Cerpen Cinta - lastri

Pagi, sebagaimana biasa, matahari terbit di ufuk timur. Lalu langit disepuh warna-warna sejuk, burung-burung liar bernyanyi. Angin mendesir. Pohon bambu gemerisik, beberapa helai daunnya rontok, berputar sebentar di udara, hingga akhirnya jatuh ke tanah. Hari anyar baru di mulai. Adalah Lastri, kembang desa Watu Gunug, yang sepagi itu telah selesai mencuci pakaiannya di kali, dan termenung di tepian, di atas sebuah batu. Rambut basah sepinggang ia biarkan tergerai, mengurai bahu kuning langsat yang hanya mengenakan kemben sedada. Seperti biasanya, ia menanti mentari meninggi, hendak mengeringkan rambut. Namun rupanya tak cuma itu, kerutan-kerutan panjang di kening dan bola matanya yang tampak sendu, walau tak mengurangi keayuannya membuktikan ia sedang di landa kegelisahan. Gundah hatinya. Layaknya gadis-gadis seusianya, ia ingin merasakan kebebasan hidup. Gadis-gadis desa yang pagi ke sawah mengantarkan sarapan, senja belajar menari, dan malamnya bercengkrama di balai desa bercerita kejadian yang telah mereka lalui seharian. Tapi, semua baginya adalah suatu yang mustahil. Ia tidak boleh bertingkah seperti gadis-gadis kebanyakan. Ia kembang desa yang harus bisa bersikap. Ki Suriamenggala, sesepuh desa yang bertanggung jawab akan kelanggengan desa Watu Gunug menyerahkan semua kebutuhan ‘kembang desanya’ itu ke tangan Rusmini. Wanita tua yang sudah terbiasa mengurusi gadis kembang desa sebelum di ambil oleh lelaki kaya yang akan mengawininya. Adalah suatu adat yang berlaku selama berpuluh-puluh tahun. Setiap gadis tercantik di desa itu harus bisa membawa nama baik desanya. Seperti Lastri saat ini, gadis yang di harapkan bisa meneruskan jejak pendahulu-pendahulunya. Padanya wibawa desa ini diletakkan. Desa yang di pandang sebelah mata, waktu itu ialah desa yang tak memiliki kembang desa dan tak punya banyak harta. Sedangkan desa Watu Gunug, punya gadis secantik Srikandi. Dengan kecantikan, ia bisa mendapatkan lelaki yang kaya raya. Jika demikian, martabat desa akan terangkat. Dan tak lagi di pandang sebelah mata. Bahkan bukan tidak mungkin akan menjadi desa yang paling disegani. Oleh karenanya Lastri di larang melakukan perbuatan yang menjadikan citranya rendah. Sehari semalam, ia hanya mendapat izin keluar sekali, saat mencuci dan mandi. Itupun di tempat yang telah di khususkan, berada di lereng yang sunyi, selainnya, ia harus diam di rumah. Taklah heran di buatnya, bila sedang mencuci di kali hingga matahari meninggi ia baru beranjak dari tempat duduknya. Kemudian berjalan dengan lesu menuju rumah, membawa Tenggok yang penuh dengan cucian. Saat itu, di jalanan menanjak di antara pohon-pohon bambu dan di bawahnya aliran kali mengalir. Berpapasan dengannya seorang pemuda. Ia mencoba bertanya, “Siapa namamu?” tanyanya lembut. “Harya Udayana…”. Pemuda itu banyak mendengar kabar tentang wanita tercantik itu. Yang memang benar-benar sangat cantik. Namun tak sedikitpun ia berhasrat untuk ikut-ikut ingin mengawininya. Sudahlah tersebar syarat-syarat lelaki yang akan menjadi jodoh Lastri, dan syarat itu tidak ada padanya. Karena itulah sedikitpun, kecantikan itu tak berpengaruh padanya Kembang desa, wanita yang di anggap suci. Tidak di perbolehkan pemuda berlama-lama berdua dengannya, Jika tak ingin