Desa yang Hilang


Oleh: Basroni Rijal

Malam ini bulan dan bintang bersinar dengan terang. Angin bertiup menyejukkan hati. Malam ini terasa berbeda dengan malam-malam sebelumnya, suara alunan gitar, nyanyian, senda gurau para pemuda desa yang berkumpul tiap malam di pos kamling tidak terdengar malam ini.

Malam ini aku duduk sendiri di gardu menatap ombak-ombak di pantai yang sedang bermain dengan butiran pasir di tepi pantai. Entah kenapa aku tak bisa memejamkan mata malam ini. Mataku seakan tidak sudi melepas keindahan alam yang begitu memesona. Tiba-tiba jantungku berdetak sangat kencang dan hatiku berkata pergi…pergi…pergi ke bukit Slamet dan ajak semua penduduk desa.

Bergegas aku bangkit dan membunyikan kentongan di pos kamling. Dan dengan sekejap, para penduduk desa berdatangan ke arahku.

"Ada apa? Apa ada maling, atau ada kebakaran?" tanya para warga.
"Tenang…tenang…tidak ada maling juga tidak ada kebakaran," jawabku.
"Lalu, kenapa kamu membunyikan kentongan malam-malam?" tanya salah satu penduduk desa dengan sedikit emosi.

"Begini Bapak-bapak, Ibu-ibu, dan Teman-teman, aku mendapatkan firasat kalau akan terjadi sesuatu malam ini. Oleh karena itu demi keselamatan kita semua maka ayo kita bersama-sama naik ke bukit Slamet," kataku seperti mahasiswa yang sedang berorasi.

"Huuu!!! Kirain ada apa, dasar wong edan!" hujat penduduk desa padaku. "Roni, sekarang kamu tidur ya. Besok aja jalan-jalan ke bukit Slamet." Kata pak Kades padaku.

Penduduk desa pun berangsur-angsur meninggalkan tempatku. "Wah, kumat lagi sintingnya," bisik salah seorang dari mereka. Aku terdiam dan menatap jauh ke laut, sambil memikirkan apa yang akan terjadi.

Bulan terlihat lelah menyinari bumi, cahayanya meredup dan suasana menakutkan tanpa sinarnya. Tak terasa ayam jantan bernyanyi bersahutan, tapi suara gema adzan subuh tidak terdengar di telingaku. Aneh, apakah hari ini akan kiamat? Jika benar hari ini akan kiamat tapi kenapa Dajjal tidak muncul?

Tiba-tiba kepalaku terasa pusing seperti di pontang-panting, dan gardu yang aku duduki bergerak-gerak, rumah-rumah penduduk membuang genting-gentingnya, dan tanah membuka menganga di depanku. Oh tidak, ternyata gempa bumi. Tuhan, ampunilah dosa-dosa mereka yang telah lalai menjalankan perintahmu. Bergegas aku bunyikan kentongan sekeras-kerasnya, dan aku berkeliling desa dengan berteriak, "Gempa…gempa!" seluruh penduduk desa berkumpul ke tanah kosong.

Tak berselang lama gempa tak terasa lagi. Dan aku berteriak, "Wahai saudara-saudaraku, mari kita bersama-sama naik ke bukit Slamet." tiba-tiba, batu-batu berterbangan kearahku, dan aku berlari menyelamatkan diri dari amukan warga.

Aku berjalan menuju tepi pantai untuk membersihkan darah yang mengucur deras di kepalaku. Belum sempat aku menyentuh bibir pantai mendadak air surut begitu cepat. Ada apa ini? Seharusnya air pasang tapi kenapa air malah surut, telingaku mendengar bisikan, "pergi dari sini!" suara itu terdengar berkali-kali di telingaku.

Aku berlari sekencang-kencangnya menuju bukit Slamet, sesampainya di tempat paling atas bukit Slamet aku melihat ke arah desaku, ternyata desaku tak terlihat lagi, yang terlihat hanya air, air, dan air. Ya tuhan ampunilah dosa saudara-saudaraku, terimalah mereka disisimu.

Penulis adalah pelajar Universitas Bhayangkara Surabaya

Sumber: Jawa Pos dotcom

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.