Cerpen Dewasa-Pertemuan Mimpi

Pertemuan Mimpi Cerpen Mustaqiem Eska Pagi-pagi cakrawala telah menembus belantara. Rimbunan daun nan pekat sedikit berubah cerah setelah semalaman berkalang gelap. Kenari, Emprit, perkutut, hingga monyet saling bersiul dan terkadang salto. Semalaman sudah Kirana tidur tanpa alas kasur dan berbantal. Ditariknya beberapa daun jati yang telah luruh ke tanah, dikumpulkan, terus dijadikan ranjang. Selimutnya hanya selembar kain yang dibawanya dari rumah. Semuanya terjadi seperti tiba-tiba. Semangatnya telah mengantarkannya harus pergi ke Tanah Tarjanji, tempat Shuhuf bermukim, orang yang sama sekali tak dikenalnya. Ya, menurut berita malamnya, Shuhuf adalah satu-satunya orang yang faham tentang sejarah silsilah keluarga Kirana. Dia tinggal di sebuah kampung yang juga tak jelas namanya. Hanya dari tanda-tandanya, untuk mendapatkan keterangan yang jelas perihal keluarganya, Kirana harus pergi menemuinya tanpa lagi harus menoleh ke belakang. Dan semua wajib dilakukan sendiri dan tanpa teman, itu syaratnya. Kirana yang sudah bertahun-tahun menelan tekad bulat untuk ketemu orang-orang yang dikasihinya maka sejurus kemudian sontak langsung beranjak, tanpa lagi perhitungan terhadap keadaan sebelumnya. Hanya berbekal tiga lembar kain yang menempel di badan, pergilah Kirana menuju Tanah Tarjanji tempat konon Shuhuf berada. *** Kirana samasekali tak mengenal wajah dan perawakan Shuhuf seperti apa. Bahkan nama kampung tempat Shuhuf tinggal pun sama sekali tak pernah di dengarnya. Semuanya asing. Tapi Kirana telah bercita-cita mendapatkan jawaban yang jelas tentang keluarganya. Maka ketika mimpi yang diharapkan adalah ilham itu, terus menggiring kemauan kerasnya untuk segera menuntaskan pertanyaan besarnya yang terus menggumpal sesak di dadanya. Ia pun langsung angkat kaki, bak selembar daun yang tiba-tiba tersapu ombak. “Mbok, Tanah Tarjanji sebelah mana ya ?”, tanya Kirana pada Mbok Tua yang tengah berjualan lontong di sebuah gubuk kecil tengah pematang. “Oh, masih jauh Non, lurus saja tarsus. Jaraknya kurang lebih dua hari lagi perjalanan, itupun kalau tidak istirahat” katanya. Tanah Tarjanji ternyata, tampaknya tak begitu asing bagi banyak orang. Otomatis tak membuat sulit bagi Kirana untuk mencapainya. “Tidak salah lagi dengan cerita dalam mimpiku”, pikir Kirana menggugah semangatnya. Tapi Kirana benar-benar tidak boleh menoleh ke belakang. Itu yang membuatnya seringkali hampir putus asa. Perjalannya nyata dirasakan begitu teramat jauh dan melelahkan. Hampir-hampir ia urungkan semua harapan bertemu kelurganya. Tapi tekad tangguhnya tetap berharap kerinduannya dapat terobati. *** Pada sebuah kampung, Kirana tampak begitu lelah. Bergegas ia menuju sebuah warung, untuk mengisi perutnya yang lapar. Di dalam kampung itu Kirana menemukan keanehan yang luar biasa. Semua penduduknya diam saja. Segalanya tampak berjalan sendiri-sendiri. Begitupun dengan transaksi jual beli yang terjadi di warung, hampir semuanya tanpa kata-kata. Harga-harga sudah dipatok pada bandrol. Siapa yang hendak membeli bisa langsung ambil dan membayarkan uangnya pada sebuah kotak semacam kotak amal yang diletakkan di sebelahnya. Bagi mereka itu sudah ijab qabul. Dan yang membuat Kirana semakin