Cerpen Penantianku

Oleh : Risty

Aku masih seperti yang dulu. Kini aku telah tumbuh menjadi gadis dewasa. Aku duduk termenung sendiri diatas batu besar sambil memandang sunset. Terdengar suara ombak yang berguyur ditepi laut. Suasana seperti ini, seperti ketika aku dan dia terakhir bertemu. Dia bilang mau kembali kekampung halamannya. “De, besok mas mau pulang, studi mas sudah selesai. Mas sudah dinanti bunda di kampung halaman”. Angin bertiup semilir menyibak jilbabku. Aku hanya membisu. Aku tidak tahu ini perasaan sedih atau senang. Tak terasa air mata ini meleleh tak bisa dibendung “Kamu nangis de?” Tanya dia seraya mendekat. Aku tidak bisa berkata apa-apa air mataku mengalir terus “Mas bingung kamu nangis gara-gara mas mau tinggalkan ade atau nangis bahagia?” tanyanya. Akhirnya mulutku aku paksa bicara “Ade ndak sedih, ade senang mas udah jadi sarjana. Ade cuma takut mas ngelupain ade”. Dia tersenyum seraya mengelus kepalaku yang tertutup jilbab mendengar jawabanku “Tenang saja, mas ndak mungkin melupakan ade, mas sayang kok sama ade”. Jawabnya sambil duduk disampingku. Aku tahu dia hanya menghiburku. “Ade harus selalu semangat belajar ya, yang sabar dan jangan lupa tawakal”. Itu pesan terakhirnya.

Batu besar ini mungkin tidak akan lupa, aku dulu sangat sedih ketika dia pergi. Akan bagaimana aku setelah dia pergi? Aku yang selalu tergantung padanya, selalu dimanjanya. Aku tahu sebenarnya dia tidak mau meninggalkanku. Ketika dia pergi meninggalkan aku, ingin rasanya aku berlari menarik tanganya dan menyuruhnya agar dia tidak pergi. Tapi itu tidak mungkin. Dia hanya tersenyum, aku menyalaminya sambil kucium punggung tanganya dan dia mengelus kepalaku. Aku hanya bisa menangis seperti bocah yang ditinggal bapaknya dan berharap suatu saat dia akan kembali.

Ketika itu awan begitu cerah, ini hari baiku aku akan bertemu denganya. Kenapa setiap aku bersamanya aku merasa nyaman dekat dia. Mungkin aku mencintainya. Ketika dia pergi, dia ingin aku tumbuh menjadi gadis yang pintar dan bisa berjalan di atas kaki sendiri. Sejak itu aku berjanji pada diriku sendiri akan menjadi gadis yang seperti ia ingini. Dia, sosok yang sangat kupuja. Sesosok kakak yang mengajariku tentang hidup, tentang cinta. Dan mungkin dia juga yang telah menjadikanku seperti ini. Seakan-akan aku tak bisa hidup tanpanya. Aku senang mendapat banyak pelajaran hidup dan pengetahuan darinya. Aku merasa sangat beruntung telah mengenalnya. Dia begitu sabarnya menemaniku ketika aku berproses dan berkarya.

Aku tau ada gadis cantik yang ada dihatinya dan menjadi pujaan hatinya . Dan aku pun tak pantas berharap lebih. Dia seperti sebuah mimpi yang memang tak boleh teraih olehku. Aku tak boleh berharap lebih. Dihadapannya aku hanya sebagai anak kecil yang perlu disemangati dalam berproses belajar. Ya … dialah yang selama ini memberiku semangat. Seorang laki-laki yang selalu menyebutku Adik. Dan bahkan saat tangannya menggenggam tanganku dan mulutnya mengucap kata pamit, ia masih menyebutku adik. Ya…sebatas adik

Tak terasa matahari sudah tenggelam. Aku berjalan menelusuru pantai menuju rumah. Aku ingat e-mail terakhir yang ia kirim padaku satu minggu yang lalu. Kini dia sudah berada di Negara impianya yaitu Belanda. Kini dia melanjautkan S2 disana. Aku senang dia bisa mewujudkan impianya. Menurut ceritanya, Belanda adalah pusat ilmu pengetahuan, kota pelajar. Dan kelak aku juga harus ke sana untuk meneruskan sekolahku. Di e-mailnya tertulis suatu saat dia pasti akan kembali untuk menemuiku, entah kapan. Aku senang dia akan kembali, aku akan setia menantinya sampai kapanpun. Itu janjiku.

Tiga tahun bagiku terasa seperti lamanya Belanda menguasai Indonesia. Begitu lama dan sangat lama. Aku hanya ingin dia kembali secepatnya. Aku hanya ingin bilang padanya, Adik manisnya ini… gadis yang selalu menunggunya pulang… dan gadis yang akan selalu mencintainya selamanya… gadis yang selalu rindu padanya…. Ah…Aku terlalu mencintainya dan dia terlalu menyayangiku, bukan mencintaiku.
Kini sudah banyak sekali buku yang telah ku baca dan karya yang telah kutulis. Dan aku selalu ingin memperlihatkan dan menceritakan padanya. Aku ingin dia bangga terhadapku, dan aku ingin dia tahu kalau adik manisnya ini telah menjadi apa yang dia inginkan.

Aku harus bersabar menunggu nasib mempertemukan kami. Ya… aku percaya Tuhan tak akan membiarkan penantianku ini dengan sia-sia tanpa ada kepastian. Aku percaya suatu saat nanti jika Tuhan membawanya kembali ke tanah ini akan kutunjukkan padanya, bahwa adik manisnya ini sudah menjadi gadis yang dewasa dan bisa berjalan di atas kakinya sendiri meski tertatih.

Sumber : Kolomkita.com

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.