Cerpen : Apakah demi cinta

Ini hari pertamanya bekerja. Seperti kata pepatah: kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya (biasa saja). Ah jangan sampai. Ia bangun pukul 04.00 pagi padahal semalam tidurnya tidak nyenyak. Ia terlalu gugup membayangkan pagi ini. Terlalu ingin dirinya tampil sempurna, hingga justru ia yang stres sendiri. Kenyataannya, justru didapatkannya lingkar hitam di bawah mata dan kulit wajah kusam saat ia terbangun. Uh. Tak henti ia mengutuki diri sendiri.

Kini ia sedang berada di sebuah ruang tamu sebuah kantor. AC yang dingin tetap tak mampu menahan keringatnya.
“Selamat pagi. Benar Ibu Kavya?”
“Y..Ya” katanya gugup saat sesosok laki-laki tiba-tiba muncul dan menyapanya. Kegugupannya semakin menjadi karena ia mulai merasa lain. Yah, lain.
Lelaki itu lalu duduk. Diam sejenak, seakan lupa apa yang hendak ia sampaikan.
“Hm….Ibu Kavya”
“Ah mungkinkah lelaki ini gugup pula berhadapan dengannya karena merasa lain”, Kavya membatin dan sesaat kemudian menertawakan pikirannya sendiri.
“Hm…Ibu mulai bisa bekerja hari ini. Saya akan jelaskan terlebih dahulu keadaan keuangan perusahaan. Baik , bisa ibu ikut saya”

Ah ikut kamu ke ujung dunia pun aku mau

“Mari Bu” kata lelaki itu menyadari Kavya tidak memperlihatkan tanda-tanda akan bangkit.
“Oh…” kata Kavya seakan baru sadar makna ucapan lelaki itu.

Mereka berada di sebuah ruang kerja dengan tata ruang yang begitu apik. Nuansa eropa kuno. Sekali-kali, Kavya menyapu tatapannya ke seluruh ruangan. Perpaduan lelaki tampan dan ruang kerja yang apik sungguh membuatnya merasa ada di dunia lain. Sulit diungkap fantasinya saat itu.
Lelaki itu lalu mulai berbicara tentang perusahaan. Mulai dari sejarah berdiri perusahaan, kinerja, hingga sampailah pada keadaan keuangan. Kavya terlihat mendengarkan dengan seksama meski konsentrasinya tetaplah buyar.
“Mengerti Bu” lelaki itu menutup pembicaraan
Kavya tersenyum elegan. Senyum cantik yang intelek, begitu Kavya mengartikan senyum elegannya itu. Ia ingin manajernya terpesona padanya. Jatuh hati. Lalu mengajaknya menikah. Dan hidup bahagia selamanya. Haha.

Hari-hari seorang Kavya kini drastis berubah. Ia merasa bahagia setiap hari. Bagaimana tidak, ia jatuh cinta! Sesuatu yang jarang ia rasakan. Setelah Riko meninggalkannya, ia pikir hidupnya hanya akan berakhir menjadi perawan tua. Sendiri, lalu iri pada dunia. Mungkin akan bunuh diri atau hidup dalam penyesalan tiada henti. Nyatanya kini, cinta itu kembali bersemi. Tuhan semoga Pak Rudi manajerku adalah jodohku. Semoga.
Sudah seminggu Kavya bekerja di perusahaan itu. Ia baru sadar dunia kerja tidak sesederhana yang ia bayangkan. Ia menghadapi orang-orang yang menatapnya dengan sinis. Seolah menebarkan permusuhan tanpa alasan. Tetapi semua itu terbayar dengan senyum Pak Rudi. Ah pak Rudi, aku mau jadi pengantinmu!
***

