Cerpen : Kucing Kiyoko

Pagi-pagi sekali, aku dikejutkan oleh kemunculan seekor kucing belang tiga di depan pintu flatku. Mulanya, ia mengeong-ngeong keras sambil mencakar-cakar pintu hingga membuatku berhenti menggosok gigi demi memastikan apakah benar seekor kucing berada di depan pintu itu.

Kulihat, kucing itu kuyu. Sekujur badannya basah, pasti terkena hujan. Di luar memang sedang hujan. Beberapa hari ini, Kyoto tak henti-henti diguyur tumpahan air langit yang begitu derasnya.

Meski sesungguhnya tak menyukai kucing, aku tidak tega membiarkannya kedinginan di luar. Lagi pula, dia sepertinya memang memohon pertolongan seseorang untuk melepaskannya dari jerat dingin udara Kyoto saat ini. Aku langsung menggendongnya ke dalam. Sebelum menutup pintu, barulah aku tahu kalau kucing itu terluka setelah tanganku basah oleh nanah yang berbau busuk, mengalir dari sebuah nganga luka yang dalam, pada pinggang sebelah kirinya. Sepertinya itu luka akibat tusukan benda tajam.

Aku bergegas memakai jas hujan, meninggalkan kucing itu sebentar demi mendapatkan obat yang pantas untuk luka yang mengerikan itu dari apotek seberang jalan. Nguyen, mahasiswa farmasi asal Vietnam yang nyambi bekerja di apotek tersebut menyarankan aku untuk mengoleskan salep chloramphenicol pada luka si kucing. Aku bergegas membayar, lantas menuju ke minimarket, sekitar lima puluh meter dari apotek. Di sana aku mendapatkan sekaleng susu cair dan Whiskas rasa tuna kemasan 500 gram. Setelah memastikan tidak ada yang terlewatkan, aku kembali berjuang menembus badai hujan demi mencapai flatku.

Kucing yang menyedihkan itu masih tergolek lemah di atas sofa, dalam balutan handuk yang kuberikan sebelum meninggalkannya tadi. Ia agak terkejut mendengar pintu yang kututup agak keras. Segera kuambil kapas dari kamar dan kubawa pula baskom berisi air hangat dari dapur.

Setelah menuntaskan ritual pengobatan pada kucing itu, aku langsung menyuguhkan padanya semangkuk Whiskas dan semangkuk susu. Ia langsung melahap habis semuanya. Selesai itu, ia langsung tertidur pulas dalam kelelahan. Kuperhatikan benar- benar, sepertinya kucing ini bukanlah kucing liar. Bulu-bulunya terawat. Badannya juga montok. Ah, biarlah dia di sini dulu sampai sembuh. Kalau misalnya dalam beberapa hari ini tidak ada yang mencarinya, akan kuantarkan ke rumah hewan saja.

Kucing itu menempati kardus mi instan yang sudah kuatur sedemikian rupa untuk memberinya rasa nyaman dan kehangatan yang layak, agar ia bisa tenang beristirahat dengan harapan berdampak baik pada penyembuhan lukanya.

Hari ini Minggu, aku bebas dari kuliah dan pekerjaan. Aku menuju ke depan TV, memutar sepiring DVD yang sudah kusewa dari rental di dekat restoran tempatku bekerja. The Catcher in the Rye judul film itu. Aku menontonnya dalam perhatian yang mendalam. Sejalan dengan mengalirnya kisah dalam film itu, aku mulai menyadari kenyataan bahwa terkadang, banyak hal kecil yang muncul di hadapan kita pada suatu waktu menjadi pemantik ingatan kita akan kenangan yang terjadi pada masa lalu. Film itu membawaku pada kenangan ketika aku terpaksa berhenti kuliah karena orangtua tidak bisa membiayai. Keadaan itu kemudian memacuku untuk merantau jauh, bekerja sambil menuntut ilmu di Jepang dengan menumpang sebuah kapal barang dari Surabaya. Sampai di Jepang, aku mencoba bertahan hidup dengan bekerja berpindah-pindah di restoran-restoran kecil, sampai kemudian aku menjadi salah satu juru masak yang bisa diandalkan di sebuah restoran besar berkat ilmu masak yang kudapatkan dari restoran-restoran kecil tadi. Dari pendapatanku sebagai juru masak di restoran besar itu, aku bisa membiayai kuliah.

Kini, aku bisa hidup mandiri dan tiap bulan juga rutin mengirimkan uang ke orangtua di kampung. Hari-hariku kulalui dengan berkutat dalam bumbu masak di sebuah restoran gabungan masakan Jepang dan Eropa, yang terletak di sekitar Imadegawacho selain juga bergelut dengan materi kuliah di Universitas Kyoto dalam bidang kelistrikan. Di sini, aku benar-benar menikmati pengaruh kerja keras, fokus dalam keseriusan yang tidak akan kudapatkan di negeriku sendiri.

The Catcher in the Rye usai, kenanganku pada masa lalu usai. Aku beranjak mematikan TV menuju ke meja makan, menyantap dua hamaagu dan teh hijau panas yang masih mengepul asapnya. Sehabis itu, aku pun terjatuh dalam tidur yang panjang di atas sofa. Sementara, hujan di luar tak juga reda, seolah akan turun selamanya.

