Cerpen Takkan Pergi Lagi

Posting cerpen by: dinda

Hari ini dengan sangat terpaksa aku harus nganter adikku satu-satunya latihan ke sanggar nari. Kalau bukan karna iming-iming dia mau bantuin kerjaan aku, mungkin sekarang aku lagi nongkrong di cafe Pak Ulil. Cafe yang selalu rame dikunjungi anak-anak muda. Bukan cuma karna makanannya yang enak, tapi suasananya juga ngedukung banget buat refreshing and kumpul-kumpul bareng sama sohib. Kok, jadi promosi Cafe Pak Ulil?
Nah, begitu deh, alhasil sabtu pagi ini kiki (adikku yang super manja) dah sibuk bolak-balik ngebangunin aku. “Cepet dong ka! Aku nanti telat neh!!”, teriakknya entah untuk yang keberapa kalinya. Dan entah untuk yang keberapa kalinya juga aku menarik kembali selimut yang ditariknya. Dan terjadilah tarik menarik selimut yang akhirnya dimenangkan oleh aku. Hahaha.
“Ya udah, aku ga mau bantuin kakak ngetik proposal! Aku berangkat sendiri!”, ucap kiki beranjak dari kamarku. Spontan aku teringat akan perjanjian saling bantu itu dan meloncat ke luar kamar.”Woy!!! jangan gitu dong adikku yang manis. Oke..oke..15 menit yah”, rayuku sambil ngeluyur ke kamar mandi.
Setibanya di sanggar tari, ternyata masih terlalu pagi...sedangkan kelas tarinya dimulai jam 10, sambil senyum-senyum simpul kiki merajuk,”maaf kak, aku salah liat jam, tapi sebagai gantinya aku ajak keliling-keliling sanggar yuk”.
Sambil menggandeng tanganku, kiki mengajakku ke sebuah ruang pertunjukan kecil. Dari atas balkon ini aku bisa memandangi cewek-cewek yang sedang bersiap-siap untuk latihan. Mereka sedang asyik melakukan pemanasan di pinggir arena. Menurut kiki sih, sore ini mereka akan ada shooting untuk sebuah video klip.
“Nah....itu dia kak!!!”, teriak kiki membuyarkan perhatianku.
“Siapa?”, tanyaku penasaran.
“Itu..itu...tuh, cewek yang pakai topi kuning. Yang baru masuk. Lihat ga?”
“Liat..liat. Emang dia siapa?”, tanyaku lagi.
“Namanya Kak Rey. Dia dancer paling okeh disini. Tawaran shootingnya paling banyak. Keren abiz deh”.
“Kalo emang okeh, trus apa hubungannya ama kakak?”, tanyaku ga perduli.
“Yaa...siapa tau kakak bisa jadi pacarnya. Kan lumayan, aku bisa dapet kakak ipar plus guru private. Gratis!!!! Hehehe”
“Dia bukan type aku”, jawabku ketus sambil menatap lekat tampang serius adikku yang sepertinya sangat terkagum-kagum dengan kakak kelas tarinya itu.
“Kak Rey orangnya baik banget, ga sombong, ga pelit ilmu...emm...”
“Apa lagi?”
“Cantik...”
“Relatif”, sergahku.
“Manis...”
“Gula kalee”, sergahku lagi.
“Kaya...”
“Woy!!! emangnya aku cowok matre?”, jawabku kali ini.
“Lagian, jawabin aja sih. Pokoknya Kak Rey ini okeh banget deh kak. Ga akan nyesel dapetin dia”, bujuk kiki lagi.
“Kamu dibayar berapa sama dia buat jadi juru kampanye?”, tanyaku mengerenyit.
“Ihh, apaan sih kak Ivan. Ya udah kalo ga mau. Jangan nyesel yah”, ledeknya.
Aku hanya menanggapi ledekan kiki dengan senyuman. Rey? Nama yang ga asing buatku.

