkorak sekarang. Maka segera kujelaskan pada Mak Toha, bahwa aku perlu cepat ke Lhok Seumawe karena harus menjadi Ketua Panitia pemindahan kuburan kakekku.

Namun wanita tua itu merengek-rengek: "Menginaplah di sini semalam, Nak. Supaya lepas rindu Mak pada almarhum putraku."

Aku wajib pula mengabulkan bujukan itu. Mujur pula, sore itu juga, Ibrahim adik lelaki Ali, muncul. Dia keren. Bahkan lebih keren dari Ali. Dia memakai jas. Aku memulai dengan gurau:

"Pakai jas siang-siang apa tidak panas, Brahim?"

"Jika pakai jas, awak tak dituduh orang ekstrem. Tapi jas ini penting, karena awak sekarang 'kan pedagang minyak nilam."

"Oh, hebat kau," ucapku gembira. Hadirnya Ibrahim, yang ternyata tukang ngobrol, membuat aku tak usah mendengar cerita sedih Mak Toha lagi.

Kemudian, Ibrahim memberitahuku: "Kami akan ke Dayah Baureuh. Di sana kami akan membongkar kuburan orang-orang yang dituduh ikut GAM.1 Kami akan mencari identitas mayat korban. Lalu kami akan menguburkannya. Dulu di sana mereka ditembak ABRI secara massal dan dikuburkan juga secara massal."

Aku terhenyak kaget. Kematian Ali yang kudengar dari Yakub tidaklah sekeji seperti yang diceritakan Ibrahim. Ibrahim lalu menceritakan kapan ancang-ancang kuburan massal itu akan dibongkar.

"Kalau sudah pasti tanggalnya, saya akan ikut kalian. Teleponlah aku ke Lhok Seumawe. Kamu punya nomor telepon kami 'kan?" kataku.

"Mari awak catat," ujar Ibrahim gembira. Semula dia kira aku tak menganggap penting peristiwa pembongkaran kuburan itu. Karena hal ini jauh lebih penting dari rencana pemindahan kuburan Kakekku, aku punya alasan minta izin pada Mak Toha dan Ibrahim untuk malam itu juga pulang ke Lhok Seumawe. Malam itu juga Mak Toha ikhlas melepasku. Beliau sangat bahagia karena aku akan melibatkan diri pada pembongkaran kuburan si Ali ini.

Dini hari itu juga, Umi kaget melihat aku muncul di depan rumah, lebih cepat dari dugaannya.

"Saya sengaja datang lebih awal. Kita perlu mengadakan rapat keluarga untuk menunda pemindahan kuburan Inyik," kataku pada ibuku. Inyik adalah cara paling manis yang diajarkan Umi untuk menyebutkan kakekku. Padahal aku belum pernah bertemu dengan beliau, sebab beliau telah wafat di tahun zaman penjajahan Jepang, 1942. Cerita Umi mengenai kematian Inyik, selalu menyentuh batinku, membuat almarhum kakekku itu menjadi legenda bagiku. Padahal kelak, aku cuma bertemu tengkorak kepalanya saja. Dan tengkorak kepala itu pula yang sering membuatku menghela napas dalam-dalam sebagaimana jika aku membayangkan tengkorak kepala temanku Ali.

Sebelum aku umumkan pembongkaran kuburan kakek harus ditunda, aku sudah tahu persis sifat Umi. Ibuku ini orangnya keras. Namun aku yakin, betapa pun kerasnya Umi, jika dia disuruh memilih mana yang lebih penting, mengikuti upacara pembongkaran kuburan korban DOM2, atau membongkar kuburan kakek, pastilah Umi akan memilih lebih penting mendahulukan korban DOM. Aku tahu persis itu.

Lalu aku bercerita mengenai sambutan Mak Toha. Kuceritakan betapa Mak Toha memaksa aku menginap. Betapa bersemangatnya beliau jika menceritakan si Ali. Tampak Umi menghapus airmatanya dengan pinggiran kerudung. Tiba-tiba, Umi membuat aku kaget sewaktu beliau berkata: "Seharusnya kamu yang mati syahid itu. Jadi kami punya pundi-pundi untuk menyejukkan kami di Padang Mahsyar."

Umi memuji kelemah-lembutan Ali. Bahkan beliau sempat mengingat, suatu kali pernah diundang Ali untuk hadir pada pembacaan syair dalam bahasa Aceh, di Langsa. Beliau hadir.

"Kapan itu, Umi?" tanyaku.

"Ketika dia mengajar privat di Medan, sepulangnya dari Tripoli. Bahasa Acehnya terpuji, bahasa Arabnya fasih, bahasa Inggrisnya cantik, bahasa Indonesianya terpuji. Bayangkan, dia membaca syair itu dalam empat bahasa. Orang konsulat asing saja terheran-heran. Sayang kamu tak turut menyaksikannya. Tahu kamu, awak pun menangis terharu."

Aku tak memberi komentar, karena perempuan-perempuan kami di Aceh, jika sudah bicara soal mati syahid, tangisnya dilumuri ruh jihad. Aku cuma berkata dalam hati: "Bagi Ali, mati seakan-akan sudah merupakan kerinduan dan janji."

Di rumahku di Lhok Seumawe, keesokan harinya tamu-tamu banyak datang. Tamu dari Jakarta dirasakan begitu istimewa. Mereka menanyakan kepadaku, bagaimana sikap orang Jakarta mengenai DOM. Apa benar DOM akan dihapus. Apa benar pula Kodam Iskandar Muda akan dihidupkan kembali.

Dalam hal ini, aku harus tidak bersikap netral. Bagi mereka, jika aku netral, aku akan dianggap munafik. Munafik lebih dibenci dibanding kafir.

Lalu, menjelang lohor, kami sudah sependapat untuk ikut menggali kuburan korban DOM di dekat desa Dayah Baureuh. Kami sepakat untuk menyenangkan Mak Toha. Dan tiga hari setelah rapat keluarga itu, sangat gembira aku menerima telepon dari Sidikalang. Kata Ibrahim:

"Kami akan tiba di desa Dayah Baureuh tanggal 14 hari Rabu. Datanglah hari Rabu itu. Jumpai kami di sana. Di sana ada Meunasah.3 Kalian kami tunggu di situ. Kami akan bawa banyak sekali nasi bungkus dan kue-kue."

