Cerpen Romantis

Catcher:
Mendadak Tini mendengar gempa menderu di dadanya mendengar pujian itu. Kok bisa-bisanya Gerdy muncul di sini. Padahal dia kan kakak kelas yang kebagian tugas mengurusi sound system untuk acara Kartinian sekarang.


Tini mematut-matut diri di cermin. Menghadap samping kiri, kanan, senyum sendiri. Lantas mendekatkan wajahnya sampai kira-kira hanya berjarak sepuluh senti dari cermin itu. Sempurna. Wajahnya sedang bersih sebersih-bersihnya, tanpa noda-noda cokelat, apalagi jerawat. Ia juga sudah mencabuti alisnya yang agak berantakan, supaya terlihat lebih rapi.
“Tin! Sedang apa kamu? Buka dong pintunya,” pinta Ibu dari balik kamar.
“Sebentar, Bu…!”
“Nih, coba pakai, sudah cocok belum.”
Enaknya jadi anak tukang jahit ya seperti ini. Setiap ada acara, Tini akan mempunyai kesempatan pertama dijahitkan baju oleh Ibu. Model yang paling sulit pun akan Ibu kerjakan tanpa ribut. Sudah gitu, gratis lagi. Paling-paling Ibu hanya minta dibuatkan teh hangat atau dipijit-pijit pundaknya.
Pantulan di cermin membuat Ibu terlihat sangat kagum. Tini memang sudah tumbuh menjadi gadis yang amat menawan. Ciri khas seorang kartini abad milenium yang energetic, penuh gaya, pandai, dan lincah. Lihatlah penampilannya dengan kebaya brokat modern, kain panjang dan selendang, benar-benar membuat Ibu pangling.
“Gimana, Bu, sudah cantik belum?” tanya Tini seperti mengharapkan pujian.
Ibu manggut-manggut dan mengacungkan jempol. Sesekali membetulkan letak selendang yang menjuntai di pundak Tini.
“Sebenarnya Tini deg-degan, Bu. Bagaimana kalau selop Tini nyangkut di karpet nanti? Atau kalau konde Tini terlepas ketika jalan di atas panggung? Belum lagi Tini kan gampang sekali keringatan. Jangan-jangan make up-nya sudah luntur sebelum giliran Tini dipanggil. Atau….”
“Tin, kalau belum apa-apa sudah cemas begitu, percuma dong. Meskipun baru kali ini ikut fashion show Kartini Millenium, bukan berarti kamu jelek. Yang penting tunjukkan rasa percaya diri kamu dengan mengangkat kepala seperti ini nih. Jangan lihat mata penonton, tetapi sejengkal di atas kepala mereka tatapan kamu arahkan.”
Kali ini Tini yang merasa kagum melihat Ibu. Cara Ibu berjalan seperti benar-benar sedang memperagakan sebuah acara mode. Begitu anggun, ayu, lembut. Bagaimana mungkin Tini bisa menirunya?

