Cerpen : Blarak

Aku terbangun karena daun jatuh. Dengan agak tergeragap, kusingkirkan daun kering itu dari wajahku. Kulihat wajah Mbah Tuhu cerah semringah memandangku.

Hehehe… mari pulang, sudah sore…” ucapnya sambil beranjak dari tempat duduknya yang tak jauh dariku berbaring. ”Dari tadi, sebetulnya saya mau membangunkan sampean, tapi… kok kelihatannya pules bener, tidak tega, saya. Eh, malah daun yang membangunkan sampean… heheheheh…”

Aku hanya tersenyum. Segar. Belum pernah aku terbangun dari tidur dengan perasaan seperti ini. Tanpa banyak bicara, kami segera menyusuri tegalan. Sepi. Serangga mulai menyanyi. Bumi mendingin dan sebentar lagi, kabut pasti turun.

”Nanti sekalian kita cari blarak untuk masak…” ujarnya beberapa saat kemudian.

Sudah dua hari aku berada di sini. Entah tempat apa ini namanya, aku tak begitu paham. Sebelumnya, aku adalah makhluk yang lahir dan besar di ”hutan beton” bernama Jakarta. Mbah Tuhu memang masih tergolong kerabatku, yang—ini anehnya—baru kuketahui beberapa hari belakangan ini. Bayangkan, selama hidupku, kurang lebih 35 tahun, aku tak pernah tahu bahwa punya kerabat berasal dari wilayah ini, tiba-tiba—sangat tidak masuk akal—nama itu muncul dan membuatku ’terseret’ ke dusun kecil ini.

Berbulan lalu, kami—maksudku, aku dan istriku, mendapat kabar buruk dari dokter: istriku terkena kanker di rahimnya. Kau pasti sudah tahu reaksi kami, terlebih istriku. Dan sejak berita itu kami dengar, tubuhnya kian layu.

Di sela-sela perjalanan bisnis yang harus kulakukan, kuajak Grace ke pelbagai rumah sakit internasional. Tetapi, tak satu pun yang bisa membuatku percaya bahwa kondisi Grace membaik. Kolega, mitra bisnis, kenalan, siapa pun telah memberikan bantuan, entah itu jabat simpati atau rujukan rumah sakit. Semua sia-sia. Sebulan terakhir, Grace pasrah. Aku tak bisa berbuat apa-apa, bahkan bersedih pun aku tak mampu lagi.

Minggu pagi itu, ketika kutemani Grace nonton Dreams-nya Kurosawa, teleponku berdering. Sesaat, masih sempat kulihat di layar kaca, tarian peri-peri pohon persik di hadapan seorang anak kecil. Aku kemudian bergegas ke meja telepon sambil menggerutu.

”Haloo? Mas Yos?” dari seberang sana ada suara yang asing di telingaku. Tapi dia tahu namaku.

”Benar.. maaf dengan siapa, ya, Pak?”

Setelah kudengar gelak tawanya, kudengar dia menyebutkan namanya, kemudian apa hubungannya denganku. Baru kusadari bahwa dia adalah salah seorang pamanku yang tinggal di Cirebon. Entahlah, kapan terakhir aku berhubungan dengan dia, aku tak tahu.

”Betul, paman… ya, begitulah, kami sudah pasrah…” ucapku, ketika dia menanyakan kondisi Grace. Diam-diam aku berterima kasih, entah kepada siapa harus kusampaikan, bahwa orang yang bahkan tak pernah ada dalam ingatanku, memberikan rasa simpatinya kepadaku. Tiba-tiba saja ada rasa sesal yang menyesakkan dadaku. Entah apalagi yang dia bicarakan, sebenarnya aku tak begitu peduli, karena saat itu aku seperti ditarik ke dalam pusaran rasa sesal yang entah di mana ujungnya.

”Cobalah ke sana… barangkali saja…”

”Maaf, ke mana?”

”Mbah Tuhu.. dia masih kerabat kita…”

Maka sampailah aku di sini. Dua hari yang lalu, dengan ojek, kemudian jalan kaki, kami sampai di rumah ini. Sepi, waktu itu, karena si pemilik rumah tak ada di tempat. Sunyi. Hanya angin gunung membawa wangi asap kayu yang terbakar, samar-samar entah dari mana. Grace duduk di dipan bambu depan rumah. Dia tersenyum—dan baru kusadari—itulah senyum pertamanya sejak ’vonis’ itu diberikan. Hampir saja air mataku menetes menyaksikan senyum Grace yang mekar seperti mawar segar.