Sebenarnya sudah lama aku tertarik pada gadis yang tinggal di flat seberang jalan itu. Namun, aku tidak bisa menemukan cara untuk bertemu dan berkenalan dengannya. Namun tak kusangka, si kucing belang tiga—yang sudah menjadi bagian dari flatku selama tiga minggu—berjasa mempertemukanku dengan gadis itu pada akhirnya. Kuketahui kemudian namanya sebagai Kiyoko, pemilik si kucing belang tiga.

Kiyoko datang pada suatu malam, menanyakan padaku apakah ada seekor kucing belang tiga gemuk yang nyasar masuk ke dalam flatku. Ketika kuperlihatkan kucing itu, tanpa ragu lagi dialah memang yang selama dua minggu ini dicari Kiyoko.

”Ada luka di tubuhnya waktu pertama kali terdampar di sini. Tapi sudah sembuh sekarang….”

”Wah, kasihan sekali… Takeshi….”

”Takeshi?”

”Ya, kuberi dia nama Takeshi.”

Dia kemudian bercerita bahwa di lingkungan sekitar situ memang ada gerombolan anak sekolah menengah yang suka menyiksa binatang. Ia berkeyakinan luka itu disebabkan oleh mereka. Di hari Takeshi terluka memang dia sedang tidak berada di flatnya, dia sedang pergi ke Nagoya.

Setelah mengobrol sebentar, dia berpamitan dan menawarkan aku untuk berkunjung ke flatnya, sekadar minum teh cha (teh hijau) berdua sebagai ungkapan rasa terima kasihnya karena telah menyelamatkan Takeshi. Aku langsung membayangkan: minum cha waktu hujan sambil nonton Serendipity atau Before Sunset, mengapa menolak?

Esok malamnya aku berkunjung. Ia memperlakukan aku dengan baik. Meski tak ada hujan dan tak sempat menonton film bersama, ia menyuguhkan teh hangat dalam sambutan serta percakapan yang juga hangat. Aku juga senang melihat Takeshi yang sudah sembuh lukanya dan yang paling penting, ia sudah berada kembali di rumahnya. Namun, satu hal yang membuatku heran, Takeshi tidak dibiarkan bebas. Ia terkurung dalam sebuah sangkar.

”Mengapa Takeshi di dalam sana?”

”Oh, ya, aku lupa tidak mengeluarkannya dari dalam situ. Tadi aku keluar sebentar, aku tidak bisa membawanya. Makanya kemudian kukurung saja dalam sangkar. Jika kubiarkan bebas sendirian, ia bisa keluar dari sela langit-langit. Aku takut ia menjadi bulan-bulanan anak-anak nakal itu lagi.” Ia kemudian menghampiri Takeshi dan membuka tutup sangkarnya. Takeshi langsung menghambur dalam pelukanku. Sepertinya dia ketakutan, setelah terkurung dalam sangkar itu.

Aku berusaha menenangkan Takeshi sambil membelai-belai tengkuknya. Agak lama Takeshi dalam gendonganku bahkan sampai ia tertidur pulas. Kuserahkan Takeshi pada Kiyoko dan Kiyoko membawanya ke kotak tidurnya.

Kiyoko bukanlah gadis cantik jelita yang sama sekali berbeda dengan perempuan Jepang yang biasa kulihat. Tampilan fisiknya biasa saja sebenarnya. Yang membuatnya kemudian berbeda adalah dia cerdas, penyayang binatang, dan memiliki perhatian mendalam pada seni tradisional, khususnya yang berhubungan dengan alat musik petik Jepang, shamisen, dan ia pun sangat mahir memainkan alat musik itu. Bukanlah suatu yang aneh kemudian mengetahui fakta bahwa dia ternyata adalah seorang dosen muda yang mengajar seni musik tradisional di Fakultas Seni dan Musik, Universitas Aichi Perfectural di Nagoya.

Setiap hari ia menempuh perjalanan sekitar empat puluh menit Kyoto-Nagoya atau sebaliknya dengan menggunakan kereta api supercepat, JR Shinkansen. Begitulah kemudian, di setiap hari minggu ketika dia libur mengajar dan aku libur kuliah dan bekerja, kami sering menghabiskan waktu berdua, bisa di flatku, bisa juga di flatnya dengan tiga aktivitas yang sama-sama kami sukai, yaitu memasak, menonton film, dan bermain samishen. Tanpa kecuali, Takeshi yang semakin menyukaiku, ikut meramaikan pertemuan kami.

Petang ini, dari jendela kaca flatku, di bawah sana kulihat Kiyoko sudah tiba dari minimarket membawa bahan-bahan untuk masakannya nanti. Hari ini gilirannya yang memasak dan menjamuku. Aku jadi gelisah menunggu telepon darinya. Dia memang telah mengatakan bahwa jika masakannya sudah selesai, barulah ia meneleponku.

