Cerpen Romantis-The Girl Behind The River

--“Hari itu, hari pertama aku melihatnya, aku hampir jatuh pingsan….”--
Saat itu, aku baru membeli sebuah rumah yang terpencil dari kehidupan kota. Aku adalah seorang penulis novel miskin. Hingga saat ini, sama sekali belum ada novelku yang berhasil menjadi bestseller. Aku memang masih amatir, tapi ingin hidup dari hasil menulisku! Aku sudah menolak tawaran orang tuaku untuk bekerja di salah satu perusahaan mereka. Mereka tidak senang dengan keputusanku ini. Sejak kami bertengkar hebat 2 tahun lalu, aku memutuskan untuk mencoba peruntunganku di bisnis ini. Kami putus hubungan sejak saat itu.
Dua tahun ini, aku menyadari sulitnya pilihanku ini. Penerbitku menolak menerima karya-karyaku lagi. Mereka mengemukakan alasan yang berpanjang lebar, seperti biasanya, tapi intinya: “Kami tidak menerima sampah.”
Karena itulah, aku membeli “Taman Firdaus” mini ini. Uangku habis untuk itu, tapi seharusnya aku bisa bertahan hidup dengan memakan apa yang ada dari alam di sekelilingku dengan gratis. Aku bisa makan dari tumbuhan-tumbuhan berbuah di sekitar sini dan aku bisa minum dari sungai di belakang rumahku.
--“Selama ratusan tahun, terdapat suatu mitos tentang “Sungai Feng-Huang” yang telah beredar di kalangan orang Cina yang mempercayai kehidupan abadi. Dikatakan bahwa sungai ini tidaklah berdasar. Sungai ini hanyalah gerbang yang menghubungkan dunia ini dengan akhirat.”--
Omong-omong, Sungai itu juga aneh. Jernih sekali memang, tapi aku tidak dapat melihat dasarnya. Tidak ada ikan yang mendiaminya, dan bahkan sungai ini tidak mengalir sama sekali.
Sekitar 1 bulan sejak aku dating ke tempat itu untuk “pertapaan”-ku, aku melihat sesuatu yang bahkan tidak pernah kumimpikan.
Pagi itu, seperti biasanya, aku langsung pergi ke sungai itu untuk minum. Cahaya matahari masih bersinar dengan redup dan langit masih gelap. Mungkin karena itulah, aku dapat melihatnya hari itu, seorang gadis putih tampak menatapku dari dalam sungai.
Bukan main terkejutnya aku waktu itu! Aku sampai tersedak air yang sedang kuminum sendiri!
Tampaknya bukan hanya aku yang terkejut. Gadis itu menjerit ketika melihatku dan menghilang dari pandangan. Gadis itu tidak muncul lagi berhari-hari kemudian. Aku bahkan mulai mengira bahwa yang kulihat hanyalah mimpi. Hingga suatu hari, gadis itu muncul lagi di balik riak air sungai itu.
Sepanjang ketidakhadirannya itu, kupikir aku sudahmempersiapkan jantungku kalau-kalau dia muncul lagi. Tapi nyatanya aku tetap shock watu melihatnya lagi. Dia pun tetap menjerit, meskipun hanya sesaat.
“Apa kau hantu?” tanyaku sambil berusaha agar tidak ngompol.
“I… iya, mungkin…. Kau sendiri apa?” tanyanya gelagapan juga.
Begitulah perkenalan kami. Bukan perkenalan yang berjalan lancar, kalau boleh kubilang….
“Tentu saja aku manusia!” balasku.
“Bohong! Terus, bagaimana kita bisa bicara seperti ini?”
“Itu ‘kan gara-gara kamu! Kenapa juga kamu menghantui sungaiku?”
“Sungai apaan? Aku masih di akhirat, kok!”
Kami bertengkar sedikit. Dia ngotot kalau ini adalah akhirat dan kalau aku sedang berada di neraka. “Maksudku,” sambungnya. “kalau akhirat itu ada di atas, neraka pasti ada di bawah, kan? Semua juga tahu kalau neraka itu ada di bawah tanah!”
“Ini bukan bawah tanah! Lihat sendiri! Ini ruangan terbuka!”
“Kau bisa kena hukuman tambahan kalau nggak ngaku ada di neraka!”
“Ini bukan neraka! Aku masih hidup, bego!”
“Maksud….” Dan pertengkaran kami ini terpotong. Lagi-lagi dia hilang dari pandangan.
Esok harinya, aku menemui gadis itu lagi. Pembicaraan kami ini lebih mulus dari sebelumnya. Mungkin karena kami sudah tidak terlalu terkejut menemukan penghuni dunia seberang.
