Novel Love From My Heart

SATU
Angin pagi yang datang menggetarkan sendi-sendi yang tersikap dari balik selimut
tipis. Pagi yang cukup cerah walau hanya bertahan beberapa menit saja. Sebentar lagi pasti
akan berganti dengan udara pengap dan deru kendaraan bermesin yang sangat
mengganggu. Belum lagi debu jalanan di musim kemarau ini. Semua sepertinya berubah
sangat cepat. Kisah indah burung kutilang dan ayam jantan di pagi hari kini benar-benar
menjadi dongeng. Burung kutilang yang bernyanyi sekarang berganti dengan berita pagi
yang penuh emosi. Kerusuhan, demo dan belum lagi cekokan gosip selebriti. Hah...di
mana burung nuri pagi ini, atau di mana burung gereja tidur malam tadi?
Sepagi ini Han telah terbangun, menyibak asap-asap yang tertinggal diruangan itu.
Tersenyum manis melihat beberapa temanya yang masih tidur dilantai, beralaskan
permadani merah pekat dengan ukiran bunga-bunga putih. Menuju kamar mandi
merupakan pilihan yang terbaik, mengguyur tubuh yang lemas dengan bergayung-gayung
air dingin sambil berdendang lagu melayu. Setelah merasa segar kembali, pemuda itu
mulai membangunkan teman-temannya yang masih saja terlena dengan mimpi paginya.
“Hai…kuliah nggak!” katanya pada Arif, yang sedang mendengkur.
“Jam berapa?” masih dengan nada yang sama, malas.
“Sudah jam delapan!” cara bicaranya terkesan kalem, tenang dan seakan penuh
kedamaian memaksa Arif untuk tersenyum. Setelah Arif, Jack dan Pay dibangunkannya
satu persatu, Han melangkah kekamar mandi. Benar-benar pagi yang indah. Beberapa
menit setelah itu Pay dan Jack sudah siap berangkat.
“Han…berangkat dulu ya!” ucap Jack sembari tersenyum simpul.
“Masuk jam berapa?” tanya Han meyakinkan.
“Jam sepuluh, cuman sekarang ada tugas motret,” Pay menimpalinya.
“Ya…hati-hati, mungkin nanti aku segera menyusul,” sambil melambaikan tangan
pada mereka berdua yang sudah berada diatas motor.
Persahabatan yang indah yang mungkin tidak dimiliki orang lain. Kini tinggal Arif
dan Han yang sedang duduk dikursi ruang tamu. Keduanya berbincang sebelum berangkat ke kampus.
“Semalam dapat berapa halaman Han?” Arif membuka obrolan pagi itu.
“Lumayan dapat dua puluh halaman lebih,” Han tampak mengusap wajah letihnya.
“Wah…hebat, makan-makan dong!”
“Iya kalau tembus, kalau tidak? Kamu tau sendirikan kalau penerbit itu nggak mau
asal menerbitkan?” Han tersenyum kecil melihat semangat sahabatnya itu.
“Bukankah ceritamu bagus?” Sahut Arif cepat.
“Siapa yang menilai? Bagus kalau tidak menjual?” Han memberikan sebuah alasan.
“Tergantung cara kita saja, bagaimana bisa menarik minat mereka? Menjual atau
tidak itu urusan distributor dan marketing!?” sanggah Arif lagi.
“Ha…ha…jangan berhayal dulu deh!’’Han menepuk bahu sahabatnya itu.
“Lho kalau tidak dapat uang, ngapain harus menulis?” celetuk Arif dengan pelan
sekali lagi.
“Sebuah kepuasan.” jawab Han singkat.
“Hanya itu?” tanya Arif lagi.
“Entahlah…”
Suasana hening sesaat.
“Rokokku mana ya?’’ Arif berdiri sambil mencari-cari rokoknya diatas meja.
“Habis, beli sana!” Han menyodorkan selembar uang pada Arif.
“Cuma rokok?”
“Sama jeruk hangat juga bisa!” Han tersenyum pada sahabatnya yang sudah
mendekati pintu.
Tak lama kemudian Arif telah muncul dengan secangkir kopi dan jeruk hangat.
Duduk kembali dikursi itu. Sahabat yang satu ini sungguh mengagumkan, pokoknya
keren. Selalu menjadi teman terbaik saat susah dan senang. Mudah menyesuaikan diri
dengan berbagi macam situsi.
“Sarapan dulu Han?”
“Bentar lagi, masih belum lapar benar. Lagian situasi krisis seperti ini sebaiknya
kita tidak membiasakan diri untuk sarapan pagi. Ha...ha...” Han tertawa kecil.
Arif tidak ikut tertawa. Pemuda itu hanya memandang tajam sahabatnya yang
masih ngakak. Sesaat suasana menjadi hening. Lalu kepulan asap mulai memenuhi
ruangan pagi itu. Ya...begitulah pemuda, rokok lebih utama dari pada sarapan pagi.

“Bagaimana dengan pacar barumu?” Arif membuka kebisuan sesaat itu.
“Pacar baru, yang mana?”
“Yang kemarin datang kesini!” tersenyum seakan mengejek lawan bicaranya, dan
tentunya itu adalah Han yang duduk tidak begitu jauh di sampingnya.
“Oh…itu bukan pacar baruku, tapi teman baru yang minta tolong,” Han seakan
memberi sebuah penjelasan pada sahabatnya.
“Kamu itu cakep, keren abis, punya bakat, pokoknya semuanya ada padamu,
tapi…?” Arif terdiam tidak dilanjutkan ucapannya tadi.
“Tapi kenapa?” sebuah pertanyaan yang membutuhkan sebuah jawaban segera.
“Tidak bisa mencari pacar, ha…ha…!” Arif tertawa sekali lagi.
Mereka berdua tertawa, entah karena bahagia atau sedih atau hanya tawa yang
dibuat-buat untuk memecah rasa penat di hati.
“Apa kamu punya?” Han balik bertanya pada Arif yang masih terpingkal.
“Nah…itulah kesalahan kita, kenapa kita tidak berusaha mencari ya?”
“Memang mudah?” Han balik bertanya.
“Sepertinya, kita ini tidak terlalu jelek!?” Sebuah pembelaan yang wajar dan
terkesan klasik dan itu membuatnya tertawa lagi.
“Ha…ha…alasan kuno, apa kamu juga sudah berkaca?”
“Ha…berkaca? Belum perlu Han! Belum perlu kita untuk berkaca terlalau lama,”
Arif mengeluarkan sebuah penyangkalan.
“ Sebenarnya ada banyak alasan kenapa kita belum mempunyai pacar Rif.” Han
menyandarkan tubuhnya ke sofa coklat itu.
“Apa Han?” Sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.
“Entahlah, itu yang harus kita cari,” sahut Han sekenanya.
“Apa kita terlalu takut?” Arif memegang kepalanya sendiri.
“Takut untuk apa?” Han balik bertanya pada sahabatnya yang tampak bingung itu.
“Ya…untuk berbagi cinta,” sahut Arif pelan.
“Apa kamu dapat merasakannya dariku?”Han bertanya sekali lagi.
“Tidak…! Bahkan kamu paling suka mengamati wanita cantikkan?” Arif
tersenyum kecil.
“Berarti kita normal-normal saja?” tanya Han sekali lagi.