“Mau makan siang Bu?”
Kavya menoleh dan mendapati Pak Rudi di belakangnya. Ia mengangguk elegan. Lagi-lagi berusaha menarik simpati seorang Pak Rudi. “Ah tampan sekali”, batinnya.
“Mau pesan makan apa Bu?”
“Sama saja” entah mengapa tiba-tiba kata-kata itu yang terucap. Kavya merasa ia tidak mampu berpikir. Bahkan untuk hal sesederhana menu makanan sekalipun.
Tak lama Pak Rudi telah kembali.
“Pak Rudi, saya kan baru tamat kuliah, jangan dipanggil Ibu dong” Kavya membuka pembicaraan. Ini adalah kesempatan baginya memulai persahabatan dengan Pak Rudi. Ia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini.
Pak Rudi tersenyum simpul “Ok…Mbak Kavya”. Kavya hanya tersenyum. Seperti biasa senyum elegannya.

Seorang perempuan muda datang membawa makanan yang dipesan. Dan betapa kagetnya Kavya saat di piring yang disodorkan tepat di hadapnnya, ada udang-udang besar yang langsung membuat bulu romanya bergidik. Ia alergi udang! Entah telah berapa belas tahun, ia tidak pernah makan udang. Terakhir kali saat ia duduk di kelas tiga SD. Dan itu membuat seluruh tubuhnya bengkak memerah hingga bernanah.
“Mbak Kavya” suara Pak Rudi memecah memorinya yang kembali pada masa belasan tahun silam.
Kavya tersenyum meski ia ingin menjerit sekeras-kerasnya saat itu.
“Ada masalah dengan menunya?”

IYA. AKU ALERGI UDANG. KAMU MAU MEMBUNUH AKU!!!

“Mbak Kavya” Sekali lagi pak Rudi bertanya dengan penuh keheranan karena Kavya tidak menjawab pertanyaanya.
“Gak ada masalah kok Pak. Saya sangat suka udang”, entah mengapa justru kata-kata itu yang meluncur dari bibirnya. Pak Rudi tersenyum seakan bangga karena ia telah memesan menu makan siang yang sangat tepat.
“Kalau sangat suka, kok dari tadi cuman bengong aja”
“Iya Pak saya terharu karena kok Bapak bisa tau ya menu favorit saya” Kavya semakin merasa dirinya sudah gila. Entahlah mengapa kata-kata seperti itu bisa meluncur dari bibirnya. Inikah yang disebut pengorbanan demi cinta?
Tangan dan bibir Kavya bergetar hebat saat udang di sendoknya hanya berjarak beberapa mili untuk sampai ke tenggorokannya.

Demi cinta Kavya. Pak Rudi pasti tidak enak hati kalau mengetahui ia memesan menu yang sangat keliru. Yah, demi cinta

Dengan memejamkan mata, Kavya menelan makanan di sendok itu. Tubuhnya langsung bereaksi. Terasa gatal walau ia tahu rasa gatal itu akan sangat terasa beberapa belas jam sesudahnya. Itu lah yang pernah ia alami semasa kecil. Ia tak perduli bahwa makan siang kali ini begitu menyiksa tubuhnya. Paling penting hatinya senang tiada terkira bisa makan siang berduaan dengan Pak Rudi yang sangat dikaguminya. Biarlah, inilah pengorbanannya demi cinta.

***

Ia tak menyangka jika keesokan harinya kembali ia tak sengaja bertemu Pak Rudi di kantin kantor.
“Pesan seperti menu kemarin ya Kavya?” tawar Pak rudi tanpa basa-basi. Kavya ingin menangis tapi nyatanya ia mengangguk dan tersenyum renyah.
Kembali dirasakannya seluruh tubuhnya bergetar saat sendok berisi udang hanya berjarak beberapa mili untuk sampai ke tenggorokannya. Tubuhnya terasa gatal padahal gatal karena makan udang kemarin saja belum hilang. Yah, mungkin inilah pengorbanannya demi cinta.
“Saya sangat suka, kita memiliki kesamaan” Pak rudi berkata dengan khidmat seolah ia menemukan sesuatu yang telah lama dicarinya.
“Apa itu?” tanya Kavya.
“Kita sama-sama pencinta udang”
Gedubrak. Kavya merasa ingin menangis sejadi-jadinya mendengar pernyataan Pak Rudi itu.

