Cerpen : Sinar itu

Siang itu, langit tak secerah biasanya. Mendung terus menyelimuti bumi belakangan ini. Ah, jadi tak bisa melihat senyuman Sang Surya. Memang, selama ini aku sering memarahi Sang Surya. Karena, sinar sang surya yang membuat kulitku panas bukan main. Banyak orang menderita dengan sinar Sang Surya. Kepanasan, kekeringan, dehidrasi yang berlebihan. Uh, bukan main deritanya. Tapi, kalau lagi begini aku jadi kangen sama dia. Aku juga kangen sama ‘dia’, yaitu Mas Surya. Sudah dua bulan bekakangan ini aku kehilangan kontak dengan dia. Telepon tak pernah dijawab, e – mail tak pernah dibalas. Kemana kamu, Mas? Aku merindukanmu, Mas!!

Aku jadi ingat juga, kenanganku dengan Mas Surya. Dulu, sebelum ia pergi, aku selalu bermain dengan dia. Kalau ada urusan apa – apa, aku selalu minta bantuan sama dia. Dia itu bagaikan saudara sendiri. Ya, bagaikan saudara. Tapi, dia itu memang…… Ah, sudahlah!! Gara – gara Ayah yang menikah dengan penyanyi bar kampungan itu, hubunganku dengan Mas Surya jadi berantakan. Mas Surya harus pergi meninggalkanku hanya karena suatu alasan yang mungkin mengejutkan semua pihak. Tapi, tak harus pergi dariku kan, Mas! Mas Surya seperti anak kecil!! Uh, kesal!

Kuambil diariku. Kubaca lembar per lembar tulisan di diariku, lembar per lembar pula kisahku denganya tertulis. Ku ingin kembali ke masa lalu, ketika sinar Sang Surya masih terang benderang, seiring dengan sinar cinta antara ku dengan Mas Surya.

*

"Sil, kenapa kamu? Kok nangis?" tanya Mas Surya cemas kepadaku.
"Aku nggak apa – apa kok," jawabku dengan bahasa isyarat. Maklumlah, aku ini tuna wicara dari lahir. Jadi, media penghubungku dengan Mas Surya dan dengan orang lain hanya ini. Tapi, hanya Mas Surya dan segenlintir orang saja yang tahu bahasaku.
"Nggak apa – apa kok nangis?!. Berarti kamu anak aneh dong. Jangan – jangan kamu ada penyakit gila kali ya?!"
"Ah, Mas Surya!!" Aku pukul tangannya Mas Surya. Mas Surya hanya meringis kecil atas pukulanku. "Aku ini nggak gila tahu !! Aku masih normal."
" Lagian juga, nggak ada apa – apa kok nangis ?! Kalau kamu ada masalah, ceritain aja ke Mas. Siapa tahu nanti Mas bisa pecahin masalah kamu."
"Mas tahu kan, ibuku pergi meninggalkanku waktu aku berumur 2 tahun. Jadi, Ayah sekarang kesepian di rumah. Aku juga kesepian. Tapi, Ayah selalu pergi keluar, dan selalu balik tengah malam. Kerjaannya selalu berantakan. Aku jadi resah sama hidup Ayah. Maka itulah tadi aku nangis," Ceritaku kepada Mas Surya membuat ia berpikir keras untuk tahu obat bagi keresahan dan masalahku. Aku senang sekali kalau ia sedang berpikir, ia terlihat sangat dewasa. Memang, ia dan aku berbeda umur 3 tahun. Ia sudah kerja, sedangkan aku masih kuliah. Tapi, kedewasaanya jauh dari orang seumurannya kalau ia sedang memberikan saran atau juga petuah – petuah kepadaku.
"Oh, aku tahu. Mungkin Ayah kamu ada ketemuan sama teman – temannya. Atau juga, kemungkinan terburuk, ya Ayah kamu selingkuh," Mas Surya mengangkat bahunya, ia memberikan argumen yang makin memojokkan pikiran dan diriku. Aku makin resah.
"Apa iya Ayah selingkuh sama wanita lain? Aku nggak percaya kalau Ayah selingkuh. Ayah kan, Ayah yang baik."
"Ya, aku nggak tahu, Sil. Coba aja kamu tanya ke Ayah kamu. Siapa tahu Ayah kamu bisa kasih tahu kenapa ia sampai pulang malam segala. Ya, udah deh. Kamu jangan sdih terus. Mau ikut kakak ke danau nggak? Kita bisa lihat berbagai macam hewan romantis banyak disitu. Kamu tahu kan hewan romantis itu apa aja?"
Aku hanya mengangguk.
"Ya udah yuk. Kita langsung ke sana."