Aku sangat menguasai peta Aceh Timur. Karena itu, setiba di Meunasah, aku langsung memeluk satu demi satu rombongan dari Sidikalang, termasuk juga penduduk desa Dayah Baureuh yang siap membantu membongkar pekuburan massal yang tak jauh dari desa itu sendiri.

Kami menggali mayat-mayat itu secara hati-hati. Ada pakaian korban yang masih utuh. Dari KTP yang di laminating dari tiga tengkorak, ada pula beberapa orang bahkan teman sekelasku di SMP dan SMA. Banyak tengkorak yang sulit dikenali, karena tanpa KTP. Kami masih terus membolakbalik beberapa tengkorak, tinggal tiga tengkorak yang masih keliru identitasnya. Ada pula yang keliru karena ditemukan cincin tembaga yang mengikat batu akik darah.

"ini pasti si Amir," kata ibu Amir.

Seorang ibu mengaku pula: "ini jari tulang anakku. Ini cincin batu pirus Persia si Buyung."

Mak Toha yang masih merahasiakan kecemasannya.

"Kabarnya Ali melawan waktu itu," ujar Udin, seorang saksi mata, yang seusiaku.

"Lalu? Setelah dia melawan?" tanyaku.

"Dia ditembak langsung oleh Kapiten," kata Udin.

Inilah yang memberi inspirasi padaku bertanya seorang tentara yang mengawasi penggalian itu: "Jika komandan, dia menggunakan senjata genggam atau Senjata laras panjang, Mas?"

"Biasanya pistol," jawabnya.

Langsung kuambil satu tengkorak kepala. Kening batok kepala itu berlubang.

"Kalau cerita Udin tadi betul, ini pasti tengkorak si Ali," kataku.

Kening tengkorak kepala itu berlubang. Lalu aku bersihkan tanah yang mengisi bagian dalamnya. Dan kutemukan pula sebutir peluru. Kuambil peluru itu, aku tunjukkan kepada tentara tadi dan bertanya: "ini peluru senjata genggam?"

"Betul. Ini peluru pistol Vickers."

"Mak Toha sudah puas?" tanyaku.

"Alhamdulillah. Tapi itu! Itu giginya coba bersihkan, Nak! Itu gigi platina si Ali," kata wanita tua itu gembira. Kucabut gigi palsu platina itu, lalu kuberikan pada Mak Toha. Beliau mencium gigi palsu putranya, lalu memasukkannya ke dalam dompet. Sedangkan peluru Vickers tadi kumasukkan ke kantong bajuku. Penemuan gigi palsu ini memberi indikasi bagi seorang pemuda yang berseru:

"Jika ini tengkorak kepala Ali, tentu ini kepala Rozak Harimau," ujar Tengku Jalal. "Gigi Rozak gingsulnya yang mirip taring harimau."

Mata Mak Toha berpijar-pijar ketika aku bersama semua karib kerabat mulai mencuci setiap tengkorak sebagaimana upacara pemandian jenazah. Setelah bersih dan dikafankan, semua tengkorak korban DOM itu dijajar, lalu kami melaksanakan shalat jenazah. Kemudian satu demi satu dimasukkan ke liang kubur.

Kadangkala aku bertanya, peluru Vickers yang kukantongi inikah yang membuat aku Sering teringat Ali dan selalu menghela napas dalam-dalam?

Berbeda pula suasana yang aku rasakan seminggu kemudian, sewaktu aku membongkar kuburan kakekku. Tapi cerita yang sama terjadi. Tengkorak kepala kakekku juga berlubang tepat di tengah keningnya sebagaimana lubang di kening tengkorak kepala Ali. Lubang itu cukup besar. Dan dalam batok kepala Inyik tidak kutemukan butir peluru. Yang ada justru di belakang batok kepala Inyik ada lubang yang lebih besar lagi. Agaknya, peluru itu menembus bagian batok kepala kakekku. Kalau begitu, batok belakang kepala Ali lebih kuat sehingga peluru tentara itu tak bisa menembusnya. Padahal yang menembak kepala kakekku juga tentara. Tapi tentara fasis Jepang. Di zaman penjajahan Jepang, fasisme militer Jepang sangat kejam.

Pada malam tahlilan selesai penguburan Inyik, muncul usul dalam rapat keluarga di Lhok Seumawe. Mereka menugaskan aku untuk meminta kepada Pemerintah R.I., supaya kakekku diberi penghargaan sebagai Pahlawan Nasional.

"Tak ada perlunya," kataku.

"Tapi kakekmu korban kekejaman tentara penjajah," kata pamanku.

"Lalu teman saya Ali, bagaimana? Dia malah bukan korban kekejaman tentara penjajah, melainkan korban kekejaman tentara bangsa sendiri," ujarku.

Semua yang hadir di malam tahlilan itu terdiam.

Diam itu lebih baik, agar mereka bisa merenung.


Catatan:
1. GAM = Gerakan Aceh Merdeka.
2. DOM = Daerah Operasi Militer.
3. Meunasah = balai desa di Aceh.

Read More..
 
Dari Kumpulan Cerpen "Keberanian Manusia"

Amini
Dapat didown load freedi <http://massofa.worpress.com>


Setelah diketahui, dia itu janda, haruslah diketahui pula bahwa dia seorang janda baik-baik. Sebenarnya tiap-tiap orang boleh senang padanya, atau, kalau ada waktu, tiap-tiap orang boleh merelakan dirinya untuk menghiburnya setiap hari atau barang sejam dalam sehari. Celakanya, tak seorang pun mau menghiburnya. Juga kebanyakan dari mereka membencinya. Tapi sebaliknya, janda itu tidak marah pada mereka atau menyimpan dendam kesumat pun tidak.