di cap sebagai pemuda tak tahu malu, amoral, dan pemuda bejat, lebih baik segera menghindar dan menjauh. Tahu demikian, Harya bergegas pergi tanpa merdulikan tatapan Lastri yang sebenarnya mengharap bisa bicara banyak dengannya. Baginya Lastri hanya mimpi yang indah sesaat lantas kemudian lenyap begitu saja. Lastri pulang sambil sesenggukan, meratapi nasibnya. Ia lebih rela menjadi wanita biasa dengan kecantikan pas-pasan sekalipun, daripada keadaannya saat ini. Sangat menyakitkan. Seorang gadis berparas ayu, tapi tak ada pemuda yang menghargainya apalagi segera melamarnya. Persoalannya hanya satu, ia hanya akan berjodoh dengan lelaki kaya, sedangkan pemuda-pemuda di desanya tidaklah dari orang berada, mereka kebanyakan seorang pekerja, serabutan. Karena itulah, satu persatu pemuda di desanya yang semula ingin menjadikannya isteri menyerah dan menjauh. Membiarkannya harus menahan sedih setiap harinya. Kini hari-harinya hanyalah tangis, duka.*** Musim kemarau tiba, desa Watu Gunug mengalami kekeringan. Kali yang biasanya tumpah ruah dengan air, kini kosong. Tanah-tanah sawah kering, pecah, matahari terik dan angkasa bersih dari awan. Saat seperti itu seorang pemuda tampak tengah sibuk menimba air di sumur, tangannya cekatan mengisi ember-ember kosong antrian yang panjang. Termasuk di dalam antrian itu, Ratna Permanasari, adik Lastri. Saat sampai pada gilirannya, mereka berdua bercakap, saling kenal. “Boleh aku tahu siapa namamu?” Tanya pemuda itu. “Ratna permanasari”. “Harya Udayana”. Pemuda itu adalah Harya Udayana, pencari kayu bakar yang tinggal di lereng Meru, desa Ratus, sebelah selatan desa Watu Gunug. Sejak kecil ia hidup di lereng itu bersama seorang kakek, lelaki sepuh yang menjadi teman sekaligus orang tuanya. “Di mana tempat tinggalmu?” Tanya Harya lagi “Di perbukitan rumpun bambu jalan menanjak itu…” jawabnya sambil menunjuk arah yang tampak atap rumahnya. “K…enapa kamu mau mengisikan ember-ember kami, padahal kau kan tidak di bayar??” tanya Ratna balik setelah tak tahan dengan rasa penasaran dan kagumnya. “Kebetulan saja aku paling muda di antara mereka semua, tenagaku lebih kuat. Hanya itu saja…”. Pemuda menjawab, lantas diam kembali, sibuk mengisi ember-ember lain. Tak sadar jika mata Ratna selalu menatap gerak-geriknya, peluh-peluh yang merembesi keningnya, juga dengus nafas yang terdengar berat. Kelelahan. “Aku senang bersahabat denganmu, lain kali mainlah kerumahku… ” ucap Ratna sebelum balik pulang kerumah. Harya tak menjawab, hanya mengangguk, tanda menyetujui permintaan itu. Tampaklah keceriaan di wajah Ratna, sepanjang jalan senyum-senyum kecil menghias disudut-sudut bibirnya. Pun saat ia sampai di halaman rumah, sedang Lastri, sedang menyisir rambut memergoki keanehan yang terjadi pada adiknya itu bertanya. “Tampak kau sedang di landa bahagia, ada apa?”. “Aku tadi bertemu seorang pemuda yang….” Belum sempat ucapannya sempurna selesai, Lastri telah menarik tangannya untuk masuk ke bilik tidurnya. “Cerita di kamar saja, jangan sampai tahu oleh bibi…” Lastri berucap demikian, sambil melepas paksa ember yang belum di taruh di tong-tong air. Mereka berhambur masuk ke bilik Lastri. Duduk berhadapan pada sebuah kursi Jati. “Lanjutkan ceritamu…” pintanya. “Pemuda itu belum aku temui sebelumnya, aku kira ia bukan warga desa ini, prilakunya santun, dadanya bidang, ia gagah, wajahnyapun tampan …” Ratna diam, melihat reaksi saudaranya, yang masih serius menyimak ceritanya. “Lantas?”