Mas Surya langsung membawaku ke sepedanya. Sepeda lama sih, tapi romantis buat berduaan. Mas Surya menggoes sepeda tuanya menuju ke danau kesukaan kami. Di danau itu, ada banyak kisah antara aku dengan Mas Surya. Dari suka, duka, macam – macam cerita lahir disitu. Ah, Mas Surya, aku senang kamu selalu ada disisiku disaat yang tepat.

"Nah, Neng Sisil. Sudah sampai. Sil?" Mas Surya memanggilku beberapa kali, tapi aku tetap belum bangun. Ia menoleh kebelakang dan melihatku sedang tidur pulas di bahunya. Mas Surya hanya tersenyum melihatku. Ia balik lagi duduk di sepedanya dan membiarkan aku tertidur di bahunya sampai aku tersadar 15 menit kemudian. Aku menyentuh pundak Mas Surya. Mas Surya membalikan badannya dan tersenyum kepadaku.
"Udah puas tidurnya?"
"Udah, tidurnya enak."
Mas Surya meringis membaca bahasa isyarat yang aku keluarkan. "Masih mau tidur lagi?"
"Enggak, udah puas kok tidurnya. Katanya, mau main di danau?" tanyaku.
"Enggak, ah. Langit udah gelap. Sebentar lagi saudara kembarku, Sang Surya, mau pulang ke rumahnya setelah seharian menyinari bumi. Mau pulang kan?"
Aku mengangguk.
Mas Surya kembali menggoes sepedanya menuju rumahku. Aku berusaha untuk tidak tidur lagi di bahunya, karena aku tidak mau lagi mempermalukan diriku di depan Mas Surya.
"Sil, udah sampai," Ia turun dari sepedanya dan membantuku turun dari sepeda. Aku masuk ke dalam rumahku diiringi lambaian tangan dari Mas Surya. Setelah ku masuk ke rumahku, kuintip dari jendela rumahku, kulihat Mas Surya menggoes sepedanya menuju rumahnya. Ah, Mas Surya kau bagaikan Sang Surya, pagi muncul, menyinari dunia, malam pulang.
"Ya, Yun. Akan kuusahakan untuk bicara dengan anakku. Aku tahu, kau ingin aku segera menikahimu, tapi aku tak tega untuk memisahkan anakku dari aku. Aku masih sayang sama anakku," Suara Ayah terdengar olehku yang baru masuk ke dalam. Aku kaget mendengarnya. Ayah, apakah dugaan Mas Surya benar! KAU SELINGKUH!! Prang… Ups, aku menjatuhkan vas bunga. Ayah spontan membalikkan tubunya dan kaget melihatku yang berdiri di dekat meja telepon dan vas bunga yang pecah. Ia langsung memutuskan percakapanya. Berlari menuju arahku.
"Sil, kamu nggak apa – apa kan? Ada yang luka nggak?" Ayah memeriksa tubuhku dari atas ke bawah sampai ke atas lagi. Aku langsung menepis tangan Ayah.
"Yang sakit bukannya tubuhku, Yah. Tapi, ini!!" Aku menujukkan ke arah dadaku. "Hatiku, Yah. Hatiku sakit mendengar ucapan Ayah tadi. Ternyata, benar dugaan Mas Surya. Teganya Ayah selingkuh dengan wanita lain. Teganya, Ayah tidak memperhatikan perasaanku, anakmu. Aku hanya butuh kasih sayangmu. Aku tidak butuh ibu baru. Dan satu lagi, teganya Ayah mau menyingkirkan aku, anakmu!!" Air mataku mulai menetes lagi.
"Sil, dengarkan dulu penjelasan Ayah. Ayah ingin yang terbaik buatmu, Ayah sengaja memilih wanita yang terbaik untukmu. Ayah ingin kamu merasakan kasih sayang seorang ibu, yang tidak pernah kamu rasakan seumur hidupmu. Ayah juga ingin ada pendamping hidup Ayah pada saat nanti Ayah sudah tua. Kamu tentu menikah dengan lelaki lain, masa Ayah tidak ada pendamping dan peneman hidup Ayah disaat tua?"
Ku cerna dulu kata – kata Ayah untuk sementara waktu. Memang ada benarnya untuk yang kedua, Ayah butuh pendamping hidup, Ayah tak mungkin hidup sendirian saja kalau ia sudah tua. Tapi, untuk yang pertama. Aku tak setuju sekali.
"Untuk yang kedua aku setuju akan alasan Ayah. Tapi, untuk yang pertama. Aku tak setuju. Kasih ibu aku dapatkan dari Ayah, ku tekankan sekali lagi, Yah. AKU TIDAK BUTUH WANITA LAIN!!"
Ayah berusaha untuk menjelaskan lagi, tapi aku langsung berlari ke kamarku. Ku lemparkan tasku beserta isinya ke ranjang, disusul dengan aku. Ku menangis sekencang – kencangnya. Aku tak ingin Ayahku menikah lagi. Aku tak ingin punya ibu tiri. Aku benci dengan namanya ibu tiri. Aku benci. Benci.
Kuambil HP-ku di tas, ku ketik SMS dan ku cari nama Mas Surya. Lalu ku tekan tombol Send
Mas, perasaanku bukannya tambah baik. Sehabis pulang dari taman,
aku mendapatkan kejadian buruk, sesuai dengan apa yang kakak
ramalkan tadi. Kak, tolong balas atau telepon ya. Aku harus gimana lagi?
Ke : Mas Surya

