cerpen : Aku ingin menciumnya sekali saja

Aku Ingin Menciumnya Sekali Saja
Cerpen Tinar Sidha

Tiba-tiba aku teringat bapak.
Dan, ingatan itu menjadi sesuatu yang aneh bagiku. Sebab, bulan-bulan terakhir ini bayangan bapak jarang singgah dalam alam pikiranku. Otakku dan segala-gala isinya nyaris seperti gerbong panjang mengular penuh sesak, namun teramat jarang mengangkut wajah sepuh bernama bapak. Bapak. Sedang apakah dia?
Barangkali sedang menikmati hawa senja sembari menonton berita di televisi yang belum tentu dia pahami substansinya. Atau mungkin sedang bercanda bersama Icha, satu-satunya cucu yang baru dia punya. Bapak pernah mengatakan bahwa ia ingin Icha ada temannya.
Ah ya, sebagai manusia yang sudah bertumbuh dewasa aku mahfum bila itu adalah permintaan halus agar kami, anak-anaknya, segera menyusul langkah orang tua Icha. Menikah. Dan, memberi bapak cucu-cucu selain Icha. Tapi, rupanya, empat anak selain Mas Dewo --ayah Icha-- adalah anak-anak yang bandel soal menikah.
Kami memilih terbang ke kota. Meninggalkan desa yang selalu harum menjelang musim kopi. Harum bunga kopi. Harum yang menakutkan jika kita sendirian lewat ladang di tengah malam. Tapi, bapak tidak pernah takut, sebab kebun kopi adalah bagian yang melekat dalam sejarah hidupnya sebagai penopang hidup keluarga.
Lewat bunga-bunga putih wangi yang kemudian menjelma buah itu jugalah kami, anak-anak bapak, bisa hidup, bertumbuh, menjulang, lantas melesat meninggalkan desa. Menuju keriuhan bernama kota. Mengisi otak dengan segala-gala kepenatan. Dan, hanya sejenak ingat pada desa yang telah menyusui kami dengan hartanya.
Aku memang tidak melupakan bapak. Tetapi aku jarang --sangat jarang-- mengingatnya dalam waktu yang lama. Entahlah, aku juga tidak tahu mengapa senja ini ingatan akan bapak menyita sebagian besar ruangan otakku. Bahkan, menyeretku pada kenangan-kenangan di masa silam.
Apakah ini suatu pertanda? Seorang teman pernah menunjukkan sebuah teori yang waktu itu tak aku percayai. Yakni, bila kau sedang memikirkan seseorang itu berarti orang itu sedang memikirkan kamu.
"Kebenarannya sangat tipis," demikian aku menyanggahnya waktu itu. "Memang. Tapi suatu waktu hal ini mungkin benar," kata temanku, tak memaksa aku percaya.
Dan, kata-kata temanku itu terngiang saat sekarang. Jika aku tiba-tiba berpikir tentang bapak, apakah hal itu disebabkan karena di suatu tempat nun jauh di sana bapak sedang memikirkan aku. Bapak sedang mengingat aku. Apakah bapak ingat padaku?
Dia bukan lelaki yang asing tetapi bukan pula lelaki yang akrab. Dia adalah wajah yang dekat, namun tidak bisa kucium keras-keras. Meski dia yang menanam benih pada rahim ibuku sehingga menjadi aku, kakak-kakakku, dan adik-adikku, aku merasa ada sekat tipis yang tetap saja menciptakan jarak. Apakah karena anakmu ini perempuan sementara engkau laki-laki, sehingga kita tetap berjarak, bapak?
Aku tidak tahu. Aku tidak tahu. Dan aku tetap saja tidak menemukan jawaban ketika aku berusaha mengurai pertanyaan itu menjadi serat-serat tipis agar mudah dicerna. Lalu, waktu-waktu berjalan. Melepas kekanakanku membesar, kemudian ranum.
"Kamu ayu, nduk...." Pujian kadang muncul dari simbah, ibuku, dan beberapa tetanggaku. Tetapi tidak pernah dari bapakku. Satu pujian yang dapat kuingat hanyalah ketika bapak menyematkan sepasang jepit berhias sayap kupu-kupu. Tangannya yang terbiasa memegang cangkul ternyata bisa menancapkan besi tipis itu dengan manis di atas rambutku yang ikal.
Bapak tidak menciumku. Ia hanya memandangku lalu menepuk pipiku yang bulat. Dari mulutnya yang bersemu hitam terbakar tembakau tak keluar sepatah kata. Namun, aku seperti mendengar sayup kidung syukur keluar dari bibir hitam milik bapak, "Terima kasih Gusti, aku dikaruniai genduk yang ayu...." Aku tersenyum lalu berlari ke halaman. Sayap kupu di rambutku mengepak ingin terbang ke awan.
Hanya sekali itu aku merasakan pujian bapak. Setelah aku besar, dalam keluarga aku tumbuh menjadi satu-satunya perawan. Anak-anak lain yang jumlahnya empat, masing-masing dua mengapit aku sebagai kakak dan adik, tak memerlukan kutang apalagi pembalut wanita yang bersayap.
Mereka tumbuh besar bagaikan werkudara yang akan mengawal setangkai bunga ini dengan semangat ksatria. Aku pun menjadi bunga yang sering kali tidak takut melawan bahaya.
Ketika masih kecil, beberapa anak laki-laki suka mencubit pipiku. Yang kurang ajar mengintai di kolong meja menggunakan rautan pensil bundar yang berkaca untuk melihat warna celana dalamku. Dan mereka merasa menang jika bisa berteriak, "biru, kuning, merah, atau bahkan kembang-kembang."
Aku pun marah. Aku kejar mereka bahkan sampai ke belakang sekolah. Aku masih ingat, di belakang sekolah ada kolam ikan. Dan, salah seorang anak laki-laki yang dengan kurang ajarnya mengintai warna celana dalamku kukejar hingga tempat itu. Kudorong dia hingga tercebur. Ia basah kuyup dan menjadi tertawaan teman-teman sekelas.
Aku dihukum. Tetapi tetap kubilang pada guru bahwa dia bersalah terlebih dulu. Yakni, mengintip warna celana dalamku. Sejak itu, tidak ada yang berani menggangguku. Aku memang berani melawan. Aku merasa ada seperempat laki-laki dalam tubuhku, sehingga aku tak mau kalah dengan mereka. Memanjat, berlari, main layangan, main tembak-tembakan....
Siapa yang salah? Tak ada. Bukankah tak adanya gunanya menyalahkan bapak dan ibu yang buahnya menghasilkan empat laki-laki dan hanya satu perempuan. Aku juga tak bisa menyalahkan bapak ibu ketika kata pujian "ayu" hanyalah sekadar ungkapan rasa sayang orangtua pada anaknya.
Kenyataannya aku tak seayu gambaran puteri keputren yang berkulit kuning, berbibir mungil, berbulu mata lentik, dan berhidung mancung.
Tak ada gunanya menimpakan kesalahan pada lain orang. Lebih tak ada gunanya lagi menyalahkan Gusti Allah. Ibu selalu berpesan, keadilan Gusti Allah tidak untuk dilawan. Berdamailah dengan keadilan yang kadang --bahkan sering-- menyakitkan.
Ibu banyak memberikan petuah. Namun, dari mulut bapak jarang kudengar sabda. Ia menjadi sosok yang setengah-setengah bagiku. Ia tidak panas, tetapi tidak juga dingin. Ia dekat namun tidak melekat. Maka, ketika bunga ini mekar dan berkehendak keluar dari sarangnya yang hangat, tidak ada ekspresi yang kuat memancar dari wajah bapak.
Ia hanya memandangku. Tak ada keluar kata "hati-hati, Nak" selayaknya orang tua yang mengantar anaknya pergi ke dunia sesungguhnya. Namun, satu hal membekas di hatiku ketika ia mengucapkan satu kalimat sederhana tetapi mampu membuatku meluncur ke masa lalu.
"Pipimu sudah terlalu matang untuk ditepuk, Nduk...."
Dan, bapak tidak menepuk pipiku. Pikiranku pun melayang pada malam kemarin lusa, saat seorang ksatria melumat pipiku dengan lembut. Beranjak ke bibir, lalu ada desah dan kesedihan. Sebentar hari lagi, aku dan dia akan berpisah.
Tiba-tiba aku teringat bapak.
Apakah yang hari-hari ini ia kerjakan? Menyusuri jalan setapak di antara rerimbun daun kopi? Mencium aroma kembang putihnya yang wangi? Menonton siaran berita di televisi? Atau apa?
Kudengar beberapa bulan lalu, yakni terakhir kali aku menelpon kakakku untuk menanyakan keadaan rumah. Katanya, bapak jatuh terpeleset saat pulang dari ladang. "Tidak parah, tak usah dipikirkan dalam-dalam," kata kakakku.
Dan entahlah, ternyata aku memang tak memikirkannya dalam-dalam. Urusan pekerjaan dan bermain bersama teman-teman ternyata cukup menyesaki jejalanan pikiranku. Dan, nama bapak jarang sekali tercantum dalam petanya. Tak dapat disangkal ingatan yang datang tiba-tiba ini merompak banyak bagian dalam pikiranku dan membuat sepotong kegelisahan bertunas. Begitu cepat rasa tidak enak itu bertumbuh. Dari tunas menjadi batang, dari batang tumbuh dahan, dari dahan muncul ranting, dari ranting keluar buah.
Lantas, buah itu terasa sesak memenuhi rongga hati dan lorong-lorong pikiran. Ingatan tentang seseorang yang telah beranjak menua sering melukiskan warna hitam. Kematian.
Dadaku pun sesak. Mengapa pikiran itu melintas ketika sama sekali tak ingin kusediakan kesempatan baginya. Jika itu benar terjadi? Ah ya, kematian memang keniscayaan yang tidak dapat ditolak. Tapi, wahai maut, janganlah kau jemput bapakku dalam waktu dekat ini.
Bapak memang bukan lelaki yang akrab. Bapak memang bukan lelaki yang dekat. Bapak memang bukan lelaki yang melekat. Tetapi bapak tetaplah bapakku. Bapak kakak-kakak dan adik-adikku. Juga suami ibuku. Tiba-tiba aku sangat ingin pulang. Menempuh perjalanan panjang untuk bertemu dengan bapak. Jika memang benar Tuhan sudah berkehendak untuk memanggilnya, aku ingin punya kesempatan untuk mencium bapak ketika nafasnya masih mendetak. Aku sangat ingin menciumnya meski hanya sekali saja.
Saatnya pun tiba ketika aku boleh menciumnya. Namun, ini bukanlah pengabulan dari permohonan yang sempat kupinta. Sebab, wajah bapak telah dingin. Kematian tidak menyisakan kehangatan wajah bapak untukku yang tersedan dalam perjalanan pulang.

Cerpen ini kutulis untuk mengenang almarhum bapak. Judul cerpen ini terinspirasi oleh film Aku Ingin Menciummu Sekali Saja karya Garin Nugroho.

Read More..
 
