Lukisan Anggrek Bulan

Oleh : Krismas Pamangin

Semburat merah jambu di kaki langit mewarnai indahnya senja Pantai Losari. Via duduk termenung di atas bongkahan tembok yang sekali-kali diterjang ombak kecil. Di sampingnya sosok tegap Mur ikut terbuai dalam keindahan Pantai losari senja itu.

Keduanya membisu. Terhanyut dalam sentuhan imajinasi yang teramat romantis untuk dilukiskan sekedar dengan kata-kata.

"Via, udah hampir malam. Pulang, yuk?!" Akhirnya Mur angkat bicara. Via menoleh sejenak. Tersenyum. Sejurus kemudian, tatapannya kembali menerawang di atas hamparan laut biru. Enggan rasanya meninggalkan pantai ini. Mur berdiri, meraih tangan Via dan mengajaknya pulang.

Ayo. Ntar mama kamu marah. Udah hampir malam begini kamu belum juga pulang."

Via tersenyum, tak kuasa menolak tangan kekar Mur yang setengah memaksanya beranjak dari tempat itu. Pulang.

Berdua mereka menyusuri pantai sambil sesekali memungut kulit kerang dan melemparnya ke laut, menyisakan riak-riak kecil.

Via sungguh menikmati kebersamaan ini. Meski dia sadar, tak pernah sekalipun terucap kata cinta di antara mereka. Terlalu prematur menjalin hubungan lebih dari sekedar sahabat. Ya, hanya sahabat. Itu sudah cukup bagi Via. Walau sebenarnya dia sendiri tidak yakin mampu menepis kemungkinan yang lebih dari itu.

Mur adalah sahabat yang baik, juga kakak kelasnya yang paling banyak membantunya selama ini. Meskipun Via baru mengenal Mur tiga bulan yang lalu, ia merasa cowok itu punya kharisma yang pantas dikaguminya.

Perkenalan yang teramat singkat namun berkesan bagi Via. Mur tampil membelanya ketika ia datang terlambat saat orientasi penerimaan siswa baru di sekolahnya.

Kakak-kakak kelasnya yang melihat ekspresi gugup namun sangat polos di wajah imut Via, berebutan menjatuhkan vonis untuknya. Via hanya bisa menatap satu-satu wajah mereka. Mata yang memelas memohon keringanan hukuman atas keterlambatannya malah membuat kakak-kakak kelasnya semakin bersemangat mengerjainya.

Tanpa sadar mata Via berkaca-kaca. Dalam hati, perasaan sedih, takut, malu dan gugup menyatu dan melemaskan sendi-sendi ketegarannya. Ia hanya bisa tertunduk pasrah menikmati bentakan-bentakan kakak kelasnya. Terasa sakit sekali!

"Semua bubar. Biar aku yang mengurusnya!" Sebuah suara tegas penuh wibawa menghentikan eksekusi tak berbelaskasihan itu. Suara milik Mur, Ketua OSIS yang kini berdiri tegak di hadapan Via.

"Nama kamu Via Cemara, kan? Hmm... Nama yang bagus. Aku panggil Via aja ya?" Via mengangkat wajahnya perlahan. Tetapi kembali tertunduk.

"Maaf, Kak. Via terlambat." Akhirnya Via berani membuka mulut. Sekilas ia menangkap dua kata yang tertera di atribut cowok itu, Ariel Murion.

"Ya sudah. Kamu boleh masuk. Tapi melapor dulu sama panitia dan tinggalkan atributmu di sana," Mur menunjuk beberapa siswa yang duduk menghadap meja di pintu aula sekolah. "Jangan lupa temui aku di ruang sekretariat OSIS pada jam istirahat."

"Terima kasih kak. Permisi!" pamit Via sopan sambil dan beranjak meninggalkan Mur. Dalam hati ia berjanji suatu saat bisa membalas kebaikan Mur.

Tiga bulan berlalu, via merasa sudah amat banyak yang berubah dalam dirinya sejak masuk SMU. Ia merasa semakin dewasa dan memiliki makna hidup yang lebih besar.

Kehadiran Mur walau hanya sebagai teman memberinya banyak peluang untuk terlibat dalam berbagai kegiatan OSIS dan ekstrakurikuler di sekolah ini.

Entah kenapa Via merasa aman dekat dengan Mur. Ia ingin Murlah orang pertama yang ikut merasakan suka dan dukanya. Teman berbagi yang bisa menemaninya saat ia sedih, tertawa dan menagis.

Selama ini, mamalah yang menaunginya. Membelainya dan memberinya arti tentang perjuangan untuk meraih semangat hidup. Sekarang ia sudah dewasa. Bahkan lebih dewasa dari teman seumurnya. Besok, tanggal 25 Juli, umurnya sudah tujuh belas tahun.