Ku tunggu balasnnya cukup lama, sekitar 10 menit. Nada HP-ku akhirnya berbunyi. Di layar HP-ku tertera nama Mas Surya. Ku tekan tombol angkat.
"Sil, ada apa? Dugaan Mas, bahwa Ayah kamu selingkuh benar?"
Ku ketuk HP-ku sekali, pertanda bahwa Ya. Itu sudah kebiasaanku dengan Mas Surya. Ketuk sekali artinya ya, ketuk dua kali artinya tidak.
"Aduh, kacau ini. Kamu sekarang usahain tenang. Ayah kamu ingin menikah dengan wanita selingkuhannya ?"
Ku ketuk sekali.
"Aduh, aduh kacau. Super kacau!! Kamu tahu kapan Ayah kamu ingin menikah dengan selingkuhannya?"
Ku ketuk dua kali.
"Kalau begitu, kamu coba selidiki lagi. Kalau kamu sudah tahu, nanti aku kasih tahu lagi tindakan kita selanjutnya. Kamu tabah aja ya. Aku dukung kamu kok."
Air mataku mulai berhenti mengalir. Mas Surya memberikanku semacam obat pereda rasa sakit, seperti Parasetamol, tapi ini pereda rasa sakit di hati.
"Udah dulu ya. Mas mau mandi. Bye."
Kututup teleponku. Ah, perasaanku mulai tenang sekarang. Tapi, belum tenang secara keseluruhan. Aku masih tak rela jika Ayah menikah dengan wanita yang tak jelas asal – usulnya. Air mataku keluar lagi. Tapi ini bukan air mata kesedihan, ini air mata kantukku. Kulihat jam di atas meja belajarku. Pukul 10 malam. Oh, sudah malam rupanya. Aku harus tidur sekarang, supaya besok aku lebih fit dalam menghadapi hari. Zzzz….

