Cerpen “ Hidup harus terus berjalan “


Peluh keringat membasahi pundaknya yang tak tetutup sehelai kain. Perlahan ia menarik naik kain sarungnya yang hampir basah kena air laut. Bersama daaming anaknya Ia menarik dan mendorong sampan ke dalam air, bunyi deritan gesekan kayu dari sayap sampan yang terbuat dari bambu pertanda usianya yang telah tua. Sudah 10 tahun kapal kecil ini setia menemaninya, sejak ia memutuskan berhenti ikut di kapal Bagan milik keluarganya. Kehidupan yang keras telah menempa Ayah sejak ia ditinggal mati Kakek akibat gelombang besar musim barat menghancurkan kapal penangkap ikannya. Hanya dua nelayan yang selamat dari 12 yang ikut melaut saat itu Termasuk Kakek yang tidak diketemukan. Daaming melambaikan tangan ke arah kawan kawannya yang tengah bemain bola di empang yang telah mengering. Beberapa diantara mereka masih mengenakan seragam sekolah. Oleh ayahnya Daaming tidak di ijinkan bersekolah, karena tenaganya dibutuhkan membantu nya di laut. Ia memperhatikan dada bidang Ayahnya dan otot otot yang tidak sekekar dahulu lagi. Sejak ditinggal Ibunya kondisi kesehatan Ayahnya perlahan mulai menurun. Tidak sesemangat dahulu lagi yang Ia lihat. Beberapa kali ia mengingatkan Ayahnya untuk berhenti merokok, tapi nasehatnya hanya tertiup angin lalu saja. Perlahan Sampan mereka menjauh dari Pantai, Daaming masih memandangi kawan kawannya dari kejauhan. Ada keinginannya juga ingin bermain bersama kawannya. Jala telah mereka tebar, pelahan langit mulai gelap Daaming menyiapkan kompor untuk merebus air dan menanak Nasi, Ayahnya tengah menyiapkan pancingnya mereka agak bergerak keluar sedikit dari lingkaran jala. Daaming menyalakan lampu, cuaca cerah ,langit bebintang, ia mengeluarkan buku dan membaca. Entah apa yang ada dipikiran ayah melihatnya saban malam membaca. Dari sorot mata Ayahnya ia tahu ayahnya senang dengan kegiatannya itu. Tapi kadang ia juga meliha raut kesedihan di mata ayah tatkala melihatnya memegang buku. Ia sangat kagum dan sangat mencintai Ayahnya, ini karena Ayahnya menjadi orang terdekatnya sejak Ibunya meninggal beberapa tahun silam. Dari buku buku yang Ia baca, tentang bagaimana kita harus hormat dan patuh kepada orang tua. Namun disamping iu hasratnya untuk terus belajar tidak dapa ia pendam, ia ingin seperti kawan kawannya yang lain. Meskipun tidak banyak waktu baginya, Ia besyukur memiliki sahabat yang sangat baik. Muslim salah seorang kawannya pindahan dari Kota , selalu memberinya semangat untuk belajar. Bukan hanya itu Muslim saban hari meluangkan wakunya unuk mengajari daaming membaca dan dari Muslimlah buku buku yang ada di tangan Daaming saat ini. Ia selalu bedoa kepada Allah semoga membalas kebaikan teman temannya ini. Daaming Termenung di atas pasir, matanya menerawang ke lautan lepas air matanya perlahan menetes, mengingat kembali masa masa yang telah dilewatinya. Masih terngiang kata kata Ayah di telinganya “ Ayo anakku hidup harus tetap berjalan “ ketika Ia sedang malas malasan ikut melaut karena teman eman sebayanya tengah bermain. 15 tahun telah berlalu sejak keadian itu. Ombak besar menghanam perahu tua kami, Ayah memkaskan diri melaut walaupun sudah kuperingatkan. Tapi beban hidup semakin menghimpit sejak kenaikan BBM saat iu. Tak ada pilihan kami harus menerjang ombak hari itu. Terbayang kembali perisiwa lima belas tahun yang lalu itu. Sesaat setelah menyalakan lampu, kumulai membuka buku yang dipinjamkan Muslim. Tiba tiba lampu padam, langit gelap , angin mulai bertiup kencang pertanda badai akan segera datang. Kuingatkan Ayah untuk segera balik, beberapa perahu nelayan