“Sepertinya ya…,” dengan nada yang sedikit ragu, lalu mengambil cangkir kopi
dan meneguk cairan hitam itu.
Cukup lama mereka terdiam. Mengembara ke masa lalunya masing-masing.
“Han…kudengar kamu dulu punya banyak pacar ya?”
Arif memandang Han, mengharap sebuah jawaban yang pasti bukan sebuah
gurauan. Matanya tajam mengorek-mengorek kedalam hati lawan bicaranya. Memasukkan
tangan-tangannya yang kokoh dan berusaha mengeluarkan semua isi dalam otak yang
terpendam lama sekali.
“Kata siapa?”
“Kata temanmu satu SMU.”
“Nggak kok, memang ada yang mau sama aku?” Han berusaha membantah
perkataan sahabatnya itu.
“Serius Han!” Arif tampak penasaran.
“Kalau iya kenapa, kalau tidak kenapa?” Han mengajukan pertanyaan tuntutan.
“Ya…sekedar buat nambah ilmu,” Arif menjuhut gelas berisi kopi di hadapannya.
Dia seakan benar-benar mengharapkan jawabannya adalah ‘iya’.
“Iya…tapi itu dulu,” sahut Han pelan sambil menunduk.
“Berapa lama?”
“Tiga tahun lalu,” Han seakan mengingat masa itu.
“Pacarmu banyak?” Arif mengatur posisinya, mengharapkan sebuah cerita yang
seakan sangat menarik baginya.
“Kalau aku cerita apa kamu percaya?”
“Percaya, aku tau kamu bukan seorang pembohong,” Arif tersenyum kecil.
“Dari mana kamu tau?” Han berusaha meyakinkan hatinya.
“Kita tinggal satu rumah tidak sebentar, lagian kamu orangnya tertutup dan pasti
punya banyak cerita yang hanya kamu simpan sendiri!” Arif memberikan sebuah argumen
tasi.
Sebelum memulai ceritanya, Han mengangguk-anggukan kepala. Menikmati jeruk
hangat yang sudah mulai dingin, menikmati kepulan asap penat dari batang rokok yang
sedari tadi tetap dipegang erat.
“Sebenarnya tidak banyak.”
Matanya menerawang jauh, tidak memperhatikan lawan bicaranya yang tentunya
sudah menunggu lama bagaimana cerita selanjutnya.

“Berapa?”
“Saat itu yang benar-benar bareng hanya tiga orang,” Han menghentikan
ucapannya.
“Tiga orang?” Arif sekan terperangah dengan jawaban itu.
“Iya, memang kenapa?”
Han melihat kearah Arif yang seakan tidak percaya.
“Hebat…, gumannya pelan. “Terus?” Sambil menepuk pundak pemuda
disampingnya. Lagi-lagi Arif seakan kagum dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Ya…biasa saja,” jawab Han lirih.
“Biasa?”
“Iya,” jelasnya sekali lagi.
“Aku serius Han!”
“Aku juga serius, memang biasa saja, jalan-jalan, makan, ketempat hiburan, keluar
kota, menginap di hotel, bercanda, bertengkar, ya…cuma itu-itu saja.”
“Semuanya?”
“Yang pasti tidak dalam waktu yang bersamaan,” Han tersenyum sekali lagi.
“Lalu sekarang?”
“Sudah putus semua,” Han tersenyum kecut sesaat kemudian.
“Kenapa?” tanya Arif antusias.
“Yang satu sudah menikah dan punya anak, yang satu kuliah, yang satu lagi akan
segera menikah.”
“Dari ketiganya, apa kamu mempunyai perasaan yang berbeda?”
“Tidak, semuanya sama.”
“Sama bagaimana?”
“Aku sama-sama mencintai mereka, sehari saja aku tidak melihatnya serpertinya
sudah setahun.”
Arif hanya diam sambil melihat Han yang seakan menerawang jauh mengingat
semua. “Lalu, bagaimana kalian bisa putus?” lanjutnya pelan.
“Mereka meninggalkan aku begitu saja,” Han menunduk pelan mengingat
semuanya.
“Kenapa?” ucap Arif singkat.
“Mungkin aku bukan lelaki yang baik, lagian aku juga bukan orang kaya. Cinta itu
tidak jauh berbeda dengan Ice Cream Rif! Nikmatnya ketika baru diambil dari mesin
pendingin. Kalau sudah lumer ya rasanya bikin gimana gituh!?”
Arif diam sebentar, berusaha memahami kata-kata sahabatnya sedetik yang lalu.
“Eh…apa yang kalian lakukan saat dikamar hotel?” Arif terlihat sedikit malu-malu.
“Biasa,” sahut Han singkat.
“Ayolah ceritakan!”
“Paling makan-makan, duduk dilobi kamar, nonton film drama roman, mandi
bareng, lalu tidur.”
“Apa mereka mau diajak gituan?”
“Gituan apa?” Han pura-pura tidak tau.
“Ya…gitu deh!”
“Tergantung, kadang mau kadang juga tidak.”
Arif manggut-manggut tanda sependapat atau barang kali tanda kalau dia sudah
mengerti dan puas dengan cerita yang singkat itu, “saat kalian putus apa kamu sedih?”
tanya Arif sekali lagi.
“Iya…bahkan aku hampir bunuh diri,” jawab Han singkat.
“Serius?” Arif tampak tidak yakin dengan jawaban itu.
“Iya. Tapi apa kamu percaya dengan ceritaku?” Han balik bertanya untuk kesekian
kalinya. Han hanya tersenyum melihat Arif yang menerawang jauh tidak menjawab
pertanyaannya.
“Kamu, pernah pacaran?” Kini Han yang mengeluarkan pertanyaan itu.
“Dulu, tapi nggak lama,” sahut Arif pelan.
“Kenapa?”
“Aku tidak suka diatur-atur,” sahut Arif yakin.
“Berapa kali?”
“Cuma sekali, setelah itu aku sepertinya takut sama cewek.”
Sudah hampir habis kopi dan jeruk hangat itu. Han dan Arif masih sama-sama
terdiam berkelana jauh mengejar kisah yang mungkin meninggalkan mereka.
“Han…kenapa kamu sekarang tidak mencari pacar lagi?”
“Aku juga tidak tau, mungkin aku trauma atau barang kali memang nggak ada
yang mau! Ha…ha…,” sebuah tawa yang dipaksakan.
“Apa Jack dan Pay punya pacar ya… Han?”
“Sepertinya belum, kamu bisa lihatkan?”
“Apanya?” Arif tampak bingung dengan jawaban itu.
“Ya…kelakuan mereka, sama-sama bloon seperti kita dan hanya berani tersenyum
bila melihat wanita cantik atau sekedar bersiul malu-malu,” Han tersenyum mengingat
sahabat-sahabatnya itu.
“Ayo kita makan dulu, ngomongin itu pasti tidak ada habisnya. ”
Arif beranjak dari kursi itu dan Han hanya mengikutinya, melangkah menuju
warung di belakang rumah.
Angin pagi tidak lagi dingin, kini telah bercampur dengan debu-debu jalanan dan
deru mobil-mobil mewah. Matahari telah naik sepenggalah, memancarkan sinar panasnya
yang menusuk kedalam hati. Mungkin juga menusuk ke dalam tulang-tulang kedua remaja
itu. Memaksa mereka untuk berjalan lebih cepat dan sedikit menahan nafas. Duniaku,
duniamu atau dunia siapa saja yang hendak berpijak di tanah ini seakan semakin pengap
saja. Melangkah dengan hati-hati di balik hisapan asap rokok yang bercampur debu. Debu
yang seakan bercampur keringat di pagi ini. Semua masih belum menemukan apa-apa,
hanya kegelisahan untuk mencari tau apa yang di carinya.