*

Sinar Sang Surya menyinari kamarku, sekaligus menyinari wajahku. Ku terbangun, kulihat jam. 6. 30. Oh, masih jam setengah tujuh. Pintu kamarku berbunyi ketukan, lalu terbuka. Siapa ya? Oh, ternyata bibi.
"Non, dipanggil Ayah sarapan di bawah." Ayah suruh aku makan rupanya. Aku pikir Ayah mau membicarakan tentang pernikahannya.
"Makasih, Bi. Bilang ke Ayah, Ayah makan duluan. Aku nanti menyusul."
Bibi keluar dari kamarku. Ku ambil handukku dan berlari menuju kamar mandi. Ku lancarkan mandi kilat. Secepat mungkin. Takut ketinggalan makan dengan Ayah. Ku selimuti tubuhku dengan handuk. Ku cari baju dan celana di lemari, dan memakainya 2 menit kemudian setelah menemukan yang cocok. Ku berlari kebawah, menuruni tangga menuju ke meja makan. Aku kaget dengan apa yang kutemui. Ayah makan dengan seorang wanita berpakaian seksi di meja makan. Jadi, aku disuruh ke bawah, untuk makan bersama?! Aku ingin kembali lagi ke kamar, tapi ada suara seorang wanita yang memanggilku mesra, namun menjijikan.
"Sisil, kok kamu naik lagi?! Sini dong! Ikutan makan sama tante sama papa kamu."
Ku putar badanku kembali ke meja makan itu. Ku lihat dengan mata kepalaku sendiri senyuman perempuan itu yang terkesan dipaksa. Ucapan yang keluar dari bibirnya seakan racun dan rayuan gombal saja. Ayah juga membalikkan badannya dari meja makan dan memintakku turun dengan lambaian tangannya. Mau tak mau, karena permintaan Ayah, aku rela turun dari tangga menuju ke meja makan. Makan bersama dengan wanita penggoda itu?! Ih..
"Sil, kenalin nih, Ibu Yunike. Dia ini kekasih papa yang baru. Dia juga yang nanti menjadi mama kamu."
Ha…ibuku. Ih, amit – amit cabang baby deh. Aku nggak mau punya ibu kayak dia. Ku tetap saja tak mengindahkan omongan Ayah barusan. Ku tetap konsentrasi dengan sarapanku.
"Namanya siapa, Mas?" Wanita itu pura – pura menanyakan namaku kepada Ayah.
"Sisil. Lengkapnya Sisil Adisty."
"Wah, nama yang bagus, setara dengan kecantikannya. Pasti pintar ya, Mas?" tanyanya lagi.
Ayahku mengangguk saja.
"Wah, udah pintar, cantik lagi. Lengkap deh!! Tapi, sayang ya, Mas?! Dia tuna wicara. Tapi, nggak apa – apa deh!! Yang penting yang pertama tadi.
"Wah, ini orang mainnya fisik ya! Minta aku hajar kali!!" keluhku dalam hati. Kulirik ke arahnya. Dia tetap saja menjalankan aksi liciknya.
"Ayah, kapan menikah dengan dia?" tanyaku kepada Ayah. Untung, wanita itu tidak tahu bahasaku. Kalau tidak, bisa ngomong panjang lebar yang nggak jelas!!
"Oh, rencana kami sih bulan depan tanggal 18. Jatuhnya pas hari Sabtu. Kan enak kita bisa lebih leluasa mengadakan acaranya. Kamu setuju kan dengan pernikahan kami berdua?
Aku tak berkata apa – apa lagi. Kutaruh roti yang tadi aku makan dengan keras di piring. Biar mereka semua tahu bahwa aku tak setuju. Ayah memanggilku dari kejauhan, namun tak kuindahkan. Aku langsung berjalan cepat masuk ke dalam kamar. Ku ambil HP-ku di mejaku. Ada SMS masuk. Dari Mas Surya. Ia menanyakan keadaanku. Kujawab baik – baik saja, kuminta ia datang mengantarkanku ke kampus. Aku langsung menyiapkan buku dan tasku. Tidak lupa juga, HP-ku. 20 menit kemudian, buhnyi klakson motor Mas Surya terdengar. Aku bergegas turun ke bawah. Tapi, sebelum turun, kulihat dulu keadaan di bawah. Ternyata, Ayah sudah pergi sama wanita itu. Aku secepat mungkin berlari keluar rumah, dan bertemu dengan Mas Surya di depan. Aku naik ke motornya Mas Surya dan langsung tancap gas menuju ke kampus.
Di perjalanan Mas Surya menanyakan kejadian semalam . Kutulis jawabannya dengan telunjukku di bahunya. Supaya lebih jelas dengan yang kumaksud. Di perjalanan itu juga kami membicarakan rencana apa yang akan kami lakukan. Kami akan melihat akad nikah Ayah dari jauh. Mas surya ingin tahu siapakah sebenarnya wanita itu. Sehabis itu kami ingin kabur dari rumah menuju rumah nenek, di Jatilaksana, Karawang.
"Ayah kamu kapan menikah dengan wanita itu?" tanya Mas Surya.
"18. Bulan depan."
"18 bulan depan. Persis seperti hari pelaksanaan acara nggak jelasnya ibu!" ujar Mas Surya dengan suara pelan, sehingga aku tidak jelas mendengarnya. Ku tanya apa yang barusan ia ucapkan, ia tidak mau mengatakannya. 4 menit kemudian, aku sampai di kampusku. Ku turun dari motornya dan kulambaikan tanganku mengiringi kepergian Mas Surya. Tiba – tiba langit berubah menjadi mendung. Ada apa ini ?

