Cerpen : Pak Karman Protes

Pak Karman adalah salah seorang angota DPR. Kesibukan setiap harinya adalah mengurusi apa pun yang menjadi urusannya di kantor DPR sana. Namun, siapa yang tahu apa yang diurusi, apakah dia hanya tiduran saja di atas kursi keangkuhannya atau hanya ngobrol saja dengan rekan-rekannya. Atau malah bekerja sama mencari uang belakang, atau menjadi bandit berdasi. Tidak ada yang tahu kecuali dirinya sendiri dan orang yang memang diberi tahu tentang keadaannya. Dewasa ini, KPK sering menyeret pelaku kriminal dari anggota DPR yang terbukti mencuri uang rakyat. Jadi, mungkin Pak Karman adalah anggota DPR yang baik karena dalam daftar hitam KPK tidak tercantum nama Pak Karman. Mudah-mudahan saja begitu.

Pak Karman, hari ini tak sece-rah biasanya. Hal yang demikian itu sesuai dengan kondisi alam yang berlangit mendung dengan hujan gerimisnya. Baru saja hujan menjelma menjadi gerimis, seiring dengan rintikan air mata Pak Karman. Ya, Pak Karman hari ini sedang bersedih. dia bersedih karena baru saja mendapat kabar dari kerabatnya bahwa Jakarta sudah banjir. Namun, bukankah hal itu memang telah menjadi langganan setiap tahunnya? Bukan itu masalahnya. Banjir kali ini berbeda dengan banjir yang lalu-lalu. Banjir kali ini, Pak Karman kehilangan anak semata wayangnya dan beberapa harta miliknya yang terseret oleh arus banjir langganan Jakarta tersebut.

Ya, sebulan yang lalu, Pak Karman sedang di luar kota karena mendapat tugas dari pemerintah. Praktis, anak semata wayangnya ditinggal di rumah sendirian. Hingga waktunya banjir, Pak Karman belum juga pulang ke rumah karena tugasnya belum selesai. Bertepatan dengan hari banjir Jakarta, Pak Karman baru menyelesaikan tugasnya. Dalam waktu itu pula dia mendapat kabar bahwa rumah beserta harta isinya tergenangi air pembawa sengsara itu. Yang lebih membuat Pak Karman bersedih adalah kematian anaknya.

*

"Ah, andai aku tidak pindah rumah, pasti tidak demikian kejadiannya," kata Pak Karman mengeluh. "Ini gara-gara banjir itu, banjir itu harus bertanggung jawab terhadap semua ini!"

Karena sedih bercampur marah, Pak Karman pun segera tancap gas dengan mobilnya ke lokasi banjir. Setelah sampai di tepiannya, Pak Karman keluar mobil dan mendekati banjir tersebut.

"Hei banjir, mengapa kau begitu jahat? Kau telah membunuh anakku dan merampas harta-hartaku. Apa maumu? Kamu harus bertanggung jawab!" kata Pak Karman marah kepada banjir.

"Hei manusia, apa yang kau sesalkan. Aku tak mempunyai maksud untuk membunuh anakmu dan merampas hartamu. Jangan menuntut pertanggungjawaban dariku. Cobalah minta tanggung jawab kepada sungai, karena aku ini hanya sekumpulan air yang banyak dan mengalir di sungai. Kali ini sungai tak menampungku," banjir menjawab.

Mendengar jawaban dari banjir seperti itu, Pak Karman pun segera menuju sungai. Namun sayang, sungai tersebut terbanjiri oleh air yang banyak. Segera Pak Karman mengendarai kapal mesin mini untuk pergi ke sungai yang tergenangi banjir. "Hei banjir, antarkan aku ke sungai!" perintah Pak Karman.

Tak lama kemudian, banjir pun mengantarkan Pak Karman ke sungai. Dan segera saja Pak Karman meluapkan emosinya kepada sungai.

"Sungai berengsek, mengapa kamu tidak menampung air ini?" Pak Karman geram. "Gara-gara kamu tidak menampung banjir ini, anakku meninggal beserta hartaku yang terseret banjir.

"Maaf manusia, mengapa kau marah padaku? Aku tak bersalah. Air ini terlalu banyak sehingga aku tak lagi mampu menampungnya. Aku tak sanggup," jawab sungai.

"Hei sungai, sudah bersalah tidak mau mengaku!" bentak Pak Karman dengan nada yang lebih tinggi.

"Janganlah kau menyalahkan aku, manusia! Cobalah kau tanyakan hal ini kepada hulu, karena aku mendapatkan kiriman air dari hulu," kata sungai.

Pak Karman pun bersegera menuju hulu.

*

Setelah beberapa lama, Pak Karman pun tiba di hulu sungai. Gemericik air pun terdengar merdu, namun hal itu tak membuat emosi Pak Karman reda.

"Hei hulu, kamu harus bertanggung jawab atas kematian anakku dan hilangnya hartaku!" kata Pak Karman penuh emosi.