Cerpen : Aku Masih Hidup

Langit malam tampak pucat hari ini. Tak ada bintang, tak ada bulan. Hanya ada asap rokok yang kuhembuskan dari mulutku yang bau minuman keras. Rasanya ingin mati saja. Bahkan aku berharap, percikan api kecil dari rokokku ini terbang dan masuk ke mulutku, lalu meledakkanku sekarang juga karena mendarat di rawa Topi Miring.
Aku sudah melakukan hal-hal yang diluar norma. Aku tak sedang patah hati, tidak. Aku bahkan belum pernah menyukai perempuan manapun. Ayahku bisa menghidupiku. Berarti aku bukan orang miskin. Bukan pula karena percekcokan kedua orangtuaku. Mereka sudah bercerai, tanpa ada konflik yang aku tahu.
Fuuh, aku jadi memikirkan teman-teman satu band-ku yang dulu. Ambisi kami adalah untuk bisa terkenal. Kami sangat senang dengan apa yang kami berikan, dan apa yang kami dapat. Waktu pertama masuk SMA, band-ku selalu manggung di setiap acara. Bahkan sekolah lain meminta kami untuk manggung waktu pesta perpisahan mereka.
Waktu itu kami sedang manggung di gym SMA 21 yang sebesar dua lapangan basket. Mereka mengadakan prom night, yang tak pernah diadakan oleh sekolah kami. Mereka berdansa berpasangan, memakai gaun bagus dan tuksedo pinjaman yang warnanya mengkilat. Kami sedang memainkan Pretty Fly (For A White Guy) waktu bass yang kubetot tak bisa bunyi. Perasaanku sudah gak enak. Betapa paniknya aku waktu itu.
Jimo, yang waktu itu memegang mic menyuruhku untuk tenang dan tetap memainkan bass, meski tak bunyi. Tapi aku seperti lepas kendali. Kami bercekcok di sela-sela Jimo menyanyi. Lalu Engga yang waktu itu berada di antara kami jadi terpengaruh. Dia salah memainkan kord gitar, dan entah kenapa dia jadi blank dan lupa pada semua kord yang harus dimainkan. Tentu saja itu akan sangat mempengaruhi permainan drum. Andri yang kebingungan hanya bisa memukul-mukul drum.
Parahnya, aku lupa kalau di depanku ada mic.
“Bego lo semua!” Bentakku. Dan itu terdengar di seluruh ruangan.
Band berhenti. Semua orang memandang kearah kami. Bukan. Mereka memandangku. Jimo mengerutkan jidatnya, membanting mic dan pergi meninggalkan kami. Semua orang bersorak merendahkan, sambil melempar apapun yang mereka pegang ke arah kami. Dan terpaksa kami harus turun panggung.
“Kenapa bisa jadi begini?” Tanya Andri dengan nada tinggi padaku jauh di belakang panggung.
“Apa lagi,” Sambung Jimo yang duduk di kursi sambil melipat kedua tangannya. “Aku sudah menyuruhnya tenang dan mainkan saja bass-nya! Tapi Si Jenius ini terlalu panik.”
“Kalau begini caranya, kita gak akan digaji.” Tambah Engga. “Dan gak akan ada lagi sekolah yang mau mengundang kita manggung.”
“Apa maksudmu?” Tanyaku.
“Ah, gak. Cuma—” Engga memutar matanya, “—kita gak akan dapat job manggung lagi kalau begini caranya. Kita sudah gagal tiga kali seminggu ini.”
Suasana diantara kami benar-benar tidak enak. Sepertinya kami terpenjara oleh lingkaran yang kedap suara. Teriakan orang-orang diluar sana sama sekali tak terdengar.
“Ada apa dengan kalian?” Tanyaku setengah membentak. “Bukanya kita dulu sepakat bikin band bukan untuk makan gaji? Hey, kemana Spiderwings yang dulu?”
Jimo berdiri dan mendekatiku. Sebelumnya aku tak tahu apa yang akan dilakukannya. Tapi tiba-tiba dia menarik kerahku dengan kasar. “Idiot. Kalau begitu untuk apa kita bikin band? Biar ditaksir sama cewek-cewek? Ngaca! Kamu tuh kayak mayat hidup! Siapa yang mau naksir sama kamu juga kalau kamu gak punya duit?”
“Lepas!” Aku meninju pipi Jimo dengan keras, hingga ia terpental dan melepaskan tangannya dari kerahku. Aku melihat darah keluar dari ujung bibirnya.
“Heh! Apa yang kamu lakuin, bodoh?!” Bentak Andri. “Kamu sadar gak, sih? Ini semua kan salahmu! Kita tiga kali salah seminggu ini ya gara-gara barang rongsokanmu itu gak bisa bunyi, kan? Dan kamu selalu panik gara-gara itu!”
“Yang melenceng itu kamu!” Tambah Engga.
Aku benar-benar tersinggung dan tidak terima. Rongsokan? Aku menabung dengan susah payah untuk membeli bass bekas itu. Dengan langkah berat dan sangat kesal, aku meninggalkan mereka bertiga dan pulang ke rumah naik becak.
Semalaman aku memikirkan tentang perkataan mereka. Mereka benar. Aku yang mulai panik duluan. Salah kalau aku tersinggung, itu pasti. Aku juga yang memukul Jimo yang begitu baik hati padaku yang selalu menenangkan ketika terjadi kecelakaan seperti itu. Aku telah membuatnya berdarah. Bukan hanya Jimo. Semua telah aku bikin ‘berdarah’.
Pagi, hari Minggu yang cerah. Tapi hatiku tetap merasa mendung dan gelap gulita. Sambil menuangkan susu ke sereal cokelat seperti biasa, aku menekan tombol on/off pada remote untuk melihat kartun di Indosiar. Sebelum kupindah ke channel itu, TV lokal menayangkan sebuah berita. Berita kecelakaan.
Ew, pembaca beritanya laki-laki. Aku jadi gak minat. Aku hampir menekan tombol untuk mengganti channel ketika sebuah mobil yang sudah remuk sedang disorot. Panter hitam keluaran tahun ’92, dan sepertinya sudah tak asing lagi. Si pembawa berita mengatakan korban tewas tiga orang, diketahui masih berstatus pelajar di sebuah SMA di Kota.
Mayatnya disamarkan. Jadi gak kelihatan siapa. Aku mengambil HP dan berniat menghubungi Engga. Dia pasti tahu sesuatu, ayahnya polisi bagian seperti ini—entah apalah namanya, terserah. Tapi tidak ada yang menjawab. Dua kali, tiga kali aku mencoba menghubunginya. Tetap seperti itu. Sedang apa sih dia?
KRIIING
Aku melonjak kaget mendengar suara telepon rumah yang tiba-tiba berbunyi. Rasanya tanganku berat untuk mengangkatnya.
“Halo?”
“Ry, hiks… Jimo, Ry… Jimo…” Suara dari sana terdengar sesak. Suara Fey, pacar Jimo. “Jimo kecelakaan… sekarang di rumah sakit…”
Tercekat, aku tak bisa berkata apa-apa. Sial, ada apa ini? Suaraku tak bisa keluar. Seperti ada paku besar yang menancap di kepalaku dan menembus tubuhku hingga ke dalam tanah.
Kututup teleponku dan berlari ke garasi. Karena panik, aku jadi tak bisa memasukkan kunci ke sepeda motor. Begitu bisa, giliran mesinnya gak mau hidup. Begitu hidup, ternyata bensinnya habis! Aku memaksa motorku untuk berjalan tapi baru sampai di gerbang motorku sudah mati.
“Motor sial!” Pekikku. Aku sudah tak bisa berpikir lagi. Nekad aku berlari menuju ke rumah sakit yang jauhnya sekitar dua kilometer dari rumahku.
Sesampainya disana, aku langsung bertemu dengan adik Jimo yang menangis hingga maskaranya luntur. Kami berjalan menuju ke kamar Jimo. Tapi adiknya tidak menuntunku ke kamar pasien. Melainkan kamar mayat.
Aku semakin tak bisa bernafas melihat teman-teman baikku terbujur kaku penuh luka di atas tempat tidur seng yang dingin. Fey menangis dan pingsan di bahu ibu Jimo. Keluarga Engga dan Andri juga.
Ini tak mungkin. Ini pasti mimpi. Mimpi buruk. Bangunkan aku! Kumohon, bangunkan aku sekarang juga, Jim!
Rasanya tubuhku memberat. Aku jatuh berlutut di sebelah jenazah Jimo. Hina. Hina rasanya!
Seminggu setelah kejadian itu, aku dihubungi oleh kantor polisi. Mereka bilang kasus ini murni karena kecelakaan, mengingat mobil yang teman-temanku tumpangi terseret oleh truk yang menyalip mereka. Jadi tak perlu aku khawatir, dan bisa kembali ke sekolah setelah seminggu tidak masuk.
Bodohnya mereka. Ini semua salahku. Aku membentak mereka. Aku memarahi mereka sebelum mereka kecelakaan. Aku bahkan memukul Jimo hingga ia berdarah.
“Kami menemukan sebuah benda yang masih bagus di bawah jok penumpang. Di dalamnya tertulis nama Anda. Dari pihak kami akan mengantarkannya ke rumah Anda.”
Dan begitulah. Benda itu diantarkan ke rumahku oleh dua orang polisi. Dibungkus kalp, aku bisa mengira-ngira isinya. Setelah polisi itu pergi, aku melihat sebuah bass merah baru yang masih sangat bagus. Benda itu mengkilat, bahkan ketika aku mengeluarkannya dari tempatnya. Bau darah sangat menyengat ketika aku mencoba memainkannya.
Betapa senangnya aku waktu aku tahu mereka membelikan bass terbaik di kota ini untukku. Tapi betapa sedihnya aku mengingat kebodohanku ketika mereka membicarakan tentang uang. Aku telah membunuh sahabat terbaikku!
Saat itu juga aku pergi ke pemakaman dan menabur mahkota mawar di atas makam ketiga sahabatku itu. Seperti orang gila, aku berbicara sendiri. Berbicara pada nisan mereka yang masih bagus, memohon-mohon untuk dimaafkan. Mereka mungkin mendengarku, tapi tidak memaafkanku. Ah, sungguh bodohnya aku.
Berjam-jam berada di pemakaman, aku mulai berdiri. Bahuku menatap punggung seseorang. Kami sama-sama mengaduh.
“Oh, maaf. Aku gak tahu ada orang di belakangku.” Ujarku.
“Ya, sama-sama, aku juga minta maaf.” Lelaki itu sebayaku, mungkin. Dia mengenakan seragam sekolah swasta yang kelihatannya mahal. Wajahnya sedikit chinesse, tapi punya mata yang agak besar. “Hey, kamu anak Smansix?”
“Dari mana kamu tau?” Tanyaku heran.
“Lho, kamu nggak ingat, ya? Kita kerja sama waktu ada stuba.” Katanya. Sepertinya anak ini bersemangat sekali. “Waktu itu anak-anak kelasku jadi murid Smansix dalam seminggu, dan kita sekelas. Ingat, gak?”
“Oh, pantesan aku pernah lihat seragammu.” Aku memandang matanya. Dia memakai kacamata tebal. “Apa matamu parah?”
“Iya, lumayan. Sebenarnya aku malu pakai kaca mata, hehehe….” Orang ini sangat cengengesan. “Oh, iya. Apa ada saudaramu yang—permisi, maaf sebelumnya—meninggal?”
“Tidak.” Aku melirik nisan Jimo dengan sayu. “Teman baikku meninggal karena kecelakaan.”
“Oh, aku turut berduka cita. Tapi sudahlah, jangan terlalu dipikir. Kalau kamu gak ikhlas, jalan-nya disana akan nyendat, loh…” Hiburnya sambil menepuk-nepuk bahuku. Dia melihat jam tangannya, lalu ekspresinya berubah. Ketika pandangannya lepas dari jam tangan, wajahnya seperti bersinar kembali. “Maaf, ya. Aku ada janji dengan orang. Aku permisi dulu.”
Dia berlari pergi. Tanpa terlalu mempedulikan, aku kembali ke rumah. Entah kenapa, aku jadi ingin kembali ke sekolah. Jadi esok harinya aku mengenakan seragam dan berangkat ke sekolah. Sepertinya tidak ada yang berubah. Hanya saja, sekarang aku sendirian waktu makan di kantin.
“… Ah, iya, Ruki dari SMA Valrus, kan? Iya, waktu stuba disini dia memang paling menonjol. Ganteng, lagi. Suaranya juga oke punya. Pokoknya…” Aku menguping cewek-cewek yang duduk di depanku. Mereka sedang asyik gosipin orang, sambil tertawa-tawa. “… bla bla bla…”
Valrus. Anak yang kemarin juga dari Valrus, dilihat dari seragamnya.
Beberapa hari kemudian, aku pergi ke toko kaset untuk membeli album baru My Chemical Romance, waktu itu yang keluar Three Cheers For Sweet Revenge, 2004. Di toko kaset, aku bertemu kembali dengan anak dari Valrus itu. Dia bersama seorang cowok tinggi yang agak kendor lengannya. Maksudku, dia sedikit gemuk. Dia menyapaku, cengengesan seperti terakhir kali bertemu.
“… makanya kami kesini, emm….?” Dia menungguku menyebutkan nama.
“Ryan.”
“Waw, kita sama-sama berinisial ‘R’ ya! Hahaha….”
Garing.
“Kamu juga suka My Chemical Romance?” Tanyanya dengan semangat. “Musik mereka asik buat dimainin, ya. Apa kamu tahu kordnya Helena?”
“Bego. Itu kan lagu baru. Memang sudah ada yang jual kordnya di majalah murah?” Sambung si badan besar. “Aku bisa meramalkan MCR baru akan terkenal empat tahun lagi.”
“Bawel.” Ujar si cengengesan itu. “Bagaimana juga aku pengen maenin lagu-lagu mereka. Sayang, aku gak punya band. Adekku gak bisa diajak bisnis kayak Gerard gandeng Mikey. Payah, ah.”
Aku diam saja. Jadi teringat teman-teman, nih.
“Eem, gak jadi beli ah.”
“Apa?” Tanyaku agak kaget. “Jadi kamu ngapain disini?”
“Aku? Aku sih, sering kesini buat dengerin lagu baru yang diputer sama yang punya toko ini.” Jelasnya. Lalu dia berpamitan dan pergi entah kemana.
Apa dia tak tahu fungsi dari radio dan TV, ya? Ah, bodo amat.

###

Akhir-akhir itu aku jadi semakin sering melamun. Di rumah, aku masih suka memainkan bass pemberian rekan Spiderwick yang masih bau darah. Entah, tapi aku seperti tak ingin menghilangkan bau darah ini. Seakan bass merah ini menyatu dengan baunya. Risih memang, kalau kau jadi aku, mungkin. Tapi bagiku, ini adalah tanda mereka peduli padaku.
Beberapa hari kemudian aku bertemu lagi dengan si Cengengesan dari Valrus itu ketika aku mau pulang ke rumahku yang ada di luar kota. Dia bersama dua orang temannya. Saat itu hari minggu, dia mengenakan kaus merah tanpa lengan. Waktu melihat aku cuma bawa bass, dia pikir aku baru membeli bass itu dari toko musik.
Bodoh.
“Hey, gimana kalau kita main band?” Tanya anak Valrus itu spontan.
Kedua temannya langsung menyetujui dan aku dipaksa olehnya untuk bergabung. Aku sudah menolak hampir tiga perempat tenagaku. Tapi mereka tetap memaksaku. Aku ‘diculik’, dibawa ke sebuah studio band di kota. Aku bahkan tidak mengenal mereka, tapi mereka seperti sok akrab denganku. Yah, apa boleh buat. Aku cuma ikut main saja. Karena mereka sendiri bingung mau main genre apa.
“Emo saja!” Salah satu dari mereka mengusulkan. “Kita bisa mainin The Used atau My Chemical Romance, kan? Itu kan band favoritmu, Ki!”
“Apa? Ah, gak juga. Aku sebenarnya lebih suka Laruku daripada MCR. Eh, gimana kalau kita mainin J-rock saja? Japanese Rock…” Ujar si Cengengesan dari Valrus.
“Gak bisa gitu, dong. Band dari Jepang yang aku tau kan cuma Laruku. Kalau kita maen J-rock, berarti kan sama aja kita membajak sawah orang laen.” Ujar yang satunya.
“Kita main semua yang kita bisa.” Tambahku, memotong perdebatan mereka. “Satu saat maen punk rock, saat lain kita main alternative, di tempat lain kita main J-rock, kalau manggung di panti jompo kita main pop, kalau belum puas kita bisa bikin genre sendiri: comb-ice, alias es campur!”
Sejak itu kami mulai dekat. Aku baru tahu kalau namanya Ruki sejak hari itu. Beberapa kali kami manggung di kafe-kafe, dia sangat fasih dan menjiwai setiap lagu yang ia nyanyikan. Aku ingat cewek-cewek yang menggosipkan dirinya waktu di kantin sekolah. Memang suaranya sangat bagus. Berat, tapi melayang di udara. Apalagi waktu menyanyikan Joujoshi dan Pieces. Sangat berbeda dengan cara Hyde atau Derek membawakannya, tapi aura mereka seperti terpancar dari Ruki. Dia seperti bisa menguasai semua lagu dari semua genre.
Beberapa bulan kemudian aku baru tahu kalau dia keturunan Jepang!
Suatu sore, satu tahun setelah kematian Jimo dan dua sahabatku yang lain. Aku baru selesai menabur bunga di pemakaman mereka. Sambil menggendong bass yang mereka hadiahkan padaku, aku tersenyum lega, dan berjalan dengan langkah ringan—tidak seperti tahun lalu—menuju ke studio untuk berlatih band. Hari ini kami berempat akan merekam demo lagu kami sendiri. Kami juga sudah memutuskan untuk main gente apa: alternative punk. Selangkah lagi menuju impianku untuk bisa terkenal. Aku akan bersemangat!

Sampai di studio, Edrik dan Dimi sudah menunggu. Tapi aku belum melihat si jelek Ruki. Tidak seperti biasanya dia datang terlambat. Setahuku, dialah yang paling rajin untuk latihan band.
“Hey, dimana Ruki?” Tanya Dimi sambil mengetuk-ngetukkan stik drumnya tidak sabar.
Aku sedang menstem kembali bass kesayanganku ketika HP-ku bergetar.

FROM : Ruki
Sury hr ni ku ga sa ikt Latian band cuz ku dsrh nemenin nyokap. Latian ndiri dL. Ku bkL cpt bLik ko… Jangan menyerah. Ttp semangat, okey…! 