*

Hari pernikahan Ayah sudah tiba. Di rumahku sudah banyak sekali pernak – pernik perkawinan. Ayab terlihat gagah dengan busana khas Sunda, sedangkan wanita itu, cantik juga. Tapi, aku malas melihat wanita itu lama – lama. Diantara kerumunan orang – orang, aku menyelinap diam – diam dan bertemu dengan Mas Surya yang sudah ada di depan. Aku membawa koper yang berisi semua pakaianku beserta perlengkapan lainnya.

"Mas, sudah lama datangnya?" tanyaku kepada Mas Surya yang dijwaba hanya dengan anggukan saja, ia sedang sibuk melihat pengantin wanita Ayahku. Yah, wanita itu.
"Sil, Sil. Kesini sebentar deh." Mas Surya memanggilku. "Pengantin wanitanya itu, ya?" Mas Surya menunjuk seorang wanita bersanggul dekat meja makan, yang sedang berdiri sambil memegang HP. Aku mengangguk atas pertanyaan Mas Surya. Kulihat Mas Surya berubah mimik muka sehabis mendengar jawabanku tadi. Aku bingung.
"Jadi, benar dugaanku!! Pria yang dinikahi ibu adalah Ayahnya Sisil. Ternyata, ibu sudah menemukan lelaki impiannya," ujar Mas Surya dalam hati.
Aku menyentuh punggung Mas Surya. Untuk menyadarkan ia dari lamunannya yang panjang. Mas Surya menoleh kepadaku. Wajahnya kembali berubah menjadi ceria. Walaupun dipaksa.
"Kenapa?" tanyaku.
"Nggak, aku kaget aja. Ternyata, cewek yang dinikahi sama Ayah kamu seperti begitu. Kaburnya jadi nggak?"
Aku menangguk. Mas Surya dan aku bergegas pergi secepat mungkin, sebelum ada yang melihat kami. Koper dan perlengkapan kami lainnya segera dimasukkan ke dalam bagasi taksi. Aku dan Mas Surya naik ke dalam taksi setelah itu, dan pergi menuju terminal bus Kampung Rambutan. Sampai disana Mas Surya dan aku menuju ke tempat pembelian tiket, dan langsung menuju bus yang akan dinaiki. Sesampainya di bus, Mas Surya mencarikan tempat duduk untuk aku dan dia.
"Sil, kamu tunggu sebentar ya. Mas mau ke WC sebentar, sekalian mau beli antimo."
"Oke." Mas Surya langsung turun dari bus dan menuju ke toilet. Kutunggu Mas Surya cukup lama. "Kemana ya, Mas Surya?" tanya batinku. Kulihat dan kubuka tas Mas Surya. Aku kaget. Ternyata isinya kosong!! Hanya terdapat secarik kertas. Ku ambil dan kubaca. Isi surat itu mengagetkan aku.
Jakarta, 18 Januari 2008.

