Negeri Makian II

Diary of Arakundo

Aku ingin bercerita,

Mengabarkan sesuatu. Kalian mau mendengarnya atau pun tidak, itu bukanlah
urusanku. Tugasku hanya untuk bercerita. Pun bisa jadi kalian semua tidak akan mengerti maksud dari ceritaku ini, karena kalian semua tidak pernah melihat dan tidak pernah merasakannya. Sedangkan aku, melihat dan merasakan semuanya.

Ah, andaikan saja kalian pernah merasakannya, minimal pernah mendengar secuil kisah ini, tentu kalian semua akan mengerti dan sepakat denganku, betapa hidup ini penuh dengan tipu daya dan kemunafikan.

Jujur, aku tidak pandai bercerita, tidak pandai memandu kalimat, bahkan untuk sekedar beretorika pun aku tidak mampu. Betapa bodohnya diriku……, bila saja aku tahu betapa kuliah di fakultas sastra itu sangat menguntungkan, sudah tentu aku akan kuliah disitu. Karena dengannya aku akan memiliki kemampuan untuk merangkai seutas kata menjadi sebuah kalimat, sehingga kalian tidak akan pusing bila membaca tulisanku ini.

Tetapi biarlah, toh aku harus tetap bercerita walaupun aku tidak pandai bercerita. Lagi pula itu bukan urusanku, tugasku hanya bercerita, titik!.

“ ARAKUNDO”.

Aku yakin kalian tidak pernah mendengar, kecuali orang Aceh, itupun tidak semua orang Aceh. Jika kalian pernah bepergian dari Medan menuju Banda Aceh, pasti kalian akan melewati ARAKUNDO.

ARAKUNDO, akhir perjalanan hidup dari kehidupanku. Sebenarnya aku enggan untuk menceritakan kehidupan yang telah berakhir ini. Tapi seperti ada sebuah beban yang memaksaku untuk menceritakannya. Bukan untukku, tetapi untuk mereka, mereka yang berakhir di ARAKUNDO. Jadi, kuharap janganlah kalian mencoba untuk menghentikanku. Baik kalian suka ataupun tidak, kumohon, biarlah aku meneruskan kisah ini, kisah yang telah memusnahkan hati, jiwa dan perasaanku.

Ya, kisah yang mematikan hati, jiwa dan perasaanku. Mungkin kalian menganggap diriku terlalu melankolis, terserah apa kata kalian! Aku tidak peduli!. Pun aku tidak ambil pusing apakah kalian pernah mengalami kematian ini. Jika kalian merasakan seperti apa yang aku rasakan, sungguh kalian akan menyesali hidup. Mengapa garis perjalanan harus seperti ini.

Bukan, aku bukannya menggugat Tuhan, bukan pula protes atas skenario Tuhan diatas sana. Kumohon, kalian jangan memvonisku seperti itu. Walaupun kalian berhak untuk mengatakannya. Janganlah kalian menambahkan kematianku. Setelah hati, jiwa dan perasaanku mati janganlah lagi kalian matikan juga sukma ragaku. Dialah satu-satunya yang masih tersisa dalam raga ringkih ini. Apakah kalian mengerti?

ARAKUNDO. Ah, aku sering melihatnya, bahkan terlalu sering. Hari-hariku senantiasa diwarnai olehnya, juga sebaliknya, aku ikut mewarnai perjalanan hidup ARAKUNDO. Otot-otot yang menghiasi tubuhku merupakan gambaran yang tidak bisa kalian pungkiri. Jika kalian tidak percaya, suatu saat kalian bisa menjumpaiku. Hanya sebuah pembuktian bahwa aku telah ikut andil mewarnai perjalanan ARAKUNDO.

Maaf, jika tulisan ini terlalu membosankan bagi kalian. Membosankan dari segi tehnik maupun kualitas. Tapi bagiku tidak. Karena aku merasakan setiap ”inci” waktu yang bergerak, saat ARAKUNDO bergejolak dan berdarah-darah. “Berdarah?”, benar. Selain diriku, gelapnya malam ikut menjadi saksi ARAKUNDO bedarah-darah.

Duh, andaikan saja kalian pernah merasakannya, minimal pernah mendengar secuil kisah ini, tentu kalian semua akan mengerti betapa hidup ini penuh dengan tipu daya dan kemunafikan.

Tahukah kalian, ayahku mengorbankan segala-galanya untuk ARAKUNDO. Berdarah-darah. Aku masih dapat merasakannya, aku masih dapat meresapi sakit itu, detik-detik akhir yang memisahkan diriku dari dekapannya untuk selama-lamanya.

Andaikan saja aku dapat meleburkan diriku kedalam tubuh kalian, menyatukan hati, jiwa dan perasaanku, tentu kalian semua akan merasakan apa yang aku rasakan saat ini. Akan merasakan sakit yang tengah aku rasakan saat ini. Sumpah. Aku tidak berbohong, kalian semua akan merasakannya.

