Cerpen: Cerita Dari Teman

Temanku pernah bercerita:

Di sudut emper sebuah toko kelontong, di antara luapan sinar putih lampu neon, di bawah siraman dan guyuran kemilau kuning lampu merkuri, di sela-sela kelebat menyilaukan lampu-lampu kendaraan yang hilir-mudik menerjang gelapnya malam, seorang ibu mengiba menidurkan seorang anak kecil, anaknya. Sosok ibu itu memiliki garis kecantikan di masa lalu kendatipun tertutup oleh tebalnya debu zaman yang telah ia lalui. Angin malam adalah selimut dingin yang mampu menggeraikan rambut gimbalnya, kotor dan kumal. Tangannya telah menelusuri jeruji cobaan hidup membelai lembut kepala anak kecil itu. Sisa pakaian yang melekat di tubuhnya akan mengingatkanmu kepada perasaan sebagai manusia. Benar, perasaan antara manusia dengan bukan manusia. Sobekan pada pakaian lusuhnya menciptakan luka-luka yang ia alami selama hidupnya. Kekotorannya melukiskan gambar kering tanpa air bening kehidupan yang dinikmati oleh manusia secara wajar. Puluhan tahun ia telah melewati masa, menuruni lembah, mendaki bukit, dan hasilnya adalah sebuah harapan yang sirna. Ia duduk bersimpuh di atas lantai dekil toko kelomtong milik Engko Chen. Dingin. Ia seorang ibu muda gelandangan bersama anaknya.

” Mak..Llllaparrr…!” Keluh si anak. Badan mungilnya tergeletak tidak terawat sama sekali. Kaki kecil, tangan mungil mengepal lemas, kepala pelontos, badan terbalut daki dekil, kedip matanya sayu tak kuat meski sekedar menatap lampu redup. Di atas hamparan kertas koran. Ah… anak-anakmu sudah barang tentu tidak akan seperti dirinya. Anak-anakmu tidak akan pernah tergeletak di emper toko kelontong, anak-anakmu tidak akan meringis atau mengeluh menahan perihnya lapar, anak-anakmu tidak akan dielus dengan ratapan dan ibaan, akui saja!!!

Ibu muda gelandangan hanya bisa melongo, bergeming. Telah kehabisan cara untuk membujuk dan meredakan keluhan jujur anaknya. Lapar adalah kejujuran, tidak pernah berbohong. Lapar tidak memerlukan iming-iming atau ocehan. Lapar membutuhkan sekerat roti, segenggam nasi putih hangat mengepul, sebungkus kerupuk, segelas air sejuk, seseondok susu bubuk, dan setumpuk gizi. Apa yang kau butuhkan ketika lapar, logika sederhana sekali pun akan langsung menjawab: MAKANAN! Apa yang ada dalam pikiranmu ketika lapar? Bualan kesejarteraan? Obral janji akan datangnya masa kejayaan?? Segudang ajakan untuk tetap berharapan akan datanganya kemakmuran??? Bukan..bukan itu, karena kata-kata apalagi ocehan bukan jenis makanan!!!

Ibu muda gelandangan telah banyak bercerita tentang kessabaran. Ia telah berbisik tentang harapan di masa depan kepada si anak. Tetapi..sekali lagi..lapar adalah kejujuran, kejujuran yang tidak akan pernah terputus hanya karena mendengar nada optimisme yang terkesan dipaksakan. Kejujuran yang keluar dari lubuk hati kamusia normal, bukankah gelandangan juga manusia normal?

Malam semakin larut pekat. Merayap dengan kaki-kakinya teramat cepat. Kota seakan tak pernah mati. Aroma -aroma makanan lezat seperti; nasi goreng, martabak telur, mie tek-tek, hamburger, pizza, bandros kelapa, hanya mampir dan mencekik hidung mereka lalu terbang melayang..tersapu angin. Lalu-lalang orang-orang bukan hal yang tepat untuk menjadi bahan pertimbangan bahwa mereka akan melirik pada dua sosok itu. Orang-orang di kota itu, tak pernah merasa akan mati, sibuk dengan urusan masing-masing. Berbagai reklame beruba bilboard raksasa halus dan dibuat dengan biaya sangat mahal tentu saja, meramaikan angkasa. Tatap nanar ibu itu menghampiri lukisan-lukisan dan gambar makanan yang terpampang di papan reklame. Ia menelan ludahnya seketika, dalam dan getir ketika menyadari bahwa papan reklame bukan jenis makanan yang bisa disantap.

” MMaak..Llllapar..rr!” erang anaknya semakin parau terputus.