“Ew, Ruki gak bisa ikut. Dia disuruh nemenin nyokapnya.” Ujarku, mengulang SMS dari Ruki.
“Aaaah, terus siapa yang mau ngisi vokalnya kalau dia gak ada?” Dengus Edrik. “Kita gak bisa merekam lagu kalau gak ada vokalisnya. Nanti…”
Sembari mereka mengoceh tak jelas, aku berusaha menghubungi si bodoh Ruki. Tapi tak pernah nyambung. Di layar HP-ku selalu tertulis disconnected. Tidak biasanya HP Ruki dimatikan. Dia bilang akan selalu online 24 jam untuk kami. Sialan.
Sebagai alternatif, aku mengirimi dia SMS. Tapi sampai tiga hari SMS itu masih pending. Apa dia ganti nomor? Atau nomornya diblokir? Tak pernah ada jawaban tentang semua itu. Berbulan-bulan Ruki tak pernah kembali. Semua SMS yang aku kirimkan failed.

###

Musim berganti, matahari berpindah posisi. Edrik dan Dimi kesal karena Ruki tak juga kembali dan menepati janjinya. Sekuat tenaga aku meyakinkan mereka agar tidak gegabah untuk meninggalkan band. Aku berusaha menyemangati mereka untuk tetap berada di posisi mereka sampai Ruki kembali. Walaupun sebenarnya aku juga sudah merasa lelah karena ditinggal begitu saja. Rasanya, habis manis sepah dibuang. Tapi aku tetap mencoba bertahan.
“Gak! Aku sudah komit dengan band lain. Aku gak tahan berada disini. Band ini bullshit!” Dimi membentakku pada suatu malam.
Akhirnya, band kami bubar.
Baru kuingat satu hal penting. Aku sering bolos les untuk main band. Aku juga jarang masuk sekolah karena ambisiku. Aku baru sadar ketika kulihat kalender yang terpajang di dinding kamar. Tiga hari yang kulingkari warna merah, seperti mengejarku dari belakang dengan sangat cepat. Aku baru sadar: bulan depan Ujian Nasional!
Kuputuskan untuk kembali ke jalurku untuk sementara. Sebulan aku belajar dengan sungguh-sunguh. Kukunci bass ku di lemari dan kuminta tetanggaku untuk menyimpan kuncinya, agar aku bisa konsentrasi. Waktu itu, Ujian Nasional yang diujikan masih hanya tiga mata pelajaran. Aku optimis aku pasti bisa lulus. Tapi tetap banyak hal yang membayangi. Aku sering tidak lulus dalam masalah ‘ujian’; aku pernah tidak diterima di sebuah SMP karena tidak lulus tes masuk, juga tak lulus ujian masuk paskibra waktu kelas X.
Kekecewaanku kulampiaskan dengan main band bersama Jimo. Kami yang ‘hampir’ senasib bertekad untuk balas dendam dengan menjadi terkenal dengan band yang kami dirikan. Tapi ternyata Tuhan menuliskan jalan-Nya lain dengan rencana yang kami tulis dengan tangan kecil kami yang lemah.

###

Sebulan kemudian.
Ujian Nasional diadakan hari Selasa, besok pagi. Aku mengaktifkan HP-ku yang sudah sebulan kumatikan. Sedikit banyak berharap Ruki menghubungiku. Dia juga harusnya sedang deg-degan menjelang Ujian Nasional. Aku mencoba menghubunginya. Tapi malah operator yang menjawab.
Ah, sialan.
TOK TOK
“Ryan, Ryan!” Panggil seseorang dari luar sambil mengetuk pintu.
Aku membukakan pintu, dan melihat Fey berdiri sambil memamerkan sebuah kunci motor. Aku melihat ke belakangnya, dan sebuah motor keluaran baru mengkilat menyilaukan mataku. “Motor baru?”
“Ayo jalan-jalan.” Ajak Fey.
Aku mengernyit. “Becanda lo? Besok ujian, kan?”
“Iya, karena besok adalah ‘hari penentuan hidup atau mati’,” Fey menggenggam tanganku dan memaksaku untuk membonceng dengan sedikit kasar. Aku heran kenapa Jimo dulu tergila-gila sama dia. “Ayo kita jalan-jalan untuk menyegarkan pikiran. Ke warnet aja deh, gak usah jauh-jauh.”
“Ah, bilang aja kamu mau ngadem.” Dengusku.
“Ehehe, ketauan deh…” Fey menjulurkan lidah.
Rasanya aku hanya dibohongi sama si Fey jelek ini. Dia menyuruhku untuk membayar billnya. Dasar anak sinting. Tapi senang juga melihatnya sudah tidak termehek-mehek seperti waktu itu. Bagus dia dibelikan motor sama bonyoknya, deh, kalau gitu.
“Hey,” Fey duduk di sebelahku sambil memelototi monitor. “aku tadi nemuin band dari Jepang, lho. Aku coba dengerin lagunya, bro. Bagus. Setelah saya jelajahi, vokalisnya ganteng banget!”
“Apa sih?” Tanyaku heran. Aku tahu Fey memang suka bentuk-bentuk manusia bersuara bagus.
“Minggir.” Dia mengusirku. Lalu dengan sigap membuka sebuah website tentang band baru yang sedang melejit di Jepang. Gambar di layar memunculkan lima cowok dengan dandanan norak kayak bus yang mental karena ketabrak becak. Tapi tetap kesannya keren. Dan cantik. Si vokalis memakai topi koboi, dengan rambut yang dibleaching merah marun darah yang sudah tercampur dengan karbondioksida dan memakai kontak lensa yang sewarna. “Iiih, ganteng banget! Apalagi—menurut informasi—dia tuh masih SMA, seumuran kita! Andai Jimo masih ada, aku pengen dandanin dia kayak nih cowok!”
Tunggu. Aku pernah melihat cowok ini. Wajahnya familiar. Rasanya aku pernah melihatnya di suatu tempat. “Fey, coba kudengerin lagu mereka, deh.”
Setelah kudengar-dengar, suaranya juga familiar. Gak mungkin. Gak mungkin kalau ini adalah ‘dia’. “Fey, siapa nama vokalisnya?”
Fey mencari di biografi band itu. Beberapa detik kemudian Fey membacakan nama yang tercantum di biografi si vokalis bermata merah itu. “Eem, nama marganya Seiryo. Nama depannya, eemm,”
Aku tak sabar menunggu Fey memutar-mutar kursor. “Cepat, siapa namanya?”
“Ruki.”
DEG.
Tercekat. Nafas seperti tak mau berhembus. Darah mendidih di otak. Suara Fey tak bisa terdengar. Tangannya tak terasa menyentuh kulit. Panca inderaku mati. Aku benar-benar marah. Aku marah. Sangat marah. Ruki. Itu Ruki! Ruki dari SMA Valrus yang bodoh, jelek, berkacamata, dan cengengesan itu!
“Anjing!” Teriakku ketika sudah sampai di rumah. “Bajingan! Bangsat! Fuck off!” Aku terus menghujat Ruki yang tak bisa mendengarku. Memekik, menjerit sekuat tenaga. Aku tak peduli semua tetanggaku melihat keadaanku sekarang. Untuk apa aku peduli? Bangsat mereka semua. “Bullshit kamu, Ruki idiot! Kamu bilang mau terkenal bersamaku! Pembohong! Pembohong!”


Semalam aku tak bisa tidur. Aku tak bisa belajar. Tiga hari ujian, tak ada satu soalpun yang bisa kukerjakan. Sebulan kemudian sekolah menyatakan aku adalah satu-satunya murid yang tidak lulus Ujian Nasional. Aku begitu hancur. Hancur berkeping-keping. Dan kepingan itu terbang terbawa badai topan. Aku ingin mati. Ingin mati rasanya! Menyesal, kenapa dulu aku tak bersama teman-temanku di Spiderwings saja ketika kecelakaan maut itu terjadi. Harusnya itulah yang terjadi, kan?
Aku gagal. Pecundang yang tak pernah berhasil sekalipun dalam hidupnya. Aku tidak lulus. Orangtuaku bercerai. Tuhan begitu adil padaku. Apa yang kukerjakan dengan sungguh-sungguh, semuanya digagalkan. Apa yang tak kukerjakan dengan sungguh-sungguh pun ikut gagal. Sudah, mati saja.
Persetan dengan ‘ingin menjadi terkenal’.
Tuhan tak akan mengabulkannya.
Sekarang beginilah aku. Duduk di sebuah warung remang-remang sendirian. Minum-minum, merokok, berusaha bunuh diri pelan-pelan dengan merusak paru-paru dan saraf otak. Sudah dua bulan aku tak pulang ke rumah. Tidak ikut ujian Paket C. Bersama preman stasiun, aku merampok, mencuri. Hidup sebagai seorang pecundang yang malah senang dikejar-kejar Satpol PP. Aku juga pengedar ganja yang dikejar-kejar polisi. Tertawalah, karena ini lucu sekali. Lucu. Sampai aku ingin membunuh orang saking lucunya.
Aku adalah orang paling hina di dunia ini.
Kuhisap lagi rokok ini. Mataku masih tak bisa melihat dengan jelas, dan kepalaku seperti geleng-geleng tak jelas ketika seseorang berdiri di depanku. Tapi aku tak peduli. Tetap kuhisap rokokku.
Dia tiba-tiba merebut botol miras yang kugenggam dan melemparkannya ke warung remang-remang hingga botol itu pecah dan isinya membasahi hampir semua barang dagangan yang ada. Aku tetap tak peduli. Baru kubuka mataku, mendongak marah, ketika ia mencomot rokok dari mulutku dan melemparkannya ke warung itu. Dia menarikku dengan sangat kasar dari tempat dimana aku duduk tadi.
Tak lama kemudian terjadi suara ledakan dan api yang berkobar-kobar. Aah, aku pasti sedang mabuk berat.
PLAAAK
“Auch…” Aduhku. Orang itu memukul pipiku dengan sangat, sangat keras. Rasanya sakit. Aku mengadah, dan melihat seorang laki-laki dengan wajahnya yang menyeramkan memelototiku. Lho, gak mungkin itu dia. Aku benar-benar mabuk berat. “Lho, Jimo? Jimo kan? Ngapain kamu disini?”
Dia menarik kerahku dengan kasar, lalu memukul pipi kanan, kemudian pipi kiri. Aku bisa merasakan darah yang amis dan sedikit asin masuk ke mulutku. Darahku sendiri. Aku masih tidak bisa menyadarkan diri. Yang aku tahu adalah kerah bagian belakangku ditarik olehnya, dan aku diseret ke suatu tempat: Kantor Polisi!
Setelah aku diserahkan ke Pak Polisi yang berkumis tebal, dia berlalu begitu saja. Aku memperhatikannya. Cara dia berjalan beda sekali dengan Jimo. Lagipula rambut Jimo gak mungkin segondrong itu. Maksudku, memang rambutnya belum melebihi bahu, tapi Jimo bukan orang yang suka dandan dan mengurusi rambut. Tapi, tadi, waktu dia memelototi dan memukulku, seperti aku dihadapkan pada Jimo yang hidup kembali.
Pak Polisi menyeretku dengan kasar. Tapi aku mencoba bertahan dengan melihati cowok itu berjalan keluar. Ketika diambang pintu, dia menoleh kearahku sejenak. Aku bisa melihat ia menoleh sambil mengenakan sebuah kacamata. Ia memandangku dari balik kacamata yang menggantung di hidungnya itu. Kemudian ia pergi begitu saja. Betapa kagetnya aku. Aku sangat shock, karena baru menyadari: dia Ruki!
“Anjing! Kembali kamu kesini, woey!” Bentakku setengah berteriak sambil berusaha lepas dari genggaman polisi. Dia kembali menoleh tapi tetap berjalan. “Pembohong! Manusia setan! Bukan, kamu bukan manusia! Lepasin! Ruki! Anjing laut! Kembali kamu kesini, hey, pembohong! Bangsat! Bajingan, kau!”

###

Lagi, Ruki tak juga kembali. Aku terpenjara di lembaga pemasyarakatan selama dua bulan kurang lebihnya. Entah apa ini membuatku sadar atau tidak. Aku malu kembali ke rumah. Malu bukan pada orang. Tapi pada diriku sendiri. Diam-diam aku ke sekolah untuk mengambil raporku, dan pergi ke kota lain. Aku hidup di sana sendirian, berpindah dari masjid ke masjid, dan tak jarang menginap di gereja atau klenteng. Aku sudah tak punya tujuan hidup.


