Cerpen biarkan aku mencintaimu dalam sunyi

Kekasihku, jika engkau membaca e-mail ini, cobalah untuk mulai belajar melupakanku. Aku tahu kenyataan itu memang pahit dan berat buatmu, terlebih lagi buatku. Apalagi jika mengenang hari-hari penuh warna bersamamu, malam-malam yang liar bermandi peluh di apartemenku atau siang yang penuh gairah di hotel, tempat dimana kita saling melepas rindu sesaat sebelum kembali ke kantor masing-masing.
Masih teringat jelas dalam benakku saat pertama kita bertemu, pada sebuah akhir pekan yang basah diguyur hujan seharian, dalam cafe yang disiram cahaya temaram diiringi tembang jazz melankolis. Kamu datang ke arahku dengan pesona kemilau kelelakianmu yang segera memporak-porandakan hatiku seketika dalam hitungan detik. Aku tak sempat berkata apa pun, saat dengan sopan dan bersahaja, kamu mengajakku melantai. Tanganmu yang kekar memegang lembut bahuku dan harum napasmu menggetarkan seluruh urat dalam tubuhku yang dahaga oleh cinta, saat kita berdansa dalam remang lampu cafe yang romantis. Hatiku tak mampu memungkiri bahwa, aku jatuh cinta padamu pada pandangan pertama.
"Jadilah kekasih rahasiaku," katamu di ambang pintu apartemen saat mengantarku pulang pada malam berkesan itu. Kamu lantas mencium dahiku dengan lembut, tanpa perlu menunggu persetujuanku lebih dulu. Jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. Sebuah fenomena yang tak pernah aku rasakan dari lelaki manapun yang pernah singgah dalam relung hatiku selama ini.
Aku tak punya kekuatan apa pun untuk menolak permintaanmu meski aku tahu sesungguhnya kamu telah memiliki keluarga yang dengan cemas menunggumu di rumah. Aku begitu terlena olehmu dan gelora gairah purba yang tiba-tiba muncul dalam diriku telah menghempaskan kita berdua dalam lautan petualangan cinta tak bertepi.
Sejak itu, kita merajut hari demi hari dengan ceria. Sorot matamu yang teduh namun tegas membuatku merasa selalu nyaman berada di dekatmu. Aku senantiasa merasa tersanjung ketika dalam setiap e-mailmu kepadaku, kamu selalu menyelipkan sebait-dua puisi cinta yang membuatku seperti melayang ke langit yang ketujuh. Tahukah kamu kekasihku, aku selalu menyimpan rapi puisi-puisi cintamu itu dalam helai demi helai buku harianku yang setiap malam aku buka kembali, membacanya pelan dengan bibir bergetar, berulang-ulang, sampai setiap kata demi katanya meresap dalam setiap sumsum tulangku, mengaliri setiap nadiku dan akhirnya menggelegak dalam sebuah orgasme misterius yang berpendar-pendar dalam setiap relung kamarku. Kamu memang paling tahu bagaimana membuatku berharga, kekasihku.
Aku masih ingat betul salah satu momen kencan kita yang membuatku senantiasa mengenang betapa indah melewatkan hari demi hari bersamamu.
"Jangan pernah me-rebonding rambutmu, Sayang," katamu padaku saat kita melewatkan senja temaram di bibir pantai seraya membelai ikal rambutku.
"Kenapa?" tanyaku penasaran.
"Setiap kali membelai rambutmu, aku merasakan sensasi yang berbeda saat jari-jariku memilin dan menelusuri ruas demi ruas rambutmu. Ketika ruas rambutmu bergerak kembali menjadi ikal saat jariku lepas dari ujungnya, rambut itu meretas lurus sejenak, lalu berpilin lagi, perlahan tapi pasti seperti alunan ombak di depan sana. Aku begitu menyukainya," jawabmu tulus.
Aku tersipu dan kemudian kita tertawa bersama, kemudian memandang debur ombak yang menghempas pantai serta merasakan desau angin senja yang sejuk. Kamu kemudian memeluk pundakku erat-erat dan bersama-sama lagi kita terpana menyaksikan keindahan mentari beranjak ke peraduan di ufuk cakrawala meninggalkan jejak-jejak merah jingga.
Aku tahu, kamu tentu tidak akan setuju pada keputusanku ini, namun percayalah ini jalan terbaik yang mesti kita tempuh, untuk saling memelihara bara api cinta kita secara elegan. Kemarin, ketika secara tidak sengaja kita bertemu di mal, kamu mengenalkan aku pada istri dan anakmu. Saat itu aku tahu, dari balik sorot matanya yang polos dan sederhana, istrimu memendam kepedihan yang lebih berat dari yang aku rasakan saat ini. Pun dari binar mata ceria, Ananda, anakmu aku menangkap seberkas cahaya pilu dan kehilangan sosok ayah yang didambakannya. Dalam pertemuan yang begitu singkat itu aku pun segera mendefinisikan ulang makna hubungan kita. Bukan semata atas dasar 'solidaritas sesama wanita', tapi lebih dari itu, komitmen rahasia yang kita bangun dalam setiap cumbuanmu dan desah napasku, pada dasarnya begitu rapuh terutama oleh kesangsianku memaknai hubungan kita lebih lanjut. Keluarga yang dengan setia menunggumu di rumah lebih berarti dari diriku yang bagimu sekedar penyalur hasrat kelelakianmu. Aku merasakan kepedihan luar biasa merambati hatiku saat menyaksikan kalian sekeluarga berjalan mesra berpelukan di hadapanku, setelah pertemuan di mal kemarin.
