Cerpen Titipan Hujan

Jalanan kota bertuah ini masih becek karena hujan semalam. Kemarin sore, Pak Junaidi menyuruhku untuk mengantarkan proposal ini ke tempat salah satu kenalan lamanya yang kini tengah mengurusi perusahaan karet. Ia membekaliku dengan upah Rp100.000, itu semua tidak termasuk uang konsumsi dan transport.

Memang, usaha yang dibuka Pak Junaidi tidak dapat dikatakan usaha besar. Namun, jika ditinjau dari peluang ke depan, usaha yang digelutinya cukup menjanjikan. Sebenarnya aku bukanlah anak buah Pak Junaidi. Saat itu aku tak sengaja bertemu dengannya di salah satu rumah makan tempat aku bekerja sebagai pelayan. Sejak saat itu ia sering mempekerjakan aku di luar jam kerja.

Tepat di samping salah satu travel yang berwarna biru, aku berhenti sejenak. Memperhatikan kalau-kalau masih ada lowongan kosong untukku. Namun, belum sempat aku bertanya, si supir langsung saja melarikan mobilnya. Aku pun hanya terdiam melihat mobil itu dengan tatapan kosong. Hmm…

Tak jauh dariku ada sebuah travel lagi yang pintunya masih terbuka. Sepertinya masih ada lowongan untukku. Sambil bergegas menuju pintu travel itu, aku perhatikan nomor polisi kendaraan itu. Cukup unik BM 8956 FU. Aku pun naik dan memilih duduk di dekat pintu. Karena, menurut pengalaman, aku akan selalu muntah jika bepergian jauh.

Aku pun duduk dengan tenang sembari menunggu penumpang yang lain. Karena, sopir travel ini segera tancap gas jikalau penumpang memenuhi travel ini. Dari jendela aku dapat menghirup udara segar yang dapat menahan aku agar tidak pusing selama dalam perjalanan. Di sebelahku ada seorang pemuda yang sepertinya sedang serius dengan ponselnya. Aku mengamatinya lekat-lekat.
“Eeheemm…,” aku berdehem untuk mengalihkan perhatiannya.
Pemuda itu menoleh dan tersenyum simpul kepadaku. Ia sesaat menilik pakaianku, kemudian sibuk kembali dengan ponselnya. “Abang mau ke mana,?” tanyaku.
“Nggak ada. Jumpa teman,” sahutnya. Aku tersenyum saat melihat gerak-geriknya yang sepertinya sedang dilanda kasmaran.
“Teman apa teman?,” godaku kepadanya.
“Hehehe… Nggaklah, bang. Emang abang mau ke mana?,” tanyanya berbalik kepadaku.
“O… Ini. mengantar proposal,” sahutku sambil tersenyum.
“Memang abang mau ketemu sama teman lamanya, ya?,” tanyaku kembali.
“Nggak sih, bang. Kami udah lama kenalan lewat internet. Dan sekarang kami janjian mau ketemu. Katanya dia nanti menunggu di restoran ToraTori.”
“Oh… Kalau boleh tau, temannya cewek atau cowok?,” tanyaku kembali.
“Ehm,,, cewek bang…”

Aku tersenyum mendengarnya. Aku pernah merasakan apa yang ia rasakan saat ini. Saat itu aku berumur 18 tahun dan berjanji dengan seorang siswi yang sekolahnya bersebelahan dengan sekolahku. Memang, masa-masa sekolah adalah masa yang paling indah. Hingga saat ini aku masih mengenangnya.

“Abang mau ngantar proposal ke mana?,” tanya pemuda itu.
“Hmm… Saya kebetulan disuruh bos saya ke kantor temannya di daerah Bangkinang”.
Tak terasa travel ini telah penuh dengan penumpang. Dan sepertinya supirnya telah bersiap-siap untuk berangkat.