###


Sudah sangat jauh dari rumah saat aku sedang tiduran di bangku panjang yang diletakkan berjejeran sambil melihat ke langit-langit gereja yang terbuat dari gym yang penuh ukiran. Hidup berpinah dari satu tempat suci ke tempat suci lainnya membuatku sangat kelelahan. Aku ingin tidur di kasur. Aku ingin makan sayur.
Aku harus dapat kerja.
Seketika itu pula aku melonjak berdiri. Keluar dari gereja dengan mata yang terbuka. Melihat matahari bersinar dengan sangat terang memanasi kulitku yang sedingin ikan teri yang disimpan di freezer. Aku mulai meleleh dan merasakan hidungku kembali mengejar udara dan menggandengnya masuk ke paru-paru. Aku masih hidup!
Kembali kuinjakkan kaki di trotoar, aku melihat seorang bapak separuh baya sedang menggenggam telepon dan menempelkannya rapat-rapat di telinga. Di tangan lain ia memegang sebuah map plastik tebal, dan beberapa buku yang kukira jumlahnya lebih dari 500 halaman. Ada juga beberapa buku yang ia jepit di ketiaknya. Dia sedang berjalan tergesa-gesa kearahku ketika beberapa anak bermain skateboard menabraknya dan membuat kertas-kertas jatuh beterbangan dan landing ke paving segi lima.
Refleks aku membantu memunguti buku-buku dan kertas-kertas yang berjatuhan. Pak itu seperti tidak peduli—atau tidak bisa peduli, saking sibuknya berbicara dengan orang lewat HP-nya yang kelihatan sangat mahal. Ia mungkin tidak sadar kalau ia habis ditubruk sama anak ingusan bau kencur.
“Nak, tolong bawakan.” Perintahnya. “Kubayar kau.”
Kau tahu apa yang kurasakan? Aku senang. Berapapun dia membayarku, lah. Yang penting aku bisa makan.
Aku membawakan bukunya sampai ke sebuah gedung yang sangat tinggi, seperti di ibukota. Ini memang ibukota, tapi bukan di ibukota negara melainkan provinsi. Dia masih mengajakku membawakan bukunya ke kantornya yang ada di lantai atas. Aku malu masuk ke gedung itu karena merasa diriku kotor, dekil, tak pantas berada di sana.
“Nah, tolong letakkan disitu.” Beliau menunjuk meja besar di balik jendela besar. Seluruh kota bisa dilihat dari atas sini. “Baik, saya mengerti. Saya akan cepat sampai di States beberapa bulan lagi, jika tidak ada halangan…”
Aku hanya bisa menunggu.
Menunggu diusir.
Bapak itu menutup HP-nya dan berjalan kearahku. Aku hanya bisa menunduk. Biasanya tingkah orang kaya memang seperti itu, kan?
“Kau tinggal dimana?” Tanya Laki-laki separuh baya itu padaku, sambil menggenggam bahuku.
“Ah, oh, itu—” Aku tergagap. Mana mungkin aku bilang kalau aku kabur dari rumah. “—anu, itu… eng,”
“Ha ha ha,” Bapak itu tertawa sebentar. “Nanti ikutlah denganku ke rumah. Panggil saja Pak Soetoro. Tapi, apa kau punya KTP? Sini, berikan padaku.”
Sungguh. Sumpah, aku sangat—sangat amat—senang sekali mendengar ucapan pak Soetoro. Aku gembira beliau mengajakku ke rumahnya. Aku diberi kamar kecil di paviliun yang terpisah dengan rumah utama, di pojok halaman belakang rumah yang sangat luas. Hanya dengan jaminan KTP aku bisa tidur nyenyak lagi. Aku sungguh bersyukur.
Tanpa mengeluh aku bekerja mencabuti rumput liar, menanam tanaman bersama Ny. Soetoro, menjadi supir siap sedia, dan bahkan membantu Ny. Soetoro di dapur. Aku senang menemani keluarga yang belum dikaruniai anak ini.
Berminggu-minggu aku hidup nyaman disana sebagai pembantu. Begitulah aku sekarang. Berbeda dengan kehidupanku dua tahun lalu yang mengidamkan ketenaran sebagai anak band. Aku ingin tertawa jika memutar lagi memoriku. Tapi sekeras apapun usahaku untuk menghapuskannya, nyala api masa lalu terus berkobar. Jimo dan Ruki.
“Ryan, kemarilah, kami ingin bicara.” Ny. Soetoro memanggilku, di malam hari. Beliau sedang bersama Pak Soetoro di gazebo halaman depan rumah. Mereka menunggu aku duduk, baru mulai berbicara. “Ryan, kamu bilang dulu tidak lulus Ujian Nasional?”
Aku mengangguk.
Mereka saling menatap, lalu tersenyum kecil. Terbesit di pikiranku mereka akan memecatku. Oh, tidak. Aku harus menyiapkan mental. Aku terlalu kerasan berada disini.
“Bagaimana kalau,” Ny. Soetoro menarik nafas. Senyum kecil mengembang di bibir kecilnya membentuk seperti senyum pisang. “Kalau kau melanjutkan saja sekolahmu. Tapi tidak disini.”
Aku membelalak kaget. Hampir-hampir shock. “Apa Anda berniat menyuruh saya kembali ke sekolah?”
“Iya,” Pak Soetoro mengiyakan, mengangguk. Beliau merogoh saku dan memberikan selembar kertas kecil padaku. Itu KTP. “Ikutlah dengan kami. Kami akan menyekolahkanmu di Missouri. Kami sudah memroses paspormu. Kau tinggal foto saja. Jadi, kemungkinan dua minggu lagi kita berangkat.”
DEG DEG DEG DEG DEG DEG
Bohong! Missouri? Itu kan di Amerika! Aku terbata-bata, tak bisa bicara apa-apa. Kalau aku sekolah disana, maka ijazahku bukan dari negara. Ijazahku akan menjadi milikku sendiri, memakai bahasa inggris, bertuliskan United States of America. Ooh, Tuhan, sekarang aku benar-benar ingin mati!


Keluarga Soetoro memboyongku ke Kota Kansas, salah satu kota di Missouri. Aku bersekolah disana. Temanku banyak, dan mereka ramah padaku. Setiap kali liburan aku diajak jalan-jalan. Berkencan dengan cewek pirang yang seksi, mampir ke Time Square di New York, menonton siaran TRL secara live, dan diajak teman baikku makan siang di River Café, dibawah Golden Gate, tepi sungai Mississipi yang lebarnya minta ampun. Aku juga sempat menonton MTV Video Music Awards 2006, dan melihat secara langsung Paris Hilton membacakan nominasi. Aku juga sempat bertatapan mata dengan Brendon Urie, vokalis Panic! At The Disco yang waktu itu mendapat penghargaan tertinggi.
Musik kembali menggema di dalam diriku. Bersama beberapa teman aku kembali membuat band. Kami memang masih manggung kecil-kecilan, tapi lama kelamaan kami mulai dapat job dimana-mana, khususnya di daerah Kansas. Belum begitu banyak memang, tapi karena temanku banyak, kami jadi lumayan dikenal. Bandku bahkan menjadi band pembuka di wrapped tour Motion City Soundtrack dan Taking Back Sunday.


Ahaha, inilah hidup yang kuinginkan. Thanks God. Aku benar-benar bersyukur. Semua yang menyibukkanku disini tak membuat aku gagal dalam ujian. Aku lulus dengan ijazah bertuliskan Kansas High School. Itu sungguh sangat keren. Bahkan aku tak pernah membayangkan ini sama sekali.
Tapi ada seseorang yang masih terus mengganjal di kepalaku. Bukan seseorang, lah. Beberapa orang. Aku rindu kampung halamanku. Kedua orangtuaku—meski mereka tak lagi seranjang, dan teman-temanku yang lain.
Ny. Soetoro mengizinkanku pulang dan melanjutkan kuliah di Indonesia saja. Tapi dengan catatan, akan kembali pada keluarga itu jika studiku sudah selesai, mengingat mereka tidak memiliki penerus. Aku senang dengan yang mereka tawarkan. Sudah cukup aku mendapatkan kasih sayang lebih dari orangtuaku sendiri. Tapi aku akan pulang dan membangun kembali Spiderwings yang sedang mati suri. Menghiudupkan kembali mereka.
Aku dan teman-temanku di Missouri berjanji akan tetap kontak melalui MySpace, dan mendemokan lagu bandku yang akan datang disana. Tentu. Aku berjanji akan secepatnya meng-upload lagu-laguku di MySpace untuk mereka dengarkan.
Aku pulang ke negaraku dengan bahagia.
Di sebuah universitas ternama di Jakarta, aku menuntut ilmu manajemen. Sambil terus belajar, aku membangkitkan kembali Spiderwings yang telah lama mati. Dengan formasi baru: Dimi, Fikko, Ben, aku, ditambah Fey, menggantikan Jimo di posisi lain. Suara Fikko gak kalah sama Jimo ataupun Ruki. Style mereka berbeda. Tapi kami tetap Spiderwings. Di tengah dentuman musik pop dari band-band banci di tahun itu, kami bisa bertahan dengan lagu-lagu indie kami, hanya dengan modal internet dan radio. Tahukah mereka kalau kami sudah go international?
Teman-temanku di Missouri hampir selalu memberi komentar yang membuatku takjub dan terharu-haru. Mereka amazed sama lagu yang kuciptakan untuk dua sahabat terbaikku.
Kini hidupku terasa lebih berwarna.
BLEP BLEP BLEPH
HP-ku berdering. Aku melihat nomornya, bukan nomor sini. Kodenya bukan kode Amerika. Bukan juga kode Indonesia, bahkan Australia. Aku berpikir sejenak. Ini kode negara mana, ya?
“Hallo,” Sapaku dari sini. Saat itu aku sedang berada di halaman kampus bersama Dimi.
“Moshi-moshi,” Ujar suara di seberang sana. “Hajimemashite, bakayaro?”
“Ngomong apa sih? Ini siapa?” Tanyaku agak jutek. Maklum, akhir-akhir ini banyak orang iseng yang meneleponku.
“Ya ampun, sombong. Kamu sudah lupa sama aku?”
Aku melongo tak percaya. Dimi jadi ikut ngiler melihatku saking dia penasaran. “Ruki!”
“Hai`—! Nah, gitu donk. Jangan mentang-mentang sekarang gak kalah terkenal dibandingin aku, kamu jadi sombong.” Ujarnya dengan logat yang sudah berbeda dengan logatnya yang dulu. Tapi masih dengan suara yang khas.
“Apa sih maksudmu?” Tanyaku pura-pura bego. Aku me-loudspeak HP-ku agar Dimi juga bisa mendengarkan si jelek Ruki ini.
“And I’ll defeat my own best friend. Apa itu maksudnya?” Tanyanya disana jutek. Aku tahu dia cuma pura-pura untuk menggodaku. Mungkin dia tahu kalau aku membuat lagu itu untuknya. Ah, tidak juga. Aku juga membuat lagu itu untuk sahabatku yang ada di surga.

