Cerpen : Anak Ikan

Setiap kali menyurukkan kepala di dadanya, aku serasa disambar kilatan api? Heran. Ada gemuruh didih di situ. Seketika, aku mau saja jadi anak ikan yang berenang bebas ke dasar danau.

Aku ingat, itu subuh yang terakhir. Aku lihat abak menyibakkan selimut dan mencium kening perempuan yang senantiasa tidur di sampingnya. Perempuan itu terbangun lalu berinjit-injit ke sumur melawan gegar tubuh dalam udara yang dingin.

Aku tak tahu persis apa yang mereka lakukan. Yang jelas setelahnya, mereka sama-sama berganti pakaian. Perempuan itu memakai kain sarung dan kerudung besar yang sudah dijahit. Mereka mengangkat dan melipat tangan di dada. Sejenak terdengar desis suara mereka. Kemudian abak berkata-kata seperti orang mengaji. Tak lama, mereka menunduk memegang lutut lalu mencium lantai.

Biasanya, aku juga ikut dengan mereka. Aku tidak mengenakan kerudung besar seperti perempuan itu. Ia melilitkan kain panjang ke mukaku dengan menyematkan peniti di bawah daguku dan tepi kain sarung kecil ia belitkan di pinggangku. Aku ikuti gerakkan mereka. Bagiku ini permainan yang mengasyikkan.

Ketika mereka mencium lantai kuikuti pula. Tapi kepalaku kutolehkan ke arah perempuan yang ada di sampingku seperti membaca sesuatu. Tak jelas mereka membaca apa. Kugerakkan-gerakkan saja mulutku. Mudah-mudahan sama dengan yang mereka baca. Sesekali aku capek, aku duduk saja atau aku beralih tempat berdiri. Sambil menunggu semua gerakan selesai.

Tapi, selain karena masih sangat dingin, aku masih merasakan ada yang tak selesai antara aku dan perempuan di belakang abak itu. Aku melihat mereka saja dari tempat aku tidur. Setelah semua gerakan mereka selesai, perempuan itu mencium tangan abak. Ciuman yang ditulus-tuluskan. Aku kembali melihat kilatan api menjilat-jilat tangan abak. Aku tak tahu harus menyebutnya dengan apa.

Mataku mengawasi saja apa yang kemudian mereka berdua lakukan. Perempuan itu berjalan ke arahku. Ia tersenyum. Sesuatu yang mirip geliat lidah api itu makin terasa, seakan menyemprot mukaku. Tetapi ketika melihat abak mendekati tempat tidurku, segalanya jadi sejuk dan seperti biasa kembali.

“Sudah bangun kau rupanya,” sapa abak sebelum mencium keningku. Aku senyum saja sambil menggosok-gosok mataku yang sedari tadi memang agak kabur dan terasa sedikit gatal. Diulurkannya tangannya padaku. Aku tahu isyarat ini. Pasti ia mengajakku bangun. Kusambut tangannya. Hap! Kini aku ada di pelukannya. Kulingkarkan tanganku ke lehernya. Rasa hangat yang mengalir dari tubuhnya tak sepenuhnya menghilangkan gigilku.

“Bak, dingin…”

“Tak apa. Kalau sudah mencuci muka, dinginnya pasti hilang,” bibirnya tiba-tiba menancap di pipiku.

“Sekarang kita cuci muka dulu ya!?”

Aku semakin menyurukkan muka ke dadanya.

“Anak gadis tak boleh begitu. Ia harus bangun pagi-pagi, harus berani melawan dingin,” ia menggendongku ke sumur dan mencucikan mukaku sekaligus mengajariku menggunakan penggosok gigi. Di sumur, sudah ada kakakku yang paling tua. Abak menyuruhku mencontoh kakakku itu. Kelak bila dewasa, aku pun pandai melakukannya sendiri.

Berikutnya, kakakku yang nomor dua menyusul ke sumur. Diikuti kakakku nomor tiga. Seterusnya, kakak nomor empat. Abak sudah mengajariku soal berapa aku punya saudara. Kami semua ada lima orang, sebanyak jari sebelah tangan. Semua perempuan. Aku paling kecil. Kakak-kakakku sudah sekolah semuanya. Sebentar lagi, aku juga akan sekolah. Tapi, entahlah. Aku lebih suka main ke danau, bersama ikan-ikan.

Abak kemudian membimbing tanganku ke depan perempuan itu yang tiba-tiba muncul dari belakang abak.

“Mar, aku ke danau dulu,” ucap abak

“Iya, Da,” jawab perempuan itu.