Begitu juga dengan kedua sahabat itu, yang mereka cari belum juga di temukan.
Apakah kebahagian akan bisa menjadi senyum untuk selamanya. Apakah mereka mampu
bertahan di dunia yang semakin pengap dan penuh dengan penipuan dan rayuan busuk
antar sesama. Belum lagi alam yang semakin tidak bersahabat. Belum lagi ekonomi yang
semakin mencekik. Apakah tidak ada hak untuk selalu tertawa? Apakah ice cream akan
selalu menjadi menu santapan senggang orang-orang-orang kaya?

DUA
“Han lihat…gadis secantik dia terkena HIV positif!” Arif menyodorkan koran yang
dibacanya.
“Mana?” Han mengambil koran pagi itu dari tangan Arif dan membacanya, lalu
melihat foto wanita dengan rambut sebahu itu.
“Han…apa ada ya yang mau menikah sama dia?”
“Mungkin juga ada,” Han masih saja membacanya.
“Kasihan ya?” Arif menghela nafas panjang.
“Tidak juga, aku hanya salut dengan kata-katanya.”
“Mana Han?”
“Nih…’Aids hanya untuk orang-orang yang berdosa saja’!” menunjukan tulisan
yang dimaksud pada sahabatnya yang sedang menikmati masakan Padang itu.
“Apa benar?” Arif mengerutkan dahinya.
“Ya…siapa yang tau Rif, mungkin benar mungkin juga salah,” Han menarik nafas
panjang. “Tapi seandainya aku bertemu dengannya, aku mau menikahinya?” lanjutnya
lagi.
“Hah…menikahinya?” Arif seakan tidak percaya pada kata-kata sahabatnya.
“Kenapa?” Han tersenyum sembari melirik Arif yang sepertinya terkejut dengan
kata-katanya.
“Kamu akan menikahinya?” Tanya Arif sekali lagi.
“Iya!” Han menjawabnya dengan tegas.
“Gila…apa tidak ada wanita lain?”
“Bukan begitu masalahnya, lihat dia berkata –bila ada lelaki yang mau
menikahinya itu adalah mukzijat dari Tuhan, siapa tau mukzijat itu adalah kamu atau
aku?”
Mendengar kata-kata itu Arif terdiam sejenak. Angin yang menerobos dinding
bambu membuat bulu kuduknya berdiri sesaat secara tiba-tiba.
“Tapi apa kamu mau bermain-main dengan nyawamu?”
“Hidup mati seseorang ditentukan oleh Sang Pencipta, benarkan?”
“Tapi sekarang bukan jamannya Cinderella, tidak ada lagi sepatu kaca yang
mempertemukanmu dengan sang putri, tidak ada pula pangeran yang akan datang dengan
sepatu kacanya! Kalau boleh jujur, cinta itu datangnya dari hati, bukan dari mukjijat.”
“Maksudnya?” Han mengajukan pertanyaan itu.
Arif tidak menjawab pertanyaan itu, dia hanya diam mengambil koran dari tangan
Han. Lalu membacanya sekali lagi.
“Rif…seandainya dia datang padamu dan memintamu menjadi suaminya apa kamu
mau?”
“Aku tidak tau,” Arif menghela nafas panjang.
“Ha…ha…dengan wanita normal saja kamu takut, apa lagi wanita seperti itu.”
“Kenapa kamu tertawa Han?”
“Entahlah, aku juga bingung Rif,” Han menghela nafas pelan.
Han menepiskan piring kosong di hadapannya. Diambilnya segelas air putih lalu
menenggaknya hingga habis. Arif masih mengamati baris-baris huruf kecil di hadapannya.
Setelah membacanya sampai selesai, lagi-lagi pemuda itu menghela nafas.
“Sebenarnya, aku nanti harus pulang,” Arif melipat koran itu dan menaruhnya di
atas meja. Di samping gelasnya yang juga sudah kosong.
“Kemana Rif?”
“Pulang kampung, aku sudah lama tidak pulang.’’
“Jam berapa?” tanya Han meyakinkan.
“Mungkin malam, biar lebih tenang dan bisa tidur di-bus,’’ sahutnya lagi.
Mereka berdua terdiam, Arif sibuk dengan tusuk giginya, sedangkan Han seakan
memikirkan sesuatu yang entah itu apa. Sesuatu yang hanya di ketahui oleh dirinya
sendiri, atau bahkan dia juga tidak pernah tau apa yang di lakukannya saat itu.
“Kamu tidak kekampus?”
Pertanyaan itulah yang menyadarkan Han dari diam singkatnya. Matanya kini tidak
lagi kosong, ada senyum sahabatnya di sana.
“Tidak, lagi males Rif.”
Kedua sahabat itu kini telah berjalan lagi kembali kerumah. Hanya kali ini mereka
lebih banyak diam dan membisu.
“Aku kekampus dulu ya!” celetuk Arif ketika sampai di depan pintu.
“Ya…,” sahut Han pelan. “Hati-hati, salam buat semuanya,” lanjutnya sesaat
kemudian.
“OK.”
Arif meninggalkan Han sendiri dirumah itu. Rumah kontrakan mereka berempat,
dengan pagar bunga mawar. Sungguh sebuah rumah yang pantas dihuni oleh gadis-gadis
cantik. Indah…
Dari luar terlihat sangat bersih dan rapi, bunga-bunga dihalaman depan tumbuh
subur, sepatu tersusun rapi diteras. Sebuah kolam kecil dengan ikan warna-warni. Juga cat
warna biru laut menambah suasana romantis yang selalu membawa kedamaian dan
ketenangan.
Memang aneh bila mereka ber-empat belum ada yang mempunyai kekasih. Han
adalah pemuda yang lumayan tampan, diusianya yang ke-duapuluh dua ini dia sudah
pernah berkeliling keberbagai pulau Jawa, Kalimantan, Sumatra, Bali bahkan pulau
Lombok dengan pantai Senggiginya yang Indah, suka menulis cerpen, puisi dan novel.
Walau dia menerbitkannya secara indie. Penghasilannya cukup untuk makan atau
setidaknya untuk tambahan uang saku. Jack yang anak orang kaya itu juga tidak
mempunyai sifat sombong, selalu rapi kemanapun dia pergi. Pay juga sangat ramah tamah,
suka humor dan mempunyai hobi yang unik, memelihara hara ikan. Sopan dalam bertutur
sapa dan selalu menghormati siapa saja. Begitu juga dengan Arif, sesuai dengan namanya
bijaksana walau terkesan agak kaku dalam berbicara, tapi ide-idenya cemerlang, selalu
juara didalam kelas. Tapi kenapa tidak satupun gadis mendekati mereka?
Terkadang mereka ber-empat bercanda hingga larut malam, sebuah persahabatan
yang indah benar-benar indah. Dari berbagai tempat berbeda bertemu disuatu kota dan
menjadi teman. Itulah mereka, walau tanpa cinta tetap tersenyum dengan semangat yang
sama. Sukses menurut ukuran masing-masing. Menurut mimpi sendiri-sendiri.