” Tenang..nak!” Ibu muda gelandangan ingin bercerita dongeng sebelum tidur, hanya..ia sadar sia-sia belaka. Sekali lagi, lapar adalah kejujuran. Tidak akan terpupus oleh dongengan. Cukup untuk dirnya saja ia membayangkan buah-buah segar di surga. Angin malm menerbangkan debu-debu jalanan. Ia bersandar pada dinding toko kelontong, tangannya masih mengelus lembut kepala pelontos anaknya.

” L…a..p..a…r..r!”

Disekanya air mata yang menganak sungai di pipi berdakinya. Ia baringkan kepala anaknya di pahanya, dielus punggungnya mesra sekali.

Logika paling sederhana, apalagi logika orang pintar sepertimu tak mungkin akan menerima fakta ini. Seorang ibu muda gelandangan berusaha menenangkan anaknya yang dirundung lapar, ketika kau sedang asyik menonton televisi, ketika kau bersama keluarga sedang menghadapi berbagai aneka makanan mewah meriah di atas meja makan atau di restoran, ketika kau sedang mengunyah makanan dan memadati perut buncitmu, ketika kau sedang berbaring di kasur empuk hangat dan nyaman, ketika kau sedang memeluk anak-anakmu, ketika kau sedang menghitung angka-angka di atas sepuluh digit, ketika kau sedang mengutak-atik data keuangan yang akan mendongkrak taraf hidupmu, ketika kau sedang memilah -memilih aneka rupa pakaian yang akan kau pamerkan kepada orang disekelilingmu, bisa jadi ketika kau sedang pesta pora menghambur-hamburkan uang di meja perjudian dan taruhan!

Seorang lelaki kasar menghampiri mereka. Cara berjalannya licik bukan main, wajah dihiasi kumis merongos lebat kurang terawat, jarang mandi pun bisa jadi, terlukis dari barisan giginya yang menguning, hidung melesak pesek dipadu oleh aroma alkohol yang keluar mencekik nafas dirinya sekalipun, dagunya sederhana. Tiba-tiba tangannya meluncur tak terkendali memegang dagu ibu muda gelandangan, atau mungkin memang sudah terbiasa?

” Bagaimana malam ini!?” Ucapnya, nadanya terdengar berat.

Ibu muda gelandangan berusaha bangkit setelah menggeletakan anaknya di atas hamparan koran terlebih dahulu.

” Baik!” Sahutnya terpaksa. Ia menoleh sebentar ke arah anaknya, ” Tunggu nak, ibu akan memcari makanan untukmu!”

Tubuh anaknya masih berkelejatan ketika ibu muda gelandangan bersama lelaki licik itu menyelinap di rapatnya lorong toko kemudian masuk ke semak belukar.

Anaknya merintih semakin pelan, antara lapar dan mengantuk. Mata kecilnya menyipit menatap angkasa. Langit memang hitam malam itu tanpa gemintang karena bias oleh binar lampu-lampu kota. Matanya tampak basah. Halimun mulai mendekap tubuhnya, dingin menyiksa bagai cambuk tak pernah berhenti mendera dan menyayat lapisan kulit luarnya. Suhu menurun tanpa kompromi, semakin malam… dan ia pun tergeletak dalam keperihan lapar. Tidur. Ia, bisa jadi memimpikan gelas-gelas kristal, buah ranum, mangga, air segar, dan tentu saja..tidak ingin ia mengakhiri mimpi syurgawinya..
Hingga dini hari, ibunya belum muncul.

###
Pagi menyeruak, tirai langit terbuka lebar oleh cahaya, membuyarkan malam dan redupnya. Sisa-sisa dingin masih menggumpal di ujung malam, namun jalanan telah penuh sesak oleh orang-orang bertransaksi. Beberapa toko mulai buka. pasar ramai sekali sejak dini hari, memang. Kau tidak akan percaya, di kota itu orang-orang berjualan sampai meluber ke tengah jalan. Satu jam saja… berbagai sampai telah meramaikan sekitar. Juru potret amatir sekalipun akan mampu membidik lingkungan kotor betul pada hasil jepretannya.
Tubuh mungil tersembul di antara kerumunan orang. Kedip matanya masih menyisakan rasa kantuk berlebihan, belum puas dengan mimpi-mimpinya. Ia mengelilingkan pandangan, matanya mencari-cari makanan di atas jalan di antara semerbaknya berbagai sampah. Ia menapaki jalanan tanpa alas kaki dengan sisa-sisa kekuatannya. Jongkok mengambil makanan yang terbuang, lalu melahapnya seketika. Jelas sekali itu bukan merupakan pertimbangan akal sehat. Ketika anak-anakmu masih pulas dalam pelukan ibunya, masih menikmati selimut kasih, anak itu telah berjuang sendirian mencari sekerat makanan untuk membunuh rasa lapar yang ia tahan semalaman. Ia telah menapaki jalan berdebu dengan kaki telanjang ketika anak-anakmu masih mengulat sambil mendekap bantal-guling, ingat itu!!!!

