Cerpen : Membakar Api

Setelah yakin istrinya menghilang dari rumah sakit, tentu bersama bayi mereka yang baru lahir, Mirdad segera menelepon sang istri. ”Artika, di mana kamu? Bagaimana dengan bayi kita?” Suaranya lebih ditujukan untuk kotak suara, yang diawali pesan pendek Artika, ”Suamiku, jika kamu mau melihat anak kita, kembalikan dulu ayahku ke rumah.”

Lagi-lagi urusan Lohan, pikir Mirdad.

Beberapa minggu terakhir, menjelang melahirkan bayi pertama mereka, keadaan Artika menjadi tak begitu baik. Mirdad sangat khawatir, terutama memikirkan bayi di dalam kandungan istrinya. Dan jika ia bertanya, Artika selalu membawanya kembali ke persoalan itu, ”Aku memikirkan ayahku. Bagaimana aku bisa tenang jika ayahku konon sedang dipasung dan disiksa dan aku tak tahu di mana ia berada.”

”Aku juga tak tahu,” kata Mirdad.

”Tapi ayahmu tahu.”

Itu benar. Ia sendiri tak tahu apa yang terjadi antara ayah dan ayah mertuanya. Ia hanya mendengar kabar yang berseliweran, yang tak juga jelas duduk perkaranya. Tentu saja ia pernah menanyakan hal itu kepada ayahnya, tapi sang ayah hanya akan mengatakan bahwa perkara ini lebih rumit dari yang dipikirkan mereka. Namun, secara sederhana ayahnya akan berkata: ”Mertuamu membakar api.” Itu istilah mereka untuk menggelapkan uang organisasi.

”Aku enggak percaya,” kata Artika ketika itu.

Ketika kandungannya semakin mendekati masa melahirkan, Mirdad membujuknya untuk pergi ke rumah sakit dan menginap di sana. Artika bergeming, bersumpah hanya akan melahirkan jika ditunggui Lohan, ayahnya. Dengan putus asa, Mirdad kembali menemui ayahnya dan memohon untuk sejenak membebaskan Lohan agar bisa menemani istrinya melahirkan anak mereka.

”Tidak, Nak. Dan kau kelak harus mengerti, organisasi bahkan lebih penting daripada segala romansa keluarga macam begitu.”

Hingga satu hari ia tak menemukan istrinya di rumah. Ia menelepon istrinya, tapi telepon itu mati. Bahkan, saat itu belum ada pesan apa pun untuk bicara dengan kotak suara. Mirdad mencoba menelepon dokter mereka, tapi dokter tak tahu apa-apa dan malah bertanya, kenapa istrinya tak juga datang, padahal ini sudah mendekati hari melahirkan. Ia kemudian menelepon semua rumah sakit bersalin, bertanya sekiranya ada pasien bernama Artika Lohan. Tak ada rumah sakit bersalin memiliki pasien bernama itu. Tidak ada juga di rumah sakit umum. Bahkan, telah ia sebar pula beberapa anak buahnya untuk mencari ke tempat-tempat dukun bersalin. Hasilnya nihil.

Lalu, ia memperoleh kabar bahwa istrinya melahirkan di sebuah rumah sakit bersalin di luar kota. Sialan, pikirnya, kenapa tak terpikirkan hal itu. Ia segera ngebut ke rumah sakit tersebut. Memang benar istrinya melahirkan di sana, tapi Artika telah pergi kembali. Saat itulah ia kembali menelepon dan memperoleh pesan pendek sebelum tanda untuk bicara kepada kotak suara, ”Suamiku, jika kamu mau melihat anak kita, kembalikan dulu ayahku ke rumah.”

Mirdad terduduk di beranda rumah sakit dan bertanya kepada diri sendiri, ”Mana yang harus kupilih, keluarga atau organisasi sialan ini?”

Kabar mengenai penangkapan Lohan pertama kali didengar dari Artika. Saat itu Artika baru berkunjung ke rumah ayahnya, lalu tiba-tiba pulang dan memanggil-manggilnya. Mirdad yang tengah tidur siang terbangun dan bertanya, ada apa?

”Ayah ditangkap.”

”Oleh siapa?” Pikirnya, ayah mertuanya ditangkap polisi. Di dunia mereka, itu bukan perkara yang aneh. Ayahnya sendiri telah belasan kali berurusan dengan polisi dan beberapa kali masuk tahanan meskipun pengacara-pengacara organisasi selalu berhasil membuat dalih tidak bersalah untuk dibebaskan. Dan ayah mertuanya, Lohan, merupakan orang lapangan. Ia lebih sering berurusan dengan polisi dan sejauh ini tak pernah ada urusan yang tidak bisa diselesaikannya dengan gampang.