. “Ia menanyakan nama dan tempat tinggalku, semua yang keluar dari mulutnya terasa berbeda. Amat aku rasakan bahwa ia memiliki daya tarik yang kuat. Terutama matanya yang tajam…”. “Kau bilang tadi ia bertanya namamu, bagaimana denganmu. Tak kau tanya siapa namanya dan tinggal di mana?”. “Oh…namanya Harya Udayana. Tapi aku lupa tak menanyakan di mana tempatnya”. Berubah paras Lastri mendengar nama yang disebut adiknya barusan. Harya Udayana, berarti pemuda yang berpapasan dengannya sewaktu ia pulang mencuci dari kali. Ia pun percaya jika pemuda itu gagah, juga tampan. Tapi kenapa saat bertemu dengannya pemuda itu besikap seolah-olah tak berminat sama sekali padanya. Tak tanya tinggal nama, apalagi bertanya tempat tinggal. Tak tahu dengan apa yang dirasakannya saat ini, ada cemburu, merasa tersaingi oleh adiknya. Ia kalah dengan adiknya. “Kamu menyukainya Ratna?”. Ratna tersenyum manis di sudut bibirnya yang semakin mempersakit hati Lastri. Tampak oleh kakaknya ia semakin cantik. Ia lebih dewasa. Ah…kembali Lastri teringat nasibnya sebagai kembang desa. Ia muak, ia merasa bagai dalam penjara. Kadangkala ia ingin membunuh diri dan membiarkan saja desa ini berubah sendiri. Tanpa tergantung dengan kembang desa. Juga berharap dari lelaki tetangga desa atau manapun yang akan melamarnya. “Mungkin…” jawaban yang keluar dari mulut adiknya semakin membuatnya terbenam dalam kesedihan. ***Beberapa hari setelah mereka bertemu di sumur, saat bedug desa di tabuh, pertanda waktunya pulang bagi yang menyawah. Pulang juga Harya dari kerjanya mencari kayu. Memikul kayu bakar yang akan ia jual ke warga yang membutuhkan. Berkeliling desa ia menjual kayu bakar. Berteriak menawarkan kayunya. Hingga sampailah ia di rumah Ratna, bimbang, apakah harus juga ia menawarkan kayu bakar kerumahnya? Padahal rumah itu tampak sepi. Saat ia beranjak hendak melewati saja rumah itu seseorang memanggilnya, “Harya…” Harya berbalik. “Ratna…” balasnya. Ratna mengajaknya mampir ke rumah. Duduk mereka di beranda rumah. “Istirahatlah sebentar, aku ambilkan minum dulu”. Ucap Ratna kemudian sambil beranjak masuk ke dalam rumah. Tak berselang lama, Ratna keluar sambil membawa minuman dan sepiring pisang. Duduk ia di samping Harya. Beberapa saat mereka hanya diam, tak tahu harus memulainya dari mana. Hanya mata Ratna yang tak lelah selalu menatap bulir-bulir keringat di kening Harya. Ia ingin mengusap keringat itu dengan sapu tangannya. Ingin ia melepas baju Harya dan mengipasi tubuhnya hingga pemuda itu merasa nyaman dan segar. Ingin ia besandar di dada bidang itu sambil memainkan jari-jari Harya. “Ratna, di mana ayah ibumu? tanya Harya “A…da di dalam. Sedang istirahat, ada apa kang?”. “Oh, Aku hanya tidak mau kedatanganku ke sini berbuah omong-omong warga yang tidak menenangkan hatimu….”