Tiap-tiap orang sebenarnya sangat senang menceritakan perihal orang lain kalau tidak perihal diri sendiri. Tapi janda itu tidak punya kecakapan demikian, jadi, dia tidak punya kedua bakat- bakat itu.

Memang tak ada seseorang yang jadi tukang hiburnya, atau setidak-tidaknya bisa mengisi kesepiannya yang mendalam, Anehnya, janda itu sendiri memang tidak membutuhkan seorang tukang hibur atau seorang yang akan mengisi kesepiannya.

Janda itu janda baik-baik dan belum pernah ternoda sedetik pun oleh kejahatan yang dinamakan oleh orang-orang beradab adalah dosa. Suatu dosa yang dikhususkan dan ditujukan kepada janda-janda. sehingga dengan mudah saja diduga, bahwa sebenarnya janda-janda itu bagi mereka adalah berbahaya. Dan mereka itu, anak-anak muda yang bayar makan di rumah janda itu, dan juga orang-orang yang tinggal di luar pekarangan rumah itu, sering-sering melintaskan pikirannya dengan sangkaan biasa yang diwariskan nenek moyangnya terhadap janda.

Perempuan-perempuan di sebelah menyebelah rumah itu saban pagi kalau menjemur pakaian suaminya atau popok-popok anaknya atau celananya atau kain-kain pakaiannya sendiri, setidak- tidaknya memerlukan sedetik pagi-pagi dan sedetik sore hari untuk memperhatikan perut janda itu, kalau-kalau ada perubahan.

Atau, diperhatikan mereka pada pagi hari, apakah janda itu mengeramas rambutnya basah-basah. Atau, memperhatikan sinar muka anak-anak lelaki yang bayar makan itu, kalau-kalau ada sinar kelainan dari hari kemarinnya. Apakah ini gunanya Tuhan menciptakan mata bagi manusia, aku sebagai pengarang yang belum banyak pengalaman, tidak perlu menerangkannya, dan kukira tidak banyak keperluannya bagi perkembangan kesusastraan abad ini.

Pagi ini pun, perempuan yang sedang menjemur popok-popok anaknya itu memakai matanya sekejap untuk melihat perut janda itu. Kemudian, entah kenapa, ia merasa kecewa. Ketika itu janda itu sedang berdiri dan menyandarkan punggungnya yang empuk di tiang seperti biasanya tiap pagi.
Dia menunggu seorang yang bersepeda.

Sebuah sepeda lewat. Hatinya cemas, dan kemudian kecewa bila dilihatnya sepeda itu dikendarai oleh polisi atau seorang berkopiah atau seorang gadis remaja. Yang ditunggunya adalah sepeda yang dikendarai oleh seorang lelaki baya bertopi bambu, warna topinya coklat, dengan sepedanya berwarna abu-abu dan pada batang sepedanya ada kantong surat yang terbuat dari terpal yang warnanya coklat juga. Tapi coklatnya sudah agak luntur, mungkin sering digeser oleh dengkul tukang pos itu ketika mengayuh sepedanya.

Oh, ini dia.

Laki-laki itu bersepeda, warna sepedanya hijau. Lelaki itu bertopi bambu juga, warnanya coklat juga, tapi tidak aksi kelihatannya, sebab topi bambu itu dibenamnya sampai ke kupingnya. Jadi lelaki ini bukan orang yang dinantikannya. Ia kecewa lagi. Tapi, sekarang sudah jam setengah sepuluh lewat lima. Seharusnya orang itu sudah lewat. Benar, itu, lelaki yang berkumis itulah orangnya. Sepedanya masuk ke pekarangannya. Orang itu tukang pos.

“Ada surat?” tanyanya. Seperti biasanya saban pagi ia bertanya dengan kalimat itu, walau, anehnya, tukang pos itu tidak selalu masuk pekarangannya dan hanya lewat saja. Tukang pos itu tidak menjawabnya. Memang ia tak menjawab. Sebab, pertanyaan itu harus diladeninya saban pagi, kecuali pada hari Minggu, 17 Agustus, atau hari-hari besar umum lainnya. Pagi itu ia memberikan enam buah surat, kemudian janda itu melepaskan senyum.

Lalu tukang pos itu pergi. Senyum yang dilepaskannya adalah senyum baik-baik dan bukan senyum yang luar biasa atau mengandung hasrat yang bukan-bukan.

Tapi bagi tukang pos itu, baru pada pagi itulah ia berpikir, kenapa janda itu melepaskan senyum padanya. Dan terus bertanya dengan kalimat sama, ada surat? Walaupun ia pasti bahwa surat-surat yang diantarkannya tidak dialamatkan untuk janda itu, Tidak sebuah pun! Dan tiap-tiap pagi dia bersandar di siang beranda rumahnya. Dan waktunya adalah jam setengah sepuluh kurang lebih.

Tukang pos itu hampir hafal nama-nama yang biasa dapat surat di rumah itu. Dan bahkan ia tahu, Kamalsyah adalah seorang penghuni rumah itu yang paling banyak menerima pos wesel yang datang dari Jambi, tiap-tiap bulan 900 rupiah, dan poswesel itu selalu diantarkannya sebelum tanggal sepuluh. Tukang pos itu belum kenal siapa Kamalsyah itu, tapi heran, ia tahu tiap-tiap anak lelaki yang tinggal di rumah itu, kenal namanya, kenal rupanya, tapi tidak dapat memastikan satu per satu siapa yang bernama Kamalsyah, siapa yang bernama Salaman. Di alamat-alamat lain memang ia pernah mengantarkan sejumlah pos wesel dan ada yang poswesel ditutup, tanda jumlahnya seribu rupiah atau lebih.

Kamalsyah sendiri tidak luar biasa sebenarnya. Bahkan sebenarnya, dengan menerima 900 rupiah, jumlah itu tidak terlalu banyak. Ia tinggal bayar makan di rumah janda itu. Ia punya seorang gadis. Gadis itu sering-sering datang ke rumahnya, untuk menengoknya, tapi sebetulnya masih ada kebutuhan lain yang lebih dari menengok saja. Anak-anak muda mempunyai siasat yang dikiranya mengagumkan, padahal itu cuma ulangan dari pengalaman orang-orang tua kita di masa mudanya.