Halo, Sil. Mungkin saat kau baca surat ini. Kamu sedang ada di dalam bus atau sedang ada di perjalanan. Semoga kamu selamat di perjalanan ya!! Kamu pasti kesal kenapa aku tega meninggalkanmu sendirian di dalam bus. Maafkan aku, aku minta maaf sebesar – besarnya sama kamu. Aku mau mengatakan sesuatu sama kamu. Sebenarnya, wanita yang dinikahi oleh Ayahmu adalah ibuku. Ibuku itu seorang janda yang nakal. Ia suka mencari lelaki – lelaki kaya untuk menjadi korbannya. Sekali dijerat, lelaki itu tak akan lepas darinya. Aku benci kepada tingkah ibuku. Aku tak ingin menjadi sepertinya. Menjerat wanita yang kaya. Aku sayang denganmu tulus. Tulus sekali. Secepat mungkin aku minta kepadamu, tolong Ayahmu dari jeratan nakal ibuku. Tapi, aku takut semuanya terlambat. Tabah ya…:) mungkin kita tidak bisa berhubungan mesra seperti dulu. Karena kita ini saudara, jadi kita tidak bisa berhubungan dekat, sebagai seorang kekasih.
Disana, kalau sudah sampai. Kau jangan takut. Aku sudah suruh temanku disana untuk mengantarmu sampai rumah nenekmu. Tenang saja, temanku itu baik sama perempuan. Soalnya, dia itu wanita. Bukan pria.
Semoga perasaanmu lebih baik jika berada disana. Di rumah nenekmu. Dah.

Salam Hangat


Surya Wiriatmaja

Oh, Mas Surya. Ternyata kau ini adalah saudaraku….saudara tiriku. Tak kusangka akan begini , Mas!! Mobil sudah jalan. Kulihat di jendela. Ada Mas Surya yang menyalamiku dari kejauhan. Kuingin turun dari mobil. Tapi, apa daya. Mobil sudah jalan, dan pastinya, sang sopir tak mau memberhentikan mobilnya. Rintik air hujan mengiringi kepergianku meninggalkan Mas Surya.
*
11 bulan sudah berlalu, aku tinggal di rumah nenekku. Disini , perasaanku jauh lebih tenang dan damai. Aku lebih bisa mengontrol diriku. Aku sudah bisa melupakan masalahku, Ayahku sudah bisa kurelakan pernikahannya, walaupun masih ada rasa cemas di hatiku. Namun, Mas Surya !! Tut, tut….tut..tut.., bunyi SMS masuk di HP-ku. Kubuka HP-ku dan kubaca SMS yang masuk. Ku terkejut melihat SMS itu, pantas saja selama ini hujan dan mendung lebih sering terjadi dibandingkan hari kemarin. Mas Surya meninggal. Meninggal karena kecelakaan. Ia meninggalkan aku sendiri, sekarang Sang Surya bagi diriku sudah tiada. Diriku tiada lagi penerang. Diriku gelap. Sinar itu…..telah redup dan sirna…….Sirna untuk selamanya…….

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.