. “Tidak kakang, malahan aku merasa senang sekali bisa bertemu dengan kakang. Ayah dan ibu tidak akan marah”. Harya menghela nafas, tak tahu maksudnya apa, hanya saja tampak ia lega dengan jawaban dan keyakinan Ratna. “Kenapa kau senang dengan kedatanganku?” Harya bertanya. Padahal pertanyaan itu tak mungkin bisa di jawab dengan kata, Pertanyaan yang hanya bisa di jawab dengan hati yang sedang di landa perasaan cinta. Ratna hanya diam, keanehan terjadi padanya. Keceriaannya hilang dan berganti pipi-pipi yang merona merah, menahan malu. Betapa yang bertanya di hadapannya adalah pemuda yang ia kagumi. “Ratna…”. “Ya kakang…”. Ia menengadah. “Terimakasih minumannya. Aku kembali ke rumah dulu, sepertinya matahari sebentar lagi sore. Aku tak bisa berlama-lama denganmu.” Ucapnya berdiri hendak berlalu “Kang…” Ratna berdiri mengamit tangan Harya, menggenggamnya. Ia menatap mata Harya dalam-dalam, seolah ingin menjebur ke dalam samudera hatinya, betapa pemuda ini telah membuat hatinya bagai taman indah, ingin ia menggenggam rasa itu dan menjaganya, ia ingin terus bersama Harya. “A…ku”, Harya diam dan melepaskan genggaman Ratna, berlalu meninggalkan Ratna yang masih terpaku. Sepanjang perjalanan pulang, tak lepas-lepas ingatan akan genggaman erat barusan yang seakan tak mau kehilangan dirinya. Juga tatapan tajam yang menyiratkan banyak makna. Pemuda itu tergetar hatinya, belum pernah ia merasakan hal seperti ini. Terbiasa hidup di lereng gunung, jarang melihat wanita cantik, membuatnya merasa Ratna adalah wanita paling rupawan yang pernah ia kenal. Ia malah berpikir untuk cepat-cepat melamar gadis itu. Tak rela jika sampai di dahului orang lain. Tapi semua itu akan mendapat batu sandungan besar, ia tak punya uang banyak untuk melamar Ratna, tak punya rumah yang bisa menjadi tempat tinggalnya sementara waktu ketika pengantin baru. Tak mungkin ia tinggal di rumah sempit, lereng Meru, bersama kakek, yang sudah terlalu banyak ia repotkan. Jika ia punya orang tua, mungkin ia bisa tinggal di rumah orang tuanya. Sejak kecil ia hidup di lereng Meru. Tak pernah ia bertemu orang lain di lereng itu, hanya ada mereka berdua. Kakekpun tak pernah bercerita banyak tentang orang tuanya, sampai saat ini, saat ia berumur 24 tahun. Seingatnya, kakek hanya pernah bercerita bahwa orang tuanya masih hidup. Tapi tak tahu dimana?. “Uhf….” Harya mendengus, melepaskan semua sesak di dada. Jika teringat tentang orang tuanya, ia merasa bosan hidup, untuk apa hidup? Ia adalah anak haram. Tak berguna untuk hidup, apalagi keinginannya untuk kawin, punya anak, keluarga yang bahagia. Mimpi!! Ia tak pantas kawin dengan wanita baik-baik. Apalagi seperti Ratna permanasari, gadis rupawan. Ia pantasnya kawin dengan gundik-gundik desa. Punya anak yang juga hina, keluarga hina, dan akan menjadi cemoohan warga. Tapi untungnya ia hidup di tempat sunyi, tak banyak yang tahu, tentang jati dirinya. Termasuk Ratna.***Semua pasti berganti dan berubah, musim kemarau usai, dan berganti musim hujan, kali-kali kembali tumpah ruah dengan air, sawah-sawah di airi, tetumbuhan tumbuh menghijau menyejukkan mata. Begitupun dengan Harya dan Ratna, semakin hari semakin bertambah subur benih-benih cinta di antara mereka. Sering mereka bertemu, tak hanya saat Harya pulang dari mencari kayu bakar, tapi juga saat Ratna pulang dari sawah, saat latihan menari, juga saat berkumpul di-balai desa. Pun saat ini, duduk di ruang tengah, mereka berdua sambil bercengkrama, cerita apa saja. Tertawa bahagia. Sangatlah berbeda dengan suasana bilik sebelah, di mana Lastri terdiam, beku, kaku, dengan