Cerpen BEO


Karya Subhi

Tiap hari, berjam-jam, dia menatap tanah yang telah menghitam karena menyatu dengan abu. Dengan dibantu penyangga ketiak, dia berdiri menatap sisa bangunan yang kini telah luluh lantak. Bagian depannya rata dengan tanah. Yang paling merisaukan hatinya bukan kehancuran bangunan itu, tapi karena di dalam reruntuhan tersebut terkubur semua kenangan, di atas tanah hitam itu pula kedua orang tuanya telah dipaksa menghadap Ilahi dengan cara yang paling mengenaskan. Bagian tubuh mereka cerai-berai dan terbakar.

Jika kejadian ratanya rumah itu terjadi secara alami atau telah ditakdirkan memang harus terjadi, dia dapat menerima kenyataan itu walau dengan hati berat sekalipun, tapi karena itu dalam penilaiannya merupakan rancangan Orang Tak Dikenal (OTK) untuk kepentingan mereka, sampai mati pun akan membekas dalam relung hatinya yang teramat dalam.

Lelaki yang baru beranjak usia dewasa itu, Udin namanya, ia hanya dapat menatap lirih sambil berdoa, agar kedua orang tuanya diterima di sisi Ilahi. Setiap dia menatap reruntuhan itu, Udin tak kuasa membendung tangisnya. Makin lama dia menatap, makin jauh pula pikirannya menerobos lorong-lorong waktu.

Malam itu, sepulang dari pengajian rutin yang diprakarsai oleh pemuda desanya, ketika dia mengerjakan PE ER Fisika, terdengar jam antik di ruang tamu berdentang sepuluh kali. Karena keadaan daerah tidak aman, ditambah lagi pada sore harinya terjadi kontak senjata antara aparat Keamanan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), suasana terasa sangat sunyi. Tidak ada kenderaan melintas. Dalam kesunyian itu, dia mendengar suara sepeda motor merau-raung memecah kesunyian malam. Bagi Udin dan masyarakat di sekitarnya, hal itu dianggap sebagai suatu isyarat akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Walaupun PE ER-nya belum tuntas dikerjakannya, Udin bergegas membenahi buku-buku. Namun, belum selesai dia membenahi buku-bukunya, sebuah dentuman yang sangat keras terjadi. Rupanya, rumahnya telah menjadi sasaran pelemparan granat oleh OTK. Hanya itu yang dia tahu, selebihnya dia tidak sadarkan diri.

Setelah beberapa saat dia mendapat pertolongan, Udin pun sadar. Tapi, hal itu tidak berjalan lama. Dia kembali pingsan ketika mendengar kedua orang tuanya telah menjadi korban keganasan aksi OTK. Sejak itu pulalah, Udin sering histeris. Dia terkadang berteriak sendiri, menangis, melempar-lempar benda-benda yang ada di sekitarnya. Memaki-maki siapa saja. Dia telah mengalami histeria. Karena itu pula dia sempat dirawat di rumah sakit jiwa.

“Udin, mari kita pulang, Nak!”

“Ke mana aku harus pulang, Pak Cik. Rumahku, orang tuaku, telah tiada dan semua harta, dan kehidupan kami telah terkubur di sini”.

“Pulang ke rumah Pka Cik”.

“Tidak, Pak Cik, aku juga ingin berkubur di sini supaya mereka puas”.

“Udin, kau masih muda. Hari-harimu masih panjang…”

“Tapi hari-hari yang gelap dan menakutkan, Pak Cik. Apa arti kehidupan ini bagiku? Mereka telah merenggut nyawa orang-orang yang kukasihi. Nyawa mereka telah disentak paksakan lebih kasar dari cara malaikat maut”.

“Jangan berkata begitu, Udin. Yakinlah, semua itu ada hikmahnya”.

“Apa hikmahnya? Apa untungnya orang tua mati dengan cara begini? Apa mereka tidak berpikir, jika ini terjadi atas diri keluarga mereka, bagaimana?”

Pak Cik diam membisu, air matanya tak dapat dibendung. Dia juga terbawa arus kenangan alam bawah yang teramat deras. Terkadang kenangan yang satu dengan yang lain bertubrukan.