Kerumunan orang-orang berhamburan menuju satu titik, di belakang pertokoan di dalam semak belukar. Seseorang berteriak: ADA MAYAT!!! geger sekali pagi itu. Ya, sosok tubuh kaku membujur di dalam semak perdu, percikan darah meramaikan tubuhnya, wajahnya melesak di pukul batu, remuk tulang hidungnya. Orang-orang tidak menjamahnya, menyentuhnya pun enggan.

” Pasti diperkosa dulu!” Terka seseorang.

” Biadab!!!”

“Kapan akan berakhirnya kekerasan di kota ini?”

” Hhhh…!”

” Kita panggil POLISI!”

” Siapa peduli???!!”

Seseorang menutup tubuh kaku itu dengan selembar kertas koran, lalu mereka meninggalkannya begitu saja seolah tidak terjadi apa-apa di tempat itu. Mereka bubar dengan sendirinya, kembali kepada urusannya masing-masing. Tubuh kaku dibiarkan tergeletak, toh suatu saat juga akan membusuk dengan sendirnya, begitu pikir mereka, atau…POLISI akan datang segera… SIAPA PEDULI!? Lebih baik mengurus diri sendiri saja!

Anak kecil itu masih tetap mencari-cari. Menapaki jalan tak tentu arah.

###
” Mustahil..ada manusia yang senang makan triplek atau kaleng!” Kata menejer Danda kepada beberapa anak buahnya, para petugas keamanan.

” Di zaman sekarang, tidak ada yang tidak mungkin, pak!”

Menejer Danda mengernyitkan kening lebarnya. terlihat serius, wajah semakin dingin dan kecut, mengepal tinju kuat-kuat, bulat!

” Terserah!!! Yang aku inginkan adalah kerja kalian, bukan ocehan. Kalian lihat!!! sudah lima billboard reklame bolong-bolong. Apa mungkin itu digerogoti oleh manusia? Atau..setan apa yang senang mengunyah kaleng, heh! Pakai otak dong, ah!?” Ia melotot,” Kalian kerja yang benar malam ini!”

” Ya..pak!”

Malam bukan merupakan halangan bagi orang-orang untuk terus beraktivitas, seperti tak pernah mengenal mati , seakan hidup selamanya. Tiga orang petugas keamanan berjaga-jaga, mengamankan satu billboard reklame makanan yang tersisa tanpa cacat bolong. Pentungan dikepal erat. Bergantian lalu-lalang sekitar papan reklame. Asap rokok keluar masuk dari mulut mereka silih berganti memang seperti kereta malam. Aroma kopi tercium kuat. Menebar.

Ketika malam terus menggelayut dan merayap semakin dingin terdengar alunan lagu dangdut dari radio kecil yang mereka letakkan di bawah billboard reklame.
begadang jangan begadang
kalau tiada artinya
begadang boleh sajaaaaaa…
heii..kalau ada perlunya.

Kemudian salah seorang dari mereka memindahkan gelombang radio. Terengarlah alunan lagu tradisional:
bubuy bulan…
bubuy bulan sangray bentang
panon poe…panon poe disasate
Mereka membiarkan gelombang itu, tidak mengusiknya, bahkan secara bersama-sama serempak bernyanyi:
unggal bulan..unggal bulan abdi teang
unggal poe..unggal poe oge hade..

Tengah malam sangat dingin. Para petugas masih berjaga, tak mereka temui gelagat mencurigakan.

Dini hari menjelang subuh, kantuk merambat cepat, mereka tetap melotot, hingga pagi menjelang, sampai matahari muncul.
Dan papan reklame itu? Bolong lagi!!!

” Percuma setiap bulan kalian digaji jika tidak becus mengamankan satu billboard reklame saja, bodoh!” Semprot menejer Danda. Bengis.

” Aneh memang pak, percaya boleh..tidak percaya juga tidak apa-apa!”

” Kalian saya pecat!”

Dan mereka berhenti bekerja hari itu juga.

Begitulah kekerasan itu terus berlangsung, menggunting lembaran-lembaran harapan, menggergaji pohon-pohon cita, menebar kayu-kayu asa, menyisit kulit ari keinginan, setiap orang kecil yang selalu diburu.
Dan, sejak saat itu, billboard-billboard reklame berukuran besar yang menawarkan makanan dan minuman bolong satu persatu di kota itu.

Sedangkan, orang-orang sering melihat seorang anak kecil keluar dari kolong jembatan, muncul menggendong sebuah karung berisi serpihan-serpihan kaleng dan triplek yang jelas bukan jenis makanan dan minuman sambil merengek dan mencari-cari ” Ibu…..ibu…ibu….!” Ketika malam telah pekat…..
Sukabumi 2007

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.