Cerpen : Aku Ingin Jadi Kupu-kupu

BAPAK mengabarkan pekan depan kami pindah. Pindah lagi, lebih tepatnya. Hampir setiap tahun kami pindah. Tidak jauh-jauh memang, tetap di lingkungan ini-ini saja. Kami tidak mungkin pindah jauh, karena aku sekolah tidak jauh dari sini, di sebuah sekolah menengah atas. Jika pindah jauh, apalagi ke pinggiran kota, jelas akan membuatku kalang-kabut.

“Kalau aku sudah kuliah boleh pindah jauh, kalau perlu sekalian ke kampung bapak di Jawa,” kataku. Bapak tidak menjawab, hanya memonyongkan mulutnya, seolah ingin mengatakan: itu kan maumu. Maunya keadaan belum tentu begitu. Aku mafhum, keadaan kadang membuat seseorang harus pergi dari tempat yang ia sukai, bahkan harus terusir dari kampung sendiri.

Sesungguhnya, ini adalah kampungku. Di kampung padat inilah aku menangis untuk pertama kalinya. Aku lahir hingga besar disini. Ketika kecil, aku suka berlarian di gang di depan rumah kami yang hanya cukup untuk berpapasan dua orang pejalan kaki. Aku dan teman-teman bermain di atas badan gang itu, ya main dadu, petak umpet, dan apa saja. Ketika ada sepeda motor lewat, kami segera menyingkir.

Kalau senja turun, gang itu kami pergunakan ramai-ramai. Selain kami yang bermain, gang itu juga digunakan oleh para pedagang makanan keliling untuk lewat, bahkan nongkrong, juga untuk ibu-ibu yang duduk di depan rumahnya sambil mengobrol. Ada pula anak-anak muda yang bergerombol di ujung gang sambil menyanyi diiringi petikan gitar yang tak jarang berantakan.

Kalau sedang sumpek di gang, aku dan beberapa teman suka pergi ke luar jalan besar. Kami menyebut cuci mata: melihat orang-orang lewat, barisan cahaya dari pertokoan dan lampu-lampu mobil yang menyilaukan. Sebenarnya bagiku yang paling menarik bukan itu. Di jalan besar, aku bisa dengan leluasa menatap puncak Monas. Aku begitu takjub melihat cahaya keemasan dari puncak tugu itu.

“Kapan ya aku bisa naik ke puncak emas itu…” Kata-kata itu suka meluncur begitu saja dari mulutku. Kawan-kawan yang mendengar kadang berkata: “Kamu harus menjadi burung dulu.” Tapi aku selalu menolak ucapan mereka. Aku tidak ingin jadi burung. “Aku ingin menjadi kupu-kupu.”

“Kupu-kupu malam dong….” Tawa teman-teman lalu pecah. Mereka puas meledekku. Tapi aku diam saja. Pada suatu saat akan kujelaskan mengapa aku ingin menjadi kupu-kupu, bukan ingin menjadi burung yang bisa terbang setinggi mungkin. Buatku, kupu-kupu lebih indah, lebih lembut. Ia memang tidak bisa terbang tinggi, tapi itulah tantangannya: ia harus berjuang untuk melakukan itu.

Kupu-kupu harus berjuang untuk terbang sampai ke Monas. Tapi bagi burung tidak. Ia bisa mencapainya kapan saja. Serba mudah. Kondisiku tidak seperti itu. Aku butuh perjuangan untuk mencapai sesuatu. Ayah tidak punya pekerjaan tetap dengan penghasilan cukup, kadang menjadi sopir bajaj, lain kali menjadi tukang bangunan, pada saat lain jadi sopir metro mini. Ibu hanya di rumah. Mengurusku dan dua adikku.

Aku bukan burung yang bisa terbang kemanapun aku mau. Bercita-cita menjadi kupu-kupu pun adalah sesuatu yang tidak mudah bagiku. Aku ini sebetulnya keong, yang merangkak pelan. Tapi aku tidak ingin menjadi keong. Terlalu lambat, tidak bersemangat. Aku tidak suka melihat sesuatu yang tidak bergairah, lemas, apalagi diam. Aku suka bergerak, berlari, dan terbang.

Ketika mulai besar, aku makin memantapkan diriku untuk menjadi kupu-kupu. Kata ibu, aku cantik. “Kamu ini bisa kayak artis lho. Mudah-mudahan kamu nanti jadi artis,” kata seorang bulekku di Jawa, ketika kami pulang pada sebuah Lebaran. Aku tersenyum tipis, dan berkata: “Aku mau jadi kupu-kupu, Bulek.”