“Asal kamu tau, ya, heh, bego, dengerin…,” Kataku. Senyumku mengembang. “Aku gak akan kalah sama kamu,”

~~~

Read More..
 
Cerpen “ Hidup harus terus berjalan “


Peluh keringat membasahi pundaknya yang tak tetutup sehelai kain. Perlahan ia menarik naik kain sarungnya yang hampir basah kena air laut. Bersama daaming anaknya Ia menarik dan mendorong sampan ke dalam air, bunyi deritan gesekan kayu dari sayap sampan yang terbuat dari bambu pertanda usianya yang telah tua. Sudah 10 tahun kapal kecil ini setia menemaninya, sejak ia memutuskan berhenti ikut di kapal Bagan milik keluarganya. Kehidupan yang keras telah menempa Ayah sejak ia ditinggal mati Kakek akibat gelombang besar musim barat menghancurkan kapal penangkap ikannya. Hanya dua nelayan yang selamat dari 12 yang ikut melaut saat itu Termasuk Kakek yang tidak diketemukan. Daaming melambaikan tangan ke arah kawan kawannya yang tengah bemain bola di empang yang telah mengering. Beberapa diantara mereka masih mengenakan seragam sekolah. Oleh ayahnya Daaming tidak di ijinkan bersekolah, karena tenaganya dibutuhkan membantu nya di laut. Ia memperhatikan dada bidang Ayahnya dan otot otot yang tidak sekekar dahulu lagi. Sejak ditinggal Ibunya kondisi kesehatan Ayahnya perlahan mulai menurun. Tidak sesemangat dahulu lagi yang Ia lihat. Beberapa kali ia mengingatkan Ayahnya untuk berhenti merokok, tapi nasehatnya hanya tertiup angin lalu saja. Perlahan Sampan mereka menjauh dari Pantai, Daaming masih memandangi kawan kawannya dari kejauhan. Ada keinginannya juga ingin bermain bersama kawannya. Jala telah mereka tebar, pelahan langit mulai gelap Daaming menyiapkan kompor untuk merebus air dan menanak Nasi, Ayahnya tengah menyiapkan pancingnya mereka agak bergerak keluar sedikit dari lingkaran jala. Daaming menyalakan lampu, cuaca cerah ,langit bebintang, ia mengeluarkan buku dan membaca. Entah apa yang ada dipikiran ayah melihatnya saban malam membaca. Dari sorot mata Ayahnya ia tahu ayahnya senang dengan kegiatannya itu. Tapi kadang ia juga meliha raut kesedihan di mata ayah tatkala melihatnya memegang buku. Ia sangat kagum dan sangat mencintai Ayahnya, ini karena Ayahnya menjadi orang terdekatnya sejak Ibunya meninggal beberapa tahun silam. Dari buku buku yang Ia baca, tentang bagaimana kita harus hormat dan patuh kepada orang tua. Namun disamping iu hasratnya untuk terus belajar tidak dapa ia pendam, ia ingin seperti kawan kawannya yang lain. Meskipun tidak banyak waktu baginya, Ia besyukur memiliki sahabat yang sangat baik. Muslim salah seorang kawannya pindahan dari Kota , selalu memberinya semangat untuk belajar. Bukan hanya itu Muslim saban hari meluangkan wakunya unuk mengajari daaming membaca dan dari Muslimlah buku buku yang ada di tangan Daaming saat ini. Ia selalu bedoa kepada Allah semoga membalas kebaikan teman temannya ini. Daaming Termenung di atas pasir, matanya menerawang ke lautan lepas air matanya perlahan menetes, mengingat kembali masa masa yang telah dilewatinya. Masih terngiang kata kata Ayah di telinganya “ Ayo anakku hidup harus tetap berjalan “ ketika Ia sedang malas malasan ikut melaut karena teman eman sebayanya tengah bermain. 15 tahun telah berlalu sejak keadian itu. Ombak besar menghanam perahu tua kami, Ayah memkaskan diri melaut walaupun sudah kuperingatkan. Tapi beban hidup semakin menghimpit sejak kenaikan BBM saat iu. Tak ada pilihan kami harus menerjang ombak hari itu. Terbayang kembali perisiwa lima belas tahun yang lalu itu. Sesaat setelah menyalakan lampu, kumulai membuka buku yang dipinjamkan Muslim. Tiba tiba lampu padam, langit gelap , angin mulai bertiup kencang pertanda badai akan segera datang. Kuingatkan Ayah untuk segera balik, beberapa perahu nelayan telah membalik arah dan menepi ke pantai. “ Tinggal sedikit lagi begiu kata Ayah “ seolah tak menyadari akan datanganya badai. Saya yang biasa membaca buku buku petualangan, lalu melepas tenda perahu kami dan tak berapa lama kemudian angin semakin kencang. Ombak semakin tinggi. Ayah segera mengatur kemudi dan mendayung balik. Namun belum lagi kami bebepa auh dari tempat semula. Sebuah ombak besar setinggi 2 meter menghantam perahu kami. Saya masih sempat melihat Ayah terakhir kalinya mencoba berenang ke arahku setelah kapal kami pecah. Namun sebuah ombak datang lagi memisahkan kami. Saya sudah tidak sadarkan diri. Hingga kubuka mataku dan Saya tersadar, Saya sedang terbaring di rumah sakit. Saya mengetahui dari Muslim , saya terdampar 1 sehari di lautan baru ditemukan sebuah kapal nelayan. “ Untung kamu memeluk jerigen minyak itu “. Pikiranku menerawang saat terakhir yang terlihat adalah benda putih mengapung yang kukira ayah. Mataku masih tetap menerawang, kusapu mataku ke arah bekas gubuk kami yang kini telah tiada. Perkampungn nelayan ini pun telah digusur ke arah 2 km dari tempat semula. Tak terasa tanganku yang sedari tadi menggemgam pasir kusapukan pada pakaian putih putih yang kukenakan, Pakian nakhoda dengan tanda kapten yang bertengger dipundakku , tak ada lagi yang mengenaliku di lokasi iu. Kini Saya telah menjadi nakhoda pada sebuah Kapal Asing yang kini tengah berlabuh di Makassar, kusemptakan diriku ke kampung halamanku. Saat peristiwa 15 tahun yang lalu, aku diselamatkan perahu nelayan lainnya dan kami terdampar di Rangas sekitar 10 mil dari sini. Nasib Ayahku tak ubahnya dengan nasib kakekku yang tidak ditemukan. Muslim sendiri kini telah menjadi Diplomat di sebuah negara di Arab, kami sering bertemu jika Saya sedang berlabu di sana. Iapun masih sering mengunjungiku ketika Saya diangkat anak oleh salah satu keluarga di majene. Saya memperoleh beasiswa melanjutkan sekolah dan berhasil menyelesaikan studi Saya di sekolah Pelayaran dengan nilai terbaik. Saya pelahan bebalik menjauhi pantai dan mendekati mobil mercy yang kukendarai dari Makassar, Santi istriku dan Arifuddin anakku telah menanti, mereka sengaja kubiarkan menungguku di mobil saja. Mobil kami memasuki perkmpungan nelayan hasil relokasi pemerintah. Beberap penduduk mengerumuni kami. saya bertanya kepada salah seseorang, lalu ia menunjuk ke sebuah rumah di ujung jalan. Saat pintu terbuka seorang lelaki tua berdiri didepan Saya , Ia tidak mengenaliku tapi Saya sangat mengenalnya Pak Kaco sahabat Ayahku. Ia memelukku dan menangis keras setelah mengetahui itu Aku. Lama baru pelukannya melemah, ia tak kuasa bicara hanya air matanya yang terus di usapnya dari keriput pipinya. Mataku tertuju ke sebuah foto usang yang ada depan mesin jahit tua yang nampaknya jarang di pakai. Ia mengerti tatapan mataku, “ itu Saya bersama Ayahmu “ , “ Ya Saya tahu jawabku “ , tapi apa arti tulisan yang ada dibawahnya. “ Oh itu ulisan lontara bacanya “ Kuallenga Tallanga na towalia “ apa artinya timpalku cepat menukas .Lebih baik tenggelam dari pada kembali sia – sia katanya. Setelah berkeliling ke perkampungan, kuserahkan bantuan berupa 10 perahu nelayan dan memberi beasiswa kepada 20 anak nelayan yang ada di sana. Tak terasa Jam menunjukkan pukul empa sore, jam jam seperti inilah yang kami sering turun melaut bersama ayah. Mataku mencari Arifuddin, ia tengah bermain dengan teman teman barunya. Saat kuajak pulang ia tidak mau karena masih asik main. Kubisikkan sesutu ke arifuddin “ Ayo anakku hidup harus tetap berjalan “

Read More..
 
Kutemukan Arti Hidup - Cerpen Remaja

Kehidupan itu adalah perjalanan yang panjang, penuh tikungan yang tajam, dan akan jatuh bila tidak hati-hati melewatinya. Orangtuaku memberi namaku Viandita, yang kata teman-temanku adalah anak pendiam, terutama di SMA kami. Aku sangat mencintai masa-masa SMA-ku, walaupun sebenarnya aku belum pernah mendapatkan apa yang selama ini aku cari. Di sekolah aku mempunyai banyak teman, ya ada Icha, Satya sahabatku sejak SMP dulu.

Sejak tiga tahun kematian ayah karena gagal ginjal, aku tinggal bersama tante Ana, dia adalah adik dari ibuku. Dimana ibumu? Ya, ibuku meninggal ketika aku baru berusia dua hari, dia meninggal karena pendarahan yang hebat. Dan aku tidak pernah merasakan hangat pelukannya. Sifatku yang keras terkadang membuat orang di sekelilingku jengkel, aku tahu itu, tapi itulah aku.



Selama ini aku telah menyia-nyiakan waktu dan kehidupanku. Aku terlalu egois dan selalu berpikir hidup ini hanya untuk bersenang-senang. Tanpa kusadari bahwa sebenarnya aku tak kan selamanya merasakan kebahagiaan, dan kesedihan akan selalu mencari celah utnuk masuk di kehidupanku. Hidup ini seperti pohon, itu yang ayah bilang padaku. Tiap bagiannya mempunyai arti khusus yang tak bisa diuraikan satu persatu, tapi akan kuberikan satu diantaranya, yaitu daun. Ayah bilang mereka tumbuh, lalu berguguran dan berganti lagi dengan yang baru, itu seperti orang yang lahir, pergi dan akan ada lagi yang baru. Dan di sini, aku telah menemukan arti dari kehidupan itu yang sebenarnya...

Bel berbunyi, seperti biasa pelajaran akan dimulai, tapi beberapa anak masih tampak berkeliaran di luar, mereka memperbaiki pakaian yang berantakan, berlari karena terlambat dan memelas untuk bisa melewati pintu gerbang yang sudah ditutup tepat pukul 07.15. Pemandangan ini adalah makanan sehari-hari bagiku yang bisa kulihat dari jendela yang tepat berada di sampingku. Aku menyukai tempat yang sedang kududuki ini karena di sini semua sudut sekolah bisa kulihat.
Aku tersentak kaget saat tangan Icha mendarat di pundakku.
“Serius amat, lagi ngeliat apaan sih?” tanya Icha heran.
“Ngak ada,” balasku singkat dengan senyum yang tak berarti. Wajah Icha terlihat bingung, tapi dilanjuti dengan senyum manis yang sering membuatku gemas.

Dan .....
Tuk...tuk ....tuk.... suara sepatu menyentuh lantai itu kian mendekat kelasku. Anak-anak yang sudah hapal dengan suara itu berhamburan kembali ke tempat duduknya. Padahal tadinya mereka asik berjalan mencari tempat nongkrong yang paling seru untuk topik gossip hari ini. Dan kelasku yang tadinya hampir seperti pasar, kini lengang seperti pemakaman.

Sepulang dari sekolah, aku memilih berpisah di perempatan jalan, karena hari ini ada satu tempat yang ingin aku kunjungi.
“Mau kemana sih Vi?” tanya Satya.
“Cuma mau ke toko buku sebentar,” balasku.
“Yah, Satya kayak nggak tau aja rutinitas Vian. Lupa ya, ini kan hari Rabu, biasa,” tambah Icha.

“Ya, aku hampir lupa. Ya udah kalau gitu, hati-hati ya,” nasehat Satya. aku hanya membalasnya dengan anggukan, dan pastinya mereka tau arti dari anggukan ku itu.
Dan di sini, aku berdiri menatap langit yang hampir mendung. Angin yang berhembus membuat pohon dan rumput-rumput hijau itu bergoyang pelan, daun-daun itu seakan mengikuti alunan lagu yang dibawakan oleh angin. Aku menyukai hal itu, dan semua ini hanya bisa kudapatkan di sini.

Di tepian danau yang tak jauh dari rumahku, bukan di toko buku seperti yang kubilang pada Satya dan Icha, aku duduk di bawah pohon rindang. Kuterawang setiap tempat, sunyi, hanya ada aku, pepohonan, rumput hijau dan danau ini. Terkadang aku heran, mengapa tempat seindah ini tak pernah terjamah oleh mereka yang ingin mencari kenyamanan, mereka malah pergi ke cape, diskotik dan club-club malam yang sarat akan keributan. Entahlah, mungkin mereka bisa mendapatkan kenyamanan dari tempat-tempat itu, tapi tidak untuk aku. Ya, aku tau tiap orang berbeda-beda.

Hampir setengah jam aku di sini, tak ada yang berubah, hanya saja daun-daun yang sudah menguning itu berguguran dan angin pun sesekali bertiup pelan. Aku lelah, andai saja aku masih mempunyai banyak waktu utnuk berada di tempat ini, tapi sayangnya aku harus pulang karena waktu sudah menunjukkan pukul 14.40, aku takut tante khawatir.

Di perjalan pulang seperti biasa, aku melewati beberapa ruko dan rumah tak berpenghuni. Ini adalah jalan yang biasa kulewati ketika pulang sekolah. Langkah kakiku berhenti di depan rumah yang bergaya tempo dulu, bangunannya masih asli dan belum pernah direnovasi. Rumah yang tak pernah diurus oleh pemiliknya itu terlihat ada yang menghuni. Aku penasaran, ingin rasanya bertanya, tapi ...
“Selamat siang, Bapak pemilik rumah ini ya?” tanyaku yang tadinya ragu-ragu.
“Ya siang. Bukan, saya anak yang punya rumah ini. Kamu tinggal di sekitar sini ya?” balasnya dengan nada yang sangat lembut.

“Oo... saya kira bapak yang punya rumah ini. Ya, rumah saya nggak jauh dari sini. Nama saya Vian,” tambahku sambil mengulurkan tangan.
“Saya Herdian, panggil saja Om Hedi,” ucapnya sambil menyambut uluran tanganku. Lelaki paruh baya itu terlihat baik, dan aku menghabiskan cukup lama untuk ngobrol dengannya.

Dia bercerita padaku tentang perjuangannya selama dua tahun belakangan ini melawan penyakit kanker darah. Penyakit yang membuatnya mengerti tentang hidup dan betapa berartinya waktu. Aku teringat saat ayah melawan penyakit yang bersarang di tubuhnya dulu. Ia hampir putus asa dan menyerah, tapi ada satu alasan yang membuat ia bangun dan kekeh untuk bisa bertahan, yaitu aku.

“Ayah Vian pasti orang yang baik...,” ucap Om Hedi menatapku.
“Pasti, dia adalah orang yang paling baik di dunia ini,” balasku bangga.
“Dan pastinya dia adalah seorang pekerja keras, benarkah?” tambahnya lagi. Aku hanya mengangguk.

Garis-garis halus di wajah ayah sudah menegaskan bahwa ia adalah sosok ayah yang kuat dan rela melakukan apa saja demi kebahagianaan keluarganya.

“Di luar sana masih banyak orang yang bernasib sama dengan Om, dan ayah Vian. Kami mendambakan kehidupan, tapi banyak pula orang yang menyia-nyiakan kehidupannya itu,” ucap Om Hedi lirih. Raut wajahnya menggambarkan rasa kecewa. Aku percaya ayah pasti setuju dengan apa yang baru saja aku dengar tadi.
“Tapi Om yakin, Vian nggak ngelakuin itu,” tambahnya lagi. Aku hanya membalas dengan untaian senyum.