Untuk kesekian kalinya Via mendesah. Tangan mungilnya masih sibuk menggerakkan sapuan kuas di atas kanvas. Sketsa yang tadi dibuatnya mulai dibentuk menjadi seraut wajah lelaki setengah baya persis seperti foto yang tergantung di dinding kamarnya. Foto papa!

Dua titik kristal bening menetes di pipinya. "Via rindu papa, Entah kenapa Via merasa papa belum meninggal seperti yang diceritakan mama. Akh andai Via bisa melihatmu sekali saja. Via akan senang, Pa. Via nggak bakalan menuntut apa-apa lagi. Cukuplah kehadiran papa. Itulah harta yang sangat berharga. Via sayang papa." Desahnya dalam hati.

Ditatapnya foto itu lekat-lekat. Mata yang begitu teduh. Sepertinya Via pernah melihatnya. Bahkan teramat dekat baginya. Tapi siapa ya? Via terus bertanya-tanya dalam hati.

"Lukisan yang bagus," Via kaget. Ternyata mama sudah berdiri di ambang pintu tanpa disadarinya. "Via belum tidur?"

"Belum ngantuk, Ma," Via berusaha menyembunyikan perasaannya di depan mamanya. Ia ingin terlihat tegar.

"Tidurlah, sayang! Besok kamu masuk sekolah. Malu kan kalau masuk sekolah dengan mata sembab kayak gitu?" Via hanya diam. Ditatapnya lekat-lekat mata mamanya, seakan mencari jawaban atas rasa penasarannya selama ini. Dan yang didapati hanya satu. Mama menyimpan satu rahasia yang tak ingin orang lain tahu. Bahkan Via sekalipun.

"Via boleh nanya sesuatu, ma?" Tanya Via perlahan. Sesaat mamanya terdiam. Tetapi kemudian mengangguk. "Apa benar papa udah meninggal?" Via menatap wajah mamanya lekat-lekat.

"Via pikir mama bohongin kamu?"

"Via percaya kok sama mama. Cuma. Hati kecil Via yang sulit percaya. Sepertinya mama menyimpan satu rahasia. Ya Sampai sekarang mama belum pernah cerita penyebab kematian papa. Dan di mana kuburan papa. Katakan, Ma! Via bukan anak kecil lagi. Via yakin mama lakukan ini demi kebahagiaan Via. Mama rela berbohong demi Via. Katakan, Ma!! Mama sayang Via. Ya kan Ma?" Via mulai terisak sambil mengguncang bahu mamanya yang hanya diam berdiri mematung. Tanpa disadari, dua titik Kristal bening menetes di pipi wanita itu.

Hening sesaat. Pandangan mama menerawang jauh. Menembus masa lalunya yang pahit. Ekspresi wajahnya menunjukkan kalau ia tak ingin masa lalunya terkuak kembali. Tapi, haruskah ia terus-menerus berbohong? Demi Via, buah hatinya. Miliknya yang paling berharga. Satu-satunya yang tersisa dari keretakan rumah tangganya. Bagaimanapun Via berhak tahu.

"Mama pikir, sudah waktunya Via tahu semuanya," ujar mamanya nyaris tak terdengar. "Ikut mama! Mama akan memperlihatkan sesuatu sama kamu." Tanpa banyak tanya Via bangkit mengikuti mamanya.

Sebuah lukisan anggrek bulan terpampang di depan mata Via. Di sudut kirinya nampak foto papa dengan mata teduh dan senyum khasnya. Via memandangnya tanpa berkedip. Lukisan yang teramat indah dan hidup meski framenya sudah retak di keempat sisinya.

"Hanya ini yang papa tinggalkan sebelum pergi. Lukisan ini dulunya adalah hadiah ulang tahun mama yang ketujuh belas dari papa. Sebenarnya ada dua. Tapi yang satunya ada sama papamu. Lukisan ini begitu berharga buat mama." Sejenak mama terdiam. Menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya seakan-akan ingin melepas semua ganjalan di dadanya.

"Papa sekarang di mana, Ma?" Tanya Via hati-hati. Ditatapnya wajah mamanya. Mencoba mencari kejujuran di sana. Namun yang tersisa hanyalah guratan duka menahun. Duka yang selama ini disembunyikan di wajah tulus itu perlahan mulai terkuak.