tak mengerti, roda kehidupan berjalan dengan sangat normal. Mereka sangat patuh pada peraturan hukum secara bersama yang telah mereka ciptakan lewat kesepakatan. Begitu mereka telah tertanam mahligai kejujuran di nurani mereka masing-masing. Tak ada tergurat wajah-awajah curiga dan pribadi maling plus copet. “Di sini tak ada maling, tak ada pelanggaran hukum, tak ada pertentangan-pertentangan. Bahkan untuk bermusuhan dan saling iri di antara mereaka hukumnya adalah haram jadah. Kunci dalam kehidupan mereka adalah tidak saling ganggu antar satu dengan yang lain. Jujur dan tidak merugikan orang lain” kata seorang warga yang tak mau menyebutkan namanya, saat Kirana mencoba bertanya. Kirana masih berdiri terpukau. Baginya semuanya adalah aneh. Tapi toh harus dilakoninya. Setelah faham adat yang berlangsung, Kirana pun lantas mengambil setangkup debu. Ditaruhnya di atas lembaran daun jati. Dituliskanlah sebuah pesan, sebagaimana ungkapan dalam hatinya. Dan tak beberapa lama seoang lelaki tua tengah lewat dihadapanya. Langsung Kirana diajaknya untuk masuk ke dalam rumahnya yang tak jauh dari tempatnya. Setelah disuguhkan segelas minuman tebu, lelaki itu pun entah kenapa tiba-tiba bicara. “Kau mau kemana nak?” tanyanya. “Menemui Shuhuf di Tanah Tarjanji, seperti dalam mimpiku”, jawabku. “Tidak mudah menemuinya Nak” tanyanya balik membuatku makin heran. “Memangnya kenapa?” kata Kirana balik. “Shuhuf orangnya sangat aneh, hanya orang-orang tertentu yang dapat menemuinya. Tidak semua orang bisa melihat wajahnya. Bahkan dari keinginan-keinginan yang tak jelas. Malah banyak yang pulang menjadi gila?” tegasnya. “Maksudnya Pak” Kirana makin penasaran. “Shuhuf itu pinunjul. Orangnya mirip khasaf. Ucapannya tampak seperti sabda. Sewaktu-waktu bisa saja menghantam siapa saja yang beralah padanya. Dia menguasai ilmu Sabdo Kalimo Sodo. Sekali ia mengucap prilaku orang yang sangat maksiat di hadapannya “Gila”, maka orang itupun langsung menjadi gila. Inilah yang kamu saksikan di kampung ini. Dan itulah alasannya kenapa semua orang hampir takut bicara yang kotor. Mereka saling jaga kepribadiannya masing-masing. Sebab sikap jika tidak baik, di sini akan langsung dapat berbalas akibat. Itulah yang membuat orang di sini takut berbuat khilaf, hingga untuk berbicara pun teramat takut salah. Sebab lidah rata-rata lidah kan kejam” tegasnya lanjut. “Tapi salah itu kan wajar bagi manusaia” Kata Kirana mencoba membela. “Di sini tidak Nak. Semaua rata-rata apologi. Percauma kita punya akal”., katanya. “Tapi itu kata Tuhan” tegasku sedikit berontak. “Ya, karena itu lantas orang banyak abai dengan kesalahan. Padahal kesalahan itu hakikatnya adalah buat diri kita sendiri”, Kirana pun jadi terdiam. Dan lanjut katanya, “Jadi bagaimana agar saya bisa menemui Shuhuf?” “Sucikan dulu niatmu” kata lelaki tua itu. “Saya sudah bertekad betul Pak” Kirana kembali mencoba meyakinkan. “Ya, jalanmu luruskanlah, perjalananmu tinggal semalam. Tapi kau jangan coba-caoba menoleh ke belakang” pntanya. “Memangnya kenapa kalau saya menoleh ke belakang ?” “kamu akan tahu sendiri akibatnya” jelasnya. Dan kirana lantas tetap mengikuti perintahnya. Segala petunjuknya diwanti-wanti. Dia jalani dengan waspada. Ya, …Kirana pun terus melangkah