Bulekku terperangah mendengarnya. “Kupu-kupu malam, maksudmu? Eling nduk, eling…”

“Bukan bulek. Bukan kupu-kupu malam. Jadi kupu-kupu, itu yang suka terbang di bunga-bunga…”

Mbuh, aku nggak ngerti maksudmu.”

Aku tidak menjelaskan lebih lanjut, karena percuma. Pastilah bulek makin tidak mengerti dengan penjelasanku. Akhirnya ibu yang menjelaskan dengan bahasanya sendiri: “Ia ingin menjadi seperti kupu-kupu, bisa hinggap di bunga-bunga.” Meski tidak sepenuhnya benar, penjelasan ibu membuat bulek mengangguk-angguk.

Karebmu, asal jangan menjadi kupu-kupu malam lho nduk… Bulek tak rela. Bulek bisa bunuh diri…” Bulek kemudian berlalu, tapi tetap menyimpan rasa penasaran yang hebat: “Keinginan kok aneh-aneh….”

Aku tidak menyahut, hanya tersenyum. Tidak semuanya memang perlu dijelaskan kepada orang lain. Tidak semuanya mesti diungkapkan. Tidak semuanya orang bisa paham dengan keinginan-keinginan orang lain. Maka itu, aku bisa mengerti mengapa bulek menjadi bingung mendengar kata-kataku.

Maka, sejak itu, keinginan itu pun kemudian aku simpan menjadi keinginan terpendam. Aku hanya akan mengungkapkan itu kembali ketika aku siap menjelaskan dengan bahasa yang dimengerti oleh orang lain. Kalau tidak, aku bisa dianggap sebagai orang aneh bahkan gila.

Tapi, seperti biasa, kalau malam aku suka keluar ke jalan raya untuk menikmati cahaya keemasan dari Monas. Sendiri. Aku tidak mengajak teman-teman. Mereka pasti punya acara sendiri-sendiri. Kesendirian juga membuatku lebih bebas. Lebih lepas. Bisa sesukanya membayangkan diri menjadi kupu-kupu.

Itu pula sebabnya aku tidak mau punya pacar, meskipun banyak teman sekolah mengejar-ngejarku, berusaha berbaik-baik padaku, menawarkan nonton, jalan-jalan, bahkan mengantarku dengan mobilnya. Aku tidak tertarik. Aku tidak ingin terkungkung, mengikuti kesepakatan-kesepakatan yang dibuat atas nama cinta. Aku ingin menjadi kupu-kupu, yang bebas, dan bisa berada di tempat-tempat menyenangkan.

Beberapa teman menggosipkan aku lesbian, hanya suka pada perempuan. Mereka hanya kerap melihat aku bersama teman-teman perempuan, tak pernah sekalipun berjalan berdua bersama seorang laki-laki. Tapi aku diam saja. Toh tidak semua hal mesti dibantah. Kalau dibantah, justru bisa membuat yang bikin gosip jadi lebih senang. Tapi kadang-kadang, aku bangga juga digosipin, artinya aku diperhatikan.

Tapi sudahlah, aku tidak tertarik untuk membahasnya lebih lanjut. Yang mengganggu pikiranku kini adalah kata-kata bapak tadi pagi sebelum aku berangkat sekolah. “Pekan depan, kita pindah.” Kemana? Bapak menggeleng. Ibu juga diam saja. Setelah itu, bapak berangkat kerja, entah kerja apa — aku tidak pernah bertanya. Ibu pun tak tahu.

Seperti kukatakan tadi, ini bukan kali pertama kami mesti pindah. Hampir tiap tahun kami pindah, mencari kontrakan yang lebih murah, meski di lingkungan di situ-situ juga, namun makin jauh dari Monas. Sekarang, banyak kontrakan tumbuh, gedung-gedung juga tumbuh, seperti pohon-pohon besar di tengah hutan.

Kontrakan lama sering diruntuhkan, lalu diatasnya dibangun kontrakan baru yang lebih bagus, tentu dengan harga sewa yang lebih mahal dari sebelumnya. Biasanya penghuni kontrakan-kontakan baru itu adalah orang-orang baru, yang lebih muda, pekerja atau keluarga muda. Mereka lebih rapih, lebih terpelajar daripada penghuni sebelumnya.

“Apakah kontrakan itu mau dirobohkan, mpok?” Aku tidak kuat menahan penasaran lalu bertanya kepada Mpok Minah yang berjualan gado-gado di ujung gang. Mpok Minah mengernyit dahi, memperlihat ketidakmengertian. “Kata siapa?”