”Oleh Pre.”

Itu baru mengejutkannya. Mirdad terbangun dari tempat tidur. Pre merupakan istilah mereka untuk orang lapangan, para preman jalanan yang terlatih. Tidak, tidak sembarang preman jalanan. Tugas mereka adalah melakukan segala tindak kekerasan secara bersih untuk melindungi segala kepentingan organisasi. Preman jalanan hanya malak tukang parkir dan penjual kaki lima. Pre membunuh dan membakar gedung, tanpa diketahui. Lohan sendiri seorang pre, jika ia ditangkap oleh sesama pre, berarti ada masalah serius yang menyangkut internal organisasi.

”Kenapa?” tanya Mirdad.

”Aku tak tahu!” Dan Artika melanjutkannya dengan raungan. Sebab ia tahu, penangkapan oleh pre berarti kematian tanpa jejak. Pre tak hanya membunuh para musuh dan saingan organisasi, ia juga bisa bertindak sama untuk orang dalam yang mereka pikir berkhianat. Dan pengkhianatan merupakan dosa yang tak termaafkan dalam organisasi mereka. Artika tahu betul mengenai ini, maka ia layak untuk menangisi ayahnya.

Diikuti Artika, Mirdad segera pergi ke rumah ayahnya, dikenal dengan nama lengkapnya yang panjang: Rustam Satria Juwono. Sang ayah suka sekali jika orang menyebut namanya secara lengkap tiga kata, dan tentu saja benci jika ada yang mencoba menyingkatnya. Beberapa orang yang memang tidak suka kepadanya, diam-diam suka menyingkat nama itu menjadi RSJ, sebagaimana singkatan untuk Rumah Sakit Jiwa. Memang tak ada tempat yang lebih tepat untuk mencari tahu keadaan Lohan selain pergi menemui Rustam Satria Juwono. Rustam Satria Juwono merupakan ketua organisasi.

Ia mungkin tak hanya tahu penangkapan Lohan. Bisa jadi penangkapan Lohan oleh pre justru merupakan perintahnya.

”Ayah, kenapa ayah mertua ditangkap pre?” tanya Mirdad.

Menghadapi anak dan menantunya, Rustam Satria Juwono mencoba bicara lembut dan bijak, ”Tenangkan diri kalian. Ayah akan mencoba mencari cara terbaik untuk menyelesaikan masalah ini.”

”Kenapa tidak menyuruh para pre itu melepaskan ayahku?” tanya Artika tak sabar. Matanya sudah bengkak dan ia masih terus menangis.

”Tenang, Nak. Ayah akan mencoba semampuku. Meskipun ayah seorang ketua, tapi organisasi memiliki aturan mainnya sendiri. Kalian tahu, sebagai ketua, ayah pun tak bisa bertindak sewenang-wenang.”

Bahkan bagi Mirdad sendiri, kata-kata ayahnya terdengar seperti omong kosong.

Kejadian itu persis sebulan sebelum Artika melahirkan bayinya. Dengan perut besar, Artika mencoba mencari tahu keberadaan ayahnya. Demikian pula Mirdad. Hasilnya nihil. Mereka melaporkannya kepada polisi sebagai orang hilang, tapi tahu pasti polisi tak akan mudah pula menemukannya. Lagi pula tak mungkin berkata kepada polisi bahwa Lohan diculik gerombolan pre.

Pertama, tak ada saksi penculikan itu. Saat penculikan itu, Lohan tinggal sendiri di kamarnya. Seperti biasa, ia selalu mengunci pintu dan jendela kamar dari dalam. Setelah menjelang siang Lohan tak juga keluar kamar, Artika dan ibunya mencoba membuka paksa pintu. Setelah terbuka, mereka menemukan kamar yang kosong. Tapi pintu dan jendela tetap terkunci dari dalam. Tak ada kesimpulan apa pun kecuali yakin, itu hanya bisa dilakukan gerombolan pre.

Kedua, menyebut-nyebut pre hanya akan membahayakan mereka berdua.

Ketiga, polisi tak kenal apa itu pre.

Keempat, jika ada polisi yang mengenal pre, mereka tak akan mau menangani kasus itu.

Akhirnya mereka mencari tahu dengan cara sendiri. Meskipun mereka bisa dibilang bukan siapa-siapa di tengah labirin organisasi, mereka juga bisa dibilang punya teman-teman kecil yang menyelinap ke sana kemari dan tahu cukup banyak hal. Dari cecunguk-cecunguk seperti itulah, mereka akhirnya memperoleh serpihan-serpihan cerita di balik penangkapan Lohan.