“Tini tetap cemas, Bu.”
“Itu namanya demam panggung. Tak apa, teman-teman sekelas akan memberi semangat buat kamu.”
Benar juga kata Ibu. Teman-teman memang memberi semangat ketika Tini muncul di sekolah. Mereka bersorak melihat penampilan Tini yang beda dari biasanya.
“Gila, Tin. Hebat banget elu dandan. Feeling wali kelas kita memang oke ya milih elu yang akan mewakili kelas kita.”
“Bukan cuma gue, tetapi juga Melia,” jawab Tini yang mulai ribet dengan selendangnya.
“Ah, Melia kan sudah biasa ikut lomba-lomba seperti itu di luar sekolah, kalau kamu kan new comer. Makanya pasti seru banget! Terus terang kamu cantik sekali lho,” kata Gerdy, yang tiba-tiba muncul di samping Tini.
Mendadak Tini mendengar gempa menderu di dadanya mendengar pujian itu. Kok bisa-bisanya Gerdy muncul di sini. Padahal dia kan kakak kelas yang kebagian tugas mengurusi sound system untuk acara Kartinian sekarang.
“You look wonderful. Bener-bener beda,” ujar Gerdy lagi. Kali ini ia menyodorkan kertas karton bulat besar yang bertuliskan nomor peserta.
Tini jadi salah tingkah. Mau bilang thanks, nanti disangka yang lain dia memang merasa sok cantik. Tapi kalau diam, bisa-bisa disangka sombong oleh cowok itu.
“Ah, aku biasa saja kok. Yang bikin aneh kan konde ini.” Tini menyesal dengan jawabannya yang kacau. Apalagi ketika dilihatnya Gerdy tertawa, geleng-geleng, dan menjauh.
“Stupid lu!” makinya dalam hati. Mestinya tadi dia bilang tengkiu atau makasih, atau ah, yang bener, atau masa aku cantik sih?
Beberapa saat kemudian kelas mereka kembali riuh. Ternyata Melia sudah datang dan dia benar-benar cantik! Tini minder lagi. Kebaya yang dipakai Melia begitu mewah, berleher rendah, menampilkan kulit Melia yang putih susu. Kilau giwang yang menampilkan puluhan bias warna di telinga Melia menandakan bahwa perhiasan itu pasti mahal.
“Kalau gue gak juara satu, berarti jurinya juling,” celetuk Melia dengan arogannya. Lantas sejenak ia melirik ke arah Tini, yang agak kegerahan karena mentalnya mulai down. Pandangnya penuh selidik, mencermati sosok Tini, yang berubah keibuan karena kebaya yang dipakainya.
“Hai, Tin, selop elu gak matching sama tusuk konde. Bisa mengurangi nilai tuh,” kata Melia lagi. Padahal sebenarnya ia takjub melihat keanggunan Tini dari ujung rambut sampai ujung selop emasnya.

Lagi-lagi Tini merasa bodoh. Memangnya juri menilai sampai situ? Apa tusuk konde ibunya akan kelihatan dari atas panggung? Rasanya kebaya ini jadi kedodoran di badannya. Rasanya sarung yang dipakai tampak kumal bila berjejer dengan Melia. Jelas terlihat, Melia sudah berdandan habis-habisan. Dan terus terang hasilnya memang perfect!
“Mel, elu dan Tini sama kerennya. Tinggal beradu jalan di catwalk. Jangan sirik gitu dong.” Johan datang membela Tini.
“Pengalaman akan membuktikan siapa yang jadi juara nanti,” sahut Melia dengan cueknya.
“Kalo elu menang sih wajar. Kan elu udah biasa jadi juara. Justru kalo Tini bisa dapat nomor juga nanti, itu baru luar biasa,” tambah Ance.
Beberapa teman datang menghibur, sehingga air mata yang mulai menggenang di pelupuk tidak jadi keluar. Perlahan Tini mengelapnya dengan ujung tisu, supaya tidak merusak dandanan di wajahnya. Tini mulai menyesali pilihan wali kelas atas dirinya. Kalau beradu otak untuk urusan rumus atau hafalan, bolehlah memilih dia. Kalau beradu sprint atau men-dribble bola basket di lapangan, bisa dipastikan Tini akan menjadi juara. Tetapi ini? Tini mulai ragu, jangan-jangan sebenarnya teman-teman sekelas menertawai penampilannya saat ini. Jangan-jangan mereka tidak tulus memujinya.
Lagu Ibu Kartini dilantunkan begitu indah dan hikmat oleh paduan suara gabungan kelas IPA. Kemudian diulang oleh seluruh murid yang berbaris rapi di lapangan. Sebelum variety show, mereka memang melakukan upacara singkat terlebih dahulu untuk mengenang jasa-jasa Kartini di masa lalu. Setelah mengheningkan cipta, ada pembacaan sajak oleh salah seorang guru. Sungguh menyentuh.
Beruntung langit mendung, tidak panas terik. Jadi, para siswi yang berpakaian daerah tidak sibuk kegerahan oleh kostum yang dikenakan.
“Tin, nanti jangan lupa senyum, ya. Tinggal dua peserta lagi, baru giliranmu. Ingat lho. Senyum.” Kemala, yang adalah sahabat Tini, memberikan support.
“Gue takut yang kelihatan malah seperti kuda meringis, Mal.”
“Ah, elu. Masa, cewek jagoan sudah keok sebelum bertanding? Santai, tarik napas panjang. Ya… seperti itu.”
“Trims banget buat support elu. Semoga gue nggak mengecewakan.”


