Cerpen : Eksekusi

Sudah tiga hari Boneng ditempatkan di ruang isolasi. Artinya, hukuman mati yang telah dijatuhkan kepadanya akan segera dilaksanakan setelah semua upaya hukum yang ditempuh tak membuahkan hasil. Hukuman mati memang layak dijatuhkan karena sudah terlalu banyak kejahatan yang dilakukan. Mulai dari sekadar memalak pedagang pinggir jalan, para pengemudi angkot, sampai mencuri, menodong, merampas, merampok, dan bahkan membunuh sudah pernah dilakoninya. Hanya satu kejahatan yang tidak pernah dilakoninya, memerkosa perempuan!

Tetapi, sejagoan-jagoannya, sejahat-jahatnya, Boneng adalah manusia juga, yang punya nurani dan pada akhirnya punya rasa takut juga, termasuk takut mati.

Pada masa jayanya, ia biasa menyatakan tidak takut mati untuk menunjukkan kejagoannya. Dulu ia merasa dan beranggapan dengan kejagoan dan ’ilmu’ yang dimiliki dapat mengelak dari kematian. Bahkan sebaliknya, dapat dengan mudah menyebabkan kematian orang lain. Dan itu sudah dibuktikan. Berkali-kali ia lolos dari ancaman kematian dan entah sudah berapa nyawa dihabisi dengan tangan kosongnya. Ia pernah dikeroyok beberapa teman sesama preman bersenjata, tetapi bukan dia yang mati, melainkan dua orang pengeroyok mati di tangannya, sebagian babak belur dan sebagian lagi kabur! Ia juga pernah dikejar-kejar petugas keamanan dan diberondong peluru, tetapi berhasil meloloskan diri tanpa luka sedikit pun!

Sekali waktu karena kelalaiannya melanggar salah satu pantangan, Boneng tertangkap petugas yang telah lama memburunya. Akibatnya, tubuhnya babak belur menjadi sasaran pelampiasan kejengkelan para petugas yang telah sekian lama terpendam. Tetapi, setelah berada dalam sel, ketika para petugas meninggalkan begitu saja tubuhnya yang sudah hilang bentuk dan nyaris sekarat, ia segera mengambil posisi duduk bersila di pojok sel sembari membaca mantra. Setelah itu, meskipun bekas-bekas memar dan lukanya masih ada, rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya sudah sama sekali hilang. Ketika digebuki, ia memang sengaja tidak menggunakan ilmu kebalnya untuk mengelabui petugas. Jadi, pantaslah ia tidak pernah merasa takut mati. Juga ketika vonis mati dijatuhkan, ia tidak terlalu merasa takut karena yakin masih ada peluang untuk menghindarinya melalui upaya hukum atau kalau perlu melarikan diri.

Tetapi sekarang, ketika kematian sudah berada di depan hidungnya, tak urung hatinya tergetar juga. Siang tadi petugas kesehatan dan rohaniwan lapas (lembaga pemasyarakatan, sebutan terhormat untuk penjara) sudah melakukan pemeriksaan kesehatannya. Dan dinyatakan sehat baik secara fisik maupun mental!

”Ya… saya sudah siap menjalani hukuman ini…,” ujarnya kepada rohaniwan yang datang memberikan bimbingan.

”Ikhlas?” tanya rohaniwan ingin meyakinkan.

”Insya Allah ikhlas…,” jawab Boneng mantap meski dengan nada gemetar.

”Ya… kamu harus ikhlas dan harus yakin bahwa ini adalah bagian dari takdir yang telah digariskan oleh Allah subhana wa taala.”

”Insya Allah, Pak Haji….”

”Jangan lupa, perbanyaklah zikir dan istigfar untuk memohon ampun kepada Allah subhana wa taala. Dengan demikian, mudah-mudahan kamu diberi kekuatan dalam menghadapi eksekusi yang tinggal beberapa jam lagi. Dan mudah-mudahan kamu dapat mengakhiri hidup dalam keadaan husnulkhatimah!”

”Amiiin….”

”Ingatlah, sesungguhnya kematian itu sudah ditentukan waktu dan tempatnya oleh Allah subhana wa taala yang tidak ada satu kekuatan yang dapat menghambat atau mempercepat walau hanya sedetik pun.”

”Tetapi, bukankah kematian saya sepertinya sudah ditentukan oleh pejabat negara yang adalah manusia akan terjadi pada pukul kosong-kosong malam nanti?”