“Bak, ikut!” aku tak mau ditinggal bersama perempuan itu. Aku mau ikut abak pergi ke danau, membangkit pukat. Aku mau melihat ikan-ikan bergelinjangan di mata pukat. Kata abak, ikan-ikan yang terjerat itu sudah besar dan boleh ditangkap. Sedangkan ikan yang kecil-kecil belum boleh ditangkap. Kalau tertangkap harus dilepas lagi. Biarkan dia bebas bermain hingga besar.

“Seperti kamu…” kata abak. (Waktu itu ia mengajakku naik biduk) ”…semasih kecil tak boleh disakiti. Kalau sudah besar siap-siap untuk disakiti. Karena akan ada saja yang akan menyakiti.”

“Idah boleh berteman dengan ikan-ikan kecil itu, Bak?”

“Boleh. Asal kamu tidak jahat sama mereka.”

“Ikan itu juga punya mak, ya, Bak?”

“Tentu. Maknya selalu menjaga mereka seperti mak menjaga Idah.”

“Tapi mak sering jahat ke Idah.”

“Mak jahat ke Idah. Hmm, itu bukan jahat namanya. Itu karena mak sayang sama Idah…”

Lalu, kuceritakan pada abak mengenai kilatan api yang membungkus tubuh perempuan itu. Abak malah tertawa, tak percaya. Ia mencubiti pipiku dan melarangku berpikir yang bukan-bukan. Tapi, tak bisa. Ketika tidak dekat abak, kilatan api begitu nyata mengurung tubuh perempuan yang (harus) kupanggil mak itu. Makanya, setiap abak pergi ke danau, aku selalu ingin ikut.

“Mau ikut ke mana? Ke danau? Jangan sekarang ya. Kamu masih kecil. Nanti tenggelam dan dimakan ikan,” kata perempuan itu sembari meraihku ke pelukannya.

“Iya. Nanti siang abak bawakan ikan kulari, ya. Kita bakar untuk makan siangmu. Dagingnya kita campur dengan samba lado. Hm, anak abak kan sudah belajar makan cabe. Di rumah saja ya, dengan makmu,” bujuk abak.

Aku bersikeras melepaskan pelukan perempuan itu dan mengikuti abak. Ia sudah memakai pakaian baju tebal yang sudah sangat lusuh. Celana katun becek. Di sana-sini ada bercak-bercak lumpur. Dan sebuah topi pandan yang juga biasa dibawanya ke ladang.

“Saidah! Tak boleh ikut!” abak membentakku. Aku diam saja sambil tetap menatapnya dari belakang. Kalau sudah begitu, aku akan berhenti sampai di situ saja. Layu di tempat aku tadi berdiri.

“Nanti siang kalau abak ada waktu akan abak ajak naik biduk ke tengah-tengah danau, ya. Sekarang temani makmu di rumah,” aku mengangguk dengan segala ketidakikhlasan. Abak pergi. Aku masih saja duduk di situ.

“Idah, ke sinilah. Bantu mak,” meski masih dikuasai ngeri, aku menurut saja sambil mendengar bujukannya tentang aku yang tak lama lagi akan sekolah menyusul kakakku. Juga ceritanya tentang anak perempuan yang sebaiknya tidak pergi ke danau dan segala celoteh tentang keluh kesah yang akhir-akhir ini terlalu sering ia sampaikan padaku. Mana pula aku paham.

Katanya, tak lama lagi aku akan punya adik. Katanya lagi, bersuami seorang nelayan danau tak ubahnya dengan menikahi ikan. Hidup hanya di air. Sementara anak-anak terus lahir. Bagaimana menjelaskan harga barang dapur yang melejit-lejit padanya bila sepanjang hari mengucindani danau. Banyak lagi keluhan yang belum mampu kupahami meloncat-loncat dari mulutnya.

Ia memberiku beberapa buah bawang merah dan pisau kecil. Aku tak begitu mendengarkan kata-katanya karena hatiku masih iba sebab tak dibolehkan ikut dengan abak ke danau. Ia tak tahu betapa senangnya aku bila berada dekat abak, melihatnya menarik pukat dari air. Dan pada pukat tersebut menempel beberapa ekor ikan, yang kemudian diletakkan abak di dalam kantong plastik hitam yang sudah disediakannya dari rumah.

Waktu aku dibawa abak ke danau, karena perempuan yang (harus) kupanggil amak itu pagi-pagi sekali harus pergi ke suatu tempat yang katanya, sangat tidak mungkin membawaku. Makanya abak yang mengasuhku.

Saat itu aku merasakan suasana yang lain. Tubuhku menggeriap melihat ikan-ikan yang menempel di mata pukat abak. Aku acapkali memekik kegirangan. Tanganku ikut menjangkau ikan-ikan yang diambil abak. Ini tentu saja membuat abak juga berteriak-teriak. Bukan teriak kesenangan, tapi teriak kecemasan. Biduk yang dipakai abak terguncang-guncang. Tiap sebentar pula ia memagutku dan didudukkan di pangkuannya dengan tangan kiri. Sementara tangan satunya memegangi pukat agar tak terlepas. Karena jika terlepas akan sulit untuk mengambilnya lagi.