TIGA
Sudah larut malam, namun Han masih belum tidur. Membuka-buka lagi koran tadi
siang, mengamati gambar seorang wanita cantik disudut kanan bawah, mengamati
rambutnya yang tergerai sebahu, mengamati bibirnya yang merah merekah. Lalu pemuda
itu hanya bisa tersenyum sambil melipatnya kembali.
“Han…sudah malam masih belum tidur?”
Jack membuka pintu kamar. Tersenyum sesaat lalu melangkahkan kakinya menuju
sebuah kursi yang ada di sisi ruangan. Jack memandang sahabatnya dengan tatapan yang
cukup tajam sebelum mengalihkan pandangannya kesebuah poster hitam putih di sisi
dinding yang lainnya.
“Eh…kamu Jack, dari mana?’’
Han bangun dari tempat tidurnya, lalu duduk ditepi ranjang.
“Dari tempat teman ngambil foto, mikirin apa?” sambung Jack.
Jack mengambil posisi yang nyaman di kursi itu. Matanya kini beralih kearah
lembaran koran yang masih di pegang Han.
“Ah…nggak, habis membaca koran,” kemudian dia menyodorkan koran itu pada
Jack.
“Kata Arif, kamu jatuh cinta ya?” senyumnya penuh tanda tanya seakan tidak percaya.
Tangannya sigap menyambut koran itu.
“Ha…ha…bukan jatuh cinta,” Han tertawa lebar, memandang Jack yang hanya
tersenyum simpul.
“Lalu?”
“Baca aja, tuh ada beritanya!’’Han menunjuk kolom bawah koran yang barus saja
disodorkannya pada Jack.
“Mana?”
“Tuh…cewek yang ada disudut bawah halaman depan.”
Jack membacanya dengan serius, suasana menjadi hening. Hanya terdengar musik
sayup-sayup dari radio dikamar sebelah. Matanya bergerak cepat dari satu sisi ke sisi
lainnya mengikuti barisan huruf-huruf kecil itu. Mencernanya dengan otak lalu
melanjutkannya kembali.
“Kagum sama dia?” Jack menunjuk gambar wanita itu.
“Iya, memang kenapa?” Han tetap tersenyum pada sahabatnya itu, meraka sungguh
saling perhatian. Seperti sepasang saudara yang sedang menimbang perasaan untuk lebih
bisa saling mengerti.
“Tidak apa-apa, asal jangan jatuh cinta!”
“Kalo aku jatuh cinta dan menikahinya, apa kamu masih mau menjadi sahabatku?”
Jack hanya diam, mengamati Han. Memandang sedalam mungkin kearahnya,
sepertinya dia menelusuri relung-relung hati sahabatnya itu. Mancari arti sebuah
pertanyaan yang baru saja dilontarkan. Memang terkesan seperti sebuah gurauan
menjelang malam. Hanya saja itu serius bagi Han. Dan angin malam juga mengangguk
pelan mengiyakan. Belum lagi lagu sahdu yang melantun, walau terkesan cengeng
namuan syairnya nyata.
“Aku tidak bisa menjawabnya sekarang, Han.”
Sepetinya Jack yakin kalau sahabatnya memang tidak sekedar ngelantur. Setiap
perkataan Han pastilah mengandung makna di pipkirannya. Semua memang terkesan
aneh. Dan memang seperti itulah Han. Seperti sebuah gunung berapi yang selalu diam
namun membahayakan. Seperti seekor semut kecil yang hanya berjalan hilir mudik
sendiri, hanya saja selalu menyapa sahabatnya bila bertemu muka. Seperti laut yang
tenang namun menyimpan sejuta pesona bahkan bisa menghancurkan.
“Kenapa?’’ tanya Han singkat.
“Ya…masalahnya sangat berat buatku,” sahut Jack sambil mengusap rambutnya.
“Berat? Apanya yang berat?”
“Ya…aku belum bisa memberikan jawaban itu sekarang, perlu berpikir lebih lama
lagi,” Jack tampak bingung dengan pertanyaan Han itu.
“Ha…ha…jangan terlalu dipikirkan, lagian wanita itu jauh dan aku tidak tau dia
tinggal dimana?”
“Tapi kalau sudah jodohmu, dan kamu dikirimkan padanya sebagai mukzijat?”
“Ya…harus disyukuri,” jawab Han enteng.
“Sejauh mana Tuhan mengatur umat-Nya, tidak ada yang tau,” ucap Jack lirih.
“Tidak juga dengan pertemuanku dengannya?”
“Ya…bisa saja kamu adalah pangeran yang dikirimkan untuknya. Kamu juga tidak
tau kalau dia adalah jalan untuk menemukan cintamu. Masih banyak alternative lain
tentang sebuah cerita Han!”
“Tapi apa kamu percaya tentang Cinderella dan sepatu kacanya?”
“Aku lebih percaya dengan kisah Nawangwulan dan Joko Tarub,” kata Jack pelan.
“Tentang selendang bidadari itu?” tegas Han.
“Yuup…atau tentang Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso.”
“Kenapa Jack?” tanya Han lagi.
“Mereka pada akhirnya tidak bisa bersama,” sahut Jack lirih.
“Romeo?”
“Aku tidak tau, tapi rasanya tidak mungkin kamu rella mati demi gadis itu.”
“Seandainya aku melakukan itu?” Han meyakinkan sahabatnya dengan senyum
kecilnya.
“Maka akulah yang menangisi mayatmu untuk yang pertama kali.”
“Kenapa?”
“Kamu orang paling aneh yang aku kenal. Kamu juga manusia langka yang aku
temukan. Posisi imajinermu sangat memukauku. Belum lagi cara berpikirmu ketika kamu
adalah manusia normal.”
“Ha…ha…memangnya aku terkadang menjadi tidak normal?”
“Kenapa tertawa Han? Kamu tidak menjadi normal ketika yang kamu pegang
adalah buku dan bolpoin. Kamu bisa kemana saja dan berbuat apa saja dengan itu.”
“Semua tergantung yang menilai Jack! Tapi kalianlah sahabat terbaik yang pernah
aku punya.”
“Tapi apapun yang kita alami pastilah telah di perhitungkan oleh Sang Pencipta.”
“Tentang mati dan hidup?”
“Yuup…” sahut Jack yakin.
“Aku suka itu jack, aku suka!”
Sepertinya mereka berdua semakin serius membahas wanita dalam Koran itu.
Membicarakan tentang kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi. Menjadikannya
sebuah guyonan sebelum tidur. Atau barang kali mereka ingin menciptakan dongeng baru
tentang sebuah kisah romatis yang dramatik.
“Han…aku tidur dulu ya!” Jack melangkah keluar dari kamar.
“Jack! Arif dan Pay sudah tidur?”
“Sudah dari tadi, met malam semoga kamu menemukannya dalam mimpi,
ha…ha…,” sambil tertawa Jack meninggalkan ruangan itu, menutup pintu kembali dan
melangkah menuju ruangan diseberang.
Han merebahkan tubuhnya kembali. Mebiarkannya terlentang tanpa selimut.
