Cerpen : Surat Dalam Botol

Kalau Malang terkenal dengan hawa dinginnya yang menusuk tulang. Namun berbeda sekali dengan Jember, yang terkenal panasnya minta ampun karena kebetulan kota yang satu ini terletak bersebelahan dengan Laut Selatan. Karena itulah Laras dan teman-teman seclubnya di Unbraw berencana menghabiskan liburan semester kali ini di kota panas itu. Dan hari ini, teman sesama club theater berkumpul di rumah Laras untuk mendiskusikan rencana mereka berlibur ke Jember.

Ckiittt. Tiga mobil berhenti tepat di depan sebuah rumah megah. Rumah dengan tatanan ala keraton berdiri anggun di depan mereka. Dengan taman berisikan berbagai macam bunga dari yang kecil sampai yang benar-benar besar tersebar rapi di sekeliling rumah. Tidak heran karena orangtua Laras seniman tulen , pindahan dari Jogja. Karena itulah rumah mereka benar-benar bernuansa klasik dan sarat inspirasi.

Dari mobil yang berhentinya paling depan keluar seorang cowok diikuti kelima anak yang lain Kemudian mereka langsung menuju kearah teras depan rumah . Di sana sudah berdiri gadis cantik dengan rambut pendek sebahu menanti kedatangan mereka. Sambil melambaikan tangannya pada mereka, dari pintu dibelakangnya muncul seorang wanita tua diiringi wanita muda yang …. Jika dilihat sekilas mirip Catherine Zeta Zones. Itulah Bunda Laras dan mbok Inah di sampingnya. Bunda Laras meskipun umurnya kepala tiga, tapi masih juga terlihat sisa-sisa kecantikannya di masa muda. Dan tampaknya Laras juga mewarisi kecantikan bundanya itu.

“Halo.. sini-sini, gimana tadi? kesasar apa nggak?” Seru Laras. Maklum, Teman-teman Laras belum begitu tahu rumah Laras, karena Laras baru pindah dari Jogja 3 bulan yang lalu. Namun karena cara bergaulnya yang supel abis dan otaknya juga encer kayak air, maka dengan mudah Laras mendapat teman dan tidak ketinggalan pelajaran walau semester tinggal beberapa bulan sejak kedatangannya.

“Nggak kesasar gimana, ini aja tadi harus muter-muter dulu nyari rumah elo?”, kata Dede menimpali.

Lalu bunda Laras maju ke depan menyambut teman-teman baru Laras situ. “Halo anak-anak, silakan masuk dulu !” Bunda Laras mempersilakan mereka masuk ke halaman belakang yang nggak kalah nyamannya dengan taman di depan rumah tadi. Di tengah halaman yang hijau itu, ada sebuah pendapa kecil yang cukup untuk menampung sepuluh orang, bahkan lebih. Semua anak termasuk Dede ngiler juga ngelihat taman yang gile bener….Klasik abis bo… “Wah , rasanya kayak kita ini main film Angling Dharma ya!” Seru Sarah kagum. Semua yang mendengar kelakar itu tertawa, termasuk bunda Laras.

“Hayo, mumpung Tante baru belanja kemarin, kalian minta dibuatkan kue apa!” Tawar Bunda Laras kepada teman-teman Laras yang duduk melingkar di pendapa itu.

Mendengar kata kue, Bona yang maniak makan segera angkat bicara,”Tante, nggak usah repot-repot, cukup dengan brownies, donat, black forest, cake keju, trus…”.

“Stop! Bisa-bisa persediaan makan Laras jadi empty gara-gara kedatangan balon udara satu ini”, cegah Dede. Lalu Dede melanjutkan,” Anu…. tante, nggak usah repot-repot, kami cukup dengan soft dring, snack, kue kecil, ditambah buah juga nggak pa-pa!”.

“ahhh… sama aja elo De!” seru Bona.

