Cerpen : AKU INGIN BUNUH DIRI

Malam semakin asyik memainkan kegelapan, aku masih berpikir bagaimana cara mengakhiri hidup. Rencana untuk bunuh diri sudah lama berada dibenakku. Ada beberapa rencana yang telah kususun rapih akan tetapi aku masih mempertimbangkan untung ruginya, kedengarannya seperti pedagang untuk bunuh diri saja harus berhitung. Tetapi memang tujuanku adalah mengakhiri hidup dengan cara yang paling nyaman, tenang dan tentu sukses. Dari pada mati perlahan-lahan digerogoti TBC, tuberculosis akut yang menyerang paru-paruku.

Aku pernah Bunuh_diri_sampah
dengar dari seorang tetangga di sebelah pondokanku, bahwa menurut buku yang pernah ia baca, mati itu seperti orang tidur. Tidur adalah sebuah kematian kecil untuk manusia. Tentu tidur aku pernah merasakan, setiap hari, setiap malam bahkan setiap ada kesempatan aku lebih memilih tidur ketimbang melakukan aktifitas yang lain, selain memulung barang bekas pekerjaanku sekarang.

Setelah mendengar teori kematian kecil dari tetanggaku yang mahasiswa miskin itu, aku semakin yakin untuk menyusun rencana bunuh diri. Pada suatu kesempatan aku membahasnya dengan seorang teman sambil jongkok di sebuah kedai kopi dekat TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah Bantar Gebang. Temanku, Asnawi seorang pendengar yang baik.

“As, menurutmu kalau aku mati gimana?” tanyaku.

“Mati? Urusan mati sudah ada yang ngatur Dang! Lagian mana kamu tahu kamu bakalan mati kapan,” tandasnya memandangku heran. Perkataan Asnawi terasa sangat klise.

“Nah itu dia As, aku akan merancang kematianku dengan bunuh diri!” kataku serius, sambil menyeruput kopi pahit murahan sampai habis.

“Gila kamu Dang! Kamu mau bunuh diri?” terbelalak mata Asnawi. Buru-buru dia menyeruput kopinya sampai habis juga. Biasanya orang akan memuncratkan kopi yang diminumnya saat mendengar sesuatu yang mengejutkan, tapi Asnawi malah menandaskan kopinya.

“Ya, begitulah,” jawabku enteng. “Tapi As, aku ingin bunuh diri dengan tenang, nyaman dan tentu harus sukses!” lanjutku sambil meluruskan kakiku rebahan.

“Kamu gila Dang, kenapa kamu mau bunuh diri?” rupanya Asnawi masih penasaran, sepertinya dia lebih tertarik dengan kenapa aku harus mengakhiri hidup ketimbang membicarakan kehidupan setelah mati.

Aku menghentikan percakapan ini. Asnawi tidak menawarkan solusi. Mungkin untuk urusan kematian, harus aku rancang sendiri.

Sebenarnya ada beberapa rencana yang telah kupikirkan dan sedang aku pertimbangkan untung ruginya.

Pertama, bunuh Bunuh_diri
diri dengan tali. Aku hanya perlu membeli atau mencari seutas tali di tempat sampah, tali itu harus kokoh dan tidak gampang putus. Kemudian tali itu aku ikatkan di atas kusen pintu atau sebatang pohon, lalu aku belitkan leherku ke simpul tali yang berbentuk lingkaran, naik kesebuah kursi yang telah kusiapkan lalu kutendang kursi itu kuat-kuat dengan kaki, dan simpul tali akan membelit leherku saat tubuhku jatuh. Tapi membayangkan tali membelit leherku tercekik aku jauh-jauh membuang rencana itu. Terlalu menyakitkan!

Kedua, bunuh diri dengan meminum racun serangga. Aku tahu sebuah merek racun serangga cair yang sering dipakai untuk membasmi nyamuk, kecoa dan serangga lainnya. Tapi terus terang banyak uang yang aku keluarkan untuk membeli racun serangga itu, terlalu merepotkan. Selain itu apakah komposisi racunnya masih sepaten beberapa tahun yang lalu, yang banyak mengantar sukses orang bunuh diri. Pilihan ini terlalu mahal!

Ketiga, bunuh diri dengan cara ekonomis. Melindaskan diri di atas bantalan rel kereta api dengan sebuah kereta api yang sedang melaju kencang. Aku cukup menunggu sebuah kereta api yang sedang berjalan kencang, kemudian kereta itu menabrak tubuhku. Pasti akan sukses, tapi membayangkan tubuh hancur seperti tetelan daging segar di pasar dan orang-orang akan sangat jijik memungutnya satu per satu, pilihan seperti itu sangat menjijikan!

Lalu, rencana lain melompat dari gedung bertingkat. Aku hanya perlu mencari gedung bertingkat yang paling tinggi, kemudian aku meluncurkan tubuhku ke bawah, menghujam tanah atau aspal keras dan mati. Sukses! Tapi, selama tubuhku jatuh melayang, pasti ada sesuatu yang aku rasakan dan pikirkan. Pilihan ini membuatku ngeri membayangkannya!