”Ya, secara lahirnya seolah manusia yang menentukan, tetapi hakikatnya Allah juga yang menentukan. Sebab, kalau Allah menghendaki lain, meskipun sudah ditentukan secara hukum, siapa yang bisa menghalangi?”

”Maksud Pak Haji, bisa saja eksekusinya ditunda atau dibatalkan?”

”Ya… kalau memang belum takdir Allah, selalu akan ada alasan untuk menundanya. Tetapi, bisa juga sebaliknya, bisa saja terjadi sebelum waktu yang ditentukan! Yaah… siapa yang berani menjamin bahwa semua akan berlangsung sesuai rencana? Intinya, kapan pun kematian itu bisa datang dan jangan sekali-kali kamu lengah. Jemputlah maut itu dengan penuh keyakinan.”

”Baik… Pak Haji….”

Dalam dunia kriminal, nama Boneng cukup dikenal. Semula hanya preman pasar tukang palak pedagang kecil sekadar untuk memenuhi kebutuhan jajan sehari-hari dan merokok. Namun, berkat kejagoannya ia mampu mengalahkan beberapa preman yang lebih senior dan kemudian menjadi penguasa wilayah di sekitar pasar. Sejak itu ia tidak perlu lagi mendatangi pedagang satu per satu, melainkan tinggal menunggu setoran anak buahnya.

Nama Boneng semakin berkibar dan seiring dengan itu semakin sering pula berurusan dengan petugas keamanan dan beberapa kali meringkuk di lapas. Melalui proses pembelajaran yang sangat intensif di lapas inilah, kualitas dan kuantitas kriminalnya semakin meningkat.

Terakhir, setelah malang melintang di dunia kriminal dan entah berapa kali meringkuk di sel lapas—beberapa di antaranya sempat kabur—Boneng sebenarnya sudah mulai tobat. Meskipun dengan perasaan berat dan agak malu, ia mulai pekerjaan baru pada sebuah proyek bangunan sebagai kenek tukang batu dengan gaji yang sangat minim. Namun, berbekal kesadaran keimanannya yang mulai terbangun, ia berusaha ikhlas menerima keadaan itu.

Sekali waktu, ia merasa gaji yang diterima kurang dari biasa tanpa ada penjelasan dari mandornya. Semula ia berusaha menerima dengan ikhlas, tetapi setelah terjadi beberapa kali dan tahu bahwa bukan ia sendiri yang mengalami, ia tidak dapat menahan amarahnya.

”Bang… saya mau nanya, memang ada penurunan gaji ya?” tanyanya kepada mandor Udin.

”Memang kenapa?” mandor Udin balas tanya dengan sikap angkuh dan nada ketus.

”Yaa… nggak kenapa-napa, cuma pengin tahu saja, berapa kali ini gaji saya kok tidak seperti biasanya?”

”Kalau turun memang kenapa?”

”Ya harus ada penjelasan, kenapa turun.”

”Itu urusan gue, bukan urusan lu. Lu kan cuma kuli! Masih bagus lu gue terima kerja di sini?”

”Ya nggak bisa begitu Baang…,” Boneng mulai meradang, tetapi masih berusaha menahan diri.

”Jadi… lu mau apa? Lu anak baru di sini… jangan belagu….”

”Saya kan cuma nanyain hak saya dan teman-teman Bang….”

”Sudah… jangan banyak bacot lu,” ujar mandor Udin sambil melayangkan tinju ke wajah Boneng.

Dengan cekatan, Boneng mengelak dan pukulan Mandor Udin hanya mengenai angin.

”Ooo… rupanya lu jago juga ya, bisa ngindar dari pukulan gue…,” sergah mandor Udin sambil kembali melayangkan tinjunya.

”Tahan Bang!” ujar Boneng kali ini langsung menangkap tangan mandor Udin. ”Saya cuma mau nanya hak saya, bukan mau ngajak ribut.”

”Waaah… hebat juga ya lu, berani ngladenin permainan gue…,” ujar mandor Udin sambil melepaskan cekalan. ”Rupanya lu belum tahu siapa gue ya…,” sambungnya sambil langsung mencabut pisau belati yang terselip di pinggang dan langsung mengacungkan ke arah Boneng.

”Sabar Baang… sabar… kita nggak perlu ribut-ribut begini…,” Boneng berusaha mencegah.