“Bener, kalo Bona balon udara, elo kecilan dikit De… karung beras!” Seru Laras nggak kalah serunya membuat semua yang mendengar tertawa terpingkal-pingkal. Bunda Laras yang merasa tidak baik terus-terusan menunggui mereka, karena khawatir mereka tidak bisa bicara leluasa, segera pamit ke dalam.”Oke..oke, Tante ke belakang dulu ya? Mau buatkan sesuatu yang bisa ngganjal perut kalian!” pamitnya sambil melangkah pergi diikuti Bi Inah. “Ok. Tante!” Anak-anak berseru girang.

Setelah Bunda Laras meninggalkan mereka , mulailah anak-anak itu ngobrol seputar rencananya berlibur ke Jember. Hani yang agak telmi mulai beraksi dengan ketelmiannya, “ Gue denger, di Jember ada pantai yang terkenal karena batunya yang bentuknya seperti ular, apa itu namanya… Batu.. Ulo.. Ular..eh”.

“Watu Ulo, non!” Revin membenarkan kata-kata pacarnya yang salah.

“Nah..itu tadi yang gue maksud!”

Karena Laras tidak begitu tahu soal Jember, daripada dia salah ngomong lebih baik dia diam mendengar mereka cuap-cuap. Lalu cowok yang dari tadi diam di sudut, kini tampaknya mulai ngomong juga,” Gimana kalo selain kita lihat-lihat pantai, kita mampir juga ke Rembangan!” Usul Dimas.

“Rembangan? Pasar apa itu?” Tanya Bona bloon. Keenam anak yang lain memandangnya heran.

Trus Hani meralat ucapan Bona,”Aduhh…Bona, Rembangan itu bukan Pasar, tapi cagar alam!”. Semua yang mendengar tambah bingung lagi. Dimas yang ngerasa usulnya mendapat tanggapan yang aneh-aneh segera menjelaskan,”Rembangan itu bukan pasar atau cagar alam, Rembangan itu wisata puncak, di sana ada hotel dan kolam renangnya juga, dan nggak kalah serunya, kita bisa nyoba menjelajah hutan sambil kemping, gitu”, katanya mengakhiri penjelasannya.

“Ohhhh…!” Hani dan Bona sama-sama ber Ohhh… ria.

Saking asiknya mereka ngobrol tentang tempat wisata yang akan mereka kunjungi, bunda Laras sudah berdiri di depan mereka sambil membawa nampan besar yang penuh dengan kue-kue dan minuman dengan berbagai macam rasa. Semua yang melihatnya pasti ngiler, aroma kue menyeruak membelai perut mereka yang lapar. Bona yang memang bawaannya lapar terus tampak mengelus-ngelus perutnya tanda lapar. “Ini makanannya sudah siap!” Seru Bunda Laras riang. Kemudian Laras, Sarah dan Hani membantu Bunda Laras menurunkan baki dan menghidangkan kue-kue itu. Setelah itu, Bunda Laras pergi diiringi rasa kagum dan senang anak-anak padanya.

“Ras…. Bunda elo itu kayaknya senang terus ya..!” Kata Bona sambil terus mengunyah tanpa koma. Laras yang mendengar pujian itu hanya tersenyum.

Sambil mencomot satu kue lagi, Dede memulai kembali pembicaraan yang hampir saja kelupaan karena godaan yang menyenangkan,”ok..ok kita lanjut lagi diskusi kita”.

****

Jam menunjukkan pukul 4 sore. Teman-teman Laras pamit pulang kepada Bunda Laras. ”Jangan kapok ke sini ya!” Pesan Bunda Laras sebelum mereka masuk mobil.

“Kalau suguhannya kayak tadi, dijamin bakal rajin mampir deh tante!” Seru Bona sambil menjulurkan kepalanya ke luar jendela mobil. Kemudian ketiga mobil itu melaju meninggalkan rumah Laras yang klasik itu.

“ Ras, teman-teman kamu itu lucu juga ya!” Bunda Laras mengomentari . Laras hanya tertawa mendengar Bundanya berkata seperti itu.