Matanya menerawang jauh. Hampir lima belas menit dia terdiam, terbaring dan masih
belum juga terpejam. Tiba-tiba saja dia teringat sebuah buku tentang HIV yang didapatnya
beberapa hari lalu saat seminar. Pemuda dengan rambut sedikit panjang itu lalu bangun,
turun dari ranjang dan melangkah kearah rak-buku disudut ruangan. Melihat satu demi
satu buku yang tersusun rapi itu. Pada akhirnya dia tersenyum, sepertinya buku yang
dicari telah ketemu. Sebuah buku kecil berwarna pink. Dengan senyumnya yang khas, dia
kembali ketempat tidur dan membacanya halaman demi halaman.
Siapa dalang utama gerakan 30 September?
Dari kesaksian pelaku yang terlibat, gerakan 30 September di tujukan kepada
jenderal-jenderal yang tidak loyal terhadap Presiden Soekarno. Itulah sebabnya
Letkol. Untung menjadi pemimpin gerakan. Menurut versi pemerintahan orde baru,
Letkol. Untung merupakan ‘orang suruhan’ Aidit. Sementara di lain pihak
mengabarkan Letkol. Untung dekat secara pribadi dengan Mayjen Soeharto, sosok
yang memberangus gerakan 30 September. Soeharto dikabarkan menghadiri
pernikahan Letkol. Untung di Kebumen. Kedekatan ini, menurut analis banyak
pengamat, memberi alasan mengapa Letkol. Untung tidak memasukan Soeharto
kedalam daftar jenderal yang harus di culik. Ada pula versi yang mengungkapkan
bahwa gerakan 30 September yabg dipimpim Letkol. Untung di prakasai Presiden
Soekarno sendiri. Presiden yang merasa jengah dengan perilaku jenderal-jenderal
yang tida loyal memerintahkan Untung untuk mengamankan mereka. Namun yang
terjadi, muncullah gerakan yang kemudian berjalan di luar kendali pimpinannya
sendiri. Lalu siapa yang sebenarnya memanfaatkan Letkol. Untung?

EMPAT
“Han…bangun, sudah siang!”
“Entar dulu ah!” jawab Han malas.
“Tumben kamu se-siang ini masih molor?”
Han membalikkan tubuhnya, tapi tidak menjawab pertanyaan Arif. Hanya
memandang dari balik bantal yang ditutupak di diwajah.
“Kamu nggak kuliah?”
“Nggak,” sahutnya dengan nada malas.
“Ya sudah, molor terus!” Arif meninggalkan kamar itu, berjalan kearah ruang tamu
lalu menemui kedua sahabatnya yang sudah menunggu.
“Mana Rif?” tanya Pay.
“Siapa Pay?”
“Han,”
“Masih molor, tidak mau bangun.”
“Biarin aja, hari ini dia tidak ada kuliah,” celetuk Jack cepat.
Sepertinya tiga pemuda sebaya itu sudah terlihat rapi. Jack, Pay dan Arif duduk
diruang tamu, dimeja kecil itu telah berjajar cangkir-cangkir berisi kopi.
“Ada yang aneh pada diri Han akhir-akhir ini?”
“Ah…Pay, seperti tidak tau siapa dia saja?”
“Tapi Jack, sudah siang gini belum bangun!”
“Mungkin tadi malam tidak tidur.”
“Ngapain?”
“Biasa, nyelesain novel terbaruya.”
“O…pantesan, jarang keluar dari kamar.”
“Rif, kenapa kamu hanya diam saja?” Jack melihat kearah Arif yang hanya terdiam
sambil menikmati rokoknya.
“Apa kalian percaya pada jodoh?”
Kedua temannya hanya diam, tidak langsung menjawab pertanyaan Arif.
“Kalo aku sih…percaya,” Jack memberi sebuah jawaban walau agak ragu.
“Kalau kamu Pay?” Arif menatap Pay dengan tajam.
“Percaya, hanya saja jodoh tidak akan diturunkan begitu saja.”
“Maksudnya?” tanya Arif belum puas dengan jawaban itu.
“Ya…kita harus mencarinya! Kita harus berkorban untuk mendapatkannya, dan
tentunya jodoh kita adalah seseorang yang tepat di hati kita.”
Mereka saling melihat, terdiam lalu tertawa.
“Ha…ha…berarti kita harus mulai mencari dari sekarang!” Pay lalu tertawa.
“Ha…ha…Rif, memang mudah cari pacar? Memang mudah mencari cinta? Kalau
yang kita harapkan bukan cinta pertama lalu bagaimana?” Jack memberikan beberapa
pertanyaan di sela tawanya.
“Berusaha tidak ada salahnya Jack,” sanggah Arif lagi.
“Tidak usah ribut, itu masalah kecil,” celetuk Pay.
“Masalah kecil Pay?”
“Iya, mungkin kita saja yang tidak sadar kalau banyak cewek yang naksir sama
kita-kita?”
“Putri itu tidak datang bila kita tidak mencarinya,” guman Pay pelan sesaat
kemudian.
“Ha…ha…mungkin juga ya?” Jack seakan bertanya pada dirinya sendiri.
Sedangkan Arif hanya bisa tersenyum simpul sambil memandang kedua sahatnya
itu.
“Sudah ah…pagi-pagi yang dibahas malah jodoh!’’ ungkap Arif hendak menutup
pembicaraan.
“Ye…yang mulai kan kamu!” bantah Jack.
“Iya, tapi batal,” Arif pura-pura sewot.
“Ha…ha…,”mereka bertiga tertawa bersamaan.
“Ayo, sudah siang nanti telat!” Pay menyahut tas pinggangnya yang ada di meja.
Setelah membawa cangkir-cangkir itu kebelakang mereka berangkat kekampus.
Sedangkan Han masih terlelap dalam tidur pagi. Menikmati mimpinya bersama
Cinderella, dengan Roro Jonggrang dan Nawangwulan. Atau barangkali dia telah
memberikan sepatu kaca itu pada gadis cantik yang di impikannya.

LIMA
“Jack, kamu tadi dicari Han!” Pay menghampiri Jack.
“Katanya dia tidak kekampus?”
“Mungkin berubah pikiran, aku baru saja ketemu di loby.”
“Dia masih disana Pay?”
“Iya.”
“Aku kesana dulu ya!”
“Ya.”
Jack meninggalkan kantin, menelusuri lorong itu menuju keruang loby. Beberapa
kali dia menyapa teman yang berpapasan dengannya.
“Ada apa Han?” Jack langsung menyapa Han yang sedang duduk dikursi panjang
sambil melihat televisi.
“Eh… kamu bisa kirim e-mail nggak?”
“Ha…hari gini nggak bisa kirim e-mail ha…ha…?” sambil menirukan sebuah iklan
Jack menjawab pertanyaan Han.
“Hus…jangan keras-keras!”
“Kenapa?”
“Malu.”
“Ah…kamu sih, punya komputer cuma bisa buat ngetik doang, gaul dong!”
“Ah…iya-iya, bisa nggak?”
“Bisa, kapan?” jawab Jack meyakinkan Han.
“Tahun depan!’’
“Ceileh…ngambek nich?” goda Jack.
“Bisa nggak?”
“Aku masih ada satu mata kuliah lagi.”
“Ya sudah, aku menunggu disini!”
“Kamu mau nungguin aku?” Jack tampak tidak yakin.
“Iya, emang kenapa?”
“Tumben, sepenting apakah e-mail itu?”
“Ah…tidak usah banyak tanya napa?”
“Iya…iya…aku masuk dulu ya!”
“Yuup.”