Hari-hari tersebut, sebagaimana banyak orang tahu, organisasi di ambang bangkrut. Itu artinya, perusahaan-perusahaan mereka memiliki terlalu banyak utang dan terlalu sedikit menghasilkan uang. Para tetua organisasi, di dunia luar mereka lebih dikenal sebagai konglomerat-konglomerat pemodal, bertemu untuk mencari jalan keluar menyelamatkan perusahaan-perusahaan milik organisasi. Saat itulah mereka kembali memeriksa pembukuan. Pembukuan besar dan menemukan kebobolan besar. Ada pengeluaran, tetapi tak ada pemasukan.

Semua mata kemudian memandang ke satu-satunya orang yang mestinya bertanggung jawab atas hilangnya uang itu: Lohan.

”Aku bisa menjelaskan ke mana uang itu pergi,” kata Lohan mencoba tenang.

”Ya, Tuan-tuan, aku yakin sahabatku ini bisa menjelaskan ke mana uang itu pergi,” kata Rustam Satria Juwono, sang ketua, pada akhir pertemuan tersebut.

Rustam Satria Juwono akhirnya memanggil Lohan dan meminta bicara berdua. Ia sendiri yakin Lohan tidak membawa lari uang itu dan pasti ada penjelasan yang masuk akal. Kepada Lohan, Rustam Satria Juwono berkata, ”Para tetua marah.” Itu artinya, Lohan harus menjelaskan segamblang-gamblangnya atau mereka akan memperoleh masalah dengan para tetua. ”Kau tahu, aku memang ketua organisasi ini. Tapi sepertimu, nasibku pun ditentukan para tetua.”

”Aku bisa menjelaskan,” kata Lohan.

”Lakukanlah.”

”Tak ada yang perlu kututupi,” kata Lohan. ”Ini hal yang sudah sangat sering kita lakukan. Tepatnya aku lakukan untuk kita semua. Uang itu kupakai untuk menyogok polisi.”

”Sebesar itu?”

”Sebesar itu. Yang ini polisi besar. Dan kita akan memperoleh hal besar untuk menyelamatkan perusahaan dari masalah besar.”

”Apakah itu?”

”Kita akan memperoleh rumah judi.”

Rumah judi itu tidak pernah benar-benar dibikin. Polisi besar yang menjanjikan akan mempermudah segala urusan tidak menepati janjinya, padahal uang sudah berpindah tangan. Para tetua kali ini benar-benar marah. Mereka sungguh tidak suka mengeluarkan uang banyak untuk hal yang tak bisa mereka peroleh.

”Lohan, aku terpaksa membiarkan pre menangkapmu,” kata Rustam Satria Juwono pada pembicaraan telepon terakhir mereka.

”Kenapa? Aku melakukan itu karena kalian menginginkan rumah judi, bukan?”

”Tapi kau mengeluarkan banyak uang.”

”Uang itu untuk suap.”

“Suapmu tidak berhasil. Kita sama sekali tak memperoleh izin maupun perlindungan untuk membuat rumah judi itu.”

”Kalau begitu, kita ambil lagi uangnya dari polisi itu.”

”Ia tidak pernah mengaku menerima uang darimu.”

”Apa?”

”Iya tak mengaku menerima uang darimu.”

”Sumpah mati, aku memberikannya langsung, sekoper penuh?”

”Apakah ada saksi?”

”Tidak. Tetapi, semua orang organisasi tahu aku menyuap polisi itu. Kamu juga tahu.”

”Apa kamu punya bukti bahwa polisi itu menerima uangmu? Dia memberimu … em … katakanlah, kuitansi?”

Lohan terdiam, sebelum berkata lagi, ”Sejak kapan uang suap ada kuitansi?”

”Jadi jawabanmu, tidak ada bukti?”

”Apakah kamu akan mengorbankanku demi membuat senang para tetua?”

Rustam Satrio Juwono menutup telepon.

Artinya, ia akan membiarkan pre menangkap Lohan. Sebenarnya malam itu Lohan sudah bersiap-siap. Lohan mengunci pintu dan jendela kamarnya. Lohan pun mempersiapkan pistol di bawah bantal. Tapi sebagaimana semua orang tahu, pre tak pernah terhentikan.

Tak ada cara lain, Mirdad berkata kepada istrinya: ”Ayahku tahu uang itu dibawa kabur polisi. Tapi para tetua tidak peduli. Siapa yang melenyapkan uang harus menghadap pre. Maka, itulah yang harus dilakukan Ayahku untuk membuat para tetua senang. Itu satu-satunya cara agar ia bisa tetap mempertahankan tempatnya di dalam organisasi atau panggilan ’ketua’ harus segera diberikan kepada orang lain.”

Artika tak menyukai jawaban itu dan memutuskan untuk pergi bersama bayinya.

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.