Selang beberapa detik, semua pintu telah ditutup dan si supir hendak memasuki travelnya. Namun, dari depan travel tampak seorang ibu tua yang memanggil sopir travel ini. Si supir pun turun dari tempatnya dan menghampiri ibu yang tengah sarat membawa kantung belanjaan yang cukup banyak jumlahnya. Dari kaca travel yang bening aku dapat melihat keduanya berbicara sangat serius.

Kadangkala ibu tua ini melihat ke arah travel dan sepertinya memaksa si supir untuk melakukan sesuatu. Sekitar lima menit lamanya si sopir dan ibu tua ini merundingkan sesuatu. Kemudian, mereka berdua berjalan ke arah travel bersamaan. Kemudian si sopir membuka pintu yang tepat berada di sebelahku.
“Maaf, Pak. Bisa turun. Soalnya ibu ini ada kepentingan yang harus berangkat cepat,” si supir berkata kepadaku.
“Lho… Kok saya yang turun?,”tanyaku.
“Ya, Pak. Siapa lagi? Tolonglah, Pak. Ibu ini harus cepat sampai ke rumah. Anak-anaknya masih kecil-kecil, Pak,” si supir masih membujukku.

Mendengar alasan yang satu ini aku tak mampu bicara lagi. Bagaimanapun aku dapat merasakan apa yang ibu ini rasakan saat ini. Sama seperti perasaan ibuku ketika aku masih kecil mungkin. Hmm… Lagi-lagi aku kembali ke masa lalu. Saat dimana aku merasa tenang berada dalam pelukan hangat ibu. Saat itu aku tak mempedulikan apa yang harus aku kerjakan untuk menyambung hidup. Tak seperti sekarang. Sebenarnya aku masih ingin melanjutkan sekolah sampai ke perguruan tinggi. Namun, kini ibu telah tiada dan begitu juga dengan ayah

Aku segera turun dari travel. Walaupun sedikit kecewa karena tak dapat berbincang lagi dengan pemuda di sebelahku tadi. Sebenarnya aku penasaran tentang siapa gadis yang hendak ia temui. Aku menoleh ke belakang sesaat dan disana tampak travel-travel lain yang sedang menunggu penumpangnya. Aku bergegas dan naik ke travel itu. Tak butuh waktu lama untuk menunggu travel penuh karena aku adalah dua penumpang terakhir yang masuk. Dan, travel ini mulai melaju di Jalan Raya Pekanbaru-Bangkinang. Di sebelahku duduk seorang mahasiswi yang sepertinya baru saja pulang dari kuliahnya. Segan rasanya mengajak ia berbicara. Ada baiknya aku diam saja.

Hamparan sawah dan ladang-ladang memenuhi sisi jalan ini. Apalagi saat kami sampai di daerah Kualu Nenas. Tampak banyak para pedagang yang menjajakan keripik nenas dan buah nenas segarnya. Mereka senantiasa menjual buah-buah nenas ini dengan harga yang relatif murah. Dari nenas kemudian pemandangan alam berpindah ke ladang-ladang karet milik masyarakat. Travel terus melaju di jalanan yang basah. Sepertinya baru saja hujan mengguyur daerah yang kulewati ini. Dari tempat duduk aku dapat melihat kaca depan mobil ini. Sepertinya perjalananku masih jauh.
Duapuluh menit kini, aku dilanda rasa bosan. Aku tak lagi nyaman menikmati perjalanan ini. Punggungku terasa sakit karena terlalu banyak duduk. Dari dalam tas cangklong lusuh yang tengah aku sandang, aku mengambil sebuah buku catatan kecil. Didalamnya ada terselip bolpoin biru.