rembesan air mata deras mengucur dari kelopak matanya. Sudah tahu ia hubungan adik dan pemuda itu, namun seringkali Harya berkunjung di rumahnya, tak pernah bibinya memberi ijin keluar atau pura-pura mengeluarkan jajanan dan minuman untuk mereka. Ia hanya bisa melihat Harya dari sudut-sudut bolong bilik kamarnya. Mendengar gelak tawa adiknya dengan seorang pemuda yang tak di pungkiri lagi, ia pun mencintainya. Hatinya di landa cemburu. Tak tahan, Lastri beranjak ke meja rias, menatap wajahnya yang sembab air mata. Hidung, pipi, juga rambutnya yang hitam lurus , legam karena selalu di olesi minyak kelapa. Ia usap sisa air mata yang masih menggenang di pelupuknya. Mengambil secarik kertas dan pena, menulis sebuah surat. Selesai dengan tulisannya, berseru kecil ia ke bilik sebelah, tempat bibi emongnya tidur. Sengaja di buat demikian , biliknya bersebelahan dengan bilik itu, biar sewaktu-waktu semua kebutuhannya bisa cepat terpenuhi. Melalui jendela yang ada ia berseru “Bi..kemari…!!”. “Ada apa nduk…?” “Tolong bibi kasihkan surat ini ke pemuda yang ada di ruang tengah itu.”. “T..api” “Tolong bi…, bibi tidak ingin melihat saya tersiksa kan?” Lastri memelas. Tak tahan wanita tua itu melihatnya, tak boleh wanita secantik dia menangis sedih. Tak pantas, seharusnya gadis secantiknya tertawa ceria, selalu di liputi kebahagiaan. “Baiklah nduk…” wanita tua itu mengalah, Sepulang dari bertemu dengan Ratna, bergegas Harya untuk segera pulang, ke rumahnya di lereng Meru, desa Ratus. Ia harus sampai di sana sebelum senja. Kasihan kakek yang sudah renta harus menyalakan lampu-lampu teplok sendiri. Saat menuruni jalanan menanjak di antara pohon-pohon bambu dan di bawahnya aliran kali mengalir, sayup-sayup ia mendengar suara seseorang memanggil. “Nak…tunggu…!!”. Ia berbalik, perempuan tua berlari ke arahnya, wajah perempuan itu tampak lelah, sedikit keringat bermunculan di keningnya. “Ada apa bu?”, “Ini nak, ada titipan surat…”. “Dari siapa bu?”, “Nanti akan tahu sendiri, ya udah nak, tak tinggal dulu. Masih ada kerjaan di rumah” wanita tua itu berbalik kembali. Malamnya, saat di angkasa bulan terlihat separuh. Dan lereng Meru sepi dengan malam, kakek sudah terlelap sejak lolongan anjing yang pertama. Sesepi itu Harya terduduk di tepian ranjang yang terbuat dari bambu, di depan rumah menghadap lereng. Surat titipan itu masih rapat, belum terbuka. Sengaja ia hendak membacanya malam hari, setelah semua pekerjaannya rampung. Surat berkertas putih itu, hanya di lipat sederhana menyerupai bentuk jajar genjang. Ia buka dan mulai membacanya.Harya…tak usah bingung, dengan aku yang sudah mengenalmu. Aku melihatmu pertama kali saat bepapasan sepulang aku mencuci di kali. Tahukah kau, jika dengan sifatmu yang acuh itu, walau awalnya aku merasa sakit, namun tak bisa aku lupa akan hal itu. Pandangan yang menyiratkan bahwa kau tak berhasrat untuk mengawiniku…menunjukkan kau tak silap dengan apa yang tampak di lahir saja. Harya…atas nama gadis kembang desa Watu Gunug, aku ingin bertemu denganmu, esok sebelum matahari beranjak sepertiga bumi…temui aku di kali…karena hanya waktu itulah aku bisa keluar dari rumah. Lastri***Seperti yang telah biasa di lakukan Lastri, saat angkasa di sepuh dengan warna-warna sejuk, dan matahari belum