Cerpen ANTARA DUA BENDERA

Karya: Subhi

Orang-orang yang berada di sekitar rumah Abu mencium bau menyengat. Bau itu makin lama makin menyengat. Sebagian tetangga Abu merasa curiga. Namun, untuk mendobrak pintu rumah yang sudah beberapa hari terkunci dari dalam, tidak ada yang berani. Makin lama, seiring dengan tiupan angin bau tercium sampai jauh.

Entah dari mana asalnya, tiba-tiba sepasukan tentara berhenti di depan rumah Abu dan di susul oleh ambulan PMI. Rumah itu didobrak secara pakasa. Dugaan orang benar. Abu sudah menjadi mayat. Tubuhnya tertelungkup di antara dua bendera, tangan kanannya menjangkau merah putih, tangan kirinya menjangkau bendera berwarna merah hitam berlambangkan bulan bintang. Di sekitar mayat Abu terlihat bunga-bunga lumpur mengering, jejak sepatu lars memenuhi kamar berlantai semen kasar. Tim evakuasi PMI mengangkat mayat ke ambulan. Tak lama kemudian, sirine meraung-raung. Ambulan meluncur cepat.

Siapakah Abu?

Ketika Jepang menjajah Indonesia, lelaki itu, kata orang masih bayi. Tetapi, ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, ia sudah bijak-bijaknya bicara dan dengan nada patah-patah menyanyikan lagu Indonesia Raya. Ketika timbul gerakan DI-TII kabarnya dia menjadi gerilyawan.

Ketika di daerahmya ramai-ramai meminta referandum, dia tidak berbuat apa-apa, tetapi ia banyak berharap, pada dasarnya bagi dia apapun yang ditempuh oleh petinggi negara hendaknya dapat menghentikan kematian yang sia-sia. Hatinya nyaris tidak lagi berfungsi sebagaimana fungsi hati manusia, dia melihat kematian demi kematian sama seperti membaca sebuah berita perampokan di sebuah surat kabar. Dia takut kalau-kalua karena itu Tuhan mencabut nilai kemanusiaan dari hati semua orang. Karena itu, dia sering meminta dalam doanya agar negerinya cepat aman.

Dalam kehidupan sehari-hari dia tidak banyak bicara. Kalaupun terpaksa bicara akan dilakukannya bila dia telah yakin lawan bicaranya tidak memihak kepada siapa-siapa dari mereka yang bertikai. Kata yang keluar dari mulutnya pun mudah diingatkan orang, “Mungkin saja”.

Sebagai petani, Abu sudah lama tidak ke ladang atau ke sawah. Dia tidak mau berurusan dengan siapa pun. Dia trauma, karena dulu, sesekali waktu, ketika dia pulang dari lading, seorang temannya menanyakan, “Hei, Abu, baru pulang dari latihan, ya?” pertanyaan ini membuat dia tidak tidur semalaman. Bahkan berlanjut sampai beberapa malam.

Sejak peristiwa itu dia tidak pernah lagi pergi ke ladangnya. Apa lagi setiap hari, setiap malam, dia mendengar suara tembakan. Keesokan harinya, catatan hariannya pun bertambah dengan masuknya salah seorang teman, atau kerabatnya sebagai korban penembakan misterius. Wajarlah dia merasa lebih tenteram hidup ketika orang-orang kampungnya ramai-ramai memanggul senjata melawan penjajah. Dia merasa senang menyambut para pejuang pulang dari medan pertempuran. Sambil berlari-lari dengan badan telanjang dia dan teman-temannya meneriakkan kata “merdeka”…

Sejak anaknya yang bungsu dan dua orang cucunya tewas dalam perjalanan pulang dari mesjid, lelaki itu tidak pernah terlihat berjamaah magrib lagi. Agaknya, kematian itu membuat dia lebih memilih salat di rumah saja. Ingatannya pun mulai terganggu. Hampir setengah dari jumlah anak-anaknya yang telah meninggal dunia, mati secara tidak wajar. Yang lebih membuat hatinya gebalau, anaknya yang sulung, yang selama ini membantu biaya hidupnya, hilang tak tahu rimbanya. Karena itu, setiap ada berita ditemukan mayat, dia selalu mencari informasi kepada tetangga-tetangganya. Dia menanyakan sedetil-detilnya tentang ciri mayat yang ditemukan.

Sekarang ada suatu persoalan yang berkecamuk dalam hati tuanya yang semakin rawan. Sejak lepas magrib dia merasa tidak tenang.sebentar dia ke dapur, sebentar dia ke sumur yang terdapat di luar rumahnya. Agaknya berita tentang akan diadakan razia ke rumah-rumah penduduk membuat dia serba salah. Ke mana harus ia amankan bendera berwarna merah berlambang bulan sabit dan bintang itu? Namun, untuk menyesali apa sudah dia lakukan, tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Sebab, sejak kecil dia telah diajarkan orang tuanya untuk menghargai pemberian orang, sekecil apapun pemberian itu. Apalagi dia menerima pemberian itu menyangkut solidaritas terhadap teman-temannya. Tapi, karena itu pula sekarang ia merasa cemas yang luar biasa.

Bendera itu semula sudah disimpan di atas loteng. Menurut lelaki itu, di tempat itu pasti akan aman, tetapi tiba-tiba pikirannya berubah. Benda itu dilipat dan di bungkus dengan plastik lalu diganduli batu dan dijatuhkan kedalam sumur. Tak lama kemudian, timbul pula keraguannya, benda itu cepat diambil dari sumur dan dikuburkan malam itu juga di samping rumahnya. Beberapa saat kemudian dia mendengar suara orang berjalan di samping rumahnya. Hatinya semakin kacau. Dia merasa suara itu pasti suara langkah orang memata-matainya. Mungkin ada yang tahu apa yang dikuburkannya. Setelah dia merasa yakin suara orang melangkah sudah semakin jauh, dia bergegas menggali kembali dan bendera itu diambilnya kembali.