Sudah lama Laras tidak sebahagia ini sejak kepergian papanya. Dan sudah lama Laras tidak seceria ini sejak peristiwa itu. Peristiwa yang membuatnya harus pergi meninggalkan kenangan papanya di kota Jogja. Peristiwa yang membuat bundanya harus memikul beban hidupnya sendirian. Berkali-kali Laras merelakan Bundanya untuk menikah lagi, namun rupanya bundanya itu masih memegang kukuh sumpahnya sewaktu menikah dengan papanya. Walaupun teman-temannya mengatakan bunda Laras selalu bahagia, namun sebagai anak, Laras juga tahu, berapa juta liter air mata yang disembunyikan bundanya di balik tawanya, dan seberapa luas lautan sepi yang mengendap dalam hati bundanya itu. Dan sampai kapan pun Laras tidak akan pernah sanggup mengurasnya sampai habis tak tersisa.

****

Suara orang mengetik terasa memonopoli malam yang hening di rumah Laras. Di dalam kamar yang berpenerangan hanya lampu tidur, Laras masih setia di depan computer. Kadang terdengar gumaman kecil dari mulutnya . Di samping komputernya, sebuah botol dengan kertas yang sudah lecek di dalamnya tampak mencolok di antara benda-benda keluaran terbaru yang menghiasi kamar Larasati. Setelah meminum susunya sampai habis, Laras mematikan komputernya dan naik ke tempat tidurnya. Sebelum berbaring, Laras mengambil botol itu dan mengeluarkan kertas lecek dari dalamnya. Dibacanya dengan keras tulisan pada surat itu, ”Jika Tuhan itu memang ada, tolong berilah aku kesempatan sekali lagi untuk melayari Watu Ulo”. Dengan senyum yang terkembang, Laras memasukkan kembali kertas itu ke dalam botol dan meletakkannya di tempatnya semula. Dan tidur membawa segala penat yang merajai hatinya untuk ditukar dengan secuil mimpi indah.

****

Lima bulan yang lalu, saat masih di kota kelahirannya, Jogjakarta. Saat dia merasakan kesedihan yang sangat dalam hidupnya , yaitu kematian papanya karena kecelakaan, sepulang sekolah, pasti dia mampir ke Pantai Parangtritis. Pada suatu hari, saat dia tengah asik menghibur dirinya dengan menyusuri pantai itu. Langkahnya terhenti di sebuah tempat yang sepi dikunjungi. Matanya tertumbuk pada benda aneh yang terombang-ambing di tepi laut. Karena penasaran, diambilnya benda itu dengan berenang. Setelah mendapatkannya, dia kembali lagi ke tepi. Ditelitinya botol itu, ada secarik kertas yang sudah lecek di dalamnya. Dibukanya sumbat botol itu dan dikeluarkannya kertas kecil itu. Dengan masih penasaran dibukanya kertas itu. Saat membacanya, Laras tertegun.

Laras membawa botol itu pulang ke rumahnya. Setiap malam Laras selalu memandangi botol itu dan berkali-kali membaca tulisan di kertas lecek itu. Jika cinta itu datang dari mata lalu turun ke hati, namun bagi Laras malah sebaliknya. Cinta datang langsung ke hatinya tanpa perantara dimensi apapun dan space manapun. Sejak hari itu Laras mulai mengeramatkan botol dan isinya itu.

****

Tibalah hari pertama liburan semester. Laras dan teman-temannya berada di stasiun kota menunggu Kereta yang membawa mereka ke Kota Jember.

“Gile bener Bunda elo Ras, buanyak banget bekalnya, bisa cukup buat satu minggu nih!” Seru Sarah demi melihat tas-tas yang isinya makanan semua.

“Tenang aja Sar, lu nggak usah takut tu bekal gak habis! Kan kita punya vacuum cleanernya nih..!” Kata dede sambil menunjuk Bona yang tampaknya nggak peduli sama omongan Dede, dan malah ngiler ngelihat bekal dari Bunda Laras.

