Cerpen : Cinta Terakhir

Saat ini aku begitu takut. Sangat takut. Aku takut menyambut hari esok. Aku nyaris seperti patung tolol. Padahal fajar sudah menyingsing dan aku masih belum siap menyambutnya. Hari ini aku akan menikah karena paksaan orang tuaku. Aku tak bias menolak.
Aisayh memang tidak terlalu cantik bahkan disbanding Sheila, tamabatan hatiku, dia tidak ada sepucuk kukunya. Tapi Aisyah lembut, santun dan pintar mungkin itulah alasan kenapa orang tuaku menjodohkanku dengannya.
Kuakui kelembutan dan ketulusan Aisyah setelah aku menikahinya. Tak sekalipun ia pernah membantah ocehanku, bahkan waktu malam pertama kuucapkan kata yang seharusnya tidak didengar wanita lembut itu.
"Dek, jujur aku merasa tersiksa dalam ruangan ini!" kataku terus terang.
"Kenapa?Mas nga suka ya sama saya?"tanyanya lugu
"saya tidak suka perjodohan ini. Kalau boleh tahu aku punya pacar tidak?"
"Kenapa mas Tanya seperti itu?"dia keheranan.
"Kembalilah padanya!aku masih tidak bisa melupakan kekasihku"
Aku mulai melihat air yang mulai menggenang dimatanya.
"Aku memang tidak suka perjodohan ini mas!tapi aku mencoba menjalaninya, aku hanya minta mas mencobanya, aku tidak minta lebih."
"Baiklah kuhargai permintaanmu itu. Jika selama sebulan aku masih belum bisa mencintaimu, kita cerai. Aku janji selama sebulan aku tidak akan menyentuhmu"
Sejak itu kami tak pernah tidur seranjang. Aku tidur di kamar depan dan dia di kamar belakang. Hari-hariku bersamanya tampak begitu asing. Aku tak pernah mengajaknya ngobrol diapun tampak begitu asing. Aku seperti tak mempunyai seorang istri. Itu karena dia masih belum kutempatkan di hatiku. Tapi dia benar-benar sabar. Dia masih bisa menjalankan perannya sebagai istri dengan sukses. Aku kagum padanya, sayangnya kekagumanku ini tak membuatku cinta padanya.
Hari sudah memasuki minggu kedua. Artinya perpisahan kami tinggal dua minggu lagi, tapi getar-getar cinta itu masih belum hadir di hatiku. Parahnya ketika Aisyah menemaniku makan malam kerinduanku terhadapa Sheila semakin menjadi-jadi. Akhirnya aku mengunjunginya tanpa sepengetahuan Aisyah. Dan itu kulakukan seringkali. Robby…aku merasa bersalah pada wanita itu.
Pernah suatu malam, aku makan malam diluar rumah bersama Sheila, sewaktu aku pulang, aisyah setia menungguku. Dia terlihat begitu lelah. Mungkin lantaran terelalu lama menungguku. Wajahnya letih, aku kasihan melihatnya tapi hatiku tak sedikitpun tergugah untuk membopongnya ke kamar. Aku masiih tak ingin menyentuhnya. Itu janjiku!
Seminggu kemudian, aku mengalami kecelakaan. Aku bisa menerima semua itu. Barangkali ini adalah peringatan dari Allah untukku agar aku menyempurnakan peranku sebagai suami. Akibat dari kecelakaan itu mataku buta. Aku tak bisa melihat. Aku kehilangan pekerjaan. Aku putus asa. Namun Aisyah tetap menghiburku untukmselalu semangat. Yang lebih menarik, dia rtela mendonorkan matanya untukku. Ya Allah…dimana lagi akan kutemukan wanita seperti dia di dunia ini. Karenanya aku bisa melihat dengan jelas bagaimana memasak tanpa mata tapi dia bisa melakukannya, mungkin karena dia sudah hafal tata letaknya.
"Mengapa kau lakukan ini?"tanyaku suatu hari setelah operasi mata.
"Itu kulakukan semata-mata untuk menyenangkan hatimu Mas"
Aku terenyah. Dia rela mendonorkan organ paling penting hanya untuk memabahagiakanku. Ya Allah begitu mulia hati wanita ini. Nyaliku menciut dihadapannya. Ilmuku terasa tak berarti dibanding akhlak karimahnya. Aku tak tega melihat pekerjaannya berantakan lantaran kelihatan mata. Tapi anehnya rasa cinta itu masih tak bersemi jua dihatiku.
Pernah aku membaca selembar buku hariannya. Disana terdapat bahwa dia tulus mencintai dan ingin aku memiliki rasa yang sama kepadanya.
"Kebahagiaan terbesar dalam hidup adalah rasa pasti bahwa kita dicintai"
Hatiku membuncah terharu tapi Ya Allah, kenapa hatiku tak tergugah juga untuk mencintainya. Apakah hatiku sekeras batu?
"Sejak kapan Mas ada di sini?"tanyanya gelagapan seraya menyembunyikan buku diary yang ditulisnya.
"Aisyah, tinggal sehari lagi kebersamaan kita berakhir dann aku masih belum menbemukan cinta itu."
Sadis kedengarannya. Tapi tidak untuk aisyah. Dia masih bisa tersenyum walau berat.
‘Coba saja dulu, mungkin cinta itu datang terakhir"
"Kalau misalnya terlambat?"
Aisyah hanya tersenyum ketir.
"Aisyah, jika kau ingin pernikahan kita ini berlanjut, relakan aku menikahi Sheila."pintaku tegas.
Aku tak tahu apa yang dirasakan Aisyah. Tapi aku bisa melihat dia tercenung begitu lama. Wajahnya pucat. Bibirnya gemetar. Menguntai beberapa kata yang tak pernah kusangka sebelumnya.
"Baiklah jika itu yang akan membuatmu bahagia. Karena kebahagiaanmu adalah kebahagiaanmu juga"
Tak terasa aku limbung. Dadaku sesak. Tanpa diminta pengorbanan dan pengabdiannya muncul begitu saja di otakku. Aku terharu. Dan dalam keharuanku itu mengalir cinta putih seputih kapas dan pada saat itu juga aku merobohkan benteng prinsipku. Aku memeluknya erat. Sangat erat. Dalam dekapan itu ada hawa sejuk turun langit yang merasuk dalam jiwaku. Bagitu nikmat. Semua organ tubuh bergerak meneriakkan sayang yang begitu dalam hingga mengakar dalam sel-sel otakku. Barulah aku sadar bahwa itu adalah cinta sejati. Murni tiada rekayasa. Aku yakin cinta ini adalah kiriman dari allah untukku.
"Jika kebahagiaanku adalah kebahagiaanmu, izinkalahh aku menempuh hidup hanya bersamamu, karma cinta disanubari bukan untuk dipendam tapi untuk dipersembahkan"

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.