Sungguh beruntung Mbak Rita, istrimu, yang memiliki tajam mata elangmu dan kekar tubuhmu. Meski sudah berulang kali kamu katakan: "Dia boleh memilikiku, tapi hatiku hanya untukmu," lewat bisik lirih di telingaku, selalu, sesaat setelah kita menuntaskan hajat percintaan kita. (Ketika itu, aku memang tidak peduli entah pada berapa banyak wanita lain kamu ungkapkan pernyataan yang sama). Saat ini aku baru menyadari sepenuhnya bahwa 'kepemilikan' atas hatimu hanya semu belaka.
Bahwa aku mencintaimu sepenuh jiwa, aku tidak memungkirinya. Malam demi malam kulalui tanpa sedikit pun melewatkan lamunan tentangmu. Termasuk membangun keluarga bahagia bersamamu dengan anak-anak yang lucu sebagai perekat rumah tangga kita. Namun semuanya mendadak hilang tak berbekas, ketika menyadari bahwa aku hanya menjadi kekasih rahasiamu, yang menemanimu berlari dari jiwamu yang dahaga karena cinta yang mengerontang. Seperti katamu setiap kita usai bercumbu: "Istriku tidak pernah memberi lebih baik seperti yang telah kamu persembahkan kepadaku."
Pada saat yang sama, kamu sering bercerita tentang kelucuan Ananda, putri semata wayangmu yang baru berusia dua setengah tahun. Dengan bersemangat dan mata berpijar, kamu mengisahkan bagaimana Ananda belajar mengucapkan kata demi kata. Kamu kemudian memperagakan bagaimana Ananda salah mengeja kata yang kamu ajarkan, lalu kita pun tertawa berderai. Kamu pun pernah bercerita bahwa setiap pagi, dengan setia, Ananda akan membangunkan tidurmu yang lelap dengan menarik kumis atau bulu betismu dengan gemas. Kita pun kembali tertawa bersama mendengarnya. Aku senang mendengarmu tertawa begitu lepas dan renyah.
Kamu sangat menyayangi Ananda — yang sering kali aku tangkap dari sorot mata elangmumu yang berpijar setiap kamu bercerita tentangnya. Sempat terbersit rasa cemburu di hatiku namun segera kutepis jauh-jauh, karena dia adalah buah hati tercintamu. Tapi tak urung, kesedihan terkadang menyeruak dalam batinku, bahwa sesungguhnya, tidak hanya aku yang menempati sisi relung hatimu. Ada senyum polos Ananda di sana yang membuatmu senantiasa ceria meniti hari. Yang paling membuatku kian nelangsa adalah, aku ingin kisah yang kamu tuturkan adalah tentang tingkah lucu anak kita, yang lahir dari kehangatan rahimku, buah kasih kita berdua.
Kita memang telah siap menempuh segala resiko dari hubungan rahasia kita. Namun dari lubuk hatiku paling dalam, setelah pertemuan dengan keluargamu kemarin, aku tak kuasa untuk segera menetapkan hati berpisah darimu, meski kepedihan melanda jiwaku saat ini. Cinta memang tidak dibangun untuk membuat rasa kehilangan, tapi pada akhirnya aku menyadari cinta antara kita mempunyai batas tepiannya sendiri. Sesuatu yang, sesungguhnya aku sadari akan terjadi sejak awal, cepat atau lambat, namun akhirnya kuingkari saat pesonamu membetotku dan membawaku ke dalam pusaran cintamu yang melenakan.
Aku akan simpan rapat-rapat kenangan manis di antara kita dalam bilik hatiku, dan kemudian membiarkannya mengendap dalam senyap.
Kekasihku, mulai saat ini, cobalah belajar melupakanku sebagaimana saat ini aku telah mengunci rapat-rapat pintu hatiku untukmu. Aku tetap menyimpan puisi-puisi cintamu padaku sebagai monumen paling berharga tentangmu pada tempat yang aku harapkan tidak akan aku buka lagi sampai kapan pun.
Aku pun tidak akan me-rebonding rambutku seperti pintamu, agar aku senantiasa merasakan telusur jarimu yang membelai mesra ikal rambutku, memilinnya perlahan kemudian meresapinya dalam-dalam pada setiap desah napasku setiap kali ritual percintaan kita usai. Jangan pernah mencoba untuk menghubungiku dengan cara atau dalih apa pun, sebab semuanya akan berakhir sia-sia.
Aku ingin kamu menghormati pilihan yang telah kuambil dan juga tak akan kusesali, atas nama bara api cinta yang telah kita tumbuh-suburkan dalam dada kita masing-masing selama ini. Yang telah kita titipkan lewat debur ombak yang mengalun seperti ikal rambutku, yang berlalu bersama desau angin senja. Tapi kekasihku, biarkan aku mencintaimu, dalam sunyi. ©

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.