Lagi pula, aku harus berdandan rapih untuk naik ke atas gedung bertingkat, mana boleh seorang pemulung masuk ke sebuah gedung bertingkat. Sangat tidak ekonomis.

Mungkin karena terlalu keras memikirkan berbagai rencana bunuh diri akhirnya aku tertidur. Tidurku sangat dalam.

Teringat perkataan mahasiswa psikologi miskin tetanggaku. Ada 5 fase tidur, yaitu fase pertama masa transisi antara kondisi sadar dan kondisi tidur. Fase kedua, seseorang telah masuk ke kondisi tidur yang sebenarnya, fase tidur panjang katanya. Fase ketiga, kondisi tidur akan semakin dalam gelombang otak akan lebih lambat. Fase keempat, yaitu tidur sangat dalam dan fase terakhir dimana terjadi gerakan bola mata yang cepat, berlangsung hanya beberapa detik dan itulah kejadian mimpi dalam tidur. Aku bermimpi dalam tidurku.

Tempat mimpinya berpindah-pindah, rasanya sangat lama aku berada di suatu tempat dengan pemandangan persawahan hijau berundak dan bertemu beberapa orang yang aku tidak kenal. Selanjutnya aku sudah berada di suatu tempat lain tanpa orang-orang dengan ruang kosong yang begitu besar. Kemudian dengan cepat bertemu orang yang sudah lama mati. Teman masa kecilku, namanya Imron.

***

Terakhir melihat Imron saat berusia 13 tahun. Dia masih seperti Imron yang kukenal dulu, ketika bertemu denganku dia tersenyum, mengangguk dan melambaikan tangan mengajakku mendekat.

“Imron?” kataku gagap.

“Ya, ini aku Dang!” tangannya dijulurkan untuk bersalaman denganku.

“Wah, aku lagi mimpi,” kataku kepadanya.

“Betul Dang kamu sedang bermimpi,” tiba-tiba suara Imron yang berusia 13 tahun itu menggelegar, suaranya nyaring dan berat, menggaung.

“Kenapa kamu mendatangiku?” aku bertanya sambil menutup kupingku, agar gelegar suara yang menimbulkan desing di telingku hilang.

“Kamu yang mendatangiku Dang!” Imron kini berbicara lirih.

“Aku…??? Kenapa aku yang mendatangi kamu?” aku semakin heran, kenapa dia bilang aku mendatangi dia, padahal dalam mimpi tidak ada rencana untuk bertemu dengan siapa-siapa. Ini kebetulan.

“Bukan kebetulan Dang!” Imron sepertinya tahu isi pikiranku. “Kamu mencariku, aku tahu dengan rencana kamu untuk mati. Sebenarnya kalau kamu betah untuk berlama-lama di alam mimpimu, kamu tidak akan kembali ke jasadmu yang sedang tidur di pondok reyot pemulung itu!” kembali suara Imron menggelegar.

“Imron, sejujurnya aku ingin berada terus di sini! Bagaimana caranya?” tanyaku memohon.

“Kamu harus mati dulu, tetapi kamu takut dengan segala rencana kematianmu. Artinya kamu takut mati! Dan kamu tidak akan pernah ada di sini!” Imron masih berbicara dengan bergelegar.

Tiba-tiba Imron hilang, sosoknya tidak ada lagi di depanku. Aku termangu. Kemana Imron batinku masih banyak pertanyaan untuk dia sehubungan rencana bunuh diriku.

Kemudian seperti kata tetanggaku yang mahasiswa miskin itu, aku kembali masuk ke fase tidur keempat, ketiga, kedua, lalu masuk ke fase tidur pertama. Aku terbangun.

***

Hari belum benar-benar pagi. Matahari belum menerangi sebagian besar tanah pekarangan pondokanku. Aku masih berbaring, mengingat-ingat kembali pertemuanku dengan Imron dalam mimpi semalam. Untuk lebih lama di sini, kamu harus mati! Itu bagian percakapan yang sangat aku ingat dari Imron.

Ya, tetapi aku sangat takut dengan rencana bunuh diriku. Untuk mati aku takut, tetapi untuk mencapai kematian, aku harus bunuh diri. Semua berputar-putar di kepalaku.

Malas sekali hari ini, selesai mandi di kamar mandi umum dekat kali Ciliwung aku bergegas menelusuri jalanan, mengambil sampah-sampah yang berguna untuk di jual botol plastik minuman dalam kemasan, kardus-kardus, koran bekas atau kalau lagi beruntung aku bisa menemukan peralatan elektronik yang dibuang pemiliknya karena ada komponennya yang rusak. Semua sampah itu akan kujual ke Pak Rohim, seorang penadah barang-barang bekas. Pak Rohim sangat baik, dia selalu memberikan timbangan lebih untukku sehingga aku bisa mendapat uang lebih seribu duaribu perak darinya.