telah membalik arah dan menepi ke pantai. “ Tinggal sedikit lagi begiu kata Ayah “ seolah tak menyadari akan datanganya badai. Saya yang biasa membaca buku buku petualangan, lalu melepas tenda perahu kami dan tak berapa lama kemudian angin semakin kencang. Ombak semakin tinggi. Ayah segera mengatur kemudi dan mendayung balik. Namun belum lagi kami bebepa auh dari tempat semula. Sebuah ombak besar setinggi 2 meter menghantam perahu kami. Saya masih sempat melihat Ayah terakhir kalinya mencoba berenang ke arahku setelah kapal kami pecah. Namun sebuah ombak datang lagi memisahkan kami. Saya sudah tidak sadarkan diri. Hingga kubuka mataku dan Saya tersadar, Saya sedang terbaring di rumah sakit. Saya mengetahui dari Muslim , saya terdampar 1 sehari di lautan baru ditemukan sebuah kapal nelayan. “ Untung kamu memeluk jerigen minyak itu “. Pikiranku menerawang saat terakhir yang terlihat adalah benda putih mengapung yang kukira ayah. Mataku masih tetap menerawang, kusapu mataku ke arah bekas gubuk kami yang kini telah tiada. Perkampungn nelayan ini pun telah digusur ke arah 2 km dari tempat semula. Tak terasa tanganku yang sedari tadi menggemgam pasir kusapukan pada pakaian putih putih yang kukenakan, Pakian nakhoda dengan tanda kapten yang bertengger dipundakku , tak ada lagi yang mengenaliku di lokasi iu. Kini Saya telah menjadi nakhoda pada sebuah Kapal Asing yang kini tengah berlabuh di Makassar, kusemptakan diriku ke kampung halamanku. Saat peristiwa 15 tahun yang lalu, aku diselamatkan perahu nelayan lainnya dan kami terdampar di Rangas sekitar 10 mil dari sini. Nasib Ayahku tak ubahnya dengan nasib kakekku yang tidak ditemukan. Muslim sendiri kini telah menjadi Diplomat di sebuah negara di Arab, kami sering bertemu jika Saya sedang berlabu di sana. Iapun masih sering mengunjungiku ketika Saya diangkat anak oleh salah satu keluarga di majene. Saya memperoleh beasiswa melanjutkan sekolah dan berhasil menyelesaikan studi Saya di sekolah Pelayaran dengan nilai terbaik. Saya pelahan bebalik menjauhi pantai dan mendekati mobil mercy yang kukendarai dari Makassar, Santi istriku dan Arifuddin anakku telah menanti, mereka sengaja kubiarkan menungguku di mobil saja. Mobil kami memasuki perkmpungan nelayan hasil relokasi pemerintah. Beberap penduduk mengerumuni kami. saya bertanya kepada salah seseorang, lalu ia menunjuk ke sebuah rumah di ujung jalan. Saat pintu terbuka seorang lelaki tua berdiri didepan Saya , Ia tidak mengenaliku tapi Saya sangat mengenalnya Pak Kaco sahabat Ayahku. Ia memelukku dan menangis keras setelah mengetahui itu Aku. Lama baru pelukannya melemah, ia tak kuasa bicara hanya air matanya yang terus di usapnya dari keriput pipinya. Mataku tertuju ke sebuah foto usang yang ada depan mesin jahit tua yang nampaknya jarang di pakai. Ia mengerti tatapan mataku, “ itu Saya bersama Ayahmu “ , “ Ya Saya tahu jawabku “ , tapi apa arti tulisan yang ada dibawahnya. “ Oh itu ulisan lontara bacanya “ Kuallenga Tallanga na towalia “ apa artinya timpalku cepat menukas .Lebih baik tenggelam dari pada kembali sia – sia katanya. Setelah berkeliling ke perkampungan, kuserahkan bantuan berupa 10 perahu nelayan dan memberi beasiswa kepada 20 anak nelayan yang ada di sana. Tak terasa Jam menunjukkan pukul empa sore, jam jam seperti inilah yang kami sering turun melaut bersama ayah. Mataku mencari Arifuddin, ia tengah bermain dengan teman teman barunya. Saat kuajak pulang ia tidak mau karena masih asik main. Kubisikkan sesutu ke arifuddin “ Ayo anakku hidup harus tetap berjalan “

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.