Meskipun sudah berulang kali menarik napas panjang seperti saran Kemala, Tini merasa dadanya tetap penuh kecemasan. Apalagi ketika nomornya dipanggil. Ia merasa, pundaknya berat karena stres. Pipinya menghangat karena deraan malu. Sempat tertangkap matanya Melia tengah mencibir ketika ia akan naik ke panggung.
Suara MC yang tengah memperkenalkan dirinya sebagai kontestan nomor sembilan semakin membuatnya nervous. Tini mengangkat kepala, tersenyum di ujung panggung dan mulai melangkah pelan. Ia ingat kata-kata Ibu tadi malam. Jalan dengan penuh penghayatan, tanpa melihat mata juri dan penonton. Kedua tangannya merapat ke dada dan memberi hormat dengan luwesnya. Tepukan dari teman-teman sekelas menambah rasa percaya dirinya. Kembali ia tersenyum, menunduk sejenak, berputar sekali lagi dan turun dari panggung.
Ketika selesai bergaya, di balik panggung Tini segera mengusap tetesan keringat di dahi dan lehernya.
“Tin, selamat ya.... Kamu cocok juga jadi peragawati.”
Gerdy muncul sambil membawa Aqua gelas. Tini tersipu mendengar pujian Gerdy. Apalagi ketika kakak kelasnya itu mengedipkan sebelah matanya. “Yah, meskipun gak juara, yang penting aku sudah mencoba,” kata Tini sambil menerima minuman dari tangan Gerdy.
“Berani taruhan, kamu pasti dapat nomor. Kalau kamu menang, aku yang nraktir kamu deh.”
“Kalau kalah?”
“Gak mungkin.”
Obrolan mereka terputus ketika Gerdy dipanggil oleh salah seorang anggota panitia. Cowok itu pamit sambil melakukan tos dengan Tini. Membuat Tini melambung, menciptakan khayalan tersendiri bersama Gerdy.
Hasilnya? Betul kata Melia, akhirnya Melialah yang terpilih sebagai Juara Pertama. Tetapi Tini tidak kalah bangganya ketika namanya dipanggil sebagai Juara Ketiga. Ini lompatan karir yang luar biasa, mengingat ia baru pertama kali mengikuti ajang seperti ini meskipun baru di tingkat sekolah.
“Benar kan kataku, kamu pasti dapat juara,” kata Johan dan Ance hampir berbarengan. Mereka berebut menyalami Tini, begitu juga yang lainnya, sejenak Tini merasa seperti menjadi seorang selebriti yang sedang naik daun.
Tini segera berganti pakaian di dalam kelas setelah selesai memperoleh pialanya. Ia tidak pulang dulu, karena sudah janjian akan ke rumah Niken. Ketika sedang wara-wiri ke sana-kemari di sekolah, tiba-tiba Louise memanggil sisa teman sekelas supaya berkumpul. Hanya ada kurang lebih lima belas anak.