Kamalsyah, seperti juga anak-anak muda yang bayar makan di situ, selalu memperhatikan kelakuan janda itu dan kemudian mempercakapkannya. Janda itu biasanya meneliti surat-surat yang datang, sebenarnya tidak ada maksud apa-apa selain meneliti dan dia pun tidak pernah sekali dalam hidupnya membuka-buka surat orang lain, untuk mengetahui rahasianya.

Salaman pagi itu menduga dia pasti mendapat surat. Ia mau meloncat ke luar kamarnya, tapi dia ditahan oleh Kamalsyah.

“Biarkan saja pesuruh kita itu memanggil,” kata Kamalsyah, dan memang betul, sebentar kemudian Salaman jelas mendengar suara dari dalam rumah, “Rukmiati”. Dengan sebutan itu berarti Salamanlah yang wajib datang.

Salaman masuk rumah, mengambil suratnya, kemudian masuk ke kamarnya, dan sambil memeluk bantal guling dibacanya surat itu. Ia tertawa-tawa sendiri tersenyum-senyum sendiri, kemudian masuk lagi ke dalam rumah, Ia bercerita bahwa Rukmiati sangat kangen dengan dia, kangen dengan ciuman mesra ketika mereka berpisah enam bulan yang lalu. Sambil memperhatikan perubahan-perubahan pada muka janda itu, ia berkata, “Memang enak punya kekasih. Mbak.” Kemudian ia kembali masuk ke kamarnya dan melepaskan kecewanya di hadapan dua kawan-kawannya.

“Aku membohongi dia. Dia sedih rupanya dan mungkin sekarang sedang menangis,” kata Salaman.

“Mahmud Syarnubi,” suara dari dalam rumah kedengaran oleh Kamalsyah dan ia melompat masuk rumah. Diterima surat itu, dan dibukanya sekali, ia tersenyum-senyum di muka janda itu, kemudian pura-pura heran dan kemudian berkata, “Ibuku melahirkan lagi,” sebenarnya ibunya tidak melahirkan. “Dan ayahku naik pangkat,” sebenarnya tidak ada hal itu dituliskan di surat.

Setelah diperhatikannya muka janda itu sebentar, ia cepat-cepat pergi mendapatkan kawan-kawannya dan dibagi-bagikannya surat-surat yang lain yang diberikan janda induk semang tadi. Dan ia kemudian menceritakan pada Salaman bahwa janda itu mengeluarkan air mata. lari ke kamar dan menghempaskan tubuhnya di tempat tidur.

Memang perempuan itu kini berada di kamar, tapi tidak menghempaskan tubuhnya. Dibaringkannya badannya di tempat tidurnya yang putih rapi dan berenda itu, diperbaikinya rambutnya. Rambutnya tebal ikal dan bagus berurai menyesuaikan diri dengan keadaan kamar yang bersih selalu itu.

“Alangkah bahagianya mereka,” pikirnya dalam hati dan sekaligus dapat dibayangkannya ibu Kamalsyah saat itu sedang menyusui bayinya. Dan bulan depan, gaji yang diterima suami dan istri yang menyusui itu lebih banyak dari bulan sekarang. Dan tentang Salaman, ia tentu semalaman nanti akan bermimpi dengan Rukmiati. Alangkah bahagianya mereka, pikirnya. Dan ketika ia memikir itu sama sekali tidak bersedih hati, tapi malah dengan segala senang hati. Ia merasa ikut berbahagia dengan orang lain yang mengecap bahagia dan tidak lebih dari itu.

Siang hari sebelum jam dua ditaruhnya makanan untuk makan siang anak-anak yang bayar makan itu dan ia berada di kamar.

Anak-anak itu kalau makan bercakap-cakap atau tertawa-tawa dan kali ini mereka agaknya jauh luar biasa bahagianya. Percakapan-percakapan mereka yang keras, gurau mereka yang menyenangkan dan ketawa-ketawa mereka adalah pertanda dari bahagia-bahagia yang sedang dialami. Itu didengarnya karena ia mempunyai telinga belaka.

Ketika ia duduk-duduk merenda sore hari, seorang gadis masuk pekarangan rumahnya dan ia tahu, gadis itu adalah gadisnya Kamalsyah.

“Kamal ada di belakang,” kata janda itu.

Gadis itu pergi ke belakang menemui Kamalsyah dan ketika makan malam hari Kamalsyah tidak dilihatnya di meja, mungkin mereka berdua masih membicarakan sesuatu. Ia masuk ke kamarnya untuk menghidupkan lampu dan ketika ia ke luar untuk ke dapur dilihatnya di gang yang agak gelap Kamalsyah dan gadisnya berada di situ. Kepala Kamalsyah dekat benar dengan leher gadis itu sehingga ia membungkuk. Ketika ia keluar dari dapur untuk masuk ke ruang tengah, dilihatnya Kamalsyah sedang menjurai rambut gadis itu.

Dan malam pun tiba.

Dan pagi pun tiba.

Kembali ia berdiri menyandarkan punggungnya yang empuk di tiang beranda, menunggu, kalau-katau ada surat.

Kali ini sudah lewat jam sepuluh dan betapa heran ia, tukang pos bertopi coklat bsrsepeda abu-abu belum kelihatan. Memang tukang pos itu belum datang. Ketika itu tukang pos sedang menuntun sepedanya, sebab ban sepedanya meletus. Tapi lebih dari itu pikirannya kacau, geli, menyesal atau apa saja namanya.

Ia lebih gugup dari biasanya, mukanya lebih pucat dari biasanya. Ketika ia memasuki pekarangan rumah janda itu, janda itu cepat-cepat mendekatinya, bertanya seperti biasa, “Ada surat?”

“Ada,” jawab tukang pos itu.