”Enak, ya, di sini… kecium, nggak bau kayu bakar..?” ucapnya sambil masih mengendus-endus udara beraroma asap kayu bakar. ”Kayu apa yang dibakar, ya..?”

”Weeeeh, hehehe… kalian sudah datang, to? Ayo masuk, masuk…” tiba-tiba seorang laki-laki agak botak muncul entah dari mana, langsung membawa tas kami dengan ringannya dan mendorong pintu. ”Wong ndak dikunci kok… lhooo… hahahahaha.. ayo masuk…”

Malam itu, kami bertiga makan malam. Mbah Tuhu sudah menduda selama tiga puluh tahun dan tidak punya anak. Nasi berlauk sayur bening, sambal dan ikan asin, membuat kegembiraanku bangkit. ”Enak, ya? Hahahaha… maaf, mbah ndak pernah masak… ayo, jeng Grace, tambah lagi…”

”Sayurnya enak, mbah… segar…” ucap Grace sambil menyendok sayur bening itu.

”Bagus, bagus…habiskan, itu memang untuk jeng Grace…”

”Sayur apa ini mbah?”

”Wah, apa, ya? Hehehe… kalau di sini, orang menyebutnya lompong. Itu lho, seperti keladi, tapi kecil-kecil, dan tumbuhnya di pinggir kali…”

”Ooo…” ucapku lantaran memang tak tahu mau bereaksi seperti apa.

Sesaat kemudian aku teringat bahwa aku harus segera menyampaikan niat kami kemari. Akan tetapi, aku seperti tak pernah mendapat kesempatan mengutarakannya, lantaran Mbah Tuhu terus berceloteh dan setiap celotehannya membuat Grace tersenyum, bahkan tertawa kecil.

”Eyang putrinya dia, dulu adalah teman sepermainanku.”

”Eyang Mimi?”

”Ya, si Mimi… Dia manggil aku, mas, karena aku anak pakdenya. Wah, bandelnya minta ampun… Suatu kali, ya, jeng… dia manjat pohon juwet…”

Grace mengernyitkan dahinya, lalu memandangku.

”Mmm, juwet itu…mmm, apa, ya?”

”Wah, kalau bahasa Jakarta, saya ndak ngerti… heheheh…” dan setelah memberi penjelasan secukupnya tentang apa itu juwet, Mbah Tuhu melanjutkan kisahnya tentang Eyang Mimi. Grace tertawa lepas ketika kisah sampai pada Eyang Mimi yang menjerit-jerit di dahan pohon lantaran tak bisa turun: takut sama ulat bulu.

Dan hari ini, bahkan sampai hari kedua kami di rumah Mbah Tuhu, belum juga aku bisa menyampaikan maksud kedatangan kami.

Hari ini, sebagaimana kemarin, aku ikut Mbah Tuhu ke ladangnya. Dia menyebut ladangnya dengan ’alas’ (hutan). Senang juga mencoba sesuatu yang seumur hidup belum pernah kulakukan—bahkan kuanggap hina ini. Semua teoriku tentang ketekunan, intensitas kerja, yang kupelajari dari buku-buku tebal di kampusku, tak ada seujung kuku kehidupan Mbah Tuhu. Dia dengan penuh kasih sayang, sabar, tahu persis bagaimana memperlakukan ladangnya. Di sana ada kacang tanah, juga beberapa batang kopi, beberapa batang kelapa dan entah apalagi, aku tak tahu. Aku tak bisa membayangkan, bahkan sempat terlintas bahwa Mbah Tuhu pasti salah, ketika dia menyebut bahwa hasil ladangnya, tahun lalu bisa mencapai satu setengah ton kacang tanah. Mana mungkin, tanah yang hanya kurang dari tiga ratus meter, itu pun termasuk lereng di selatan sana, bisa menghasilkan kacang tanah sebanyak itu?

Ketika ada daun-daun yang layu, belum kering benar, yang ditumpuk di pinggiran ladang, dan aku bermaksud membakarnya, Mbah Tuhu mencegahnya. ”Ora ilok. Biarkan kering dulu… Jangan pernah membakar daun yang masih kelihatan hijaunya… ora ilok.”