Sepuluh menit kemudian, mereka sudah berada dalam kereta yang berjalan menuju Kota Jember. Dede dan Bona duduk berhadap-hadapan dengan Revin dan Hani. Sementara di bangku sebelah, ada Laras, Sarah dan Dimas. Mereka ngobrol seru sepanjang perjalanan Malang ke Pasuruan. Sampai akhirnya satu persatu tertidur karena lelahnya. Tinggal Laras dan Sarah yang masih melek.

“Ras, elo yakin botol itu asalnya emang dari Watu Ulo, jangan-jangan cuman orang iseng Ras?” gerutu Sarah yang selalu nggak puas dengan jawaban yang diberikan Laras.”Aduhh.. Sar, gue kan udah bilang berkali-kali ke elo, kalau botol ini nih asli dari Watu Ulo! Dan gue juga udah nunjukkin ke elo kan, kalau etiket yang sudah lecek kena air, itu, ada tulisan “Jember, Jawa Timur”!”Suara Laras mulai jengah. “Tapi kan bisa aja salah, siapa tahu botol itu emang diekspor ke Jogja”, Bantah sarah tak mau kalah. Laras yang sudah kehilangan kata-kata hanya mendengus kesal .

Suasana Kota Jember memang benar-benar panas. Baru saja mereka keluar dari kereta, butir-butir keringat tampak membasahi wajah mereka . Dimas yang sedikit tahu tentang Jember segera memesan dua taksi dan mengantar mereka ke hotel yang paling dekat dengan Watu Ulo. Perjalanan dari stasiun ke hotel memakan waktu seperempat jam, karena jalanan lagi macet.

Setelah memesan dua kamar ukuran big, ketujuh remaja itu segera naik ke atas dan menuju kamar masing-masing. Hani, sarah dan Laras menempati kamar nomor 214, sedangkan Dimas, Revin, Dede dan Bona di depannya. Hari pertama itu mereka gunakan untuk tidur. Sehingga suasana di dua kamar itu tampak sepi-sepi saja . Menjelang malam, ketujuh remaja itu turun untuk makan malam. Mereka memesan satu meja bertujuh. Bisa kebayang, nantinya orang-orang mengira pasti ada keluarga besar lagi merayakan sesuatu. Bona yang makannya paling banyak memesan menu paling banyak juga. “Bon, kalo elo terus-terusan kayak gini, bisa-bisa kantong kita tipis karena isinya elo lobi semua!”Seru dede yang ngeri ngelihat Bona makan.”Bener Bon, bekalnya Laras kan masih ada”, Sergah Dimas tak kalah . Bona lalu meletakkan sendoknya dan melihat mereka satu persatu, “Ya beda dong Mas, kalo ini buat makan malam, bekalnya Laras buat cemilan duoong..!” Balasnya cuek dan meneruskan kembali acara makannya. Kami semua hanya bisa memandangnya dengan rasa geli. Malam itu, semuanya tidak banyak bicara, karena rasa capek selama perjalanan tadi masih terasa. Setelah makan malam, mereka masuk ke kamar masing-masing dan tidur lagi. Di kamar cewek, Laras masih belum tidur juga, dia sedang menimang-nimang botol tua itu. Laras membuka korden jendela dan sekalian jendelanya juga. Angin sejuk mengelus lembut pipi mungilnya. Pandangannya menerawang jauh kearah pantai Watu Ulo yang bisa terlihat dari tempatnya berdiri. Dengan botol yang masih digendongnya, dia kembali menutup korden dan jendelanya lalu beranjak tidur.