Siang ini aku menemui Asnawi di TPA Bantar Gebang sekalian mencari barang bekas yang lebih berkelas dan mahal. Asnawi lebih suka mangkal di TPA dari pada harus bersusah payah menelusuri jalanan untuk mendapatkan barang bekas. Aku akan kembali mengajak dia berdiskusi tentang rencana bunuh diriku dan menceritakan padanya pertemuanku dengan Imron di mimpi tadi malam.

Tidak susah mencari Asnawi, dia sedang berteduh di kedai kopi TPA dengan beberapa pemulung lainnya. Siang ini gerimis mengguyur Bantar Gebang. Aku membuang karung besar tempat barang bekas di depan Asnawi, dia sedikit terkejut.

“Dang, kok karungmu masih kosong?” tanya Asnawi melihat karungku.

“Tadi sudah kujual ke Pak Rohim. As, aku mau cerita sesuatu,” aku menyeret dia agak menjauh dari pemulung lain. Aku tidak mau percakapanku di dengar oleh mereka.

“Semalam aku bermimpi bertemu dengan orang yang sudah mati, namanya Imron, dia itu temanku sewaktu kecil dulu,” setengah berbisik aku mulai bercerita.

“Kenapa dia mati? ya, si Imron itu!” katanya tanpa mau dijeda olehku.

“Setahuku Imron sakit sebelum meninggal, badannya menguning, belum sempat dilarikan ke Rumah Sakit dia keburu mati,” kataku memberi penjelasan mengenai Imron.

“Lalu apa yang akan kamu bicarakan denganku?” Asnawi mulai tidak sabar.

“Masih rencana bunuh diriku As, aku bingung si Imron tahu aku mau bunuh diri, tetapi dia tahu juga kalau aku takut mati, padahal katanya untuk mati aku cukup berlama-lama dalam alam mimpi dan tidak kembali ke jasadku yang sedang tidur,” kataku terbatuk-batuk.

Asnawi kemudian tertawa terbahak-bahak, sampai bahunya terguncang dan air matanya keluar.

“Ya itu dia Dang, kamu itu sudah gila, kamu menyusun rencana bunuh diri, tapi dari perkataanmu sendiri kamu takut dengan rencana matimu itu,” geli sekali Asnawi, dia kembali tertawa.

“As, aku ingin mati tanpa rasa sakit, tenang dan dalam suasana yang nyaman!” hardikku agar dia berhenti tertawa.

“Terus apa rencana kamu sekarang?” tanya Asnawi menantang.

“Aku akan bunuh diri malam ini,” jawabku kalem.

Asnawi tertawa lagi dan meninggalkanku menuju kedai kopi. Aku mengikuti langkahnya dan kemudian memesan segelas kopi berikut nasi rames untuk makan siang.

Selesai makan, aku meninggalkan Asnawi yang masih berbicara dengan pemulung yang lain. Pembicaraan yang membosankan, masalah ekonomi minyak tanah langka dan harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi, juga masalah politik yang membuat sebagian besar pemulung menjadi seperti seorang pengamat politik yang sering tampil parlente di televisi. Mengapa masalah-masalah yang membosankan itu yang mereka bicarakan?

Gerimis masih mengguyur, bau sampah menjadi lebih menyengat. Sambil mencari barang bekas di gunungan sampah aku kembali berpikir rencana bunuh diriku. Gantung diri, terjun dari gedung tinggi, ditabrak kereta api, minum racun, memotong nadi dengan silet silih berganti muncul tenggelam dalam benakku. Tubuhku terasa penat dan capek.

Aku kemudian berbaring dekat gunungan sampah di atapi oleh sebuah kardus besar yang aku temukan. Otakku terus berputar untuk mendapatkan rencana bunuh diri dengan cara yang sangat tenang, nyaman dan sukses.

Lagi-lagi aku tertidur, dan seperti kata mahasiswa miskin tetanggaku, tidur adalah kematian kecil, aku langsung masuk ke fase tidur paling dalam dan bermimpi.

Dalam mimpi aku kembali bertemu Imron, dia mengajakku ke suatu tempat hanya dengan melambaikan tangannya, ada beberapa orang yang mengikuti Imron.

Imron tidak Bunuh_diri_dream
mengajakku berbicara, kemudian tangannya erat memegangku, seolah-olah aku tidak boleh lepas dari genggamannya. Kami berjalan melewati awan-awan putih, tebing-tebing terjal yang kelam dan melintasi samudera lautan yang sangat luas membentang hingga mencapai sebuah padang bunga yang luas penuh asap kabut.

Imron masih menggenggam tanganku, seraya ia berkata,”Jangan mati bunuh diri Dang!”

Aku merasa sangat nyaman, sangat tenang dan serasa terbang. Sepertinya aku tidak pernah terjaga dari tidurku.***

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.