Sejak itu, setiap abak akan pergi ke danau, aku selalu mau ikut. Kalau pagi-pagi biasanya tak dibolehkan. Entah karena alasan apa, abak pernah mengatakan kalau ia takut aku akan jatuh ke danau dan ia tak mau gadis kecilnya mati ditelan danau lalu dimakan ikan-ikan. Tapi aku tak pernah menghiraukan alasan abak tersebut. Yang selalu kurengekkan pada abak adalah membolehkan aku ikut naik biduk dan menguncindani riak dan anak-anak ikan yang menyusu ke perut biduk. Aku suka suasana itu, jauh lebih suka dibandingkan diasuh perempuan yang dibungkus lidah api itu.

Sesungguhnya, aku ingin mengadu pada abak. Aku tidak betah berlama-lama berada dekat perempuan itu. Tapi, aku tidak sanggup menceritakannya lagi pada abak. Abak pasti tidak percaya dan akan memarahiku kalau tiba-tiba kuceritakan. Ingin kukatakan, bahwa ia hanya baik bila di hadapan abak. Ia terlihat begitu patuh pada abak, tetapi di belakang abak, ia berubah. Ada api yang membungkus tubuhnya. Dari matanya yang memandang sangat kejam padaku juga berpercikan bunga-bunga api.

Ingin pula kuadukan keluh kesah yang tak semua kupahami terlalu sering terlontar dari bibir tipis perempuan itu. Aku diasuhnya dengan gerutu dan cubitan yang memerahkan pangkal kakiku. Kadang dengan lecutan lidi kelapa dan jambakan anak rambut dekat telingaku. Yang ini, tentu lebih membuat abak tidak percaya. Apalagi bila kukatakan pada abak, selama abak berada di danau, perempuan itu sering meninggalkanku sendiri di rumah, hingga kakak-kakakku pulang sekolah.

Deburan buih, dan anak-anak ikan yang menyusu ke perut biduk, tiap sebentar melambai rindu padaku mengundangku berenang, membenam ke dasar paling dingin.

Pagi masih hitam. Kulihat tidur abak begitu nyenyak. Aku ngeri juga membayangkan gelap yang merajai alam. Tapi, kurasakan langkah kaki perempuan yang membimbingku ingin sekali cepat-cepat sampai ke danau. Katanya, abak tidak boleh tahu. Katanya lagi, ia akan mengantarku ke danau pagi-pagi, sebab anak-anak ikan berenang ke tepi danau pada waktu pagi.

Kulebar-lebarkan mataku. Sesekali masih tersisa kuap di mulutku. Aku tak sabar, ingin melihat anak-anak ikan itu. Kami kini telah berada di tepi danau. Mata kakiku mulai menyentuh bibir riak. Perempuan itu tetap membimbingku. Ia membawaku ke atas biduk dan mendudukkanku di pangkuannya. Lalu ia kayuh biduk itu ke tengah danau.

“Sabar, ya. Sebentar lagi, anak-anak ikan itu akan datang,” ia menciumku. Dari matanya berpercikan bunga api. Kilatan api yang membungkus tubuhnya tak mampu mengusir dingin yang kurasakan. Aku pasrah, menunggu anak-anak ikan itu datang.

Ikan-ikan mengajakku berenang ke sana ke mari. Ia mengajakku ke tempat yang lebih dalam dan semakin dalam sampai ke kegelapan. Sesekali aku muncul ke permukaan. Tubuhku kini begitu ringan dan tak lagi merasakan dingin. Tapi, ketika sampai di permukaan, tiba-tiba pandanganku tertuju pada perempuan itu. Ia meraung-raung di tepi danau sana. Ia guling-guling. Lalu, banyak orang yang mengerumuninya. Sebagian orang kelihatan sangat sibuk, berkeliaran di sekitar pinggir danau.

Aneh. Aku tak melihat abak. Namun, tidak lama berselang, aku lihat abak mengayuh biduknya ke tengah danau, melihat-lihat ke segala penjuru sambil meneriakkan namaku. Aku balas panggilan abak. Tapi mulutku kini penuh air. Tak ada suara yang keluar. Akhirnya, ibu-ibu ikan yang kini mengasuhku membimbing siripku berenang ke samping biduk abak. Aku lihat mata abak memerah dan sembab seperti orang sedang marah. Bibirnya tak henti menyeru namaku. Pendayung di tangannya menggigil. Kalau saja aku belum benar-benar menjadi anak ikan, tentu aku akan naik ke biduk abak, menemaninya membangkit pukat sambil sesekali berteriak-teriak girang.***

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.