“Kak!!Kak!!..”,teriak kiki.
“Apa sih? Kamu ngagetin kak Ivan ajah”, ucapku. Kualihkan pandanganku ke arah yang ditunjuk kiki. Di tengah lapangan aku melihat seorang cewek berlari menuju tangga balkon. Gadis bertopi kuning yang baru saja diceritain kiki. Setibanya diatas balkon dia hanya berdiri menatapku yang membuat aku salah tingkah dan ketika dia buka topinya.
“Reyna?”, teriakku keheranan. Aku segera berlari menghampirinya dan memeluk erat tubuhnya. Untuk beberapa waktu kami tak berbicara dan dia menangis dipelukanku. Kiki menatap heran kearahku, namun seakan mengerti dia beranjak pergi menuju kelas tarinya.
Masih diatas balkon ini, Reyna duduk bersandar dibahuku sambil menggenggam erat tanganku. Dan sampai saat ini masih tak ada kata yang keluar dari mulut kami berdua.
“Akhirnya aku menemukan kamu juga”, ucapnya lirih.
“Apa?”, tanyaku pura-pura tak mendengar.
Sambil membenarkan posisi duduknya dia menatapku lekat sekali, air mata mulai menggelinangi sudut matanya lagi.
“Kamu jahat Van!”, tuturnya. “Kenapa kamu pergi? Semua pesanku ga pernah kamu balas dan kamu sama sekali tidak mencari aku?”, ucapnya kemudian dengan nada suara yang meninggi.
“Aku pergi supaya kamu bahagia Rey”, jelasku.
“Bahagia? Aku?”, tanyanya menyudutkan alasan kepergianku dua tahun yang lalu. Hijrahku kembali ke Jakarta memang dengan alasan untuk meninggalkannya, itupun atas permintaan orang tuanya yang telah menjodohkan dia dengan pemuda kaya yang sudah mapan. Sedangkan dua tahun yang lalu, aku bukanlah siapa-siapa.
“Bagaimana kabar suami kamu? Anak kamu?”, tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Sudahlah Van. Sepertinya kamu tidak pernah mengharapkan pertemuan denganku lagi”, ucapnya. Dia berdiri dihadapanku yang tertunduk membisu. “Untuk sekedar kamu ketahui Van, aku belum menikah”, jelasnya seraya pergi meninggalkanku yang terdiam.

Sudah dua tahun yang lalu aku merelakan keputusan orang tuanya untuk menikahkan dia dengan orang lain, tapi ternyata sampai saat ini dia belum menikah. Pelukannya, kehangatannya...apakah dia benar-benar hanya menanti aku kembali? Lalu bagaimana dengan aku? Motivasi yang ku dapat darinya membuatku seperti sekarang, semua berkecukupan, bahkan lebih. Tapi aku tak pernah berusaha mencari tau tentang dirinya lagi.
'Dia semakin cantik', gumamku sambil mengaduk segelas lemon tea yang es nya semakin mencair.
“Woy!!, ngapain lo ngelamun sendirian disini”, tegur Beno yang langsung menyambar lemon teaku dan menenggaknya habis. Aku tak bergeming.
“Van! Kenapa sih?”, tanyanya lagi,”ada masalah, cerita donk!!”.
“Eh Ben, elo ingat Reyna?”, tanyaku.
“Reyna? Em...emm...Reyna mana?”, tanyanya gelagapan.
“Reyna yang dulu di Bandung. Sabtu kemarin gue ketemu sama dia di sanggar tari tempat kiki latihan”, jelasku.
“Ohh...trus”, tanyanya lagi.
“Dia ga jadi nikah dengan cowok pilihan orang tuanya dulu. Siapa namanya? Emmm...Jardi!! Ingat ga lo?”
“Ohh iya, gue inget. Bagus dong”
“Bagus dari Hongkong!!”, celetukku.”Bodoh banget gue. Kenapa gue ga berusaha cari kabarnya dia yah?”.
“Yah, elo kan ga tau kalo dia ga jadi nikah?”, ucap Beno meredakan penyesalanku.
“Iya, tapi...”, ucapanku tiba-tiba terhenti, mataku tertuju pada meja diseberang kolam Cafe Pak Ulil.”Reyna, Ben!!!”, teriakku menunjuk kearah Reyna yang sedang duduk sendiri.
“Mana?”, tanya Beno.
“Itu”, jawabku kembali menunjuk kearah Reyna.
“Gue kesana dulu yah”, ucapku.
“Ya udah, gue juga mau pergi kok. Gue ada latihan hari ini”, tutur Beno.
“Oh ya udah”,jawabku.