Besoknya seusai sarapan mereka sepakat main-main ke Watu Ulo. Dengan mobil sewaan yang cukup menampung tujuh remaja itu, Dede melesatkan mobil menuju Watu Ulo. Sepanjang perjalanan, mereka bercanda melulu. Dan targetnya siapa lagi kalo bukan Bona si gendut.” Bon, elo tau nggak, kenapa ortu elo ngasih nama Bona?” Tanya Revin ngetes. Bona geleng-geleng. “Karena waktu ngidam elo, nyokap elo lagi baca tabloid Bobo yang ada cerita “Bona dan Rong-rong”, Kan elo agak miriplah dikit-dikit”!” Goda Revin. Semuanya langsung meledak mendengar guyonan Revin. Dede yang meskipun lagi nyetir, namun jiwa penggodanya rasanya masih haus ngejek Bona angkat bicara,”Tenang aja Bon, jangan dengerin Revin. Gitu-gitu elo masih punya kelebihan Bon!”. Bona yang merasa dapet bantuan segera tertawa senang, “Nah…..elo liat, Dede aja bilang gue masih punya kelebihan…..eh tapi-ngomong-ngomong apa kelebihan gue De?”.

“Kelebihan elo apa lagi kalo bukan…..kelebihan berat badan. Jadi kalo ada orang tenggelam tinggal ngelempar elo ke orang itu, dan…. Elo jadi pahlawan deh!”.

“Brengsek lo..!” Balas Bona kesal.

Sesampainya di Watu Ulo, Suasana gegap gempita di dalam mobil. Para cewek berseru keras melihat debur ombak. Mobil melaju pelan menuju tempat pembayaran. Setelah Dimas membayar, mobil melaju naik. Mereka melewati jalan yang berputar pada pegunungan. Di sisi-sisi jalan itu, banyak juga remaja yang menghabiskan waktu dengan pasangan mereka masing-masing. Bahkan ada yang nekat jalan kaki ke atas. Karena letak Watu Ulo ada di balik gunung, sehingga untuk ke sana harus melewati gunung itu.

Dede menghentikan mobil dan menyuruh kawan-kawannya untuk turun dulu mencari tempat.

Sementara Dede mengurusi parkir mobil mereka, keenam remaja itu mencari tempat piknik.”Woi, gimana kalo di sana aja!” Usul Hani sambil menunjuk-nunjuk.

“Di mana non?” Revin berusaha melihat apa yang ditunjuk pacarnya.

“Itu..di bawah pohon gedhe itu, tuh lihat, rindang banget kan?”

Semuanya setuju dengan usul Hani dan segera menuju ke tempat itu dan menggelar tikar di sana. Kali ini mereka dijamin gak bakal lapar, karena mereka benar-benar membawa bekal super buanyak kali ini. Ada nasi, ayam goreng, tumis kacang panjang, ada juga es buah, trus buahnya juga, dan masih banyak snack yang mereka beli tadi. Setelah tikar selesai digelar, Revin dan Hani pamit jalan-jalan sebentar.”Ntar kalo ilang , Hani calling gue aja!”Pesan Bona sebelum mereka pergi. Revin yang merasa diperlakukan tidak adil menyela,”Kalo yang ilang gue…”.

“Kalo yang ilang elo ? nyebur aja ke kali langsung!” Balas Bona riang. Setelah itu keduanya jalan-jalan di tepi pantai sambil sesekali bermain air. Sementara itu Laras, Sarah, Bona, dan Dimas tinggal di tempat piknik mereka.

Beberapa menit kemudian Dede menghampiri mereka,”Sori lama, gue tadi pipis dulu sebentar”. Kemudian dia duduk dan mereka berlima terlibat percakapan serius tapi nyantai. Di tengah obrolan mereka yang makin lama makin seru, Laras teringat botol yang ditemukannya .Dan dia teringat bahwa tujuan sebenarnya dia ke sini adalah mencari tahu tentang botol dan pengirimnya. Dengan segera dia berdiri dan pamit jalan-jalan sebentar sambil membawa tas kecilnya. “Emang elo mau jalan-jalan ke mana Ras?” Tanya Dimas penasaran.”Ada aja!” Kemudian Laras meninggalkan mereka berempat.