sempurna berkelindan di ufuk timur, ia sudah sibuk bermain air di kali. Kali ini ia tidak membawa tanggok yang biasa untuk membawa cucian. Ia hanya membawa minyak kelapa, rendaman daun sirih dan melati, sebagai peralatan mandi. Serta jarik yang di gunakan mengeringkan badan. Sesekali diantara kesibukannya menyibak-nyibak air, matanya menatap perbukitan, dimana jalan yang biasa di lalui orang-orang. Namun sampai lelah ia menunggu tak jua ia menemukan apa yang ia cari. Matahari hampir separuh hari, panasnya kini sudah terasa lumayan terik, udara yang berhembus dari perbukitan membawa hawa panas dan membakar kulit. Ikan-ikan di dalam airpun kini tampak bersembunyi di balik lumut atau batu-batu yang ada di dasar kali. Semua berusaha menghindar dari panasnya matahari. Tapi berbeda dengan Lastri, ia masih asyik bermain air, mengalirkan ke lengan putihnya, leher, meresapi kesegarannya, rambutnya yang panjang pun tampak semakin indah di gerai air kali, menjuntai-juntai di kulit bahunya yang kuning langsat. “Lastri…” tiba-tiba suara seseorang mengagetkan lamunannya. Ia berbalik menuju arah sumber suara. Seorang pemuda tampak menuruni perbukitan menuju ke arahnya. “Harya udayana…” desis Lastri, Lastri menyambut tangan Harya, menuntunya untuk duduk di jamban kali, menjulurkan kaki ke dalam air, dan merasakan kesegarannya. Tangan mereka masih bergenggaman erat. “Lastri, ada perlu apa?” “Harya…aku mencintaimu, maukah kau mengawiniku?” jelas dan lancar Lastri berucap demikian, berbeda dengan Ratna dan perempuan-perempuan lainnya, yang harus berpikir beribu kali dan malu-malu untuk mengucapkannya. Harya tak menjawab. Ia belum yakin dengan wanita di hadapannya, apa benar dia Lastri? Gadis kembang desa Watu Gunug. Apa jadinya jika ada warga yang tahu ia berdua dengan gadis yang mereka anggap gadis suci. “Aku menyerahkan jiwa raga untukmu” rajuk Lastri sambil melepas kemben penutup tubuhnya. Harya membisu, beku dengan apa yang ada di depannya. Pun saat tangan Lastri bergerak menuntun tangannya, bibir berpagut, kemudian saling bergumul. Batang-batang bambu berdesir malu di sapu angin, angkasa bersih tak berawan hanya sedikit burung-burung Pondang berkicau menertawakan di pucuk-pucuk pohon jati. Ikan-ikan Pari berseliweran di air berkejaran dengan pasangannya, setelah kena, mereka sembunyi di balik lumut, saling beradu mulut dan kemudian seliweran lagi di riak-riak air kali yang mengalir.***Warga mengekang Lastri, gadis yang sepantasnya hidup bahagia dengan anugerah kecantikan yang ada padanya. Mereka melarangnya agar tidak sembarang bergaul, mengurungnya di rumah. Layaknya sebuah barang antik yang hanya bertangan bersih, wangi dan orang kaya yang bisa memegangnya. Lastri bingung dengan apa yang ia rasakan. Tak tahan melihat adiknya bermesraan dengan pemuda yang juga ia cintai, akhirnya ia kalap, hingga akhirnya ia lampiaskan semua hasrat yang sudah lama terpendam. Terus ia melakukannya, setiap waktu, setiap ada kesempatan. Tak ada yang bisa mencegahnya. Warga desa dan ki Suriamenggala masih berharap dengan kecantikan Lastri. Mereka yakin dengan kecantikan yang di milikinya desanya akan ikut terpengaruh dan punya wibawa di mata desa-desa sekitar. Sehingga melihat perubahan pada Lastri, mereka tetap diam tak melakukan tindakan, apalagi