Dan diberikannyalah sebuah surat, kemudian dengan tak sadar dinaikinya sepedanya, dan, ketika ia sadar bahwa sepedanya kempis, masih dinaikinya sepedanya yang abu-abu itu untuk beberapa puluh meter.

Ketika itu, janda itu tak habis-habis herannya, sebab surat itu tertuju kepadanya. Ia heran. Sangat heran sekali ia. Tapi, betapa, surat itu belum dibukanya. Ia tidak kenal pada seseorang yang bernama Bakri, si pengirim surat itu. Aku tak punya kawan semasa sekolah yang bemama Bakri. Aku tak punya seorang sanak famili bernama Bakri. Juga aku tak punya seorang lelaki yang jadi sahabat tetangga yang bernama Bakri. Kalau begitu, siapakah lelaki ini. Apakah ia tidak salah alamat, atau, ia hanya seorang yang iseng. Tapi tidak, kita tidak boleh berprasangka.

Kemudian, dibukanya surat itu. Dan betapa heran hatinya.

Surat itu sederhana, menanyakan apakah ia ada dalam sehat-sehat saja. Pada baris lain surat itu menanyakan kenapa saban pagi ia menunggu surat, sedangkan satu pun surat tak bakal diterimanya.

“Kenapa pada tiap-tiap jam setengah sepuluh nyonya sudah berdiri di beranda, menanyakan apakah ada surat untuk nyonya, padahal nyonya pasti, tidak ada sepucuk surat pun untuk nyonya,”

Dibacanya kalimat itu sekali lagi, sekali lagi, dan entah bagaimana, air matanya titik. Ia tidak merasa air matanya itu titik, dan air mata itu menggelinding dari pelupuknya melalui pipinya dan singgah di tepi-tepi bibirnya.

“Tapi hari ini nyonya telah menerima surat dari saya. Ini adalah satu-satunya surat yang nyonya terima. Tujuan saya menulis surat ini adalah karena simpati saya yang mendalam pada sikap nyonya yang setia menunggu tukang pos. Semoga simpati yang saya sisipkan ini dapat nyonya terima dengan simpati yang mendalam pula,” begitu surat itu berakhir.

Aku tidak memerlukan simpati siapa pun, pikirnya. Tapi siapakah Bakri ini. Mesti ia lelaki yang iseng. Tiba-tiba ketika air mata itu kering, hatinya merasa dihina. Hati yang baik tidak selamanya akan selalu baik. Dirobeknya surat itu empat kali sobekan dan ia menangis tersedu-sedu.

Ketika itu Salaman dan Kamalsyah datang dan didengar mereka ada tangisan di kamar. Kamalsyah berkata pada Salaman, “Nah, betul nggak kataku. Ia mati kesepian,” dan mereka tertawa mendengar tangisan itu.

Tukang pos yang mengantarkan surat itu telah melewati jalan terakhir menuju ke rumahnya. Sebenarnya ia harus kembali ke kantor, tapi kali ini ia terus saja menuju ke rumahnya. Ia memanggil-manggil nama seseorang. Dan seorang itu adalah seorang lelaki tetangga di sebelah rumahnya.

“Telah saya sampaikan,” kata tukang pos itu.

“Bagaimana. Tidak kau tunggu dulu?” tanya lelaki itu.

“Badan saya panas-dingin ketika menyampaikannya,” kata tukang pos itu. Lelaki tetangganya itu ketawa, tapi tukang pos itu pucat.

“Saya takut dia jangan-jangan marah,” kata tukang pos itu.

“Jangan khawatir. Saya telah menulisnya dengan kata-kata bermutu,” kata lelaki sahabatnya, tapi heran, tukang pos itu tetap merasa khawatir. Ia masuk ke dalam kamarnya. Duduk ia di meja.
Diisapnya rokok sebatang, kecemasan itu belum juga terbunuh.

Betapa tidak. Memang, tiap-tiap hari ia mengantar surat ke tiap-tiap alamat. Mungkin di antara surat-surat yang diantarkannya ada juga berupa surat-surat asmara. Tapi, ia, ia sendiri, belum pernah sekali dalam hidupnya menulis surat. Sungguh belum pernah. Juga dalam hidupnya belum pernah mengalami percintaan seperti yang pernah ditontonnya di film-film, yang pernah dibacanya dalam buku-buku yang dipinjamkan oleh sahabat tetangganya. Adakah, dengan cara ini, sahabatnya itu akan menjerumuskan dia kepada malapetaka. Dan perempuan itu kemudian mengadukan hal itu kepada polisi, dan ia ditangkap, dibawa ke pengadilan, dihukum dan kemudian dipecat dari jabatan sebagai pengantar surat? Aku jadi malu, betapa maluku pada kawan-kawan sekantor, pada tukang-tukang telegram, pada tukang cap.

Tiba-tiba ia ke luar dan menemui sahabatnya.

“Aku takut, Ting,” katanya.

“Kenapa?” tanya kawannya itu dengan geli melihat perubahan-perubahan pada wajah tukang pos. Tapi, setelah dilihatnya tukang pos itu sungguh-sungguh takut, dihiburnya, “Aku jamin dia mau menerimanya. Aku seorang pengarang, Pengarang-pengarang adalah ahli dalam percintaan. Tapi kau harus bersungguh-sungguh. Kau sudah mau, to, kawin dengan janda?” kata sahabatnya itu.

“Mau. Biarpun ia janda. Aku sudah bosan hidup sendiri.”

“Makanya, tunggu besok,” kata sahabatnya itu.

“Dia amat manis, Ting,” kata tukang pos itu.

“Nah, apalagi,” kata sahabatnya itu gembira dan ditepuknya punggung tukang pos itu. Lalu, nasihat terakhir dari sahabatnya itu adalah, “Kri! Besok, lihat perubahan mukanya. Dia pasti bertanya padamu, apakah kau mengenal siapa Bakri. Dan kaujawablah: 'Saya Bakri'.

Sampai jauh malam tukang pos itu tidak tidur.