Aku pulang disambut dengan beberapa pertanyaan dari tante Ana. Aku tau dia pasti khawatir, seperti ayah dulu yang selalau mewawancaraiku bila aku pulang terlambat. Di kamar, kubuka lagi buku jurnal ayah yang berisi kalimat-kalimat indah. Buku yang sudah menjadi saksi perjalanan hidup ayah itu kini ada bersamaku.
“Jangan pernah menjadikan perbedaan sebagai alasan untuk saling berjauhan, tapi jadikanlah perbedaan itu sebagai alasan untuk kita saling mengenal dan pondasi untuk membangun suatu hubungan...”. 9 November 1997.

“Keberhasilan yang sebenarnya tak akan menemukan jalan yang lurus, tapi ia akan menemukan jalan yang berliku dan beberapa tikungan yang tajam...”. 28 Juli 2001.

Kini setalah apa yang terjadi, apa yang kulihat, kudengar dan kurasakan, aku mulai mengerti tentang hidup. Bahwa sebenarnya hidup ini adalah berjuang, ya berjuang untuk bisa mencapai titik yang diinginkan. Entah itu kebahagiaan atau keberhasilan, dan sekarang tak akan kubiarkan ayah dan ibuku kecewa, tapi sebaliknya... aku akan berjuang untuk membuat mereka bangga. Hari ini, entah kenapa aku merindukan mereka.

Read More..
 
Cerpen : Pak Karman Protes

Pak Karman adalah salah seorang angota DPR. Kesibukan setiap harinya adalah mengurusi apa pun yang menjadi urusannya di kantor DPR sana. Namun, siapa yang tahu apa yang diurusi, apakah dia hanya tiduran saja di atas kursi keangkuhannya atau hanya ngobrol saja dengan rekan-rekannya. Atau malah bekerja sama mencari uang belakang, atau menjadi bandit berdasi. Tidak ada yang tahu kecuali dirinya sendiri dan orang yang memang diberi tahu tentang keadaannya. Dewasa ini, KPK sering menyeret pelaku kriminal dari anggota DPR yang terbukti mencuri uang rakyat. Jadi, mungkin Pak Karman adalah anggota DPR yang baik karena dalam daftar hitam KPK tidak tercantum nama Pak Karman. Mudah-mudahan saja begitu.

Pak Karman, hari ini tak sece-rah biasanya. Hal yang demikian itu sesuai dengan kondisi alam yang berlangit mendung dengan hujan gerimisnya. Baru saja hujan menjelma menjadi gerimis, seiring dengan rintikan air mata Pak Karman. Ya, Pak Karman hari ini sedang bersedih. dia bersedih karena baru saja mendapat kabar dari kerabatnya bahwa Jakarta sudah banjir. Namun, bukankah hal itu memang telah menjadi langganan setiap tahunnya? Bukan itu masalahnya. Banjir kali ini berbeda dengan banjir yang lalu-lalu. Banjir kali ini, Pak Karman kehilangan anak semata wayangnya dan beberapa harta miliknya yang terseret oleh arus banjir langganan Jakarta tersebut.

Ya, sebulan yang lalu, Pak Karman sedang di luar kota karena mendapat tugas dari pemerintah. Praktis, anak semata wayangnya ditinggal di rumah sendirian. Hingga waktunya banjir, Pak Karman belum juga pulang ke rumah karena tugasnya belum selesai. Bertepatan dengan hari banjir Jakarta, Pak Karman baru menyelesaikan tugasnya. Dalam waktu itu pula dia mendapat kabar bahwa rumah beserta harta isinya tergenangi air pembawa sengsara itu. Yang lebih membuat Pak Karman bersedih adalah kematian anaknya.

*

"Ah, andai aku tidak pindah rumah, pasti tidak demikian kejadiannya," kata Pak Karman mengeluh. "Ini gara-gara banjir itu, banjir itu harus bertanggung jawab terhadap semua ini!"

Karena sedih bercampur marah, Pak Karman pun segera tancap gas dengan mobilnya ke lokasi banjir. Setelah sampai di tepiannya, Pak Karman keluar mobil dan mendekati banjir tersebut.

"Hei banjir, mengapa kau begitu jahat? Kau telah membunuh anakku dan merampas harta-hartaku. Apa maumu? Kamu harus bertanggung jawab!" kata Pak Karman marah kepada banjir.

"Hei manusia, apa yang kau sesalkan. Aku tak mempunyai maksud untuk membunuh anakmu dan merampas hartamu. Jangan menuntut pertanggungjawaban dariku. Cobalah minta tanggung jawab kepada sungai, karena aku ini hanya sekumpulan air yang banyak dan mengalir di sungai. Kali ini sungai tak menampungku," banjir menjawab.

Mendengar jawaban dari banjir seperti itu, Pak Karman pun segera menuju sungai. Namun sayang, sungai tersebut terbanjiri oleh air yang banyak. Segera Pak Karman mengendarai kapal mesin mini untuk pergi ke sungai yang tergenangi banjir. "Hei banjir, antarkan aku ke sungai!" perintah Pak Karman.

Tak lama kemudian, banjir pun mengantarkan Pak Karman ke sungai. Dan segera saja Pak Karman meluapkan emosinya kepada sungai.

"Sungai berengsek, mengapa kamu tidak menampung air ini?" Pak Karman geram. "Gara-gara kamu tidak menampung banjir ini, anakku meninggal beserta hartaku yang terseret banjir.

"Maaf manusia, mengapa kau marah padaku? Aku tak bersalah. Air ini terlalu banyak sehingga aku tak lagi mampu menampungnya. Aku tak sanggup," jawab sungai.

"Hei sungai, sudah bersalah tidak mau mengaku!" bentak Pak Karman dengan nada yang lebih tinggi.

"Janganlah kau menyalahkan aku, manusia! Cobalah kau tanyakan hal ini kepada hulu, karena aku mendapatkan kiriman air dari hulu," kata sungai.

Pak Karman pun bersegera menuju hulu.

*

Setelah beberapa lama, Pak Karman pun tiba di hulu sungai. Gemericik air pun terdengar merdu, namun hal itu tak membuat emosi Pak Karman reda.

"Hei hulu, kamu harus bertanggung jawab atas kematian anakku dan hilangnya hartaku!" kata Pak Karman penuh emosi.

"Tenanglah wahai manusia, ada apa? Kau tak perlu emosi, dengarkanlah gemericik air ini. Air ini adalah sumber kehidupan bagi semua makhluk hidup," kata hulu santai.

"Hei, apa-apaan kamu ini. Karena airmu itu, banjir menyeret anakku dan harta kekayaanku. Apakah air itu bisa disebut sumber penghidupan? Airmu itu justru malah membawa kematian dan penderitaan!" bentak Pak Karman semakin keras.

"Oh..jadi itu masalahmu. Memang benar, kali ini aku mengirimkan air lebih dari biasanya karena hujan sering mengguyur sehingga air pun melimpah ruah," jelas hulu.

"Apa kau bilang? Hujan?" Pak Karman meminta kejelasan.

"Iya, tanyakanlah kepada hujan mengapa terlalu berlebihan mengirimkan air sehingga terjadi banjir!" kata hulu lagi.

Kebetulan, hari ini langit sedang mendung dengan rintikan air gerimis. Gerimis ini akan menjadi hujan deras sebentar lagi.

"Hujan harus bertanggung jawab atas ini semua!" batin Pak Karman.

*

Dan benar, tak lama kemudian hujan pun turun dari langit. Hujan yang awalnya itu hanya rintik-rintik gerimis, kini menjelma menjadi guyuran air yang lebat. Pak Karman pun basah kuyup. Namun, ia tak peduli akan hal itu.

"Wahai hujan...! Kau harus bertanggung jawab atas kematian anakku satu-satunya. Kau juga harus bertanggung jawab atas hilangnya hartaku!" bentak Pak Karman pada hujan.

"Ha...ha...ha...ada apa wahai manusia? Mengapa tiba-tiba kau menyuruhku bertanggung jawab, apa salahku?" tanya hujan yang belum paham apa permasalahannya.

"Dasar hujan tak tahu diri! Kau ini terlalu banyak mengirimkan air sehingga hulu pun mengalirkan air ke sungai terlalu banyak. Karena terlalu banyak air itu, sungai tak mampu menampungnya. Akhirnya, banjir pun tak terelakkan lagi. Akibatnya, anak dan hartaku pun ikut hanyut beserta arus banjir itu. Apa kau tak merasa bersalah akan hal itu?" Pak Karman bertambah geram.

"Wahai manusia, ketahuilah! Aku ini mengirimkan air sudah sesuai dengan ketentuan, tak kurang dan tak lebih. Hutanlah yang menyimpan air kirimanku itu. Namun aku tak tahu, mengapa akhir-akhir ini hutan tak bergiat menyimpan air. Cobalah kau tanyakan padanya!" terang hujan.

Tanpa pikir panjang lagi, Pak Karman pun bertolak ke hutan yang jaraknya tak jauh dari letak hulu. Hanya memerlukan beberapa menit saja, Pak Karman sudah memasuki hutan. Dengan kondisi basah kuyup karena hujan, Pak Karman pun seolah bertambah emosinya.

"Hei hutan, aku datang ke sini untuk meminta pertanggungjawaban kepadamu. Karena ulahmu, aku kehilangan anakku satu-satunya dan juga hartaku. Karena kamu tidak menyimpan air, banjir pun tak terelakkan lagi. Mengapa kau hanya bermalas-malasan saja? Mengapa kau tak menyimpan air?" kata Pak Karman kepada hutan.

"Dasar manusia biadab, kau hanya bisa menyalahkan saja. Ketahuilah, aku tak pernah bermalas-malasan untuk menyimpan air karena itu adalah tugasku. Lihatlah aku, aku kini menjadi gundul karena pohon-pohonku ditebang oleh orang-orang sepertimu. Tanpa pohon-pohon itu, aku tak mampu menyimpan air. Aku tak bisa menyeimbangkan keadaan alam karena pohon-pohonku kau tebang setiap harinya. Dasar manusia serakah, maunya enak sendiri!" bentak hutan yang membuat Pak Karman menjadi ketakutan.

Pak Karman pun terdiam oleh bentakan hutan. Dia melihat di kanan dan kirinya, bekas-bekas pohon yang ditebang terlalu banyak. Hutan itu gundul karena ulah manusia. Pak Karman pun merenung, dia teringat bahwa belum lama ini dia mempunyai proyek membalak hutan.

"Beginikah jadinya ulah manusia?" batin Pak Karman dengan nada prihatin.

"Dasar manusia, mana pertanggungjawabanmu atas kerusakanku ini? Ketahuilah manusia, jika pohon-pohonku terus kau curi, tak hanya banjir yang akan terjadi. Tanah longsor, erosi, dan bencana alam lainnya pun akan terjadi. Aku tak bisa lagi menyeimbangkan keadaan alam tanpa pohon-pohonku," lanjut hutan.

Dengan tubuh yang gemetar, Pak Karman pun berlari meninggalkan hutan itu. Pak Karman tak lagi protes akan kematian anak tunggalnya dan hartanya yang hanyut oleh banjir. ***

Read More..
 
Cerpen, Aku


Aku mungkin sudah gila. Setidak-tidaknya berada dalam stadium awal menuju gila.Aku rebahkan tubuhku yang lelah. Di tepian jalan yang ramai.Aku gila ?.Apa salahnya menjadi gila? Tidak ada salahnya.

Menjadi gila bisa menjadi jalan terbaik menyelesaikan beban hidupku. Aku bisa merdeka dari beban-beban hidup. Berjalan ke mana saja.Tidur di mana saja.Telanjang.Menyanyi. Menangis. Jika seandainya aku membunuh, tidak akan dipenjara.Paling-paling dilemparkan ke RSJ. Menjadi gila adalah sebuah kemerdekaan. Orang lalu lalang di trotoar. Aku dulu seorang pejabat penting di sebuah departemen yang basah.Dengan kekuasaan yang luas, menentukan abang birunya suatu proyek.

Tetapi dalam hati sering timbul pertanyaan. Apakah aku ini pejabat ? Atau sekadar perampok !?.Tidak adanya bedanya. Semakin hari semakin tipis-tipis saja.Aku terkadang merampok.Mencopet. Mencuri.Memerkosa.Aku mengumpulkan harta. Menimbunnya. Menyantapnya dengan lahap di setiap malam.Mulai dari sudut - sudut restoran sampai kamar-kamar hotel. Sekarang, aku terbuang. Gila.Nyasar di sepanjang trotoar. Aku menghampiri seseorang yang menyandarkan tubuhnya di dinding pagar taman kota. Ia merokok.Asapnya mengepul.Putih.Ia begitu menikmatinya. Seperti sedang orgasme dengan rokok.Aku mencoba tersenyum.

Menepuk pundaknya.Sok akrab. ”Sudah lama.” Orang itu bengong ”Sudah lama aku tidak merokok.” Dia menyodorkan sebatang rokok kretek.Aku tersenyum.Tanganku bergerak cepat. Dengan rakus kumasukkan rokok itu ke mulutku.Dia memberiku korek api.Dinyalakan.Asap segera mengepul.Setiap sedotan kunikmati dengan kekhusyukan hati. Rasanya sudah berabad-abad tidak merokok. ”Rumahmu di mana ? ” Aku tertawa. ”Kamu tidak punya rumah !” ”Jika aku punya rumah.Aku tidak akan berada di sini.” Dia tertawa. Giginya kuning.Terlihat di antara asap rokok. ”Aku tahu.Kamu dibuang keluargamu, karena kamu gila.”

”Aku tidak gila !” Ia tertawa.Jelek sekali tawanya. ”Aku sebenarnya seorang pejabat.” Tawanya semakin ngakak. ”Dasar orang gila.” Ia segera pergi meninggalkanku sendirian. Rokok kusedot dalam-dalam. Ia tidak percaya aku pejabat.Tapi,masak pejabat bajunya kucel, penuh tambalan, tubuhnya bau. Aku harus segera berganti baju.Biar orang percaya.Aku terkadang merasa masih pejabat. Biarpun sudah dipecat karena korupsi. Sesaat kemudian ia kembali.Tawanya jelek.

Giginya kuning. Menjengkelkan. ”Kamu percaya aku pejabat ?” ”Iya,aku percaya.Tapi itu dulu.” Aku bengong.Dia tahu,siapa aku ?. ”Aku tahu,siapa kamu.Pejabat negara. Koruptor.” ”Aku tidak pernah korupsi.”Aku teriak Dia tertawa.Aku tidak berani melihat wajahnya. ”Kamu merasa masih pejabat !?” Aku mengangguk ” Sekarang,kamu orang gila.Yang bisa setiap saat mati di got.Digorok.Disodomi. Dicincang. Dagingmu untuk campuran bakso.” Aku merinding. ”Kamu takut ? Orang gila kok punya takut !.” ”Aku tidak gila !!.”aku teriak kembali ”Aku tahu kamu tidak gila.Tapi sinting. Sudrun.Grazy.Mad.” Aku melihat gigi kuningnya.

Muak. Mau muntah.Aku jadi ingat sesuatu. Aku perhatikan wajah orang itu dalamdalam. Aku sepertinya mengenalnya. ” Kamu Sastro, iya kan !. Kamu ingat.Kita pernah satu partai.” Kami berpelukan. ”Kamu juga gila !?.”tanyaku Dia tertawa. ”Aku ikut kamu.Menjadi gila.” Aku mulai karierku sebagai orang gila sepuluh tahun yang lalu.Saat aku berhasil menjadi pejabat penting di sebuah departemen.Aku mengurusi proyek. Menentukan siapa yang akan menangani suatu proyek.

Aku dipilih atasan, bukan karena aku mampu di bidang proyek bangunan. Sedikit pun aku tidak paham. Hanya satu alasan. Atasan dekat denganku karena banyak kesamaan. Sama-sama suka mabuk. Ngelonte. Karaoke atas - bawah. Dan yang penting sama-sama doyan uang.Culas.Tidak jujur.Tentu maling akan berjamaah dengan maling juga. Dari sinilah aku belajar menjadi gila. Bagaimana tidak gila.Proyek yang sebesar tiga ratus juta rupiah.Aku kepras limapuluh juta.Tapi jangan bayangkan aku rakus.Aku hanya dapat lima juta.Yang lain,untuk setor ke atas dan kanan-kiri.

Tentu tanpa kuitansi atau tanda terima lainnya.Dan yang lebih gila lagi,kontraktornya bisa membuat laporan dengan jumlah total tiga ratus juta rupiah.Entah dari mana dia mendapatkan uang lima juta untuk menggenapi.Gila. Kebiasaanku yang gila mendorong aku untuk menjadi gila sungguhan. Aku terbiasa hidup di alam maya.Sulit untuk menerima fakta.Aku tidak menerima fakta bahwa uang proyek sudah kukepras.Kontraktor harus membuat laporan uang utuh.Aku tidak bisa menerima fakta.kayu kusen-kusen sebuah sekolah SD hanya dari kayu meranti.