Aku terhenti di situ. Entahlah, aku tiba-tiba patuh pada ucapannya. Ke mana daya ’kritisku’ selama ini? Ke mana manusia yang tak mau begitu saja percaya pada sebuah jawaban ini? Mengapa hanya dengan kata sederhana dan sangat tidak logis itu aku jadi terbungkam?

Di perjalanan pulang itu, kami melewati beberapa ’alas’ orang lain, yang sebetulnya tak kuketahui batas-batasnya itu, kecuali dari ucapan Mbah Tuhu. Setiap kali dia menyebutkan ini milik si anu atau si anu, aku berusaha keras mencari sesuatu yang disebut ’batas’ itu, tapi sia-sia. Jangankan ’batas’, bahkan sebutir kelapa jatuh yang sudah kering pun, Mbah Tuhu bisa mengenali bahwa itu bukan dari pohon kelapa miliknya. Aneh.

”Ya, dibawa saja, Mbah… kan sudah jatuh, berarti rezeki kita, dong…”

Mbah Tuhu tertawa sambil geleng-geleng kepala. Dia tetap melarangku memungut kelapa kering itu. ”Ora ilok…” tambahnya.

”Ya, sudah, itu, dahan kelapa itu saja, yang kering itu… katanya untuk bahan bakar di rumah…”

Mbah Tuhu memandangku lembut, lalu…”baik, tapi nanti kita harus memberi tahu pemiliknya…”

”Ya, ya.. ..tapi, nanti mampir dulu di rumahnya Giman…”

”?”

“”Lho, ya, minta izin dulu, to.. kan ini punya dia…” jawabnya sambil berjalan mendahuluiku.

”Mbah, ini, kan, cuma daun kelapa kering berikut pelepahnya… sudah jatuh pula…”

”Tetep harus dapet izin dari yang punya…wong ini dulu yang menanam bapaknya Giman, dan Giman juga hidup dari kelapa ini… ini barang berharga, Le…”

Sambil menyeret pelepah kelapa kering, aku masih tak habis pikir. Bagaimana mungkin barang yang sudah terbuang pun tak boleh diambil tanpa izin si pemilik?

Malam itu, kami makan malam. Kali ini, Grace yang memasak. Meskipun yang dimasak adalah sayur yang sama dengan yang kemarin, tetapi ada perasaan lain yang berkembang, sehingga kurasakan makanku begitu lahap. Di udara dingin pegunungan itu, keringatku meleleh, penuh nikmat sambal buatan istriku. Sebelum kupeluk istriku di pembaringan, sempat kami berbincang tentang hal-hal yang kualami sehari itu, termasuk minta izin soal pelepah kelapa kepada Pak Giman.

”Tahu, nggak jawaban Giman?” bisikku, “…silakan Mbah, ambil saja, kalau kurang nanti saya kirimi lagi…” tambahku sambil menertawakan kejadian yang menurutku menggelikan itu.

Grace hanya tersenyum. Lalu terisak dan menatapku lekat.

”Ada apa?”

”Tahu, nggak? Baru dua hari di sini, aku baru tahu rasanya kangen sama kamu…”

Dan sampai setahun berikutnya, ketika Grace berulang tahun, peristiwa di rumah Mbah Tuhu itu tak juga menguap dari hidupku. Yang luar biasa adalah penyakit Grace lenyap entah ke mana. Lebih aneh lagi, dokter kami malah terkejut, karena baru kali ini kanker bisa lenyap sampai ke akar-akarnya.

Kami sampaikan berita gembira itu kepada keluarga yang hadir, termasuk kepada Eyang Mimi. Semua rentetan peristiwa itu kami sampaikan kepada semuanya yang hadir.

”Hmm…sebentar, aku ingat-ingat…” sela Eyang Mimi. ”Tuhu, Tuhu..? Siapa, ya? Anaknya pakde? Setahuku aku punya pakde yang dekat dengan kami, tapi tidak punya anak… Kamu dari siapa bisa sampai rumahnya?”

”Paman Legawa, yang di Cirebon…” jawabku yakin.

”Sukma Legawa?”

”Iya, eyang.”

”Seingatku, Legawa sudah meninggal hampir sepuluh tahun lalu..terus istrinya pulang ke mana, nggak tahu; karena itu kan rumah dinas…”

Sampai di situ aku dan Grace terdiam. Kami hanya mencoba memberanikan diri, menyimpulkan, bahwa ingatan Eyang Mimi memang sudah tak bisa benar-benar diandalkan.

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.