"Tenanglah wahai manusia, ada apa? Kau tak perlu emosi, dengarkanlah gemericik air ini. Air ini adalah sumber kehidupan bagi semua makhluk hidup," kata hulu santai.

"Hei, apa-apaan kamu ini. Karena airmu itu, banjir menyeret anakku dan harta kekayaanku. Apakah air itu bisa disebut sumber penghidupan? Airmu itu justru malah membawa kematian dan penderitaan!" bentak Pak Karman semakin keras.

"Oh..jadi itu masalahmu. Memang benar, kali ini aku mengirimkan air lebih dari biasanya karena hujan sering mengguyur sehingga air pun melimpah ruah," jelas hulu.

"Apa kau bilang? Hujan?" Pak Karman meminta kejelasan.

"Iya, tanyakanlah kepada hujan mengapa terlalu berlebihan mengirimkan air sehingga terjadi banjir!" kata hulu lagi.

Kebetulan, hari ini langit sedang mendung dengan rintikan air gerimis. Gerimis ini akan menjadi hujan deras sebentar lagi.

"Hujan harus bertanggung jawab atas ini semua!" batin Pak Karman.

*

Dan benar, tak lama kemudian hujan pun turun dari langit. Hujan yang awalnya itu hanya rintik-rintik gerimis, kini menjelma menjadi guyuran air yang lebat. Pak Karman pun basah kuyup. Namun, ia tak peduli akan hal itu.

"Wahai hujan...! Kau harus bertanggung jawab atas kematian anakku satu-satunya. Kau juga harus bertanggung jawab atas hilangnya hartaku!" bentak Pak Karman pada hujan.

"Ha...ha...ha...ada apa wahai manusia? Mengapa tiba-tiba kau menyuruhku bertanggung jawab, apa salahku?" tanya hujan yang belum paham apa permasalahannya.

"Dasar hujan tak tahu diri! Kau ini terlalu banyak mengirimkan air sehingga hulu pun mengalirkan air ke sungai terlalu banyak. Karena terlalu banyak air itu, sungai tak mampu menampungnya. Akhirnya, banjir pun tak terelakkan lagi. Akibatnya, anak dan hartaku pun ikut hanyut beserta arus banjir itu. Apa kau tak merasa bersalah akan hal itu?" Pak Karman bertambah geram.

"Wahai manusia, ketahuilah! Aku ini mengirimkan air sudah sesuai dengan ketentuan, tak kurang dan tak lebih. Hutanlah yang menyimpan air kirimanku itu. Namun aku tak tahu, mengapa akhir-akhir ini hutan tak bergiat menyimpan air. Cobalah kau tanyakan padanya!" terang hujan.

Tanpa pikir panjang lagi, Pak Karman pun bertolak ke hutan yang jaraknya tak jauh dari letak hulu. Hanya memerlukan beberapa menit saja, Pak Karman sudah memasuki hutan. Dengan kondisi basah kuyup karena hujan, Pak Karman pun seolah bertambah emosinya.

"Hei hutan, aku datang ke sini untuk meminta pertanggungjawaban kepadamu. Karena ulahmu, aku kehilangan anakku satu-satunya dan juga hartaku. Karena kamu tidak menyimpan air, banjir pun tak terelakkan lagi. Mengapa kau hanya bermalas-malasan saja? Mengapa kau tak menyimpan air?" kata Pak Karman kepada hutan.

"Dasar manusia biadab, kau hanya bisa menyalahkan saja. Ketahuilah, aku tak pernah bermalas-malasan untuk menyimpan air karena itu adalah tugasku. Lihatlah aku, aku kini menjadi gundul karena pohon-pohonku ditebang oleh orang-orang sepertimu. Tanpa pohon-pohon itu, aku tak mampu menyimpan air. Aku tak bisa menyeimbangkan keadaan alam karena pohon-pohonku kau tebang setiap harinya. Dasar manusia serakah, maunya enak sendiri!" bentak hutan yang membuat Pak Karman menjadi ketakutan.

Pak Karman pun terdiam oleh bentakan hutan. Dia melihat di kanan dan kirinya, bekas-bekas pohon yang ditebang terlalu banyak. Hutan itu gundul karena ulah manusia. Pak Karman pun merenung, dia teringat bahwa belum lama ini dia mempunyai proyek membalak hutan.

"Beginikah jadinya ulah manusia?" batin Pak Karman dengan nada prihatin.

"Dasar manusia, mana pertanggungjawabanmu atas kerusakanku ini? Ketahuilah manusia, jika pohon-pohonku terus kau curi, tak hanya banjir yang akan terjadi. Tanah longsor, erosi, dan bencana alam lainnya pun akan terjadi. Aku tak bisa lagi menyeimbangkan keadaan alam tanpa pohon-pohonku," lanjut hutan.

Dengan tubuh yang gemetar, Pak Karman pun berlari meninggalkan hutan itu. Pak Karman tak lagi protes akan kematian anak tunggalnya dan hartanya yang hanyut oleh banjir. ***

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.