“Melia kecelakaan di jalan tol tadi, ia banyak kehilangan darah dan perlu transfusi darah.”
Tini baru ingat pada Melia. Temannya itu memang langsung pulang, karena akan mengikuti seminar kecantikan sore harinya.
“Apa golongan darahnya?”
“B.”
“Ayo, cepat, antar aku ke rumah sakit. Golongan darahku sama dengannya. Siapa tahu aku bisa membantunya.”
Tini dan dua orang teman lain yang bergolongan darah B segera ke rumah sakit untuk membantu Melia. Selebihnya menunggu tumpangan untuk berbondong-bondong menjenguk.
Tini masih tidur-tiduran karena mengantuk. Mungkin itu akibat transfusi darah yang beberapa jam lalu dilakukannya. Sehabis makan, dengan porsi lebih banyak dari biasanya, ia langsung tertidur pulas.
“Tin, ada telepon dari wali kelasmu,” kata Ibu sambil menggoyang-goyangkan badannya.
Sontak Tini meloncat dan segera berlari mengangkat telepon.
Ibu hanya memperhatikan dari jauh sambil senyum-senyum. Dan senyum itu menjadi semakin lebar ketika melihat Tini menjerit girang sehabis meletakkan gagang telepon.
“Ada apa, Tin?”
“Ibu tahu, pialaku akan ditukar.”
“Ditukar? Kenapa?”
“Ternyata ada kehebohan di sekolah tadi. Tiba-tiba orang tua Melia mengaku, mereka telah menyuap dua dari tiga orang juri supaya Melia bisa menjadi juara satu. Wakil juri dari orangtua langsung mengaku, sedangkan juri yang mewakili seluruh murid baru saja mengaku setelah diinterogasi panjang lebar oleh kepala sekolah.”
“Lho, apa motivasi mereka sih? Cuma urusan begitu saja sampai makai sogok segala?”
Tini hanya tersenyum. Ia tahu, juri yang disuapnya itu adalah istri salah seorang kolega papa Melia yang kaya raya. Sedang juri yang satu lagi ternyata masih terhitung sepupu jauh Melia. Menyuap pihak guru jelas tidak mungkin. Tetapi perhitungan dua banding satu telah membuat Melia terpilih menjadi juara pertama.

Orangtua Melia mengaku karena menganggap bahwa kecelakaan yang terjadi akibat perbuatan mereka yang tidak jujur. Mereka menyesal, apalagi setelah mereka tahu Tini adalah salah satu murid yang menyumbangkan darah untuk keselamatan Melia.
“Aku senang sekali. Bayangkan, Bu. Juara dua!”
“Ibu juga senang, Sayang.”
“Bukan hanya itu, katanya lagi aku terpilih menjadi Kartini Milenium terfavorit, hasil dari pemungutan suara yang dihitung ketika aku di rumah sakit. Hadiahnya bukan piala, tetapi uang buku dari beberapa donatur yang bersimpati. Banyak yang menyesalkan Melia, padahal kalau tidak menyogok pun dia pasti keluar sebagai juara. Apalagi pengalamannya tampil di peragaan busana sudah menghasilkan beberapa piala di rumahnya. Sayang ya, Bu.”
“Kok kamu bisa jadi Kartini Favorit ya?”
“Itu lho, Bu. Penilaiannya dari segi akademis dan pergaulan, tetapi gerak cepatku yang langsung ke rumah sakit untuk donor darah menjadi nilai tambahnya. Kata wali kelas, itulah ciri seorang Kartini masa kini. Bukan hanya luwes saat memakai kebaya, tetapi bersikap sportif dan mampu mengatasi keadaan dengan cara yang paling tepat.”
“Ibu tidak menyangka, Nak. Sini Ibu peluk, Ibu bangga lho sama kamu.”
“Ada yang lucu, Bu. Kata teman-temanku, selama ini Melia sirik dengan prestasiku. Padahal aku tak pernah menganggapnya sebagai saingan tuh.”
Tini senyum-senyum lagi sendiri. Membuat Ibu semakin tidak mengerti. Tentu saja Ibu tidak akan mengerti, karena kali ini senyum Tini untuk Gerdy. Bukankah cowok itu berjanji akan mentraktirnya kalau ia bisa menjadi juara? Bukan soal traktirannya di mana atau kapan sih, tetapi jalan cerita setelah Gerdy selesai menraktirnya nanti. Tini berharap, ia akan beruntung juga menjadi juara mendapatkan cinta Gerdy yang keren itu. Kalau bisa sih jangan sampai ada saingan yang muncul tiba-tiba. Ia kepingin mendapatkan Gerdy dengan mulus. Rasanya Tini harus mulai berdoa dari sekarang, kan?


 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.