Perlahan tapi pasti, kumantapkan hatiku untuk menyapa Reyna. Entahlah, apa masih pantas aku mendapatkannya? Yang aku mau saat ini adalah mendapatkan maaf darinya.
“Hai Rey”, sapaku. Dia terkejut dengan kehadiranku dan sambil memalingkan wajahnya, jelas terlihat dia membasuh air matanya dengan sehelai tissue.
“Boleh aku duduk disini? Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu”, pintaku. Hanya anggukan kecil yang kuterima, namun cukup menjawab bahwa aku diberi kesempatan untuk berbicara.
“Kamu sama siapa?”, tanyaku basa-basi.
“Kamu mau ngomong apa, Van?”, tanyanya.
“Eh..yah..aku...aku mau minta maaf”,jelasku.
“Untuk apa? Kamu salah apa sama aku?”, tanyanya kembali membuatku semakin merasa bersalah”
“Untuk kali ini, tolong dengarkan penjelasan aku. Yah?”, pintaku. “Malam itu, ayah kamu meminta aku untuk ninggalin kamu, karena dia ingin kamu menikah dengan orang yang sudah mapan. Ayah kamu ingin kamu bahagia. Aku sadar diri, saat itu aku tidak bisa menjanjikan apa-apa sama kamu. Makanya dengan berat hati aku kembali ke Jakarta. Aku juga ingin kamu bahagia”, jelasku.
“Kenapa kamu tidak menanyakan pendapat aku? Aku juga berhak memutuskan mana yang mau dan yang tidak mau aku jalani! Asal bersama kamu itu sudah cukup buat aku, Van. Kita berusaha sama-sama. Bukan dengan kamu ninggalin aku sendiri”, jawabnya. Ah, Reyna, kenapa aku harus menyesali semua ini.
“Tolong mengerti posisi aku saat itu Rey. Kalau aku pertahankan kamu, aku ga bisa kasih apa-apa?”, jelasku lagi.
“Kalau sekarang, kamu bisa kasih aku apa?”, tanyanya ketus.
“Insyaallah, aku bisa memberikan apa yang kamu mau Rey”.
“Tapi kenapa setelah kamu menyadari kamu sudah bisa memberikan aku sesuatu, kamu tidak mencari aku?”, tanyanya.
“Aku...aku pikir kamu telah menikah dan aku ga mau ganggu kehidupan kamu Rey”, belaku.
“Tapi seandainya saja sekali waktu kamu datang mencari aku, kamu pasti akan tau aku menikah atau tidak kan?”, ucapnya penuh kekecewaan.
“Maaf Rey, jujur...aku takut ketemu kamu lagi. Aku takut kecewa”,tuturku.
“Setiap kali aku pulang ke Bandung, aku selalu menanyakan tentang kamu. Apakah kamu datang mencari aku? Menelphone aku? Tapi tiap kali kutanyakan itu, tiap kali itu juga aku kecewa dengan jawaban yang kuterima”, jelasnya.
“Maaf Rey, sungguh benar-benar maaf... Aku pernah liat kamu di Cafe Xtra, aku teriak-teriak panggil kamu, tapi kamu ga dengar. Aku tersadar saat itu, mungkin kamu sedang bersama suami kamu, makanya aku langsung pergi”
“Cafe Extra?? Aku juga ketemu sama Beno. Sudah sering aku titip pesan lewat dia, aku kasih no hp aku supaya di kasih ke kamu. Aku berharap sekali saja kamu menghubungi aku. Tapi nihil. Selalu sibuk alasan yang kamu beri. Bahkan untuk aku Van?”.
“Beno!!!???”, tanyaku bingung.
“Yah...Beno!”.
“Tapi Beno ga pernah memberitahu aku tentang....ah pantes aja”, gerutuku.
“Kenapa? Masih mau kasih alasan apa lagi Van?”,desaknya.
“Rey,...”,ucapku menatap lekat matanya.”Aku ga tau harus bilang apa sama kamu. Aku hanya minta kamu memaafkan aku. Selebihnya jika kamu inginkan aku menjauhi kamu, aku akan pergi”, tuturku pasrah.
“Van, kamu ga pernah berbuat salah sama aku. Untuk apa minta maaf? Tapi tolong satu hal. Bilang sama Beno, untuk kesekian kalinya aku ga bisa menerima cinta dia”. Reyna meninggalkan aku yang tercengang dengan pengakuannya tadi. 'Beno?', sahabatku sendiri ternyata usaha dibelakang aku. Jadi selama ini dia sudah tahu kalau Reyna ada di Jakarta dan dia mencari aku. Dan semua pesan-pesan dari Reyna ga ada satupun yang disampaikan ke aku, no hp Reyna? Pantas dia gelagapan waktu aku bilang aku ketemu sama Reyna.