Ayah Udin adalah sosok saudara yang sangat peduli terhadap nasib keluarga Pak Cik dan keadaan adik-adiknya yang lain. Beberap hari sebelum meninggal ayah Udin bertengkar dengan istrinya karena dia dinilai terlalu memperhatikan Pak Cik. Yang paling menghujam ke relung0relung hati Pak Cik, kepergian ayah Udin terjadi setelah beberapa hari dia membeli burung beo dari Pak Cik dengan harga yang cukup mahal. Harga itu tidak wajar lagi dinilai oleh istrinya, tetapi ayah Udin tak peduli, ia sengaja membayar mahal supaya Pak Cik dapat membayar biaya perobatannya di rumah sakit. Namun, belum lagi pertengkaran itu mereda, burung beo itu hilang.ayah Udin menuduh istrinya melepaskan burung itu untuk melampiaskan sakit hati kepadanya. Istrinya tidak mau dituduh begitu karena memang dia merasa tidak pernah melakukannya.

Pertengkaran mereka memuncak ketika pembicaraan sampai kepada kebolehan yang dimiliki beo. Ayah Udin menganggap kebolehan itu sebagai suatu aset yang bernilai jual tinggi, sementara istrinya beranggapan kebolehan burung beo itu akan membawa bencana terhadap keluarga mereka. Jawaban istrinya dijadikan sebagai dasar yang kuat untuk melancarka tuduhan, kecurigaan bahkan ancaman.

“Jika kamu tidak dapat menemukan beo itu, kamu akan tahu akibatnya!”

“Biasanya abang tidak pernah tertarik untuk memelihara beo, mengapa tiba-tiba abang begini. Bagi abang sekarang lebih berhargaseekor beo dari pada aku. Jika memang sudah demekian tekad abang, baiklah, besok aku akan ikut rombongan orang yang mengungsi. Barang kali sampai disinilah bahtera rumah tangga kita dapat bertahan dank au Udin, jika kau sayang ibu, besok kita mengungsi, tetapi jika kau sayang ayah, bantulah mencari beonya yang hilang”.

Pada malam harinya, ketika ibu Udin mengemaskan pakaian yang akan

Dibawa, ketika Udin masih diliputi kegalauan, ketika ayah Udin merenungkan hari-hari yang pernah dilalui bersama istrinya, sebuah ledakan terjadi amat dahsyat.

“Pak Cik, kalaulah dulu, ketika dalam kandungan aku tahu bahwa aku akan dilahirkan di bumi Aceh yang porak poranda seperti ini aku akan memohon kepada Tuhan agar aku dilahirkan bukan di Aceh”.

Pak Cik tersentak dari lamunannya.

“Kalau dulu aku tahu bahwa yang akan membunuh ayahku, ibuku, adalah saudaranya sebangsa, setanah air, bangsa yang bersemboyankan negeri yang gemah ripah loh jinawi aku akan mencalonkan diri sebagai malaikat maut. Dengan wewenang itu, aku akan mendahului mereka. Akan kucabut nyawa orang tuaku dengan penuh kasih sayang sebagai baktiku kepada mereka dan bukti setiaku kepada Tuhan dalam menjalankan perintah”.

Udin seperti tidak memperhatikan kalau Pak Cik semakin hanyut dalam

pusaran kenangan.

“Tuhan, apakah memang telah Engkau boreskan dalam catatan-Mu kehidupan seperti ini yang harus kami jalani? Jika memang benar, Tuhan, sampai kapan prahara ini berlalu? Dosa apakah yang telah kami perbuat sebagai anak negeri? Apakah karena kami tetap bertahan di negeri ini, kami harus menjalani semua ini. Tuhan, kami tidak tahu lagi harus berbuat apa. Berapa banyak anak negeri yang mati sia-sia. Terkapar di pinggir jalan, di parit-parit, atau dihanyutkan di sungai. Mungkin beberapa dari pemuda desa yang telah mengalami hal itu, ada beberapa dari mereka yang telah Engkau tetapkan dalam azawajalla akan menjadi pemimpin yang arif atau pemikir yang dapat menyumbangkan pikirannya untuk kemakmuran negeri ini. Jika memang pernah Engkau rencanakan seperti itu, berarti mereka bukan hanya sekedar membuat hati kami teriris, tetapi telah mengusik ketengan-Mu. Mereka telah menggagalkan rencana Engkau. Jika negeri kami tidak pernah Engkau takdirkan seperti ini, tunjukkan kepada kami orang-orang yang dapat melepaskan kami dari derita panjang ini. Kami rindu kedamaian, selama ini kami tidak dapat bersujud kapada-Mu dalam ketenangan malam”. Udin kembali tidak sadarkan diri. Dengan penuh kasih sayang Pak Cik menggotong tubuh lelaki malang itu.