Sebenarnya, dari tadi aku sudah bergegas mandi dan berpakaian rapi, mempersiapkan diri sebaik mungkin dalam rencana untuk mengungkapkan keinginan jujurku akan hubungan kami. Tentu, aku mengharapkan dia mau menerimaku sebagai kekasihnya. Bagaimanapun, dari caranya memperlakukanku selama tiga bulan ini aku merasa yakin, ia juga menyukaiku. Acap kali ia jujur dan terbuka menyatakan ketertarikannya padaku sebagai lelaki perantau yang mandiri, disiplin dalam upaya menyelesaikan studi dan bekerja sendiri untuk hidup dan untuk biaya studi itu. Ia juga suka dengan keterampilanku dan takjub dengan rahasia bumbu masak yang membuat lidahnya tak berhenti ingin menyantap semua masakan yang kusajikan meski sebenarnya perutnya sudah kekenyangan.

Acap kali dalam pertemuan kami, memang dia selalu membantuku memasak, tapi sesungguhnya masakan-masakan yang disajikan di meja semata-mata lahir dari tanganku. Kali ini kutantang dia untuk memasak dalam janji pertemuan di flatnya.

Dua jam kemudian, telepon genggamku berdering. Dari seberang ia mengatakan bahwa masakan sudah siap dan aku sudah boleh bertandang. Sesampaiku di sana, ia langsung mempersilakan aku untuk menikmati masakan yang sudah tersaji di meja. Sebagai juru masak profesional, apa yang ditampilkannya di atas meja, kunilai lumayan menyelerakan. Aku langsung menikmati hidangan sukiyaki. Kenyataannya, sukiyaki bukanlah jenis masakan yang asing bagiku. Namun, sukiyaki ini terasa lebih nikmat dibanding sukiyaki buatanku. Ketika kutanyakan apa rahasia bumbu masakan itu dan bagaimana caranya ia bisa membuat sayuran dan daging dalam sukiyaki itu lebih menyegarkan, ia tak mau mengaku. Menurutnya itu adalah sesuatu yang harus dia rahasiakan. ”Jika kuberi tahu, nanti masakanku tidak akan menjadi spesial lagi.”

Sehabis menikmati sajian makan, kami duduk di sofa mendengarkan CD dari album terbaru milik Jason Mraz. Ketika Jason Mraz tengah melantunkan Lucky bersama Colbie Caillat, aku mulai mengutarakan bahwa aku menyukai Kiyoko dan berharap ia mau menjalin hubungan yang serius denganku. Sebagaimana yang kukira sebelumnya, tanpa penolakan, ia menerimaku sebagai kekasihnya sedetik setelah pernyataan keseriusanku.

Aku bahagia, begitu juga dia. Lantunan Lucky selesai dan sekonyong aku teringat pada Takeshi. Aku merasa berutang budi padanya sebab dialah yang telah berjasa besar mempertemukan aku dengan Kiyoko. Dialah si kucing belang tiga yang telah menghadirkan keberuntungan di hadapanku.

”Mana Takeshi?”

Kiyoko tidak menjawab langsung, ia justru beranjak menuju ke dalam kamar tidurnya dan membawa keluar sebuah shamisen baru.

”Ini…” katanya.

”Maksudmu?”

”Ini Takeshi!”

”Itu shamisen!”

”Ya… shamisen yang terbuat dari Takeshi.”

”Maksudmu?”

”Kulit di bagian kepala shamisen ini adalah kulit Takeshi.”

”???”

Kuperhatikan, memang kulit di bagian kepala shamisen itu berwarna belang tiga seperti milik Takeshi. Aku kemudian membayangkan apa yang sudah kami makan dalam sukiyaki tadi. Jangan-jangan itu daging Takeshi. Aku kemudian menebak dan tanpa perasaan bersalah dia mengakui memang itu daging Takeshi dan ia jujur berkata sudah terbiasa menyantap daging kucing yang kulitnya digunakan untuk membuat shamisen. Sebelum mengambil kulit mereka sebagai bahan pembuatan shamisen baru, Kiyoko pasti memeliharanya terlebih dahulu sebab kulit kucing yang sehatlah yang bisa membantu menghasilkan denting shamisen yang cantik. Dia juga jujur mengatakan bahwa luka pada Takeshi ketika kutemukan dulu adalah bekas tusukannya dalam upaya untuk membunuh kucing itu. Usaha itu gagal karena Takeshi berhasil lepas dan terdampar di tempatku. Ia merasa tidak enak mengajukan pengakuan itu di awal pertemuan. Tapi setelah kami sedekat ini, menurutnya tidak ada lagi masalah baginya untuk menuturkan semua pengakuan itu.

”Apalah arti seekor kucing…,” ungkapnya enteng.

Kuabaikan dia, langsung bergegas ke kamar mandi dan muntah di sana. Aku berpamitan tanpa memperhatikan reaksinya. Setibaku di flat, aku tidak bisa melakukan hal lain kecuali memikirkan untuk membatalkan hubungan kami karena bagaimanapun, Takeshi adalah bagian terbesar dari dirinya yang kucintai. Tanpa kusadari, kedua mataku basah membayangkan nasib Takeshi.

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.