Tapi sebetulnya juga janda itu sampai jauh malam tidak bisa tidur. Ketika jam tangsi kedengaran berbunyi sebelas, tiba-tiba janda itu tersentak, dipungutnya kembali surat yang disobeknya itu, disusunnya, dilimnya baik-baik, dibacanya. Dibacanya sekali lagi. Dua kali. Tiga dan empat. Tapi ia tertarik pada kalimat terakhir, “Semoga, simpati yang saya sisipkan ini, dapat nyonya terima dengan simpati yang mendalam pula”. Kalimat itu diulang-ulangnya membacanya, sampai kemudian, ia merasa seolah-olah ditengkuknya ada suatu rabaan yang menyenangkannya. Ia merasa bahagia, tapi ia tidak tahu kenapa ia merasa begitu bahagia. Dadanya juga dirasanya sejuk, kepalanya dingin, dan air mata dingin menggeliat dari pelupuk, menggelinding ke pipi, meresap ke bantal. Siapakah orang ini, lelaki yang bersimpati kepadaku? Siapakah? Siapakah?

Tiba-tiba ia terkejut. Pintu kamarnya tersingkap dan lelaki itu datang. O, bukan, lelaki itu. Seekor kucing hitam kesayangannya. Juga kucing hitam kesayangan suaminya yang meninggal. Kucing itu dipeluknya, diciumnya dan ia tertidur. Kucing itu ikut tertidur di sampingnya.

Pagi sekali ia bangun. Ia menyapu kamar. Ia menyanyi “Kalau bunga anggrek mulai timbul”. Ia pergi mandi. Ia menyanyi di kamar mandi, kalau bunga anggrek mulai timbul. Ia memasak, ia menyanyi di dapur, kalau bunga anggrek mulai timbul. Dan ditambahnya. Aku cinta padamu. Kalau bunga anggrek mulai timbul, aku cinta padamu. Dan anak-anak itu makan. Ia berada di kamarnya, dan bernyanyi kalau bunga anggrek mulai timbul.

“Ia sudah gila,” kata Kamalsyah sambil menyeka mulutnya, kemudian pergi ke gudang dan mengacak bromfietsnya. Dan kemudian, kemudian sekali, rumah itu telah sunyi sesunyinya, anak-anak telah pergi sekolah dan kuliah, tinggal ia sendiri. la di beranda. Ia menyanyi, kalau bunga anggrek mulai timbul. Nyanyi itu didengar tetangga yang menjemur popok, dan mata tetangga itu memperhatikan perut janda itu. Ketika janda itu berdiri, dilihatnya perut janda itu kempis, ia kecewa. Tapi kesangsian masih ada, sebab rambut janda itu basah berjurai.

Janda itu tidak tahu ada seseorang memperhatikannya. Ia masuk. Direbahkannya tubuhnya di tempat tidur.

Jam sepuluh lewat lima, tukang pos itu masuk pekarangan. Dilihatnya janda itu tidak ada. Hatinya kecut. Dibunyikannya bel sepedanya. Janda itu tidak ke luar. Hatinya kecut. Dan ia berteriak, “Surat. Surat,” juga tak kedengaran sahutan. Hatinya kecut. Tapi betapa lega hatinya, dilihatnya janda itu muncul di jendela, memperbaiki rambutnya. Betapa manisnya dia. Betapa bagusnya rambut yang hitam itu.

“Adakah surat buat saya?” tanya janda itu. Hati tukang pos itu kecut. Dia terpaksa menggelengkan kepala. Tapi diberikannya surat yang lain kepada janda itu. Muka janda itu dilihatnya jadi kecewa. Hatinya kecut, ia akan pergi.

“Kemarin saya terima surat,” kata janda itu. Tukang pos itu terdiam.

“Dari seorang bernama Bakri.” kata janda itu. Hati tukang pos itu tambah kecut, tapi kesenangan bergendang di sana.

“Tapi orang itu, orang yang bernama Bakri itu, tidak menyebut alamatnya,” kata janda itu, dan tiba-tiba hati tukang pos itu jadi kerdil.

“Kenalkah, ya, kenalkah kira-kira Pak Pos dengan orang yang bernama Bakri,” tanya janda itu.

Tukang pos itu diam sebentar. Kakinya pada pedal sepeda. Dan kemudian dijawabnya dengan gugup, “Tidak. Tidak. Saya tidak kenal sama Bakri.” Kata tukang pos itu dengan gugup sekali. Cepat-cepat sepeda dinaikinya. Bakri. tukang pos itu, merasa lepas dari siksaan yang menyiksanya sehari semalam, ketika ia sudah menaiki sadel sepedanya. Sepedanya warna abu-abu tua. Kemudian memasuki rumah-rumah lain, mengantarkan surat-surat ke alamat- alamat yang harus disampaikannya. Tiap-tiap hari ia harus melakukan tugas itu, kecuali pada hari Minggu, 17 Agustus dan hari-hari besar umum lainnya, tanpa melanggar sumpah jabatan. Sebenarnya, tukang-tukang pos di dunia macam Bakri ini, sebagian besar bisa tergolong orang yang jujur di dunia.

Janda itu masih tetap janda baik-baik. Memang seorang janda senantiasa jadi sasaran curiga, atau, impian jelek bagi orang lain.

Jandaku ini janda baik-baik. Janganlah dicurigai. Ia bernama Amini.


Read More..
 
Cerpen Lampu Ibu

Akhirnya bunda datang juga ke Jakarta, didampingi seorang cucu. Kami tidak bisa lagi menutup mata serta telinga beliau. Kasus dan sakitnya abangku, Palinggam, telah disiarkan koran dan televisi. Tak dapat lagi ditutup-tutupi dari bunda.

“Antar aku dulu menengok abangmu,” ujar beliau saat kujemput di SoekarnoHatta. “Besok-besok aku menginap di rumah si Nina.” Ia selalu menyebut rumah anak lelakinya dengan nama menantu, dan memanggil anak-anak kami “cucuku”. “Nina dan cucu-cucuku sehat?”

“Sehat,” kubilang. “Baiknya Bunda istirahat dulu. Nanti sore kuantar….”