Laras berjalan menyusuri pantai yang lumayan ramai itu. Dan tanpa sengaja dia menabrak seorang anak kecil. Dengan meminta maaf berkali-kali, Laras menolongnya berdiri. Botol ini benar-benar menyita perhatiannya cukup lama, membuatnya hampir gila memikirkannya tiap malam. Entah kenapa, sejak pertama kali dia melihat tulisan pada kertas di botol, hatinya sudah jatuh cinta lebih dulu sebelum melihat siapa yang menulisnya. Lalu, iseng-iseng, Laras duduk di sebelah tukang bakso . Tukang bakso itu tampaknya sedang sibuk meladeni pembeli yang berjubel. Cukup lama Laras duduk di samping tukang bakso itu. Setelah pelanggan sepi, tukang bakso itu melirik Laras. “Non, kagak beli bakso juga?” Tawarnya. “Nggak bang, masih kenyang!” Tolak Laras halus.

“Ngomong-ngomong, non kenal sama anak yang biasanya mainan botol di pantai ini ya?”. Laras yang mendengar ucapan bapak itu segera bangkit berdiri,”Bapak kenal dia?”.

“Lho, bukannya non yang kenal, kok tanya sama saya?”

Laras tidak memperdulikan keheranan bapak itu,” Di mana rumahnya pak, dekat sini apa nggak?” . Bapak tersebut tampaknya bingung juga diberondong pertanyaan Laras itu. Dengan garuk-garuk kepala dia menjawab,” Biasanya sih, Bapak ngelihat dia sering nongkrong di toko aksesorisnya Bu Mila”. “Di mana itu ?” Sergah Laras segera. “Itu tuh, yang di depannya ada sepeda motor merahnya!” Kata bapak itu sambil menunjuk ke toko yang banyak gantungan kerang untuk aksesoris. Setelah mengucapkan terima kasih banyak pada bapak itu, Laras segera berlari cepat menuju toko itu. Laras tak peduli dengan panasnya pasir yang mengenai kulitnya dan sakitnya terkena batu kerikil, yang ada di benaknya sekarang hanyalah surat dalam botol itu dan siapa penulisnya.

Dengan nafas terengah-engah dia memandang toko di depannya. Toko kecil namun nyaman menurutnya. Di depannya dihiasi dengan korden dari kulit kerang yang berwarna macam-macam. Di balik korden itu, terdapat lemari kaca yang berisi barang-barang kerajinan pantai. Namun yang membuat Laras tertarik adalah sosok wanita di balik lemari kaca itu. Wanita yang sudah dibilang cukup tua itu sedang membuat istana kecil dengan bantuan kerang dan lem di tangannya. “ Selamat pagi!” Sapa Laras sambil membuka korden kerang dan masuk ke dalam. Ibu itu menghentikan kegiatannya sebentar dan berjalan menuju kearah Laras,” Ada yang bisa saya Bantu Neng, mau beli yang mana, yang bintang laut ini, atau yang…”.

“Saya nggak mau beli apa-apa Bu !” Potong Laras segera. Ibu itu heran menatapnya. Tidak sedikitpun terbesit rasa jengkel karena Laras tidak membeli dagangannya. Dia malah mempersilakan masuk ke ruang duduknya. Setelah kedua orang itu berhadap-hadapan, Laras segera mengeluarkan botol dan kertas itu dari tas kecilnya, “ Ibu kenal dengan tulisan ini?” Laras menyodorkan kertas lecek itu kepada Bu Mila. Dan Laras dapat melihat dengan jelas ekspresi Bu Mila ketika membaca tulisan itu. Ekspresi sedih, pilu, haru sekaligus bangga. ”Neng nemu di mana?” Tanya Ibu itu tanpa mengalihkan tatapannya pada kertas dan botol itu..” Di Parangtritis, lima bulan yang lalu”.Ibu itu kaget,” Akhirnya ada juga yang mendengar doanya selain Tuhan”. Laras yang tidak mengerti arah pembicaraan segera bertanya langsung,” Di mana anak itu sekarang Bu?”. Ibu itu meletakkan botol itu di meja depannya dan menunjuk ke atas,”Dia ada di sana, bersama Tuhan”.