“Ah, aku sudah bertanya pada penjaga,” katanya. “Dia bilang, memang ada sungai yang menghubungkan dunia ini dan duniamu. Ini adalah Sungai Feng-Huang yang ada di mitos-mitos kuno….”
“Sungai apa?” tanyaku kikuk.
Dia tampak gusar karena aku memotongnya. “Zaman dahulu kala, terjadi kekacauan besar sejak perang besar antara cahaya dan kegelapan. Iblis berhasil merobek dinding perlindungan akhirat. “Walaupun perang berhasil diakhiri, rongga jalan masuknya iblis itu tidak dapat ditutup. Hingga akhirnya, Dewa memerintahkan salah seekor burung emasnya, phoenix, untuk menjaga lubang itu.
“Phoenix menggunakan seluruh sihir yang dimilikinya, dan menutup lubang itu dengan air abadi. Dan untuk menjaga agar tak satupun yang menembusnya, dia menanam api abadi di lubang itu. Dan Phoenix itu tertidur lagi selama seribu tahun, hingga kelahirannya yang berikutnya.
“Namun, rongga itu tidak dapat menahan sihir phoenix. Rongga itu mulai merubah segala susunan ruang dan waktu, hingga akhirnya rongga itu menghubungkan dunia yang hidup dengan akhirat.
“Rongga itu hilang bersama dengan aliran air yang diberikan phoenix. Namun, tidak berarti rongga itu lenyap untuk selamanya. Para Dewa masihlah percaya, rongga itu berada di suatu tempat di akhirat. Para Dewa menanti, hingga tragedy lain menghampiri akhirat melalui rongga itu, namun tidak kunjung terjadi. Para Dewa percaya, mereka yang ‘berhak’ dapat menembus segala rintangan yang ada untuk mencapai dunia itu dan menipu ‘tidur dalam keabadian’.
“Yah, begitulah yang diceritakan mereka padaku. Maaf, deh, aku ngotot banget kemarin.”
“Ah, tidak apa-apa. Aku juga sama saja.”Kami terdiam beberapa saat. Aku berusaha memahami ceritanya itu.“Namaku Rin,” sahutnya memperkenalkan diri.
“Ah…. Namaku Joe,” balasku.
“Omong-omong, akhirat itu seperti apa, sih?”Sejak itu, kami sering ngobrol kalau senggang. Sayangny, sungai itu hanya bekerja saat matahari sedang redup. Di pagi hari dan sore hari, aku mengunjungi Rin. Terkadang, saat hari sedang mendug, aku juga mengunjunginya. Aku bahkan membuat sebuah pondok kecil sehingga kami bisa ngobrol di saat hari sedang hujan.Begitulah hubungan kami, sebagai orang dari dimensi yang berbeda.
Sayangnya, aku jatuh cinta padanya….
--“Mereka yang ‘berhak’ dapat menembus segala rintangan yang ada untuk mencapai dunia itu dan menipu ‘tidur dalam keabadian’.”--
Aku hampir tidak heran saat mengetahui jawabannya.
“Jangan menyukaiku,” sarannya dengan muka sedih. “Kini, aku tidak lebih dari roh….”
Aku tahu, dia pun menyukaiku. Sayangnya, batas kehidupan inilah yang memisahkan kami. Lupakan Romeo and Juliet! Permasalahanku ini lebih besar dari sekedar pertengkaran antar-keluarga!
“Tidak bisakah kita selalu bersama?” tanyaku dengan kecewa. Dia tidak pernah menjawab pertanyaanku.Dan aku tidak pernah melupakan bait terakhir dari mitos itu. “Mereka yang ‘berhak’ dapat menembus segala rintangan yang ada untuk mencapai dunia itu dan menipu ‘tidur dalam keabadian’.” Dalam hati, aku bertanya-tanya, siapa yang ‘berhak’ itu.
--“Karena kamu, aku masih di sini….” --
Setahun telah lewat, sejak aku membeli Taman Firdaus-ku sendiri. Tanpa terasa, aku telah mengenal Rin selama satu tahun ini. Selama setahun ini, hubungan kami telah berkembang. Namun, kami tidak dapat melebihi taraf “teman baik”.
Ada suatu pembatas raksasa yang membedakan kami, suatu batas yang tidak dapat kami tembus.Rin tidak mengharapkan agar aku mati hanya demi dirinya. Aku pun tidak cukup bodoh untuk melakukannya. Kami sama-sama menghargai nyawa yang ada, dan justru itulah puncak permasalahannya.
“Percuma,” kata Rin suatu kali. “Kalaupun kau bunuh diri, kau pasti masuk neraka. Kita justru akan terpisah semakin jauh….”
Aku juga tidak ingin masuk ke dalam neraka. Kalau itu terjadi, entah kapan aku bisa merangkak naik ke akhirat. Mungkin perlu ribuan tahun hingga aku bisa bertemu dengannya lagi.