”Nggak bisa… ini soal harga diri! Lu sudah bikin malu gue di depan anak buah…,” teriak mandor Udin sambil langsung menyerang. Beberapa kali serangannya tidak mengenai sasaran membuat mandor Udin kalap dan terus menyerang dengan semakin membabi buta.

Semula Boneng berusaha menahan diri dengan terus menghindar dan menghindar. Namun, tatkala rasa harga dirinya mulai berbicara, jiwa premannya pun bangkit kembali. Setelah beberapa kali menghindar, dengan cekatan ditangkapnya tangan mandor Udin dan langsung ditelikung, kemudian dengan sekuat tenaga didorong ke depan. Mandor Udin yang sama sekali tidak menyangka akan menghadapi lawan yang tangguh langsung tersungkur dan kepalanya membentur dinding tembok beton dan kemudian jatuh terkapar dengan kepala bersimbah darah.

Boneng tertegun menyaksikan lawannya terkapar tak bernyawa. Dulu kalau menyaksikan lawannya tersungkur dan tak berkutik seperti ini hatinya merasa bangga, tetapi kali ini ia justru menyesalinya. Apalagi manakala disadarinya masih menjalani masa pembebasan bersyarat. Artinya, kalau kejadian ini sampai diketahui oleh aparat hukum, ia harus langsung menjalani masa hukumannya yang lama ditambah tindakan yang baru saja dilakukan! Maka, vonis mati memang layak dijatuhkan kepadanya.

Boneng duduk bersila di pojok ruangan sambil terus melafaskan zikir dan istigfar yang sudah dilakukan sejak seusai shalat isya. Namun, tatkala saat-saat eksekusi semakin mendekat perasaannya mulai dilanda kegelisahan. Tiba-tiba air mata membasah di pipinya dan untuk pertama kali menangis sesenggukan manakala terbayang wajah istri dan anak yang akan ditinggalkan selamanya. Zikir dan istigfar yang terus-menerus dilafaskan seolah tak terasa lagi pengaruhnya. Jantungnya terus berdegup seiring detak-detak waktu yang terus bergulir dan keringat dingin mulai membasah di sekujur tubuhnya. Ia berusaha mengatasi kegelisahan dengan sedikit mengeraskan lafas zikirnya yang mulai terbata-bata.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Boneng menghentikan zikirnya, kemudian bangkit dari sila, merapikan sajadah yang tadi diduduki dan meluruskan arah kiblat dengan niat untuk melaksanakan shalat taubat. Seperti biasa, pada rakaat terakhir ia sengaja melamakan waktu sujudnya untuk berdoa mohon pengampunan atas segala dosa yang telah dilakukan selama hidupnya. Pada saat-saat seperti itulah ia merasa semakin dekat dan dapat berdialog langsung dengan sang Khalik.

Sekitar pukul sebelas, petugas eksekutor bersama dokter dan rohaniwan datang ke sel isolasi untuk menjemput tereksekusi. Diiringi oleh penjaga sel, mereka masuk ke dalam ruangan dan mendapati Boneng sedang bersujud. Mereka pun menahan langkahnya menunggu Boneng selesai shalat. Satu menit, dua menit, tiga menit, sampai lima menit ditunggu tetapi tidak terlihat ada satu gerakan pun. Namun, mereka tidak berani mengganggu orang yang sedang shalat dan meminta kepada rohaniwan membangunkannya karena eksekusi tidak boleh ditunda.

Petugas rohaniwan bergerak mendekati Boneng yang masih tetap saja bersujud.

”Neeng… Boneeng…,” ujarnya sambil mencolek pinggulnya dan tiba-tiba tubuh Boneng terguling dalam posisi tubuh meringkuk seperti orang sujud. Dengan sangat hati-hati dirabanya tubuh Boneng dan dicoba menarik tangannya, kemudian kakinya. Semuanya kaku!

”Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun…,” ujar petugas rohaniwan sambil membalikkan tubuh ke arah para petugas dari atuan Brimob. Sejenak mereka saling berpandangan seolah tidak percaya. Dokter yang ikut dalam rombongan melakukan pemeriksaan untuk memastikan kematian itu secara medis. Boneng memang sudah mati! Dan kemudian dibuatkan berita acaranya.

Mereka menatap tubuh tak bernyawa itu dengan pandangan penuh haru. Beberapa di antaranya ada yang menitikkan air mata.

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.