mencegah. Kekuatan adat juga saat itu terasa tak bertuah, arwah-arwah kembang desa yang telah bersemayam di kuburan desa membiarkan Lastri melakukan perbuatan itu. Padahal sebelum-sebelumnya, setiap kembang desa yang belum di ambil lelaki kaya, pasti di jaga kesuciannya oleh arwah–arwah leluhur. Tapi tak tahu kenapa saat ini tidak. Mungkin karena semasa hidup sebenarnya mereka juga tak rela dengan pemaksaan adat, sehingga alih-alih membiarkan kejadian di kali itu untuk dijadikan pelajaran bagi warga desa Watu Gunug. “Ini kehendak dari leluhur-leluhur kembang desa yang telah bersemayam, mereka mau mengajarkan Lastri untuk bisa bersikap baik kepada semua warga kampung kita. Kelak nantinya jika sudah mempunyai lelaki kaya dan hidup enak” ucap ki Suriamenggala. Bagaimana dengan Harya? Bukankah ia dahulu sangat santun dengan wanita? Dan tak berhasrat dengan kecantikan Lastri? Itu hanya tipu muslihat untuk menarik hati Lastri. Harya anak haram, ia lahir dari perbuatan hina, ia adalah anak hina, sekarang ia membawa Lastri untuk bisa menemaninya di lembah kenistaan itu. Ia ingin tak hanya dia yang hidup dalam cemoohan, ia mengajak turut serta Lastri dalam kenistaan itu. Tak hanya dengan dirinya, tapi juga dengan pemuda-pemuda desa Watu Gunug, Lastri kini menjadi gadis yang semua pemuda bisa merasakan tubuhnya dengan mudah. “Ratna!!” Harya berseru mencoba mengejar Ratna. Siang itu ketika Harya ke rumah Ratna. Dia tak perduli, terus menutup pintu rumah, membiarkan Harya di luar yang masih mengucapkan kata-kata cinta berusaha menyakinkan hatinya. Ratna menangis, hatinya remuk redam setelah mendengar kabar bahwa pemuda yang ia cintai selingkuh dengan kakaknya. Orang tua mereka sudah renta, tak mampu berbuat banyak, hanya duduk di amben, meratapi melihat tingkah anak mereka. Warga yang dulu dengan senang hati merelakan tenaga membantu di rumah mereka, kini sudah tidak lagi. Semua tak ada yang bisa di harapkan. Kecantikan Lastri berbuah malapetaka.*** lima bulan berlalu… Suatu malam, saat banyak wanita berkumpul di balai desa. Tak seperti biasanya, jika malam sebelumnya hanya ada Ratna di antara mereka, kini duduk seorang wanita yang sangat cantik. Tak salah, ia adalah Lastri. Di sampingnya Harya dan beberapa pemuda ikut berkumpul. Malam itu awal mula balai desa menjadi ajang pemuasan nafsu mereka. Ratna yang sedang patah hati, pun kalap, ia mengikuti jejak kakaknya. Watu Gunug kini menjadi desa yang ramai dan meriah. Setiap malam, banyak wanita-wanita cantik yang melampiaskan hawa nafsu bercengkrama di balai desa, desa itu terkenal sebagai tempat memburu kenikmatan bejat, sesat. Makin hari, banyak gadis-gadis dari desa sekitar yang berpindah ke desa itu, berjualan, sekedar memanfaatkan keramaian atau juga pindah tempat untuk ikut merasakan keramaian. Kabar desa Watu Gunug cepat meluas ke desa-desa lain, hingga banyak saudagar kaya yang berkunjung di daerah itu, ingin juga merasakan kenikmatan yang ditawarkan gadis-gadis desa. Tak tahu siapa yang salah. Semua telah terjadi. Daun-daun bambu yang telah bersemayam di tanah tidaklah mungkin bisa kembali bergantungan pada tangkainya seperti semula. Hanya bisa berharap tumbuh daun-daun muda yang akan memberikan cerita baru.

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.