ke depan, tanpa lagi benar-benar tidak menoleh ke belakang. *** Hujan lebat sekali, mengguyur tubuh Kirana. Dia tampak kedinginan. Berkali-kalinya tubuhnya menggigil. Diusapkannya kepala dan mukanya yang basah. Sudah hampir satu minggu Kirana melewatkan pukulan alam yang sedemikian rupa. Namun tetap harapannya tak lagi pudar dan bergeming, untuk tetap tahu tentang keluarganya yang sebenarnya. Dari keremangan, perempuan setengah baya gendut, membawa dua lembar potongan daun pisang. Lantas mendekati Kirana. Dengan sedikit kaget, Kirana tampak menyorongkan pungguhnya lebih lekat ke batang jati tempat ia berteduh. “Putri ditunggu bapak di rumah” seketika perempuan itu seperti sudah kenal, yang justru sedikit membuat Kirana terkejut. Seperti dalam mimpi. Pikirnya. “Maaf, saya sama siapa ya?” tanya Kirana. “Saya sinuhunnya Tuan Shuhuf” jawabnya. “Jadi …?” Kirana heran. “Benar” kata Sinuhun itu seakan tahu apa yang terbersit di benak Kirana. Dan bergegaslah keduanya menuju sebuah rumah berukuran 7 x 8 meter. Temboknya bercat putih dengan bangunan yang sangat sederhana. “Silahkan duduk” pinta sinuhun pada Kirana. Sedetik kemudian, telah dibawanya selembar baju dan handuk untuk Kirana mengganti pakainnya yang sudah basah dan apek. Kirana pun menerimanya. Setelahnya, Kirana nampak lebih segar dari sebelumnya. Kecantikannya dan keanggunanya kembali terlihat semakin nyata.*** Shuhuf keluar dari dalam kamar pribadinya yang seperti mushola. “Assalamu’alaikum, apa kabar Kirana?”, kata Shuhuf. “Kok bapak tahu nama saya?” tanya Kirana. “Sebelumnya, seperti dalam mimpiku semalam kejadian sekarang ini. Dalam mimpiku aku telah kedatangan tamu seorang perempuan muda cantik molek bernama Kirana dengan ciri-ciri persis seperti kamu sekarang. Kondisinya tengah kehujanan dan ngaup di bawah batang jati dekat rumah saya pada petang ini” “Jadi …?” Kirana makin terheran-heran. “Ya, kita telah dipertemukan Tuhan lewat mimpi”“Tapi sekarang saya tidak tengah bermimpi kan?” “Tidak. Sekarang semua ini benar nyata” tegas Shuhuf. “Shuhuf tahu siapa keluarga saya?” tanya Kirana lagi. “Kau adalah adik kandungku, Kirana … seperti dalam mimpiku. Bahwa aku akan dipertemukan oleh Tuhan hari ini dengan adikku yang kabarnya bernama Kirana” “Jadi ?..” Kirana makin bingung bercampur haru. “Ya, ya … kenapa muka kita mirip …” Shuhuf pun heran. “Benar, kita dipertemukan Tuhan kak Shuhuf …..?!!” Sejurus kemudian Kirana langsung memeluk Shuhuf yang ternyata adalah kakak kandungnya sendiri dimana selama ini telah terpisah ketika tsunami menerjang dan meluluhlantakkan kampungnya tiga puluh tahun silam, saat keduanya masih balita. Kedua orang tuanya tak jelas rimbanya. Ada dua kemungkinan, mungkin masih hidup atau justru sudah meninggal. Sebab ketika tsuanami datang keduanya tengah asyik masyuk mengusahakan adik Kirana berikutnya di ranjang empuknya yang baru dibeli sore harinya. Akhirnya Shuhuf dan Kirana terlibat dalam percakapan yang sangat panjang. Air mata keduanya nampak terus mengucur berjatuhan merambati pipi. Sesekali tertawa haru. Tapi ketika masing-masing teringat tentang bagaimana berita keberadaan orang tuanya, kembali sama-sama diam. Menangis dan menangis lagi.

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.