Malam semakin kelam. Hanya dalam tidur dan mimpilah Udin mendapat

ketenangan. Malam itu Udin terlihat tertidur pulas. Udin terlelap dalam dekapan malam bagaikan seorang bayi tertidur lelap setelah disusui ibunya. Barang kali karena segala derita batinnya sudah terlampiaskan.

Pagi merangkak perlahan, menggeliat membangunkan manusia dari tidur. Sisa embun masih menempel di jendela kaca yang sudah kusam. Sesekali terdengar deru mobil berpatroli. Usai salat subuh, seperti hari-hari yang lalu, Pak Cik mengambil salah satu kitab yang pernah dipelajarinya ketika dia dulu mengaji di Dayah. Kitab itu dibacanya perlahan-lahan di bawah penerangan lampu yang temaram. Usai membaca kitab, seperti hari-hari yang lalu juga, dia ingin menyempatkan diri membangunkan Udin dan menuntun keponakannya itu berwuduk. Namun, alangkah terkejutnya Pak Cik ketika dia mendorong pintu yang sengaja tidak dikunci Udin agar jika dia memerlukan bantuan, Pak Cik dapat dengan leluasa memasuki kamar, Udin tidak berada di kamar, sedangkan tongkat penyangga ketiaknya tersandar di kepala tempat tidurnya. Pak Cik bergegas mencari senter dan keluar melalui jendela. Lelaki itu mengamati jejak kaki yang ada di luar jendela, jejak itu bukan hanya jejak kaki Udin, tetapi ada tiga ukuran yang berbeda dan tidak jauh dari jendela itu, Pak Cik mendapatkan bangkai seekor burung beo dan sepucuk surat.

Berita kehilangan Udin dan bangkai burung beo ini tersebar dari mulut ke mulut. Namun, jika ada orang yang tidak dikenal (bukan OTK) bertanya, orang enggan membuka mulut. Sepertinya sudah ada kesepakatan dalam masyarakat, jika hilang, cari diam-diam, jika ditemukan sudah jadi mayat, kuburkan pula secara diam-diam. Begitulah berita tentang kehilangan Udin. Bukan masyarakat sudah tidak saling peduli, tetapi mereka lebih memilih diam untuk menyelamatkan diri. Karena itu pula kebiasaan seperti duduk-duduk bercerita di kedai kopi pun sudah lama mereka tinggalkan.

Pak Cik sudah mencari Udin ke semua sanak saudara yang ada di sekitar desanya, bahkan ke beberapa desa lain yang berdekatan. Namun, Udin tidak ditemuinya. Pak Cik selalu pulang dengan perasaan hampa. Terkadang muncul juga rasa pasrah, tetapi jika memingat keadaan Udin dan pengorbanan orang tuanya dalam menyelamatkan dirinya, Pak Cik merasa berdosa jika tidak mencarinya sampai dapat.

Roda waktu terus berputar, setiap Pak Cik mendengar kabar tentang penemuan mayat, ia sudah berada di lokasi itu untuk memastikan apakah Udin atau bukan. Dia tidak peduli cuaca, panas atau hujan, tekadnya satu, ia harus menemui Udin hidup atau mati.

Suatu malam, seusai magrib hujan turun sangat lebat. Desa yang sudah lama terputus arus listrik itu semakin terasa mencekam, sesekali terdengar derak pohon tertiup angina yang diiringi kilat dan ditingkahi suara halilintar. Pak Cik mempertajam pendengarannya, kemudian melangkah kea rah datangnya suara. Dia berharap yang menggedor pintu yang akan dibukanya adalah Udin. Namun, sebelum dia membuka pintu, dia menanyakan siapa yang berada di luar.

