Cerpen Cinta untuk Ade

catcher
“Ma.... Kamu kan tau, aku tuh ngedeketin Ade cuma buat ngejadiin dia objek cerpenku?”


“Ta, kamu sudah bikin cerpen baru untuk diterbitin di edisi bulan depan?” Suara Mbak Rana, editor sebuah majalah remaja tempat aku biasa menyumbangkan tulisan dan cerpen-cerpenku, terdengar di telepon genggamku.
“Hmm.... Belum, Mbak. Emang deadline-nya kapan?” aku bertanya balik.
“Dua minggu lagi. Awas, jangan lupa, ya.... Hari Kamis dua minggu lagi kamu harus serahkan naskah cerpen terbarumu ke Mbak Rana. Oke, ya, Ta?”
“Beres, Mbak. Aku usahain untuk ngasih cerpen itu secepatnya. Makasih, Mbak....”
“Oke. Dadah, Mita.”
Aku membanting tubuhku ke arah tempat tidur. Aduh.... Gimana, ya? Akhir-akhir ini aku lagi nggak ada ide untuk nulis, nih. Mana tugas-tugas sekolahku lagi numpuk dan ulangan akhir tinggal sebulan lagi. Huuuh.... Capek!!
Tapi, mau bagaimana lagi? Aku tetap punya kewajiban untuk menyerahkan cerpen itu ke Mbak Rana sebelum deadline dua minggu lagi. Kalau nggak, Mbak Santi, sang pemimpin redaksi, bisa ngamuk sama aku.
Duh.... Pusing!!
“Gimana, ya, Ma?” tanyaku pada Irma, sahabatku.
“Gimana apanya?” tanya Irma sambil menyeruput teh manis dari gelasnya.
Saat itu Irma dan aku sedang berada di kantin, membicarakan tentang masalah cerpen yang membuatku pusing itu.
“Gimana soal cerpen itu?” tanyaku lagi.
Sambil menyendok kuah bakso, Irma menjawab, “Ya udah, tulis aja. Susah amat?”
Aduh! Pengen rasanya aku menjitak kepala temanku yang satu ini. Memang, Irma itu selalu cuek dan terkadang suka menggampangkan masalah.
“Iya, Ma, cuma nulis doang sih gampang.... Tapi, idenya itu, lho, nggak ada!” kataku kesal.
“Oh.... Jadi lu nggak ada ide. Bilang dong dari tadi!” kata Irma sambil nyengir. “Hmm.... Gimana kalo lu tulis aja tentang kehidupan atau permasalahan orang-orang di sekitar lu?

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.