“Yakin mau nunggu?” Jack bertanya sekali lagi.
“Iyaaaaa…,” Han tampak sebel.
Teriakan pemuda itu membuat beberapa orang yang duduk-duduk di-loby melihat
kearah mereka. Jack dan Han hanya tersenyum.
“Kamu sabar ya!” Jack tersenyum, lalu dengan nada mengejek dan sambil
memegang bahu Han dia berkata seperti itu.
Walau tau kalau dia mengerjainya, Han malah tersenyum simpul padanya walau
tidak lagi memperhatikan Jack yang melangkah pergi meninggalkannya.
Setelah Jack pergi, Han membuka tasnya. Mengeluarkan Koran yang tadi malam
dibaca. Lagi-lagi Han mengamati gambar wanita disudut bawah Koran itu. Setelah puas
memandangnya dia melangkah keluar, memandang sebuah tempat sampah didekat pintu
masuk dan melemparkan koran itu kedalamnya.
“Kalau mukzijat itu adalah aku, maka kita pasti akan bertemu. Akan kuberikan
sepatu kaca dari dalam mimpiku padanya. Akan kuberikan cintaku, walau bukan lagi cinta
pertama,” suaranya lirih namun dapat terdengar.
Han kembali kedalam ruangan itu, duduk ditempatnya semula.
Setelah meyakinkan dirinya sendiri, pemuda hitam manis dengan baju hitam itu
kembali duduk di kursi panjang.
“Han…novelnya sudah jadi belum belum?” seorang gadis dengan rambut sebahu
menghampirinya. Nina gadis cantik dengan kulit bersih. Teman satu kampus Han.
“Eh…kamu Nin. Belum jadi masih sembilan puluh halaman.”
“Rencananya berapa halaman?” sambil duduk disampingku.
“Paling seratus lima puluh. Tidak ada kuliah?” lanjut Han berbasa-basi.
“Baru keluar, kamu?”
“Tidak ada,” jawab Han singkat.
“Tumben tidak ada kuliah tapi tetap kekampus?”
“Lagi bete, tidak ada teman dirumah.”
“Main kekostku aja yuk!” Nina tersenyum kecil.
“Sekarang?” Han mengerutkan dahinya.
“Iya, sekalian ngantar aku pulang.”
“Kamu tidak bawa motor?” tanya Han lagi.
“Dipakai Adek,” jelas Nina.
“Tapi makan dulu ya?” Han memberikan sebuah pendapat.
“Kamu belum makan?’’
“Belum.”
“Didekat kostku ada warung yang enak kok, kamu pasti suka.”
“Serius?” Han tersenyum.
“Iya.”
“Berangkat sekarang?” tanya Han.
“Kalau kamu tidak merasa terganggu sich,” Nina tersenyum senang.
Han dan Nina berdiri, menuju ketempat parkir. Sebentar kemudian mereka telah
berada diatas motor dan siap berangkat.
Selama dalam perjalan tidak banyak yang mereka bicarakan. Baik Han maupun
Nina seakan hanya menikmati lalu lalang kendaraan sepanjang jalan yang mereka lewati.
“Han…aku kok tidak pernah melihatmu jalan bareng dengan seorang wanita?”
“Lha…sekarang ini, memang kamu laki-laki?” Han tertawa kecil.
Sebuah cubitan kecil mendarat dipinggang pemuda itu.
“Maksudku dengan pacar kamu!” tegas Nina lagi.
“Lagi dalam tahap negoisai,” jawab Han sekenanya.
“Apanya?” Nina penasaran.
“Ya…calon pacarnya,” lanjut Han masih dengan senyumnya.
“Pacar kok nego sih?” Nina cemberut manja.
“Habis mau di apain lagi, langsung jadian?”
“Ha…ha…kamu lucu juga ya?” Nina jadi tertawa.
“Iya…aku kan pernah jadi badut,” Han menggoyang kepalanya.
Nina tertawa terpingkal-pingkal mendengar jawaban yang sekenanya itu.
“Mana warungnya?”
“Tuh… didepan belok kanan!” Nina menunjuk sebuah pertigaan di depan mereka.
Setelah melewati pertigaan itu, Han menghentikan motornya didepan sebuah
warung yang ramai pengunjung.
“Wah…ramai banget.”
“Begitulah, apa-apa kalau enak dan sesuai pasti laku.”
“Ah…belum tentu, buktinya aku yang enak, sesuai, baik dan tidak sombong belum
juga laku?” Han menggoda Nina.
Nina melirik kearah pemuda tampan di hadapannya yang tertawa lebar. Bila di
lihat dari jarak yang cocok, pemuda itu tidak jauh beda dengan Nugie, potongan
rambutnya, tingginya bahkan caranya tersenyum juga mirip.
“Kamu duduk aja disana, biar aku yang ambil!” Nina menunjuk sebuah meja
kosong disudut ruangan itu, dan hanya meja itulah yang kosong dari sekian banyak meja
yang berjajar.
Han melangkah kearah meja yang dimaksud dan memberikan sedikit senyuman
saat melihat Nina berjalan kearah kerumunan orang yang antri mengambil menu. Setelah
cukup lama menunggu, akhirnya Nina datang dengan dua porsi makanan yang sama.
“Kok kamu tau aku suka ayam goreng dan sayur asem?” Han tampak heran dengan
menu di hadapannya.
“Aku sering melihat kamu makan dengan menu seperti ini dikantin,” Nina
tersenyum bangga.
“Kamu tau nggak? Baru kali ini lho, aku dilayani oleh gadis secantik kamu,” Han
tersenyum sambil melirik kearah Nina.
“Tuh…kan mulai merayu!’’ Nina tampak malu-malu.
“Suer,” sambil mengangkat tangannya.
“Beneran?” tanya Nina yang semakin tersipu.
“Mau percaya silahkan, enggak juga nggak apa-apa!”
Mereka lalu mulai menyantap makanan itu, sesekali Han melihat kearah gadis
didepannya. Saat beradu pandang mereka hanya saling tersenyum.
“Han…dengar-dengar dari kalian ber-empat belum ada yang punya pacar ya?”
“E…mau jawaban yang jujur apa yang asal?”
“Yang jujur dong!”
“Bener.”
“Beneran?” Nina meyakinkan.
“Iya.”
“Alasannya?” tanya Nina lagi.
“Nggak tau, mungkin nggak laku.”
“Kurasa, tidak ada yang kurang dari kalian ber-empat.”
“Emang gitu?”
“Sepertinya iya.”
Han lalu terdiam, begitu juga Nina. Setelah selesai makan mereka berdua
melanjutkan perjalan ketempat kost-nya Nina. Sesampainya di depan pintu pemuda itu
tertegun.
“Wah…kamarmu bagus ya?”
“Biasa saja, silahkan masuk.”
“Sebenarnya aku takut lho!”
“Takut apa?”
“Kalau masuk kedalam,” Han tersenyum kecil sambil menyandarkan tubuhnya di
daun pintu.
“Kenapa?” Nina tampak heran.
“Biasanya aku langsung tertidur bila berada disebuah kamar yang indah dan
bersih,” memandang beberapa lukisan yang menempel di-dinding kamar itu.
“Ya sudah tidur aja, tidak ada yang marah kok.”
Setelah masuk keruangan itu Han langsung merebahkan tubuh dikasur busa
beralaskan seprei biru dengan bunga-bunga sedikit merah. Sebuah guling berwarna pink di
peluknya dengan erat.