Aku mencatat semua apa yang kurasakan. Orang-orang kebanyakan bilang bahwa saat ini aku sedang menulis puisi. Namun, aku sama sekali tak pernah berpikiran seperti itu. Aku sama sekali tak berpikiran untuk menjadi sastrawan atau apalah. Saat ini aku hanya menyalurkan apa yang ada di pikiranku. Tiba-tiba…

Travel yang kutumpangi berhenti. Sebelum melihat keadaan sekitar kumasukkan catatan kecil dan bolpoin itu ke dalam tas cangklongku tadi. Sesaat kulihat bagian depan kaca mobil travel ini. Tepat diarah jam sebelas, ada sebuah mobil yang reyot di bagian sampingnya. Sepertinya mobil ini baru saja mengalami kecelakaan. Supir travel yang kutumpangi langsung turun tanpa memperdulikan kami. Sepertinya ia ingin tahu apa yang terjadi. Dari dalam mobil, kuamati lekat-lekat mobil yang naas itu.

Sepertinya aku mengenalnya. Tapi, kapan? Tak sengaja mataku terpaku pada nomor polisi kendaraan itu BM 8956 FU… Hah… Sesaat aku terperanjat. Mobil itu berwarna putih dengan garis biru di pintunya. Bukankah itu mobil yang nyaris aku tumpangi? Dan saat ini posisi aku tergantikan oleh ibu tua tadi. Ya Tuhan… Ingin rasanya aku sujud syukur. Namun, mengenang kejadian yang baru saja terjadi, aku juga dilanda nelangsa. Bagaimana keadaan anak-anak ibu tua itu? Bukankah mereka masih kecil-kecil? Dan, bagaimana dengan teman si pemuda tadi yang sedang menunggunya di restoran Tora Tori ?

Aku termenung sesaat hingga supir travel yang kutumpangi kembali masuk seraya berkata, “Semua penumpang dan supirnya meninggal. Aku kembali terperanjat. Malang benar nasib mereka. Apalagi sebelum kejadian itu aku sempat menggantikan posisiku dengan ibu tua tadi. Dan, aku juga sempat bercerita dengan salah seorang penumpangnya.

Kembali travel yang kutumpangi melesat cepat dan tak lama setelah itu aku telah sampai tepat di depan kantor temannya Pak Junaidi. Aku langsung masuk dan tak butuh waktu lama untuk menyerahkan proposal ini. Seusai dari kantor temannya Pak Junaidi, aku melangkah keluar dan seketika terbaca olehku “Restoran ToraTori”. Hmm… Aku teringat pemuda malang yang baru saja kutemui.
Aku melangkah masuk dan mengamati sekeliling. Di ruangan ini hanya ada tiga orang. Seorang pemuda dan gadisnya ada di salah satu meja. Dan di salah satu meja tampak seorang gadis belia yang sepertinya sedang menunggu seseorang. Langsung kuhampiri gadis itu dan berkata,
“Kamu menunggu siapa?”
“Hah……’’
Gadis itu hanya terdiam sesaat dan kemudian berkata, “Aku menunggu teman dari Pangkalan Kerinci. Sekarang dia dalam perjalanan ke sini dari Pekanbaru”, sahut gadis belia itu. Aku mengangguk perlahan dan kemudian berkata ‘’ Apa kau sebelumnya belum pernah bertemu dengannya?”
“Hah… Belum”, jawab gadis itu heran.
“Kalau saya boleh menyarankan, lebih baik kamu sekarang pulang dan mendoakan agar pemuda yang kamu tunggu-tunggu itu.”
“Memang, kamu siapa?”, tanya gadis itu penuh selidik.
“Aku bukan siapa-siapa. Namun, percuma kamu menunggu pemuda itu. Dia sudah tidak ada lagi di dunia ini. Baru saja travel yang ditumpanginya kecelakaan dan semua penumpang serta supirnya meninggal dunia”, sahutku.
Seketika hening menyelimuti restoran ini. Dan tak terduga, si gadis belia meneteskan air mata dan membasahi pipinya yang pucat pasi mendengar berita dariku. Mungkin berita itu titipan dari hujan yang sejak kemarin mengguyur kota bertuah ini.

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.