TAU GAK SIH PAK, AKU KAYAK ORANG SAKHRATUL MAUT MAKAN UDANG!!!

“Ya” hanya dua huruf itu yang mampu Kavya ucap. Ia berusaha tersenyum, meminta dirinya untuk mengalah. Demi cinta Kavya.

***

Kavya tak menyangka jika hari-hari selanjutnya Pak Rudi selalu memintanya untuk makan siang bersama. Tanpa perlu bertanya, Pak Rudi memesan menu udang. Setelah memesan menu, Pak Rudi kembali padanya. Lalu tersenyum, seolah ia baru saja melakukan suatu hal yang menyenangkan hati Kavya.

***

Akhirnya, sudah tak tertahankan lagi derita tubuh Kavya dijejali oleh makanan yang tidak bisa diterima tubuhnya. Setiap malam tubuhnya membengkak. Merah dan gatal. Jika digaruk kulitnya mudah terkelupas. Lantas bernanah. Ia tahu tak lama lagi, ia akan terbujur di rumah sakit seperti belasan tahun silam. Inikah pengorbanan demi cinta?
Dan semua itu terbukti saat tubuhnya terasa makin lemas. Ia tidak sanggup menahan rasa gatal. Ia berobat ke rumah sakit. Seingatnya ia baru berada di bagian pendaftaran tetapi saat terbangun ia sudah berada di kamar rawat inap. Didapatinya wajah-wajah pasien lain yang semuanya menatapnya keheranan. Mungkin heran karena tak satu pun sanak keluarga ada di dekatnya. Atau mungkin pula bertanya-tanya, apa penyakit ia sebenarnya. Entahlah. Beberapa perawat masuk. Menjelaskan keherananya, menjelaskan berapa biaya administrasi yang harus ia bayar dan memeriksa keadaannya.

***

Kavya memandangi langit-langit kamar bernuansa seba putih itu. Baru kemarin rasanya, ia mulai bekerja. Merasa wah dengan manajernya yang tampan dan semakin menyadari setiap harinya bahwa ia benar-benar telah jatuh cinta. Semua akhirnya rusak karena udang. Bukan karena udang tetapi kebodohannya. Pengorbanan buta yang sebenarnya bisa tidak ia lakukan, andai ia normal. Tetapi cinta yang memasungnya telah membuat ia menjadi tidak normal. Dan kini ia terbaring di rumah sakit tanpa seorang pun perduli. Inikah pengorbanan demi cinta? Ia tersenyum getir.

“Tetapi barangkali saja ini jalanmu Kavya. Barangkali saja Pak Rudi akan luluh hati mengetahui betapa besarnya pengorbanan cintamu. Ya, mungkin begitu skenarionya”
Handphonenya berdering. Sebuah SMS dari Pak Rudi.

“Halo Mbak Kavya. Kok udah tiga hari gak ngantor. Kemana aja?”

Kavya tersenyum getir kembali. Hatinya tetap berharap Pak Rudi benar-benar akan luluh dengan penderitaanya ini.

“Saya sakit Pak, sekarang di rawat inap”

Tidak dibalas lagi. Kavya terpekur kecewa. Bahkan berita dirinya dirawat inap pun sama sekali bukan berita penting bagi seorang Pak Rudi. Kavya menahan luapan perasaannya yang ingin meledak dalam tangisan. Luar biasa sakit hatinya. Sekitar setengah jam kemudian baru ada balasan SMS dari Pak Rudi.

“Aduh Kavya, saya sangat ingin menjenguk, tetapi rencananya sebentar lagi mau nemenin istri saya belanja. Maaf yah . Tapi mungkin besok saya akan ke sana. Saya doain cepat sembuh ya”

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.