“Tidur saja nanti pasti kubangunkan, aku mau ngerjain tugas dulu.”
Nina duduk menghadap komputer.
Tidak lama kemudian susana telah menjadi hening. Nina sibuk dengan
komputernya dan Han telah terbang kealam mimpi yang indah.

ENAM
Han membuka mata, dan sangat terkejut melihat gadis cantik itu telah berada
disampingnya. Apalagi tangan gadis itu melingkar dipinggangnya. Pemuda itu mengusapusap
mata sepertinya tidak percaya dengan apa yang dialaminya, kemudian mengamati
wajah ayu Nina yang terlelap. Suara merdu lagu syahdu melantun pelan. Han lalu
mengamati jam dinding yang ada dikamar itu, sudah menunjukkan angka satu dini hari.
Hanya diam yang dia bisa, memandang lagi kearah gadis yang memeluknya dengan erat.
Entah berapa lama Han mengamatinya, berbagai macam pikiran berkecamuk
didalam otaknya, antara percaya dan tidak percaya. Lalu dia mangangkat tangan Nina
pelan-pelan. Pemuda itu memutuskan bangun dan menengok keluar melalui jendela kaca,
tak ada siapun diluar sana. Hanya terdengar nyaian jangkrik-jangkrik kecil. Han
melanglah menuju kamar mandi dipojok ruangan itu. Mencuci muka sambil mengamati
bayangannya dicermin kecil yang menempel di dinding. Setelah itu Han keluar, duduk
dikursi dekat komputer sambil memandang Nina yang tertidur. Tak henti-hentinya dia
mengamati gadis itu, cantik dan ah…pikirannya jadi ngelantur.
“Sudah bangun Han?”
Suara gadis itu mengagetkan lamunan pemuda itu.
Han hanya tersenyum kecut.
“Sudah tidak usah dipikirkan, tidur lagi aja lagi!” dari atas kasur busa itu Nina
berbicara padanya.
“Kenapa aku tidak dibangunkan dari tadi Nin?” ucap Han pelan.
“Kamu tidurnya pulas sekali, aku jadi tidak tega.”
Nina lalu bangun dari tempat tidurnya, menghampiri Han yang terduduk lesu
dikursi. Gadis itu lalu memegang tangannya.
“Sudah tidak usah dipikirkan, tidur lagi!’’ sambil menarik lengan pemuda yang
terdiam sedari tadi.
Dia hanya menurut saja saat Nina menarik tangan lemas itu dengan pelan. Kini
mereka berdua telah kembali berada diatas pembaringan. Lagi-lagi Han hanya
memandang gadis yang ada disampingnya itu, mengamati lekuk-lekuk tubuh yang
terbungkus daster tipis warna biru dengan bunga-bunga mawar warna-warni. Desah
nafasnya terdengar pelan bersamaan dengan tangan gadis itu yang kembali melingkar
dipinggangnya.
Mata mereka beradu pandang, saling menyelam kedalam hati masing-masing.
Cukup lama mereka hanya saling menatap tanpa ada sepatah katapun yang terucap. Lalu,
Han melingkarkan tangannya ketubuh sintal itu.
“Sorry ya Nin, aku jadi merepotkanmu.”
“Merepotkan apanya?”
Suara manja Nina seakan menggetarkan hati, dan Han hanya bisa terdiam lagi.
Tidak menjawab pertanyaan dari Nina. Tubuh mereka semakin dekat, pelukan itu semakin
erat. Entah siapa yang memulai, bibir itu kini telah semakin dekat dan sangat dekat. Desah
nafas itu kini telah menjadi satu.

TUJUH
“Baru pulang Han?” sapa Arif pelan.
“Iya.”
Han duduk disofa, disamping Arif yang sedang menikmati secangkir kopi sambil
membaca Koran pagi itu.
“Semalam tidur mana?”
Han hanya diam, tidak menjawab pertanyaan Arif.
“Jack kemarin marah-marah, katanya nyari kamu tidak ketemu?”
Melihat Han yang hanya diam, Arif lalu bertanya lagi pada Han yang baru saja
datang.
“Ada masalah Han?”
“Tidak.”
Di raihnya cangkir kopi yang ada diatas meja dan tentunya itu milik sahabatnya.
Meneguknya sedikit dan mengembalikannya lagi ketempat semula.
“Kamu tadi malam tidur mana?” tanya Arif dengan raut muka heran.
“Kalau aku jawab, kamu janji tidak akan bilang siapa-siapa?” Han akhirnya buka
mulut juga.
“Paling hanya ngomong Jack dan Pay.”
“Janji?”
“Iya, paling-paling cuma mereka berdua!” Arif tampak ingin segera tau jawaban
Han.
“Dikamarnya Nina.”
“Ha…! Dikamarnya Nina?” dengan nada sangat terkejut.
“Iya,” mengambil koran yang dipegang Arif.
“Jack…Pay…teman kita sudah punya pacar!” Arif berteriak memanggil kedua
temannya yang masih didalam kamar.
“Hus…siapa yang pacaran?” hardik Han.
“Tapi, buktinya semalam kamu tidur sama Nina!”
“Bukan berarti aku pacaran kan?” mukanya tampak memerah.
Dengan senyum simpul, Han berusaha menyangkal pendapat Arif. Sedangkan Jack,
dan Pay yang baru keluar langsung duduk bersama diruang itu.
“Kemarin kemana, aku cari-cari tidak ketemu?”
Jack langsung menanyakan itu pada Han.
“Sory Jack, kemarin aku ngantar Nina pulang.”
“Terus, dia tidur disana sekalian!” Arif memotong pembicaraan mereka berdua.
“Iya, Han? Kamu tidur dengan Nina si-bahenol itu?” Pay tampaknya juga tidak
mau ketinggalan berita hangat itu.
Han hanya tersenyum pada mereka bertiga yang jelas masih penasaran akan sebuah
jawaban yang pasti.
“Iya,” menjawabnya dengan pelan tapi pasti adalah satu-satunya pilihan yang bisa
terucap saat itu.
“Pantesan, kemarin menghilang bagai ditelan bumi,” gerutu Jack.
“Sory, Jack,” Han menatap Jack.
“Itu bukan masalah besar, kamu ninggalin aku juga tidak apa-apa, tapi…”
“Tapi apa jack?”
“Sebagai gantinya, sebagai pengobat rasa jengkelku padamu, kamu harus cerita
tentang semua kejadian, dari kemarin di loby kampus sampai pagi ini!” Jack tersenyum
bangga dengan idenya.
“Ah…itu masalah lain Jack,” Han tampak malu-malu.
“Lain? Apanya yang lain?”
“Ha…ha…baiklah, tapi janji tidak akan membicarakannya didepan teman-teman
yang lain?”
Setelah didesak, akhirnya dengan terpaksa Han mau menceritakannya.
“Iya …,” jawab mereka bertiga hampir bersamaan.
“Tapi kamipun juga punya syarat, ceritanya harus runtun, jelas dan menggunakan
bahasa yang baik dan benar!”
Seperti seorang hakim yang mengadili tersangkanya, Jack memberikan sebuah
penjelasan disertai dengan gerakan tangannya.
“Ha…ha…terserah yang bercerita dong!”
“Wah…mau aman nggak?”