Kontraktor harus membuat laporan sesuai bestek,kusen-kusen dari kayu jati dan bengkerai. Aku benci fakta. Aku biasa berdusta. Muak dengan kejujuran.Tapi akhirnya aku capek. Lelah.Perut istri dan anakku terlalu banyak diisi yang haram. Sehingga mereka menjadi jahat.Istri tergila-gila dengan seorang gigolo yang sebaya anaknya.Anak putriku, hamil dengan laki-laki yang ia sendiri lupa siapa namanya. Ini sungguh gila.Tapi ini fakta.Aku tidak suka fakta.Aku kaget. Shock. Depresi. Jika proyek yang aku urus dengan mudah aku bermain-main dengan angka,merekayasanya menjadi wajar dan rasional.

Tetapi istriku yang kabur dengan gigolo dan anakku yang bunting. Bagaimana aku merekayasanya ? Aku tidak bisa menerima fakta. Aku tidak biasa hidup dengan fakta. Satu fakta lagi menyusul.Aku dipecat dengan tidak hormat.Polisi memburuku. Aku korupsi katanya.Aku sadar aku memang telah mencuri uang rakyat.Tapi aku tidak sendiri. Bukankah uang itu juga aku setor ke atas dan kanan-kiri.Ini fakta.Tapi tidak pernah jadi fakta karena aku tidak mempunyai bukti otentik.Gila.Aku merasa seperti anjing kurap yang ditinggalkan di jalan menunggu digilas oleh mobil yang lewat.Ini permainan yang gila. Jika tersangka korupsi pura-pura sakit itu biasa.

Aku mencari model baru. Aku pura-pura gila. Bukankah orang gila akan terbebas dari hukum ? Bahkan kalau seandainya aku membunuh, memerkosa, merampok, tidak ada jalan bagi hukum untuk menjerat. Pada awalnya aku agak tersiksa purapura gila. Risih, harus memakai baju penuh tambalan.Tertawa sendiri.Makan dari bak sampah.Tapi lama-lama aku merasakan kenikmatan. Aku sempat dikirim di rumah sakit jiwa. Itu lebih baik daripada aku dikirim ke penjara.Sebagai orang gila aku leluasa menggoda suster, mencolek pengunjung yang bahenol, atau pipis dan berak sembarang tempat.Aku bisa melakukan yang tidak bisa dilakukan orang waras.

Tetapi aku tidak kuat lama-lama di RSJ. Aku kabur. Tentu lebih mudah kabur dari RSJ daripada dari penjara. Aku lari. Aku ingin pulang.Tapi semua hartaku musnah. Sebagian disita negara.Sebagian yang lain dibawa kabur istriku dengan PILnya. Aku shock.Depresi.Inifakta,bukan fiksi sebagaimana laporanku. Aku telah kehilangan semuanya. Aku menangis. Tertawa sendirian. Aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri. Pikiranku tak bisa dikontrol. Perbuatanku seperti sebuah refleks yang tak beraturan.Menangis.Tertawa.

Tapi aku semakin merasakan kemerdekaan jadi orang gila.Aku mulai tidak tahu,aku pura-pura gila atau memang sudah gila sungguhan.Yang pasti lama-lama aku betah jadi gila.Aku menikmati menjadi gila.Aku merasa bahagia menjadi gila.Dulu juga sudah gila. Dengan segala kekuatan aku akan mempertahankan keadaan gila. Aku tertawa. Mengekspresikan kebahagiaan. Sastro gigi si gigi kuning ikut tertawa. ” Kita ini sudah gila sungguhan.” Kata Satro ”Kamu sedih menjadi orang gila ?.” ” Gila itu pilihan hidup. Tentu dengan berbagai risiko. Dulu kita gila dengan membunuh hati nurani.Menolak fakta.Membiasakan diri hidup dengan rekayasa. Mengepras uang proyek. Merampok raskin.Uang JPS.Kita sebut uang lelah.

Uang transport.Uang syukuran.”Sastro berhenti.Wajahnya kelihatan semakin jelek dan culun ” Sekarang gila kita sudah masuk fase paripurna.Kita gila sungguhan.Hidup tidak di atas fakta lagi.Tapi di awangawang. Tertawa saat orang –orang sedih. Bukankah itu sama gilanya dengan kita dulu saat kita masih menjadi pejabat. Kita tertawa setelah mengambil uang JPS dan raskin. Si miskin menangis uangnya dipotong. Tetapi tidak berani bicara.Sedang kita tertawa terbahak-bahak. Berkaraoke. Ngorok di hotel.Makan pindang bule di ranjang-ranjang hotel.” ” Ini pengakuan dosamu !” sergahku cepat Ia tertawa lebar. Gigi kuning terlihat lagi.

”Kamu sendiri bagaimana ?” Aku terdiam. ”Yang aku katakan tadi fakta, kan !? Bukan data yang telah disihir.” ” Sejak kapan kamu bisa membedakan fakta dan rekayasa !?” ” Sejak menjadi gila pada tingkat paripurna.” Aku tertawa. ”Sama dengan kamu,iya kan !” ”Mungkin.” ”Kok,mungkin.Yang pasti dong.” ” Otakku sudah error. Tidak bisa membedakan fakta dan bukan fakta. Aku gila itu fakta atau bukan. Istriku lari dengan gigolo itu fakta atau fiksi. Anakku bunting itu fakta atau fiksi. Kemudian aku dipecat. Disidang di meja hijau. Ditudung korupsi. Purapura gila.Lalu jadi gila sungguhan, itu fakta atau bukan !?.” Sastro tertawa. Dia sudah gila.Aku semakin tidak menyadari apa sesungguhnya terjadi. Fakta atau rekayasa.Aku tertawa sendiri. Menangis sendiri. Di sepanjang trotoar yang ramai. ***

Read More..
 
Cerpen : Aku Ingin Jadi Kupu-kupu

BAPAK mengabarkan pekan depan kami pindah. Pindah lagi, lebih tepatnya. Hampir setiap tahun kami pindah. Tidak jauh-jauh memang, tetap di lingkungan ini-ini saja. Kami tidak mungkin pindah jauh, karena aku sekolah tidak jauh dari sini, di sebuah sekolah menengah atas. Jika pindah jauh, apalagi ke pinggiran kota, jelas akan membuatku kalang-kabut.

“Kalau aku sudah kuliah boleh pindah jauh, kalau perlu sekalian ke kampung bapak di Jawa,” kataku. Bapak tidak menjawab, hanya memonyongkan mulutnya, seolah ingin mengatakan: itu kan maumu. Maunya keadaan belum tentu begitu. Aku mafhum, keadaan kadang membuat seseorang harus pergi dari tempat yang ia sukai, bahkan harus terusir dari kampung sendiri.

Sesungguhnya, ini adalah kampungku. Di kampung padat inilah aku menangis untuk pertama kalinya. Aku lahir hingga besar disini. Ketika kecil, aku suka berlarian di gang di depan rumah kami yang hanya cukup untuk berpapasan dua orang pejalan kaki. Aku dan teman-teman bermain di atas badan gang itu, ya main dadu, petak umpet, dan apa saja. Ketika ada sepeda motor lewat, kami segera menyingkir.

Kalau senja turun, gang itu kami pergunakan ramai-ramai. Selain kami yang bermain, gang itu juga digunakan oleh para pedagang makanan keliling untuk lewat, bahkan nongkrong, juga untuk ibu-ibu yang duduk di depan rumahnya sambil mengobrol. Ada pula anak-anak muda yang bergerombol di ujung gang sambil menyanyi diiringi petikan gitar yang tak jarang berantakan.

Kalau sedang sumpek di gang, aku dan beberapa teman suka pergi ke luar jalan besar. Kami menyebut cuci mata: melihat orang-orang lewat, barisan cahaya dari pertokoan dan lampu-lampu mobil yang menyilaukan. Sebenarnya bagiku yang paling menarik bukan itu. Di jalan besar, aku bisa dengan leluasa menatap puncak Monas. Aku begitu takjub melihat cahaya keemasan dari puncak tugu itu.

“Kapan ya aku bisa naik ke puncak emas itu…” Kata-kata itu suka meluncur begitu saja dari mulutku. Kawan-kawan yang mendengar kadang berkata: “Kamu harus menjadi burung dulu.” Tapi aku selalu menolak ucapan mereka. Aku tidak ingin jadi burung. “Aku ingin menjadi kupu-kupu.”

“Kupu-kupu malam dong….” Tawa teman-teman lalu pecah. Mereka puas meledekku. Tapi aku diam saja. Pada suatu saat akan kujelaskan mengapa aku ingin menjadi kupu-kupu, bukan ingin menjadi burung yang bisa terbang setinggi mungkin. Buatku, kupu-kupu lebih indah, lebih lembut. Ia memang tidak bisa terbang tinggi, tapi itulah tantangannya: ia harus berjuang untuk melakukan itu.

Kupu-kupu harus berjuang untuk terbang sampai ke Monas. Tapi bagi burung tidak. Ia bisa mencapainya kapan saja. Serba mudah. Kondisiku tidak seperti itu. Aku butuh perjuangan untuk mencapai sesuatu. Ayah tidak punya pekerjaan tetap dengan penghasilan cukup, kadang menjadi sopir bajaj, lain kali menjadi tukang bangunan, pada saat lain jadi sopir metro mini. Ibu hanya di rumah. Mengurusku dan dua adikku.

Aku bukan burung yang bisa terbang kemanapun aku mau. Bercita-cita menjadi kupu-kupu pun adalah sesuatu yang tidak mudah bagiku. Aku ini sebetulnya keong, yang merangkak pelan. Tapi aku tidak ingin menjadi keong. Terlalu lambat, tidak bersemangat. Aku tidak suka melihat sesuatu yang tidak bergairah, lemas, apalagi diam. Aku suka bergerak, berlari, dan terbang.

Ketika mulai besar, aku makin memantapkan diriku untuk menjadi kupu-kupu. Kata ibu, aku cantik. “Kamu ini bisa kayak artis lho. Mudah-mudahan kamu nanti jadi artis,” kata seorang bulekku di Jawa, ketika kami pulang pada sebuah Lebaran. Aku tersenyum tipis, dan berkata: “Aku mau jadi kupu-kupu, Bulek.”

Bulekku terperangah mendengarnya. “Kupu-kupu malam, maksudmu? Eling nduk, eling…”

“Bukan bulek. Bukan kupu-kupu malam. Jadi kupu-kupu, itu yang suka terbang di bunga-bunga…”

Mbuh, aku nggak ngerti maksudmu.”

Aku tidak menjelaskan lebih lanjut, karena percuma. Pastilah bulek makin tidak mengerti dengan penjelasanku. Akhirnya ibu yang menjelaskan dengan bahasanya sendiri: “Ia ingin menjadi seperti kupu-kupu, bisa hinggap di bunga-bunga.” Meski tidak sepenuhnya benar, penjelasan ibu membuat bulek mengangguk-angguk.

Karebmu, asal jangan menjadi kupu-kupu malam lho nduk… Bulek tak rela. Bulek bisa bunuh diri…” Bulek kemudian berlalu, tapi tetap menyimpan rasa penasaran yang hebat: “Keinginan kok aneh-aneh….”

Aku tidak menyahut, hanya tersenyum. Tidak semuanya memang perlu dijelaskan kepada orang lain. Tidak semuanya mesti diungkapkan. Tidak semuanya orang bisa paham dengan keinginan-keinginan orang lain. Maka itu, aku bisa mengerti mengapa bulek menjadi bingung mendengar kata-kataku.

Maka, sejak itu, keinginan itu pun kemudian aku simpan menjadi keinginan terpendam. Aku hanya akan mengungkapkan itu kembali ketika aku siap menjelaskan dengan bahasa yang dimengerti oleh orang lain. Kalau tidak, aku bisa dianggap sebagai orang aneh bahkan gila.

Tapi, seperti biasa, kalau malam aku suka keluar ke jalan raya untuk menikmati cahaya keemasan dari Monas. Sendiri. Aku tidak mengajak teman-teman. Mereka pasti punya acara sendiri-sendiri. Kesendirian juga membuatku lebih bebas. Lebih lepas. Bisa sesukanya membayangkan diri menjadi kupu-kupu.

Itu pula sebabnya aku tidak mau punya pacar, meskipun banyak teman sekolah mengejar-ngejarku, berusaha berbaik-baik padaku, menawarkan nonton, jalan-jalan, bahkan mengantarku dengan mobilnya. Aku tidak tertarik. Aku tidak ingin terkungkung, mengikuti kesepakatan-kesepakatan yang dibuat atas nama cinta. Aku ingin menjadi kupu-kupu, yang bebas, dan bisa berada di tempat-tempat menyenangkan.

Beberapa teman menggosipkan aku lesbian, hanya suka pada perempuan. Mereka hanya kerap melihat aku bersama teman-teman perempuan, tak pernah sekalipun berjalan berdua bersama seorang laki-laki. Tapi aku diam saja. Toh tidak semua hal mesti dibantah. Kalau dibantah, justru bisa membuat yang bikin gosip jadi lebih senang. Tapi kadang-kadang, aku bangga juga digosipin, artinya aku diperhatikan.

Tapi sudahlah, aku tidak tertarik untuk membahasnya lebih lanjut. Yang mengganggu pikiranku kini adalah kata-kata bapak tadi pagi sebelum aku berangkat sekolah. “Pekan depan, kita pindah.” Kemana? Bapak menggeleng. Ibu juga diam saja. Setelah itu, bapak berangkat kerja, entah kerja apa — aku tidak pernah bertanya. Ibu pun tak tahu.

Seperti kukatakan tadi, ini bukan kali pertama kami mesti pindah. Hampir tiap tahun kami pindah, mencari kontrakan yang lebih murah, meski di lingkungan di situ-situ juga, namun makin jauh dari Monas. Sekarang, banyak kontrakan tumbuh, gedung-gedung juga tumbuh, seperti pohon-pohon besar di tengah hutan.

Kontrakan lama sering diruntuhkan, lalu diatasnya dibangun kontrakan baru yang lebih bagus, tentu dengan harga sewa yang lebih mahal dari sebelumnya. Biasanya penghuni kontrakan-kontakan baru itu adalah orang-orang baru, yang lebih muda, pekerja atau keluarga muda. Mereka lebih rapih, lebih terpelajar daripada penghuni sebelumnya.

“Apakah kontrakan itu mau dirobohkan, mpok?” Aku tidak kuat menahan penasaran lalu bertanya kepada Mpok Minah yang berjualan gado-gado di ujung gang. Mpok Minah mengernyit dahi, memperlihat ketidakmengertian. “Kata siapa?”

“Kata Bapak, kami harus pindah pekan depan…”

“Wah, aku belum tahu. Mungkin bapakmu sudah dapat kontrakan yang lebih bagus dan lebih murah.”

Mungkin juga. Tapi mau pindah kemana lagi, aku sungguh capek sekali harus mengikuti ritual pindah. Kalau aku punya uang banyak, aku akan beli rumah besar di dekat Monas, agar kami hidup tenang dan nyaman, lalu tiap malam aku menikmati cahaya keemasan yang berkilau-kilau dari puncak tugu itu.

Jawaban baru kuperoleh dari ibu, malam-malam, setelah lama ibu diam. “Bapak tidak punya uang untuk bayar kontrakan.” Ibu mengatakan itu tanpa kutanya, mungkin ia tidak sanggup menyimpan sendiri beban itu. Sejak pagi, ibu selalu termenung. “Tapi bapak sedang mengusahakan agar bisa bayar kontrakan. Bapak sedang mencari pinjaman,” kata ibu lagi, setengah terisak. Bening-bening kecil jatuh di wajah ibu.

Begitu berat beban ibu, beban keluarga kami. Aku menggigit bibir. Tiap tahun, selalu persoalan itu yang muncul. Untungnya biaya sekolahku dan dua adikku tidak sampai menunggak. Ingat begini, kadang aku mau keluar sekolah dan mencari kerja. Tapi, pekerjaan apa yang bisa kulakukan. Atau aku mencoba-coba masuk agency artis dan model? Tidak, itu bukan pekerjaan mudah.

Mataku menerawang. Pikiranku ke mana-mana. Langit-langit ruang tamu rumah kami seperti layar film yang menyuguhkan berbagai gambar dan adegan. Lamat-lamat, aku merasakan tubuhku melayang. Kulihat tubuhku bersayap. “Hore…. Aku menjadi kupu-kupu,” teriakku girang. Kegirangan tiada tara. Keinginanku tiba-tiba tercapai.

Aku keluar dari rumah, terbang di atas atap-atap rumah. Dari sana, aku melihat Monas makin berkilau. Aku melihat Jakarta yang benderang, bagai lautan cahaya dengan perahu dan kapal yang sebagian diam dan sebagian lagi berarak di ruas-ruas yang mirip sungai, yang berbelok-belok dan tak bermuara.