“Tak penat aku!” tukasnya keheng, keras kepala. “Terus sajalah.”

Aku lalu diam dan terus menyetir. Kapan pula dia merasa penat? Meski umur 80 dan tubuh makin ciut, stamina dan kegesitannya seolah tak berubah. Masih keliling ke berbagai kota bahkan pulau; melihat anak, cucu, dan cicit. Masih pasang mata dan telinga baik-baik, mengikuti perkembangan mereka. Di hari baik bulan baik bagi yang bersangkutan (ulang tahun, naik kelas, tamat kuliah, naik jabatan), melayang suratnya dengan tulisan halus-tebal model masa lalu. Isinya ucapan selamat, doa, harapan, juga nasihat. Tempo-tempo, jika ia tahu, terlibat pula dia menyelesaikan beragam masalah.

Makanya, kadang kubayangkan urat saraf bunda lebih rimbun dan juga lebih canggih dari kami, tujuh anaknya, yang semua sarjana bahkan dua doktor pula. Urat-urat saraf itu tak henti berdenyut, seperti jantung kita, atau kedap-kedip serupa kabel di pusat telepon. Tiap denyut adalah pantauan sekaligus hubungan dengan anak, cucu, dan cicit yang makin banyak. Dengan masalah yang juga tambah banyak. Justru itu, telah lama kami hindarkan kabar buruk dari beliau, menutup-nutupinya, karena belum siap melihat denyut itu tiba-tiba terhenti. Namun abangku, Palinggam….

Aku menarik napas, sambil terus melaju di jalan tol. Apa yang bakal terjadi ketika bunda berjumpa abangku itu nanti? Tanpa sadar aku menggeleng, tidak berani membayangkan. Dan saat kulirik ke samping, mata bunda terpejam. Tapi, pasti beliau tidak tidur. Merenung? Berpikir-pikir? Lewat kaca spion, kulihat keponakanku di jok belakang. Senyam-senyum, manggut-manggut, agaknya melantunkan nyanyian riang dalam hati, laiknya anak muda.

“Libur kau, Man?” tanyaku mengalihkan pikiran yang melayang saja ke mana-mana.

Ia tergeragap. “Oh. Ya. Libur, Om. Seminggu!”

“Kuliahmu lancar?”

“Lancar.” Ia cengar-cengir. Tahun lalu, seminggu ia menginap di kantor polisi. Seluruh keluarga heboh, panik. Di kantong celana kawannya ditemukan polisi ekstasi. Mereka semobil, berempat. Semuanya digaruk. Bunda tentu tidak diberi tahu. “Sudah dua hari tidak kulihat cucuku, si Herman. Ke mana dia?” tanya beliau suatu pagi.

“Naik gunung,” jawab Kak Leila. “Diajak kawan-kawannya.”

“Cuaca buruk, kau biarkan anak naik gunung?”

“Ala, tak apa-apa Bunda,” adikku Rosa menyahut. Maksudnya membantu Kak Leila. “Biasa itu, anak laki-laki.”

“Eh, sejak kapan alam berubah hanya memperdaya perempuan?” ujar bunda.

Rosa langsung diam, ingat suami yang jarang pulang. Kak Leila berpura sibuk. Dan saat Herman pulang, nenek yang risau itu memanggilnya, berucap lunak, “Elok-elok kau jalani umur muda Herman. Pandai-pandai mencari kawan. Kawan yang baik, Nak, tak mengundang datangnya mudarat. Lihat, kurusnya engkau. Pucat pula, serupa mayat!” Herman kabarnya menangis, ingat pengalaman bermalam di kantor polisi.

Mata bunda kulihat sudah terbuka lagi, menatap aspal jalanan yang berpendar disinari matahari pagi. Dan kendaraan-kendaraan yang berkilau seliweran di jalan tol. Kami sudah di Jelambar, tak lama lagi Grogol. Lalu Slipi.

“Kurang dingin AC-nya Bunda?”

“Cukup.” Dan diam lagi, memandang jalanan.

Apa gerangan yang terlintas dalam pikirannya? Anak cucu yang tak membawa kabar baik, pada usia senja? Merasa gagal, sebab sendiri saja membesarkan kami? Ah. Betapa ingin kusampaikan bahwa dia ibu yang perkasa, tangguh, dan berhasil. Tujuh anak yang masih sekolah saat suami wafat telah ia bekali, disekolahkan hingga tinggi, dengan uang hasil pensiun serta kedai rempah. Agar mereka jadi manusia. Masalah kami hari ini dengan begitu tak perlu lagi menjadi beban beliau. Pun ulah cucu, anak-anak kami. Atau, baginya tugas ibu tamat seiring perginya hayat dari badan? Sebab di situ beda ibu manusia dengan induk ayam dan kucing, seperti pernah dia ucapkan?

“Bagaimana abangmu sekarang?” Bunda melepas pandang dari jalanan.

“Baik saja. Tak apa-apa,” kubilang.

“Masuk rumah sakit, dituduh korupsi, kau bilang tak apa-apa?” suaranya bagai berasal dari tempat yang jauh. “Apa maksudmu?”

“Maksudku, o, pulang dari rumah sakit.” Tiba-tiba aku jadi gugup. Dan bunda menyergap pula, “Sudah pulang abangmu dari rumah sakit? Pura-pura sakit saja dia, seperti orang-orang itu?”

Aku makin gugup. Ingin kencing. Dalam hati kembali kumaki-maki abangku, Palinggam. Dan bunda tetap menoleh, menanti jawaban. Syukur, HP-ku lalu berbunyi. Dari istriku. “Sudah, sudah,” kubilang. “Lagi di jalan. Bunda? Sehat. O, bicara sendiri saja.” Kusodorkan HP ke bunda. “Nina, Bunda. Mau bicara.” Mudah-mudahan lama, tambahku tanpa suara. Obrolan panjang. Biar dia lupa bertanya.