--“Ingatan tentang kitalah yang menopangku hingga kematian….”--
Di suatu pagi yang mendung, aku sangat heran saat mendapati sungai itu kosong. Tidak biasanya Rin tidak mengunjungiku seperti ini. Aku mulai merasa gelisah. Aku masih berusaha menenangkan pikiranku dengan alasan “mungkin dia bangun kesiangan”.
Namun, saat Rin tidak muncul juga di sore harinya, jantungku berdegup semakin kencang. Dengan pikiran penuh kekhawatiran, aku mulai memanggilnya dari balik sungai dengan sia-sia.Aku mulai putus asa, dan dengan ngotot, menolak meninggalkan pondok kecil yang kubangun di sebelah sungai itu.Esok paginya, Rin muncul dengan kepala berdarah.
“Rin! Kamu kenapa?” tanyaku panik.
“Ah, Joe…,” balasnya lemah. “Tidak apa-apa…. Sedang ada perang lagi antara malaikat dan iblis…. Kurasa… akan selesai sebentar lagi….”
“Rin! Jawab! Rin!”Rin tidak bergeming sedikitpun.
Kepalaku dipenuhi pertanyaan. Namun, yang lebih penting dari itu, aku ketakutan. Jujur saja, aku takut ditinggal pergi olehnya. Aku takut aku tidak bisa melakukan sesuatu. Dan aku takut, aku akan mengacaukan semuanya kalau aku bertindak sembrono.
Tapi aku tetap menolak untuk kehilangan dia. Aku melompat ke dalam sungai, berharap untuk yang terbaik.Sungai itu dingin dan gelap. Lebih tepatnya, tidak ada apapun di dalamnya selain gelembung air. Dengan nekat, aku mulai berenang ke bawah, mencar-cari dasar sungai.
Kegelapan ini membuat nyaliku menciut. Aku bahkan heran ketika merasakan tubuhku masih tetap berenang.Hingga, tanganku menyentuh sesuatu yang halus. Aku berhenti dengan ketakutan dan siaga, namun tidak ada apapun yang terlihat. Pikiranku mulai beterbangan pada roh-roh penasaran. Rin pernah menyebutkan betapa berbahayanya mereka….
Tepat di saat aku mengingat Rin, aku mulai memacu diriku lagi. Aku hanya membuang oksigen dengan berdiam diri seperti itu.Hingga tanganku menyentuh sesuatu yang lain.
Kali ini aku melihat sehelai bulu keemasan mengambang. Aku memperhatikan bulu tersebut mengalir melewatiku. Saat itulah aku sadar bahwa aku sudah melewati suatu dinding api raksasa yang nyaris kasat mata di belakangku.Aku mulai berpacu lagi, dikejar oleh oksigenku yang sudah hampir habis.
Aku berusaha berenang secepat mungkin sementara paru-paruku semakin memberontak.Dan dengan bunyi desiran air yang keras, aku berhasil menembus sungai.
--“Dan biarlah puisi ini menjadi akhir ceritaku sendiri. Cerita yang akan membawa kebahagiaan untuk yang lain….”--
“Rin!” teriakku begitu menemukannya terbaring di samping sungai.Secepat mungkin aku keluar dari air dan menggapainya.
Kepalanya berdarah parah, seakan-akan kepalanya membentur batu karang. Aku mencoba menghapus darahnya yang menetes turun ke wajahnya dengan tanganku.
“Joe…?” sahutnya lemah saat aku menyeka darah di dekat matanya.
“Rin! Kau tidak apa-apa?”
“Ya,” katanya dengan nada lelah. “Maksudku, masih sedikit pusing, tapi….”
Dia tampaknya baru saja menyadari kehadiranku. “Bagaimana kau bisa di sini?” tanyanya.
“Itu tidak penting! Aku melewati sungai itu! Aku khawatir kamu akan….”
Aku tidak berani melanjutkan kata-kataku. Rasa lega melandaku dengan tiba-tiba, membuat badanku lemas.Aku mulai merasakan setetes air mata membasahi pipiku. “Demi Tuhan, untung kau baik-baik saja…,” sahutku sambil menyeka air mata itu. “Kupikir tadi….”
Rin terdiam menatapku. Kemudian, dia berkata kepadaku sambil tersenyum, “Bodoh. Aku ini sudah mati. Aku tidak bisa mati lagi.”
Aku hanya bisa bengong mendengarnya. Akal sehatku mulai bekerja. “Astaga, kau benar….”
Kami tertawa kecil. “Dasar bodoh!” ulangnya lagi. Setelah berhenti tertawa, dia menatapku dengan mata sayu. “Tapi,” lanjutnya. “Aku senang kau datang.”
“Ya, aku juga….”

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.