“Kata Bapak, kami harus pindah pekan depan…”

“Wah, aku belum tahu. Mungkin bapakmu sudah dapat kontrakan yang lebih bagus dan lebih murah.”

Mungkin juga. Tapi mau pindah kemana lagi, aku sungguh capek sekali harus mengikuti ritual pindah. Kalau aku punya uang banyak, aku akan beli rumah besar di dekat Monas, agar kami hidup tenang dan nyaman, lalu tiap malam aku menikmati cahaya keemasan yang berkilau-kilau dari puncak tugu itu.

Jawaban baru kuperoleh dari ibu, malam-malam, setelah lama ibu diam. “Bapak tidak punya uang untuk bayar kontrakan.” Ibu mengatakan itu tanpa kutanya, mungkin ia tidak sanggup menyimpan sendiri beban itu. Sejak pagi, ibu selalu termenung. “Tapi bapak sedang mengusahakan agar bisa bayar kontrakan. Bapak sedang mencari pinjaman,” kata ibu lagi, setengah terisak. Bening-bening kecil jatuh di wajah ibu.

Begitu berat beban ibu, beban keluarga kami. Aku menggigit bibir. Tiap tahun, selalu persoalan itu yang muncul. Untungnya biaya sekolahku dan dua adikku tidak sampai menunggak. Ingat begini, kadang aku mau keluar sekolah dan mencari kerja. Tapi, pekerjaan apa yang bisa kulakukan. Atau aku mencoba-coba masuk agency artis dan model? Tidak, itu bukan pekerjaan mudah.

Mataku menerawang. Pikiranku ke mana-mana. Langit-langit ruang tamu rumah kami seperti layar film yang menyuguhkan berbagai gambar dan adegan. Lamat-lamat, aku merasakan tubuhku melayang. Kulihat tubuhku bersayap. “Hore…. Aku menjadi kupu-kupu,” teriakku girang. Kegirangan tiada tara. Keinginanku tiba-tiba tercapai.

Aku keluar dari rumah, terbang di atas atap-atap rumah. Dari sana, aku melihat Monas makin berkilau. Aku melihat Jakarta yang benderang, bagai lautan cahaya dengan perahu dan kapal yang sebagian diam dan sebagian lagi berarak di ruas-ruas yang mirip sungai, yang berbelok-belok dan tak bermuara.

“Aku ingin terbang ke puncak Monas…” Berkali-kali kata-kata itu kuteriakkan. Tapi malam seolah diam, tidak perduli pada kata-kataku. Aku pun tidak ambil pusing. Aku terus terbang, pelan namun pasti, ke arah tugu itu, melawan angin yang tiba-tiba menjadi kencang, bahkan melawan hujan yang tiba-tiba turun dengan petir yang kilat dan petir menyambar-nyambar.

“Aku harus bisa mencapai puncak emas Monas,” teriakku lagi. Tapi, belum sampai di Monas, sebuah ketukan beruntun dan panjang membangunkanku. Aku terlonjak dan bangun, buru-buru berjalan ke arah pintu. Kulihat dua orang lelaki dengan air muka keras menatapku, sambil bertanya: “Anda putrinya Pak Kusno?”

Belum sempat kujawab, ibu telah berdiri di depanku. Ia lalu memintaku untuk masuk. Setelah itu, aku tidak tahu lagi apa yang mereka bicarakan. Yang kutahu, ibu tiba-tiba menangis, sambil menyebut-nyebut nama bapak. “Kang Kusno, kamu tidak boleh pergi. Kamu tidak boleh mati. Kamu harus tetap hidup….”

Aku baru sadar bahwa sesuatu telah terjadi pada Bapak. “Bapak kenapa Bu, bapak kenapa?” Aku menggoyang-goyangkan tubuh ibu yang tampak lunglai. Dalam tangis yang makin meninggi, suara itu meraung: “Ayahmu dibakar orang karena menjambret… Tega benar orang itu.”

Terdiam sejenak, aku menggigit bibir. Berat betul beban bapak. Tragis betul nasib bapak. Tapi aku tidak boleh menangis. Meski tanpa bapak, aku tetap ingin menjadi kupu-kupu. Aku tetap ingin terbang ke puncak Monas. Akan kukerat secuil emasnya. Sebagian akan kuberikan pada ibu. Sebagian lagi untuk menyepuh nisan bapak.

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.