“Aku ingin terbang ke puncak Monas…” Berkali-kali kata-kata itu kuteriakkan. Tapi malam seolah diam, tidak perduli pada kata-kataku. Aku pun tidak ambil pusing. Aku terus terbang, pelan namun pasti, ke arah tugu itu, melawan angin yang tiba-tiba menjadi kencang, bahkan melawan hujan yang tiba-tiba turun dengan petir yang kilat dan petir menyambar-nyambar.

“Aku harus bisa mencapai puncak emas Monas,” teriakku lagi. Tapi, belum sampai di Monas, sebuah ketukan beruntun dan panjang membangunkanku. Aku terlonjak dan bangun, buru-buru berjalan ke arah pintu. Kulihat dua orang lelaki dengan air muka keras menatapku, sambil bertanya: “Anda putrinya Pak Kusno?”

Belum sempat kujawab, ibu telah berdiri di depanku. Ia lalu memintaku untuk masuk. Setelah itu, aku tidak tahu lagi apa yang mereka bicarakan. Yang kutahu, ibu tiba-tiba menangis, sambil menyebut-nyebut nama bapak. “Kang Kusno, kamu tidak boleh pergi. Kamu tidak boleh mati. Kamu harus tetap hidup….”

Aku baru sadar bahwa sesuatu telah terjadi pada Bapak. “Bapak kenapa Bu, bapak kenapa?” Aku menggoyang-goyangkan tubuh ibu yang tampak lunglai. Dalam tangis yang makin meninggi, suara itu meraung: “Ayahmu dibakar orang karena menjambret… Tega benar orang itu.”

Terdiam sejenak, aku menggigit bibir. Berat betul beban bapak. Tragis betul nasib bapak. Tapi aku tidak boleh menangis. Meski tanpa bapak, aku tetap ingin menjadi kupu-kupu. Aku tetap ingin terbang ke puncak Monas. Akan kukerat secuil emasnya. Sebagian akan kuberikan pada ibu. Sebagian lagi untuk menyepuh nisan bapak.

Read More..
 
Cerpen : AKU INGIN BUNUH DIRI

Malam semakin asyik memainkan kegelapan, aku masih berpikir bagaimana cara mengakhiri hidup. Rencana untuk bunuh diri sudah lama berada dibenakku. Ada beberapa rencana yang telah kususun rapih akan tetapi aku masih mempertimbangkan untung ruginya, kedengarannya seperti pedagang untuk bunuh diri saja harus berhitung. Tetapi memang tujuanku adalah mengakhiri hidup dengan cara yang paling nyaman, tenang dan tentu sukses. Dari pada mati perlahan-lahan digerogoti TBC, tuberculosis akut yang menyerang paru-paruku.

Aku pernah Bunuh_diri_sampah
dengar dari seorang tetangga di sebelah pondokanku, bahwa menurut buku yang pernah ia baca, mati itu seperti orang tidur. Tidur adalah sebuah kematian kecil untuk manusia. Tentu tidur aku pernah merasakan, setiap hari, setiap malam bahkan setiap ada kesempatan aku lebih memilih tidur ketimbang melakukan aktifitas yang lain, selain memulung barang bekas pekerjaanku sekarang.

Setelah mendengar teori kematian kecil dari tetanggaku yang mahasiswa miskin itu, aku semakin yakin untuk menyusun rencana bunuh diri. Pada suatu kesempatan aku membahasnya dengan seorang teman sambil jongkok di sebuah kedai kopi dekat TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah Bantar Gebang. Temanku, Asnawi seorang pendengar yang baik.

“As, menurutmu kalau aku mati gimana?” tanyaku.

“Mati? Urusan mati sudah ada yang ngatur Dang! Lagian mana kamu tahu kamu bakalan mati kapan,” tandasnya memandangku heran. Perkataan Asnawi terasa sangat klise.

“Nah itu dia As, aku akan merancang kematianku dengan bunuh diri!” kataku serius, sambil menyeruput kopi pahit murahan sampai habis.

“Gila kamu Dang! Kamu mau bunuh diri?” terbelalak mata Asnawi. Buru-buru dia menyeruput kopinya sampai habis juga. Biasanya orang akan memuncratkan kopi yang diminumnya saat mendengar sesuatu yang mengejutkan, tapi Asnawi malah menandaskan kopinya.

“Ya, begitulah,” jawabku enteng. “Tapi As, aku ingin bunuh diri dengan tenang, nyaman dan tentu harus sukses!” lanjutku sambil meluruskan kakiku rebahan.

“Kamu gila Dang, kenapa kamu mau bunuh diri?” rupanya Asnawi masih penasaran, sepertinya dia lebih tertarik dengan kenapa aku harus mengakhiri hidup ketimbang membicarakan kehidupan setelah mati.

Aku menghentikan percakapan ini. Asnawi tidak menawarkan solusi. Mungkin untuk urusan kematian, harus aku rancang sendiri.

Sebenarnya ada beberapa rencana yang telah kupikirkan dan sedang aku pertimbangkan untung ruginya.

Pertama, bunuh Bunuh_diri
diri dengan tali. Aku hanya perlu membeli atau mencari seutas tali di tempat sampah, tali itu harus kokoh dan tidak gampang putus. Kemudian tali itu aku ikatkan di atas kusen pintu atau sebatang pohon, lalu aku belitkan leherku ke simpul tali yang berbentuk lingkaran, naik kesebuah kursi yang telah kusiapkan lalu kutendang kursi itu kuat-kuat dengan kaki, dan simpul tali akan membelit leherku saat tubuhku jatuh. Tapi membayangkan tali membelit leherku tercekik aku jauh-jauh membuang rencana itu. Terlalu menyakitkan!

Kedua, bunuh diri dengan meminum racun serangga. Aku tahu sebuah merek racun serangga cair yang sering dipakai untuk membasmi nyamuk, kecoa dan serangga lainnya. Tapi terus terang banyak uang yang aku keluarkan untuk membeli racun serangga itu, terlalu merepotkan. Selain itu apakah komposisi racunnya masih sepaten beberapa tahun yang lalu, yang banyak mengantar sukses orang bunuh diri. Pilihan ini terlalu mahal!

Ketiga, bunuh diri dengan cara ekonomis. Melindaskan diri di atas bantalan rel kereta api dengan sebuah kereta api yang sedang melaju kencang. Aku cukup menunggu sebuah kereta api yang sedang berjalan kencang, kemudian kereta itu menabrak tubuhku. Pasti akan sukses, tapi membayangkan tubuh hancur seperti tetelan daging segar di pasar dan orang-orang akan sangat jijik memungutnya satu per satu, pilihan seperti itu sangat menjijikan!

Lalu, rencana lain melompat dari gedung bertingkat. Aku hanya perlu mencari gedung bertingkat yang paling tinggi, kemudian aku meluncurkan tubuhku ke bawah, menghujam tanah atau aspal keras dan mati. Sukses! Tapi, selama tubuhku jatuh melayang, pasti ada sesuatu yang aku rasakan dan pikirkan. Pilihan ini membuatku ngeri membayangkannya!

Lagi pula, aku harus berdandan rapih untuk naik ke atas gedung bertingkat, mana boleh seorang pemulung masuk ke sebuah gedung bertingkat. Sangat tidak ekonomis.

Mungkin karena terlalu keras memikirkan berbagai rencana bunuh diri akhirnya aku tertidur. Tidurku sangat dalam.

Teringat perkataan mahasiswa psikologi miskin tetanggaku. Ada 5 fase tidur, yaitu fase pertama masa transisi antara kondisi sadar dan kondisi tidur. Fase kedua, seseorang telah masuk ke kondisi tidur yang sebenarnya, fase tidur panjang katanya. Fase ketiga, kondisi tidur akan semakin dalam gelombang otak akan lebih lambat. Fase keempat, yaitu tidur sangat dalam dan fase terakhir dimana terjadi gerakan bola mata yang cepat, berlangsung hanya beberapa detik dan itulah kejadian mimpi dalam tidur. Aku bermimpi dalam tidurku.

Tempat mimpinya berpindah-pindah, rasanya sangat lama aku berada di suatu tempat dengan pemandangan persawahan hijau berundak dan bertemu beberapa orang yang aku tidak kenal. Selanjutnya aku sudah berada di suatu tempat lain tanpa orang-orang dengan ruang kosong yang begitu besar. Kemudian dengan cepat bertemu orang yang sudah lama mati. Teman masa kecilku, namanya Imron.

***

Terakhir melihat Imron saat berusia 13 tahun. Dia masih seperti Imron yang kukenal dulu, ketika bertemu denganku dia tersenyum, mengangguk dan melambaikan tangan mengajakku mendekat.

“Imron?” kataku gagap.

“Ya, ini aku Dang!” tangannya dijulurkan untuk bersalaman denganku.

“Wah, aku lagi mimpi,” kataku kepadanya.

“Betul Dang kamu sedang bermimpi,” tiba-tiba suara Imron yang berusia 13 tahun itu menggelegar, suaranya nyaring dan berat, menggaung.

“Kenapa kamu mendatangiku?” aku bertanya sambil menutup kupingku, agar gelegar suara yang menimbulkan desing di telingku hilang.

“Kamu yang mendatangiku Dang!” Imron kini berbicara lirih.

“Aku…??? Kenapa aku yang mendatangi kamu?” aku semakin heran, kenapa dia bilang aku mendatangi dia, padahal dalam mimpi tidak ada rencana untuk bertemu dengan siapa-siapa. Ini kebetulan.

“Bukan kebetulan Dang!” Imron sepertinya tahu isi pikiranku. “Kamu mencariku, aku tahu dengan rencana kamu untuk mati. Sebenarnya kalau kamu betah untuk berlama-lama di alam mimpimu, kamu tidak akan kembali ke jasadmu yang sedang tidur di pondok reyot pemulung itu!” kembali suara Imron menggelegar.

“Imron, sejujurnya aku ingin berada terus di sini! Bagaimana caranya?” tanyaku memohon.

“Kamu harus mati dulu, tetapi kamu takut dengan segala rencana kematianmu. Artinya kamu takut mati! Dan kamu tidak akan pernah ada di sini!” Imron masih berbicara dengan bergelegar.

Tiba-tiba Imron hilang, sosoknya tidak ada lagi di depanku. Aku termangu. Kemana Imron batinku masih banyak pertanyaan untuk dia sehubungan rencana bunuh diriku.

Kemudian seperti kata tetanggaku yang mahasiswa miskin itu, aku kembali masuk ke fase tidur keempat, ketiga, kedua, lalu masuk ke fase tidur pertama. Aku terbangun.

***

Hari belum benar-benar pagi. Matahari belum menerangi sebagian besar tanah pekarangan pondokanku. Aku masih berbaring, mengingat-ingat kembali pertemuanku dengan Imron dalam mimpi semalam. Untuk lebih lama di sini, kamu harus mati! Itu bagian percakapan yang sangat aku ingat dari Imron.

Ya, tetapi aku sangat takut dengan rencana bunuh diriku. Untuk mati aku takut, tetapi untuk mencapai kematian, aku harus bunuh diri. Semua berputar-putar di kepalaku.

Malas sekali hari ini, selesai mandi di kamar mandi umum dekat kali Ciliwung aku bergegas menelusuri jalanan, mengambil sampah-sampah yang berguna untuk di jual botol plastik minuman dalam kemasan, kardus-kardus, koran bekas atau kalau lagi beruntung aku bisa menemukan peralatan elektronik yang dibuang pemiliknya karena ada komponennya yang rusak. Semua sampah itu akan kujual ke Pak Rohim, seorang penadah barang-barang bekas. Pak Rohim sangat baik, dia selalu memberikan timbangan lebih untukku sehingga aku bisa mendapat uang lebih seribu duaribu perak darinya.

Siang ini aku menemui Asnawi di TPA Bantar Gebang sekalian mencari barang bekas yang lebih berkelas dan mahal. Asnawi lebih suka mangkal di TPA dari pada harus bersusah payah menelusuri jalanan untuk mendapatkan barang bekas. Aku akan kembali mengajak dia berdiskusi tentang rencana bunuh diriku dan menceritakan padanya pertemuanku dengan Imron di mimpi tadi malam.

Tidak susah mencari Asnawi, dia sedang berteduh di kedai kopi TPA dengan beberapa pemulung lainnya. Siang ini gerimis mengguyur Bantar Gebang. Aku membuang karung besar tempat barang bekas di depan Asnawi, dia sedikit terkejut.

“Dang, kok karungmu masih kosong?” tanya Asnawi melihat karungku.

“Tadi sudah kujual ke Pak Rohim. As, aku mau cerita sesuatu,” aku menyeret dia agak menjauh dari pemulung lain. Aku tidak mau percakapanku di dengar oleh mereka.

“Semalam aku bermimpi bertemu dengan orang yang sudah mati, namanya Imron, dia itu temanku sewaktu kecil dulu,” setengah berbisik aku mulai bercerita.

“Kenapa dia mati? ya, si Imron itu!” katanya tanpa mau dijeda olehku.

“Setahuku Imron sakit sebelum meninggal, badannya menguning, belum sempat dilarikan ke Rumah Sakit dia keburu mati,” kataku memberi penjelasan mengenai Imron.

“Lalu apa yang akan kamu bicarakan denganku?” Asnawi mulai tidak sabar.

“Masih rencana bunuh diriku As, aku bingung si Imron tahu aku mau bunuh diri, tetapi dia tahu juga kalau aku takut mati, padahal katanya untuk mati aku cukup berlama-lama dalam alam mimpi dan tidak kembali ke jasadku yang sedang tidur,” kataku terbatuk-batuk.

Asnawi kemudian tertawa terbahak-bahak, sampai bahunya terguncang dan air matanya keluar.

“Ya itu dia Dang, kamu itu sudah gila, kamu menyusun rencana bunuh diri, tapi dari perkataanmu sendiri kamu takut dengan rencana matimu itu,” geli sekali Asnawi, dia kembali tertawa.

“As, aku ingin mati tanpa rasa sakit, tenang dan dalam suasana yang nyaman!” hardikku agar dia berhenti tertawa.

“Terus apa rencana kamu sekarang?” tanya Asnawi menantang.

“Aku akan bunuh diri malam ini,” jawabku kalem.

Asnawi tertawa lagi dan meninggalkanku menuju kedai kopi. Aku mengikuti langkahnya dan kemudian memesan segelas kopi berikut nasi rames untuk makan siang.

Selesai makan, aku meninggalkan Asnawi yang masih berbicara dengan pemulung yang lain. Pembicaraan yang membosankan, masalah ekonomi minyak tanah langka dan harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi, juga masalah politik yang membuat sebagian besar pemulung menjadi seperti seorang pengamat politik yang sering tampil parlente di televisi. Mengapa masalah-masalah yang membosankan itu yang mereka bicarakan?

Gerimis masih mengguyur, bau sampah menjadi lebih menyengat. Sambil mencari barang bekas di gunungan sampah aku kembali berpikir rencana bunuh diriku. Gantung diri, terjun dari gedung tinggi, ditabrak kereta api, minum racun, memotong nadi dengan silet silih berganti muncul tenggelam dalam benakku. Tubuhku terasa penat dan capek.

Aku kemudian berbaring dekat gunungan sampah di atapi oleh sebuah kardus besar yang aku temukan. Otakku terus berputar untuk mendapatkan rencana bunuh diri dengan cara yang sangat tenang, nyaman dan sukses.

Lagi-lagi aku tertidur, dan seperti kata mahasiswa miskin tetanggaku, tidur adalah kematian kecil, aku langsung masuk ke fase tidur paling dalam dan bermimpi.

Dalam mimpi aku kembali bertemu Imron, dia mengajakku ke suatu tempat hanya dengan melambaikan tangannya, ada beberapa orang yang mengikuti Imron.

Imron tidak Bunuh_diri_dream
mengajakku berbicara, kemudian tangannya erat memegangku, seolah-olah aku tidak boleh lepas dari genggamannya. Kami berjalan melewati awan-awan putih, tebing-tebing terjal yang kelam dan melintasi samudera lautan yang sangat luas membentang hingga mencapai sebuah padang bunga yang luas penuh asap kabut.

Imron masih menggenggam tanganku, seraya ia berkata,”Jangan mati bunuh diri Dang!”

Aku merasa sangat nyaman, sangat tenang dan serasa terbang. Sepertinya aku tidak pernah terjaga dari tidurku.***

Read More..