Lalu, suara bunda: “Nina? O, sehat Nak. Alhamdulillah. Ini, masih kuat aku ke Jakarta. Kalian bagaimana? Syukurlah. Mana cucu-cucuku? Oh. Kau sudah di kantor! Bawa mereka nanti ke rumah kakakmu Andamsari. Ya? Besok-besok, Nak. Aku lihat abang kalian itu dulu….”

“Apa kata Nina, Bunda?” Kudului dia bertanya saat pembicaraan itu berakhir.

“Biasalah,” ia bilang. “Tanya kesehatanku. Eh, sibuk benar kudengar istrimu.”

“Nina manajer pemasaran, Bunda.”

“Dan kau sibuk pula. Sering ke luar kota. Ke luar negeri juga. Terpikir olehku, Nak, masih punya waktu kalian buat cucu-cucuku?”

Aku tertegun. Kemudian tertawa. Namun boleh jadi berlebihan, karena bunda lantas bertanya, “Mengapa kau ketawa?”

“Tentu punya waktu,” kataku. “Buktinya aku kini tak ke mana-mana, Bunda.”

“Bukan hanya karena hendak menjemputku?”

Aku menggeleng. “Syukurlah,” ujarnya. “Aku cuma khawatir. Cucuku, si Aya, sudah gadis bukan? Sudah SMP. Jangan pula dia alami seperti keponakanmu, Aida.”

Aku diam kembali. Anak gadis kakakku, Aida, sekali waktu lenyap dari rumah mereka di Batam. Kakak dan abang iparku kalang kabut. Mereka tahu sehari setelah kejadian, pulang dari Singapura. Dicari serta ditanya ke mana-mana, Aida tak jumpa. Semua saudara dihubungi, termasuk Kak Meinar di Medan dan kami di Jakarta. Aida, siswi SMU kelas dua itu, ditemukan adikku Rafli di pantai Padang, bersama pacarnya. Syukur dua remaja itu sungguh sekadar berjalan-jalan. Tapi, bunda yang tadinya tidak tahu curiga melihat semua orang sibuk kasak-kusuk. “Jangan kalian berahasia lagi. Ceritakan apa yang terjadi!” katanya meradang.

Ketika kejadian itu diceritakan setelah diedit dibagusi, alis bunda tetap bertaut. “Kakak-kakak kalian itu yang salah jalan!” ujarnya keras. “Sibuk terus. Harta meruah, tak juga puas. Anak dibiarkan tumbuh sendiri. Tahu kalian, hah, anak ayam saja tidak seburuk itu nasibnya!”

Kami sudah tiba di Semanggi. Aku berbelok, meluncur mulus ke Kebayoran, bebas dari sesak kendaraan yang padat-merayap ke arah Thamrin-Kota. Dan, rumah abangku sepi saja di luar. Pagar maupun gerbangnya tertutup, seperti biasanya. Tetapi di halaman dalam terlihat sejumlah orang. Termasuk polisi, tanpa seragam. Mungkin berjaga-jaga dari demonstran, atau khawatir abangku raib tak ketahuan rimbanya.

Aku terus melaju ke sayap kanan, berhenti di tempat parkir khusus keluarga. Kakak iparku, Andamsari, sudah menanti di teras. Lalu ia mendekat. Memeluk bunda, menangis tersedu. Pembantu bergegas mengangkut bawaan bunda. Aku tergopoh ke toilet, melepas urine yang hendak meledak. Dan HP-ku kembali bernyanyi. Nina lagi. “Sudah sampai belum?”

“Sudah, sudah.”

“Bagaimana bunda? Bang Palinggam, Kak Andam?” tanyanya antusias.

“Belum tahu. Aku di kakus, kencing.”

“Dasar!”

“Tapi kayaknya tidak apa-apa. Bunda sekarang tampaknya banyak diam. Nanti saja aku kabari.”

Mereka duduk bertiga di ruang keluarga. Acara bertangisan agaknya telah usai sewaktu aku mendekat ke ruangan itu. Suara Bang Palinggam terdengar pelan, sayu, seperti minta dimaafkan. “Namun hingga detik ini, Bunda, aku tetap bersih. Terkutuk aku bila mendustai Bunda,” dia bilang.

“Kalau begitu, mengapa kau mengelak diperiksa, Nak? Kenapa berpura sakit? Mengapa tidak kau beberkan saja semuanya?”

“Tidak sesederhana itu, Bunda.”

“Di mana rumitnya?”

Tidak terdengar suara. Aku muncul. Abangku melirik. Menarik napas, melihat bunda lagi. Mukanya kuyu. Loyo. “Aku punya atasan, Bunda,” ujarnya bak mengadu. Suaranya makin lunak, hampir menyerupai bisik. “Aku punya kawan. Aku juga kader partai.…”

Bunda diam. Juga aku serta Kak Andam. Dan lapat-lapat kudengar suara sunyi merayap, entah dibawa udara dari bumi yang mana.

“Tak paham aku soal-soal begitu, Palinggam,” sahut bunda kemudian. “Tetapi bagiku, Nak, yang benar harus disampaikan sekalipun pahit. Kalaupun akibatnya kau diberhentikan bekerja, dipecat partaimu, bagiku itu lebih baik daripada kau berkhianat pada kebenaran, pada hatimu sendiri. Juga kepada Tuhan. Dan negeri ini, yang sedikit banyak ikut dibela ayahmu dari penjajah.”

Bang Palinggam terpana menatap bunda. Matanya perlahan berkaca-kaca. Dia menunduk. Mengangkat muka lagi, memandang bunda. Rasanya, aku tahu sekarang dari mana sunyi itu berasal.

“Kalian sekarang memang bukan lagi anakku yang dulu.” Bunda mengedarkan senyum, juga kepadaku. “Apalagi kau, Palinggam, kini sudah bercucu pula. Namun takdir seorang ibu, Nak, selalu terdorong menyalakan lampu hingga akhir hayatnya.”

Sampai di situ mataku terasa jadi panas. Mata Bang Palinggam kian berkaca-kaca. Dan aku merasa, itu isyarat dari abangku; bagai kelap-kelip mercu suar di malam gulita penuh badai.

Read More..