"Mama nggak tahu. Selama ini mama mengarang skenario kalau papa udah meninggal supaya kamu nggak bertanya terlalu jauh. Mama nggak ingin masa lalu yang menyakitkan itu membayangi keluarga mama. Cukuplah mama memilki kamu. Itu sebabnya mama mengikutkan kamu kursus ini dan itu supaya kelak kamu bisa mandiri. Mental kamu sudah siap menerima kenyataan yang menyakitkan sekalipun. Mama akui kamu butuh figur papa, meski mama telah berusaha menjadi mama sekaligus papa bagi kamu."

"Kalau Via boleh tahu, kenapa mama pisah sama papa?" kejar Via. Mamanya menunduk dalam-dalam. Berusaha menggali memori yang telah dikuburnya dalam-dalam.

"Keangkuhan. Ya, waktu itu mama ditawari kerja dari perusahaan berkelas internasional karena mama alumni Universitas terkenal di Australia. Papa nggak setuju. Katanya sepintar apa pun wanita, toh akan kembali juga mengurus rumah tangga." Sekilas mama menelan ludah getir. "Sejak itu, pertengkaran-pertengkaran kecil selalu menjadi warna rumah tangga. Mama nggak nyangka kalau pertengkaran itu berbuntut perpisahan. Seandainya ada yang mau mengalah. Kejadiannya nggak bakal seperti ini. Maafkan mama, Via! Sebenarnya mama pun sempat berpikir, mungkin ini hanya keputusan emosional, lagipula saat itu mama mengandung kamu. Mama sungguh takut nggak bisa membahagiakan kamu."

"Tapi mama masih mencintainya, kan?" Tanya Via.

"Mungkin." jawab mama singkat. Terlalu berat baginya memastikan perasaannya saat ini. Meski sadar selama ini dia berusaha menentang kata hatinya.

"Kalau mama masih mencintai papa, kenapa nggak ada niat kembali? Demi Via, Ma. Demi Via!! Mama tahu Via butuh kasih sayang papa."

"Mama ngerti, Via. Setelah perpisahan itu, mama kembali ke Makassar, mencoba memulai hidup baru. Tapi mama masih berusaha mencari tahu tentang keberadaan papamu. Sejujurnya mama nggak bisa melupakan bayang-bayang papa, apalagi si kecil Rion yang baru berumur 2 tahun."

"Rion???" Tanya Via penasaran.

"Kakakmu. Waktu itu pengadilan memutuskan Rion ikut papa demi masa depannya. Rion. Oh Rion, Sekarang dia pasti sudah besar. Tapi Dia nggak kenal mamanya mama yang mengandung dan melahirkannya." Desis mama tersendat. Air matanya tak tertahan lagi. Hati Via trenyuh. Hanyut dalam tangis dan pelukan mamanya. "Sebenarnya mama pernah mencarinya tapi mama kehilangan jejak mereka. Mereka meninggalkan Medan enam bulan setelah peristiwa itu."

"Udahlah, Ma. Itu bukan salah mama. Via nggak masalah kok. Justru Via harus berterima kasih ama mama. Mama terlalu banyak berkorban untuk Via." Ujar Via menetralisir gejolak hatinya. "Oya, udah larut malam nih. Via besok ada ujian kuis. Via tidur dulu ya!" Via mengecup pipi mamanya dan beranjak kembali ke kamarnya. Dia tidak ingin mamanya larut dalam kesedihan yang dalam. Cukuplah, ia sudah tahu semuanya.

Jarum jam menunjukkan Pukul 00.05. Ponsel Via berdering. Siapa lagi yang menelpon malam-malam kalau bukan Mur.

"Happy Birthday, My dear! " Suara usil Mur dari seberang. Via terharu. Mur yang paling pertama mengucapkan selamat ulang tahun untuknya.

"Thanks, Mur. You are the first to say happy birthday to me." Via tersenyum senang.

"Ooo. Im the first and may be the best." Mur tertawa renyah.

"Anything else?"

"Oya. Besok, sepulang sekolah, kita singgah di rumahku. Aku ada kejutan. Special for you. Aku tunggu di tempat parkir ya. Bye.!!" Telpon diputus tanpa memberi kesempatan Via bertanya lebih jauh.

Sepuluh menit Via duduk menunggu. Sosok Mur belum juga nongol. Via jadi bete. Dalam hati ia menggerutu.

"Hai, My dear. Dari tadi?" entah dari mana datangnya Mur sudah berdiri di sampingnya dengan mimik tanpa dosa.

"Dasar gilingan!! Aku sudah sepuluh menit menunggu. Kemana aja sih?"

"Sorry, Non. Biasa, Asisten Pak Rizal. Habis bantuin beliau bawa peralatan lab."

Detik berikutnya, Feroza violet milik Mur melaju di atas aspal mulus, menembus rinai gerimis siang itu. Sepanjang jalan, via lebih banyak diam.