Di bawah sinar lampu yang temaram, di atas lantai, dikembangkan bendera itu berdampingan dengan bendera merah putih. “Alangkah indahnya kalau kedua bendera itu dapa berdampingan, tidak saling menutup satu oleh yang lain” piker lelaki tua itu. Lalu dia merenung sejenak, kemudian dia mengambil buku catatannya. Dengan tangan gemetar dia menulis, “Anak-anakku. Sebagai orang tua, aku merasa bangga. Kudengar dari orang, kamu Ismail telah menjadi prajurit yang berjuang untuk membebaskan negeri kita dari kemiskinan. Kamu pasti tambah kekar terlihat mengenakan pakaian loreng, tapi pernahkah kau tahu, aku sebagai ayahmu mencemaskan keselamatanmu. Bahkan jika TNI mencarimu, orang merasa serba salah. Diberitahukannya keberadaan kamu, kamu pasti akan mengancamnya. Namun, jika mereka merahasiakannya, mereka akan mendapat perlakuan yang tidak diinginkan. Tidak jarang terjadi, ketika ada penyisiran, rakyat yang tidak tahu-menahu yang menjadi korban. Oleh karena itu, pikirkanlah anakku. Aku yakin, dengan sudut pandang manapun kamu menilai, kamu tidak ingin orang-orang kampung menjadi korban atas sesuatu yang tidak pernah mereka lakukan. Bukankah kamu dulu pernah kuajari, jangan menyakiti hati atau jasad manusia, sebab, semua makhluk yang ada kan mengutukmu. Kalaupun ajaranku itu salah, tapi yakinlah kamu, tujuanku satu. Apapun alasannya, aku ingin di dalam darahmu mengalir nilai-nilai kemanusiaan. Ingatlah, anakku. Sesuatu yang baik harus diperjuangkan dengan cara yang baik pula. Kekerasan tidak akan menyelesaikan persoalan.

Anakku, Ahmad. Kamu adalh putra kebanggaan keluarga. Ketika ibumu masih hidup, dia sering memuji keberanianmu membela kebenaran. Aku sering menina bobokkanmu dengan tembang-tembang perjuangan. Masih ingatkah kamu syair tembang itu? Aku melihat mata kecilmu berkaca-kaca setiap aku menembang “Toke-toke neuptron, yum sabon bek lagee yum ija. Yum brueuh bek tat melambong, matee ulon so nyang jeut keu teuntra”.

Alhamdulillah, Ahmad. Meskipun dengan terpaksa aku harus menjual dua petak sawah, kemu sudah berhasil menjadi seorang prajurit Negara. Tapi masihkah ada di hatimu nilai-nilai kejujuran dan keberanian membela kebenaran. Jika itu masih ada, jika satu saat aku menghadap Tuhan, arwahku akan tenang di sisi Tuhan. Meskipun sejak kamu menjadi prajurit kamu belum pernah menjumpaiku, aku yakin kamu tambah tampan, kekar, dan gagah perkasa. Satu hal yang perlu kuingatkan, taklukanlah musuhmu dengan cinta kasih. Sebab, musuh yang bertekuk lutut karena cinta kasihmu mereka akan berikrar dalam hatinya untuk setia kepadamu sampai akhir hayatnya”.

Buku catatan itu pun ditutupnya. Sejenak dia menatap foto-foto hitam putih yang terpajang di dinding, satu persatu. Dia menarik nafas panjang. “Tuhan, damaikan negeriku. Damaikan hati anak-anak negeri. Sudah cukup lama kami hidup dalam resah. Masih adakah hari-hari yang indah untuk kami nikmati?”.

Tak lam sesudah itu, dalam waktu hamper bersamaan Ahmad dan Ismail muncul. Sejenak mereka berpelukan. Abu tak kuasa membendung perasaannya. Bulir-bulir bening menetes perlahan, membasahi pipinya yang semakin keriput dimakan usia. Ahmad dan Ismail pun demikian. Mereka saling mengejek dengan menyebutkan kejelekan masing-masing ketika masih kanak-kanak.

“Bang, apa masih mengulum-ngulum nasi? Wah repot juga kalau tiba-tiba dalam barisan disuruh menyampaikan laporan. Bias-bisa nasinya yang keluar dari mulut, bukan laporan”.

“Mad, Mad, di TNI apa pangkatmu?”

“Sersan Satu, Bang”

“Kalau abang, meskipun tidak tamat SMU dan baru jadi prajurit, wah, kedudukan abang sudah setingkat Komandan Kompi. Eh, tapi ngomong-ngomong, bagaimana ketika kamu menjadi TNI, apa kebiasaanmu yang ketika ingin tidur harus mengelus rambut ayah, masih terus berlanjut. Rambut siapa yang kamu elus?”

“Bang, bang. Kok repot-repot. Kubelikan wig, kuanggap itu rambut ayah, kuelus-elus, lantas aku pun tidur, bereskan?”

Tak lama kemudian kedua prajurit yang saling berseberangan itu meninggalkan Abu. Abu kembali sendiri, dia sendiri lagi, seperti malam-malam yang lalu. Keesokan harinya, Abu ditemukan menjadi mayat dengan luka-luka tembak di sekujur tubuhnya.

Kematian Abu sangat misteri, ditambah lagi pada keesokan harinya orang-orang menemukan mayat Ismail dan Ahmad tergeletak tidak jauh dari rumahnya.

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.