Maut Itu Memisahkan Kita

Aku selalu suka akan hujan. Rintiknya yang membasahi tanah membuatku nyaman. Hujan memiliki ritme yang menarik, lebih menarik daripada musik. Hujan juga membawa keuntungan untuk banyak orang. Dari mulai menghalau kekeringan, mengisi kolam-kolam warga sampai membawa keberuntungan pula untukku. Karena hujanlah kita bertemu. Karena itu aku selalu menantikan hujan, seperti aku menanti kamu.

Hujan adalah mak comblang kita. Andai saat itu tidak hujan, kita mungkin tidak akan pernah bertemu. Waktu itu aku sedang menunggu jadwal kuliah selanjutnya di sebuah kafe kecil dekat kampus. Aku sedang memperhatikan proses hujan, dari mulai rintik-rintik lalu beranjak besar dan kian besar diiringi angin kencang. Tiba-tiba pintu kedai terbuka dengan gemerincing bel di atasnya, seorang pelayan menyambut wanita muda cantik, yaitu dirimu. Dengan rambut dan baju yang basah kamu menyusuri kafe dan kemudian memesan secangkir capuchino hangat. Aku mendengar suaramu tentu saja, walaupun hujan deras, suasana kedai ini sangat sepi. Bahkan suara dentingan sendok adukan kopi pun jelas sekali. Aku bisa dengan leluasa memandangimu tanpa harus ketahuan olehmu, tentu saja berkat kaca yang mengelilingi kafe mungil ini.

Pesananmu datang, secangkir capuchino hangat yang langsung kamu teguk. Selagi menikmati kopimu, kamu memandangi jalan raya yang masih diguyur hujan deras sore itu. Entah bagaimana, kamu memiliki inisiatif untuk melihat kaca juga, pandangan kita pun akhirnya bertemu…tapi lewat kaca. Sungguh lucu. Kita selalu menertawakan kejadian itu saat kita bersama. Hmm..Sejak saat itu kita berkenalan, dan menjadi semakin dekat. “Ya ampun, ternyata lo senior gw yah..hahaha..maaf yah, gw ga tau,” katamu saat itu. Ya..jelas kamu tidak tahu, aku kan tidak eksis di kampus. Kamu mahasiswi 2 angkatan di bawahku tapi berbeda jurusan. Aku fotografi, kamu seni rupa.

Seingatku kau selalu ceria. Entah berusaha ceria atau memang kamu selalu ceria, aku belum tahu saat itu. Memang aku sering mendapatimu merenung, tapi aku kira itu hanya karena kamu sedang bad mood. Kamu selalu memamerkan karya-karyamu padaku, meminta pendapatku dan kamu selalu marah kalau kubilang karyamu bagus. “Aku ingin dikritik,” begitu katamu. Kamu aneh, lucu, menyenangkan. Sampai 2 bulan lalu kamu tidak selucu, seaneh dan menyenangkan seperti dulu. Bukan, bukan karena kamu yang berubah, bukan karena kamu jadi menyebalkan atau tiba-tiba berubah menjadi Mimi Hitam si nenek sihir. Tapi kamu berubah karena penyakitmu. 2 bulan lalu, kamu sering tidak masuk kuliah. Kamu juga suka menghilang tiba-tiba, tidak ada kabar, untuk kemudian tiba-tiba muncul lagi dan seperti tidak terjadi apa-apa. Sampai pada akhirnya saat aku menjengukmu di rumah sakit, kamu mengaku bahwa kamu sakit keras.

Ha?Sakit keras..?bercanda kamu. “Tidak, aku tidak bercanda,” katamu saat itu sambil tersenyum. Manis tapi miris. Aku cuma menggenggam tanganmu, dan berkata semua akan baik-baik saja. Kata-kata menenangkan yang sungguh basi, ya aku tahu itu. Aku tidak habis pikir bagaimana kamu bisa tahan, kanker stadium akhir yang kamu derita itu kata orang sungguh menyiksa. Tapi kenapa setiap aku datang, kamu masih bisa tersenyum? Kenapa kamu masih bisa berusaha menertawakan gurauan-gurauanku yang tidak lucu? “Apa kalau tertawa terasa sakit?”. “Sedikit,”, katamu sambil tersenyum. “Kalau begitu tidak usah tertawa, kalau memang menyakitkan.”

Seminggu yang lalu, sahabatmu, Dina menelepon. “Disya meninggal Fir, pagi tadi jam 9”. Deg. Aku kaget, tapi entah bagaimana aku sudah tahu, cepat atau lambat itu terjadi. Aku hanya tak tahu maut akan cepat meraihmu seperti ini. Aku tidak menangis, air mataku sudah habis terkuras untuk menangis saat kamu sakit. Bisa dibilang aku sudah pasrah.

Rumahmu ramai, penuh anak kampus dari angkatanmu. Ya, kamu cukup terkenal diantara teman-temanmu, tidak seperti aku tentu saja. Mungkin kalau aku meninggal yang datang cuma kamu ya Dis, eh tapi kamu pun tak mungkin datang, karena kamu sudah meninggalkanku duluan. Dina menyambutku, membawaku ke jasadmu Dis Kamu tetap cantik seperti dulu, bedanya kamu tidak mengenakan sneakers converse pink kesayanganmu itu dan bajumu pun bukan kamu banget. Serba putih tanpa model. Padahal kamu benci warna putih. “Aku lebih suka hitam, putih itu gampang kotor,” begitu selalu katamu. Ingin aku teriak di sana, meminta mereka untuk mengganti kafan putihmu dengan warna hitam.

Disya, kamu menyakitiku. Ya, aku sakit melihatmu terbujur kaku disitu sedangkan aku masih di sini sendirian. Sendirian menantimu dan sampai akhir hayatmu pun kamu bukan milikku lagi. Kamu miliki yang di Atas sekarang, sampai jumpa di akhirat nanti Disya.

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.