Keesokan harinya mamah memintaku untuk menjemput kiki di sanggar tarinya, latihan hari ini agak larut malam karena mereka akan manggung di salah satu tempat hiburan di Jakarta. Akupun ga berani untuk masuk ke dalam, aku meminta kiki untuk mencariku di parkiran saja. Baru saja kubalikan badan, aku melihat Reyna dijemput oleh seorang cowok. Mereka sedang ngobrol disebuah sedan sambil memasukkan beberapa barang ke bagasi belakang. Kelihatannya obrolan mereka sangat serius dan tiba-tiba tangan cowok itu menampar Reyna dengan kerasnya. Sesaat aku sempat mau menghampiri mereka, tapi aku tahan amarahku sambil mengawasinya. Cowok itu menarik lengan Reyna dan memaksanya masuk ke dalam mobil dan untuk kedua kalinya dia menampar Reyna lagi. Aku tidak dapat mengendalikan amarahku lagi. Kuhampiri cowok itu dan bogeman keraspun aku layangkan ke wajahnya dan dia tersungkur di samping mobil.
Kuhampiri Reyna yang menangis terisak, tapi begitu kupeluk tubuhnya, tangisnya semakin kencang.
“Rey, maaf...tapi dia siapa? Kenapa dia menyakiti kamu?”, tanyaku sambil menenangkan tangisnya.
“Dia...dia...orang yang dijodohkan ayahku dua tahun yang lalu. Ayah sudah memutuskan perjodohan ini dengan orang tuanya, tapi dia tetap memaksa. Aku lari ke Jakarta dan dia tetap mencariku. Akhirnya dia menemukan aku dan memaksa aku kembali ke Bandung”, jelasnya.
“Kenapa dia menampar kamu Rey?”, tanyaku.
“Dia sering menampar aku semenjak kepergian kamu Van. Dia bilang kamu ga perduli sama aku dan ga akan pernah bisa aku miliki. Semenjak itu aku pergi dari Bandung dan mencari kamu”.
“Ya Allah, Rey...maafkan aku sayang, maafkan aku”, ucapku lirih semakin mengeratkan pelukanku.”Aku janji aku ga akan meninggalkan kamu lagi. Aku janji”.
Malam itu, kubiarkan Reyna menangis dipelukanku untuk terakhir kalinya. Karna aku tidak akan membuatnya terluka lagi dan sedetikpun aku takkan beranjak dari kehidupannya.
***

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.