Suara yang menyahut didengarnya agak asing. Pak Cik menyempatkan diri mengintip ke luar melalui lubang yang sengaja dibuat kecil di pintu. Pak Cik melihat di depan pintu itu berdiri dua orang yang mengenakan mantel hujan. Wajahnya tidak jelas karena ditelan kegelapan malam.

“Cepat, bukakan pintu!”

Namun, begitu pintu dibuka, Pak Cik tidak menemukan siapa-siapa. Tak lama kemudian, sebuah mobil patroli militer melintas. Pak Cik bergegas masuk.dia tidak ingin mendapat resiko dari keberadaannya di luar rumah. Dugaannya tidak meleset. Belum sampai lima menit dia menutup pintu, terdengar suara tembakan beberapa kali. Hanya berselang hitungan detik, terdengar pula tembakan balasan yang beruntun. Kemudian senyap. Hanya suara tetesan hujan yang mulai mereda terdengar menimpa atap seng rumahnya. Malam itu terasa benar-benar mencekam, terutama bagi Pak Cik sendiri.

Usai salat subuh, Pak Cik memberanikan diri melangkah ke luar rumah. Ia melangkah ke arah Timur, kea rah suara tembakan yang ia dengar apda malam harinya. Ternyata Pak Cik bukan orang pertama berada di tempat itu karena di tempat itu sudah berkumpul beberapa orang yang pada umumnya ingin memastikan apakah yang tertembak itu sanak saudaranya yang sudah lama menghilang atau bukan. Sebab, di tempat itu kematian lebih cepat berlangsung dari gerakan malaikat maut.

Dari sekian orang yang berkumpul, tidak ada yang mengenal satu pun dari kedua lelaki yang mengenakan mantel hujan yang kini telah menjadi mayat dengan luka tembak di sekujur tubuhnya. Kedua lelaki bermantel hujan itu tidak memiliki tanda pengenal apapun.

Harapan untuk menemukan Udin, menurut Pak Cik sudah tidak mungkin terwujud lagi. Mungkin saja, jika tidak melintas mobil patroli militer kedua lelaki bermantel hujan itu akan menjemputnya. Apalagi mengingat isi surat yang didapati Pak Cik berdekatan dengan bangkai burung beo sangat mencemaskan hati. Surat itu pun ingin dimusnahkan. Namun, sebelum dimusnahkan, Pak Cik ingin membacanya untuk terakhir kali.

Surat yang terlipat kecil dan selama ini diselipkan dicelah lipatan peci itu dibawa ke mana saja dia pergi, kini dibukanya perlahan-lahan dan dibacanya. “Pada mulanya, kami tidak yakin bahwa burung beo itu pandai mengucapkan kata ‘merdeka’, tetapi setelah kami mendengarnya sendiri kami jadi percaya. Kami sudah membuat negosiasi dengan seorang pengusaha besar yang suka mengoleksi benda yang aneh-aneh. Untuk seekor burung beo pengusaha tersebut tidak segan-segan mengeluarkan uang milyaran. Akan tetapi, ketika transaksi itu terjadi, ketika pengusaha itu menyuruh mengucapkan kata ‘merdeka’, yang diucapkan beo, ‘keparat … keparat … gendut, lu!’. Gara-gara itu kami malu.

Walaupun begitu, pengusaha itu tidak ingin pulang dengan tangan kosong, dia meminta penggantinya yang sama anehnya dengan burung beo itu. Untuk itu kami menawarkan Udin sebagai penggantinya, pengusaha itu setuju dan berpesan, sewaktu-waktu nanti kami akan datang lagi jikayang kami bawa ini mampu mengundang decak kagum rekan bisnisku. Karena itu, siap-siaplah!”

Usai membaca surat tersebut, Pak Cik mengambil korek api. Dengan tangan gemetar, surat itu dibakarnya. Pak Cik memutuskan untuk meninggalkan kampong halamannya. Dia pergi ke mana saja yang dirasakan aman. Dia terpaksa meninggalkan apa saja yang sudah diperolehnya selama ini. Sebab, di sini, di negeri yang selama ini dipertaruhkan segala suka dan duka untuk sebuah cita-cita, negeri yang selama ini dikanal kaya hasil buminya tidak lagi menjanjikan harapan-harapan apa-apa baginya kecuali kematian. Dan di mana-mana, bayangan kematian itu terasa semakin akrab.

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.