"Via!" tegur Mur memecah kesunyian. "Mungkin ini ultahmu yang pertama sekaligus terakhir yang bisa kita rayakan bersama. Tahun depan papa rencana memboyongku ke Cambridge untuk kuliah di sana. Itu berarti kita nggak ketemu lagi."

"Itu kan kesempatan, Mur. Kapan lagi bisa sekolah di luar negeri. Sebagai teman dekatmu, aku ikut bangga, kok." Ujar Via datar. Meski hatinya menjerit. Bayangan kehilangan sosok sahabat sejati seperti Mur menggiringnya pada suasana hati yang hampa. Tanpa Mur, tak akan ada lagi yang istimewa. Hari-harinya hambar, tanpa tawa dan canda usil Mur.

"Masalahnya bukan itu, Via. Aku takut kehilangan kamu." Desis Mur lirih. Via tersentak. Mur menyadari perubahan air muka Via. "Maksudku, aku menganggapmu bukan hanya sekedar teman, tetapi juga sebagai adik yang mengisi kekosongan hari-hariku. Papa terlalu sibuk. Di rumah aku nggak punya teman."

"Mama kamu?" Tanya Via

"Mama?" Mur mengulang pertanyaan via. "Mama meninggal waktu aku masih kecil." Jawab Mur nelangsa. Via sedikit menyesal dengan pertanyaannya barusan.

"Sorry, Mur, aku nggak bermaksud membuatmu sedih."

"Nggak apa-apa kok, Via. Aku justru senang kamu care ama aku. Itulah sebabnya aku berat meninggalkan kamu." Sejenak Mur terdiam seperti kehabisan kata-kata. "Oya, kamu ingin kado istimewa apa untuk ultahmu?" Mur mencoba mengalihkan pembicaraan. Pamdangannya beralih ke wajah imut Via. Via menggeleng.

"Aku nggak perlu sesuatu yang istimewa. Ucapan selamat pun udah cukup. Cuman" Via menggantung kata-katanya.

"Cuma apa?" desak Mur sedikit heran.

"Akh nggak kok." Via menelan ludah. "Andai kau tahu, Mur. Aku merindukan papa. Kalau saja papa bisa hadir bersamaku, itulah kado paling istimewa. Dan hanya Tuhan yang bisa memberinya. Bukan kamu, Mur. Bukan juga mama. Aku sungguh ingin melihat seperti apa rupa papaku yang asli. Selama ini hanya foto yang bercerita padaku. Itu pun hanya sepenggal. Ya, papa memiliki mata teduh, periang namun tegas. Hanya itu yang bisa diceritakan selembar foto berbingkai di kamarku. Juga lukisan itu. Ya, masih ada satu, Mur. Aku yakin papa orangnya romantis, berjiwa seni dan penyayang. Mungkin jiwa papa seperti aku. Senang melukis dan sedikit melankolik. Lukisan anggrek bulan itu sedikit banyak juga berbicara tentang papa". Jerit batin Via.

Selanjutnya Via hanya membisu hingga perlahan feroza violet itu memasuki pekarangan yang tertata rapi dan natural.

Dengan sedikit ragu, Via melangkah memasuki ruang tamu yang sudah didekorasi dengan sangat indah. Di tengah ruangan, di atas meja ada kue tart dengan tulisan "HAPPY BIRTHDAY" berwarna biru berbaur dengan warna merah muda.

"Apa-apaan ini, Mur?" Via surprise. Keharuan menyeruak ke dalam hatinya. Mur hanya tersenyum.

"Special for you. Kita rayain berdua ya? Ayo, sini tiup lilinnya." Ajak Mur sambil menarik tangan Via. Via menurut. Namun langkahnya tiba-tiba berhenti.

Via terbelalak ketika tatapannya terbentur pada sebuah lukisan anggrek bulan yang terpampang jelas di dinding ruang tamu. Tanpa pikir panjang dia berlari mendekati lukisan itu. Di sudut kiri lukisan itu ada foto papanya. Persis sama dengan lukisan di kamar mama. Ditatapnya sekali lagi tanpa berkedip. Tidak salah lagi. Dia baru sadar, ternyata mata teduh itu, Oh Mata teduh itu juga milik Mur.

"Itu lukisan dan foto papa. Kado ultahku yang ketujuh belas dari papa. Kalau kamu suka, ambillah!" Mur tiba-tiba berdiri di belakang Via. Via menoleh, Detik berikutnya ia menghambur kedalam pelukan Mur yang masih terbengong-bengong.

"Kakak Riooooon!!!!!!"

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.