Tapi aku ragu dengan kalian, kalian pasti tengah menertawai diriku saat ini. Aku tidak tahu, bisa jadi kalian menertawai kisahku atau menertawai tulisanku ini. Terserah!. Aku hanya ingin bercerita, agar seluruh asa yang tersisa dalam hidup ini dapat kuselamatkan. Tidak ada secuil keinginan agar kisah ini akan membuat kalian terharu, agar kalian jatuh sayang kepadaku. Tidak!!!!!. Sekali lagi TIDAK!!. Aku tidak membutuhkan rasa dari kalian semua.

Untuk itu diamlah. Jangan lagi mentertawaiku. Biarkan aku meneruskan tulisan ini…., waktuku sangat sempit.
Detik-detik yang sangat menyakitkan.

Saat itu :
Kami terus berlari, tidak tahu sudah berapa jauh jarak yang kami tempuh. Kakiku mulai lelah. Sudah satu jam lebih. Kakiku kaku.

Kupandangi wajah disampingku, peluh membanjiri tubuh ringkihnya. Sama seperti diriku. Nafasku semakin sesak.

“ Teruslah berlari, nak ”
“ Ayah, aku terlalu lelah. Aku tidak sanggup lagi untuk berlari. Sudah terlalu jauh kita berlari. Bisakah kita berhenti barang sejenak. Sejenak saja” aku putus asa.

Aku terlalu lelah, namun harus tetap berlari, berlari dan terus berlari. Nafasku semakin lemah. Perih dikakiku sudah tak tertahankan lagi. Gesekan serta goresan-goresan ranting dan ilalang telah membuka luka-luka dikakiku. Perih!!.

Ayahku menghentikan langkah. Aku mengikutinya, menghentikan langkahku.

“Ayah…….” Suaraku lirih sambil memegang tangannya. Ingin mengetahui apa yang terjadi. Mengapa Ia berhenti.

“ Afan ……..” Ia menatapku. Suara beratnya seperti menyimpan rasa takut yang amat sangat. Aku yakin sesuatu telah membuatnya seperti itu.
Aku tersadar. Aku tahu apa yang ia takutkan. Jantungku berdetak kencang. Refleks kupeluk tubuhnya…….

“Ayah…….” Air mataku terjatuh.
“ARAKUNDO!!!!”.

“Ayolah, nak. Bersabarlah. Jangan sampai mereka menyusul kita”.

Kami harus melewati sungai itu. Arakundo!!. Mungkinkah kami melaluinya dengan nafas yang lemah seperti ini. Sedangkan suara-suara tembakan semakin jelas terdengar “Ya Allah, selamatkan kami.’”

“Bismillahhirrahmanirrahimm….” Ayahku menengadahkan kedua tangannya. Berdo’a, khusyuk. Suara dan kilatan senjata api semakin mendekat.

“ Anakku, cepat naik kepunggung ayah….” kata ayahku sambil berjongkok.
Dalam diam aku langsung menaiki punggung kurusnya. “Ya Allah, selamatkan kami” do’aku. Air mataku berjatuhan membasahi pundaknya.

Ayahku, Ia berlari sekencang-kencangnya dan bertakbir. “Allahu Akbarrrrrr…!!
Sungai didepan kami tampak damai menyambut, tenang seperti samudra. Namun….., tenaga kami…….

“Afan…berpeganglah………..”
Aku menutup mata. Berdo,a.

***

Maaf, aku menangis. Tolong jangan kalian tertawakan. Biarkan aku sendiri dalam sedih. Berilah kesempatan padaku untuk kembali membayangkan siluet wajah takut ayahku, wajah lelah ayahku, wajah sedih ayahku, wajah putus asa ayahku. Biarlahhhh………, kumohon kalian memahami keadaanku saat ini.

Ayahhh…….
Ayah.., aku rinduuuu………..

ARAKUNDO.

Lembaran-lembaran hitam yang menyakitkan. Lembaran-lembaran yang telah mematikan hati, jiwa dan perasaanku. Aku yakin, banyak diantara kami orang-orang Aceh yang mengalami kisah sepertiku. Bisa jadi mereka lebih menyakitkan dan mematikan raga-raga mereka yang tetap membisu.
Ah, andaikan saja kalian pernah merasakannya, minimal pernah mendengar secuil kisah ini, tentu kalian semua akan mengerti betapa hidup ini penuh dengan tipu daya dan kemunafikan.

Tolong dimaafkan jika tulisanku ini terkesan mengada-ngada. Seolah-olah aku memanipulasi data dihatiku. Aku tidak perduli jika kalian menertawakanku. Toh ada angin tempatku bercerita. Toh ada bumi tempatku bersandar. Toh ada air tempatku melepaskan kesedihanku.

Kematian hati, jiwa dan perasaan. Mungkin memang sudah menjadi hidup bagi kami. Bagi manusia-manusia yang hidup dalam negeri…….makian…

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.