****

Hening, entah terkejut entah sedih aku tak tahu. Kenapa aku sedih dan kenapa perlahan air mataku jatuh. Kenapa aku menangisi orang yang sama sekali tak kukenal. Untuk apa air mataku, apa artinya bagi dirinya yang sama sekali tak mengenalku. Sia-siakah air mataku? Kenapa kau sanggup membuatku takluk tanpa memperlihatkan wujudmu. Apakah kau hanya hidup dalam khayalan yang bahkan dalam mimpi pun tak pernah bisa kujangkau.

“Namanya Edo”, kata-kata Bu Mila membuyarkan lamunanku. “Dia benar-benar anak hebat”, lanjutnya..” Entah berapa botol yang ia habiskan untuk mengirim pesan kepada seseorang di belahan lain untuk ikut merasakan kehadiran dirinya dan angannya. Hanya supaya mereka tahu, hanya supaya mereka mengerti apa yang diinginkannya. Dia tidak pernah berharap lebih. Dari kecil dia bercita-cita ingin menjadi seorang nahkoda kapal. Dia sering sekali ke sini bercerita pada Ibu tentang keinginannya. Dia tidak berani cerita ke orang tuanya, karena mereka menentang habis-habisan keinginannya. Malah di usianya yang ke 19, ibunya memaksanya masuk ke jurusan kedokteran. Demi membalas jasa orangtuanya, dia menurut. Sampai orang tuanya tahu bahwa Edo mengidap penyakit leukemia. Sejak itu, orangtua Edo berubah 180 derajat, dari yang sibuk dan jarang di rumah menjadi orangtua rumahan yang setia menemani Edo. Namun mereka tetap tidak pernah mengerti apa yang Edo inginkan. Suatu saat, di hari terakhirnya untuk hidup. Dia datang pada Ibu sambil membawa botol berisikan kertas ini. Dia bercerita pada Ibu, bahwa siapapun yang menemukannya, maka secara tidak langsung orang tersebut telah membantunya bahagia. Lalu dengan langkah terseret, dia melangkah ke pantai dan menghanyutkan botol terakhirnya itu saat ombak datang. Lalu besoknya dia tak pernah lagi datang kemari, tak pernah lagi menunjukkan senyumnya pada Ibu. Berhari-hari ibu menunggu kedatangannya, tapi sia-sia, hingga kabar kematiannya ibu dengar dua minggu kemudian”. Ibu Mila mengakhiri ceritanya.

Sesaat sepi, hanya debur ombak terdengar mendominasi suasana haru itu. Lalu Ibu Mila berjalan ke belakang dan kembali lagi dengan membawa botol, yang kali ini isinya bukan kertas tapi miniatur kapal layar bertiang tiga yang megah. Disodorkannya benda itu kepadaku,.” Edo pernah berpesan pada ibu untuk memberikan ini kepada orang yang menemukan pesannya, kapanpun dia datang. Di masa-masa terakhirnya, dia berusaha mati-matian menyelesaikan karyanya yang terakhir demi cita- citanya”. Kuterima botol itu dan kutatap isinya. Sungguh luar biasa hasil karya seorang insan Tuhan. Dia dapat mewujudkan cita-citanya ke dalam sebuah botol berdiameter hanya beberapa senti. Dia mengabadikan keinginannya dalam sebuah botol, dan mengabadikan hidupnya pada karya anggun dalam botol itu. “Kapal ini mencerminkan pembuatnya”, Kata Bu Mila . Aku mendongak tak mengerti. Sambil melayangkan pandangannya ke arah laut, lalu dia melanjutkan kata-katanya,” Dinding kaca yang mengurung hidup dan perjalanannya, tetap tak bisa membuat pesona kemegahannya hilang, walaupun kapal ini tak lagi bisa berlayar menyongsong senja”.

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.