“Iya deh Jack,” lagi-lagi Han harus menuruti permintaan teman-teman pagi itu.
“OK ?” Jack minta pendapat yang lain.
Pay dan Arif mengangguk cepat.
“Begini, siang itu aku duduk diloby, menunggu teman yang kuliah, lalu Gadis itu
datang.”
Sepertinya Han sedikit malu untuk mulai bercerita. Sementara teman-teman hanya
mendengarkan saja.
“Lalu dia memintaku mengantarnya pulang, sebelum sampai tempat kost-nya, kami
makan dulu. Disebuah warung yang ramai pengunjung. Aku disuruhnya duduk disebuah
meja disudut ruangan. Nina mengambilkanku sepiring nasi lengkap dengan sayur asem
dan ayam goreng,” lanjutnya lagi.
“Lalu?”
“Kami makan tanpa banyak pembicaraan yang kami lakukan. Setelah makan, kami
ketempat kost-nya. Semula aku hanya berdiri didepan pintu, terkagum-kagum dengan tata
ruang dan kebersihan kamar itu.”
Han menghentikan cerita, menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya pelan.
Belum ada komentar dari teman-temannya, mereka masih menunggu.
“Lalu dia memintaku masuk, sebenarnya aku menolak dan ingin pulang saja.
Karena aku lelah dan tertarik dengan kamar itu, aku akhirnya tertidur,” lanjut Han yang
wajahnya semakin memerah.
“Nina?” celetuk Jack.
“Dia mengerjakan tugas, duduk didepan komputernya.”
“Lalu?” sepertinya Arif yang paling penasaran.
“Lalu aku terbangun, tapi itu sudah jam satu malam.”
“Nina?” lagi-lagi Arif berinisiatif menanyakan sang gadis.
“Dia telah memelukku dengan erat, aku menjadi semakin takut saat aku melihat
jam dinding itu sudah menunjukkan angka satu.”
“Lalu?” celetuk Jack antusias.
“Aku hanya diam untuk beberapa saat, hingga aku memutuskan untuk pergi kekamar
mandi, membasuh mukaku dan berkaca. Setelah itu aku duduk di depan computer,
mengamati Nina yang tertidur pulas,” wajah Han semakin merah.
“Cuma gitu?” Jack semakin antusias.
“Tidak, dia terbangun. Berbicara sebentar dan dia menyuruhku tidur lagi. Nina
menarikku dengan manja, sedangkan aku hanya menurut saja.”
“Lalu kamu bercinta?”
“Jack, jaga pembicaraanmu, memang aku semudah itu?” Han pura-pura marah.
“Ha…ha…,” melihat sahabatnya pura-pura marah mereka malah tertawa.
“Setelah sampai diatas tempat tidur aku tidak bisa memejamkan mata, aku hanya
bisa melihat lekuk-lekuk tubuhnya yang tertutup kain tipis berwarna biru muda.”
“Kalian tidak bercinta?” tanya Jack lagi.
“Tidak.”
“Hah…sama sekali?” sepertinya Jack tidak percaya dengan apa yang diceritakan
“Tidak, aku hanya mencium bibirnya.”
“Setelah itu?”
“Ya…Cuma sampai disitu, kami hanya berciuman sampai aku tertidur lagi.”
“Ha…ha…aku tidak bisa membayangkan jika kamu harus telanjang, ha…ha….”
Mendengar perkataan Jack itu, semua tertawa termasuk Han. Mereka masih saja
membicarakan kejadian semalam, berbagi pendapat atau barang kali saling curhat.

DELAPAN
Malam telah hampir berganti pagi, namun Han masih belum juga memejamkan
mata. Bila kemarin malam tertidur dengan seorang gadis disampingnya, kini hanya
bantal-bantal bisu yang menemani. Mungkin juga dia merasakan kesepian yang sangat.
Bila tadi pagi dia dipaksa bicara oleh teman-teman, kini dia hanya duduk
termenung didepan komputer, tanpa melakukan apapun. Sedetik setelah itu Han beranjak
dari kursi, melangkah menuju keatas ranjang, mengamati alroji kesayangan yang telah
menunjukkan angka tiga, tentunya saat itu sudah jam tiga pagi. Memejamkan mata lalu
terlelap. Malam yang sunyi tanpa mimpi mungkin saja di alaminya...
Pagi telah tiba, saat pintu kamar terbuka berlahan. Arif masuk kedalam dan
membangunkan Han yang masih terlena oleh mimpi.
“Han…bangun, ada yang nyari tuh!”
Tapi Han belum juga menyahut, hingga Arif harus mengulangi perkataannya lagi.
“Han, bangun…ada yang nyari tuh!” kali ini sambil mengguncang-guncang tubuh
sahabatnya.
“Siapa?”
“Tuh diluar, cepetan.”
Arif meninggalkannya yang masih terlentang ditempat tidurnya.
“Han…cepetan, aku mau berangkat kekampus,” sambil melongok sekali lagi ke
dalam kamar. “Kasihan dia tidak ada yang menemani,” Lanjutnya setengah berteriak.
Arif menutup pintu kamar itu kembali, melangkah keluar dan menemui seseorang
diruang tamu.
“Tunggu sebentar ya, Nin!”
“Iya, santai saja.”
“Aku harus kuliah, sorry banget tidak bisa menemani.”
“Iya, hati-hati.”
Arif langsung meninggalkan Nina diruang tamu.
Cukup lama Nina menunggu diruang tamu, beberapa kali dia terlihat melihat jam
di-dinding ruang itu. Dia beranjak, melangkahkan kakinya menuju kamar. Membuka pintu
kamar itu dengan hantinya yang sedikit deg-degan.
Setelah membuka pintu, gadis itu mengamati seluruh ruangan.
“Rapi,” gumamnya, dengan senyum khas bidadari cantik.
Dia melihat Han yang masih terlentang tanpa mengenakan baju. Mungkin saat itu
Han dalam keadan setengah sadar setelah Arif membangunkannya beberapa menit yang
lalu. Nina lalu duduk didepan computer, memandangnya yang terbaring diatas tempat
tidur . Dia mendekatkan dirinya.
“Han…bangun, sudah siang!”
Suara lembut itu seakan langsung menusuk kedalam telinga dan langsung
membuyarkan mimpi pemuda itu.
“Eh…Nin, sudah lama?” sambil menutup tubuhnya dengan selimut.
“Kenapa, malu ya?”
“Ah, enggak,” walaupun sebenarnya dia malu, karena saat itu tidak mengenakan
baju.
“Kamu tidak kuliah?”
“Tidak, hari ini kosong. Maaf ya, aku tidak tau kalau yang datang kamu.”
“Ah…tidak apa-apa, memangnya kamu tidak tidur semalam?”
“Tidur, tapi sudah pagi. Aku madi dulu ya Nin,” pemuda itu beranjak dari ranjang,
melangkah keluar.
Nina hanya tersenyum sambil mengamatinya. Han sempat melihat gadis itu
mengambil sebuah buku dirak lalu merebahkan tubuhnya diranjang sambil membaca buku
tersebut. Dengan senyumnya, pemuda itu meninggalkan kamarnya.
Saat Han masuk kembali, Nina tidak juga memperhatikannya, dia lebih asyik
dengan buku yang dibacanya.
“Itu buku pertamaku,” sambil menunjuk buku yang dibaca Nina.
“Buat aku ya!”
“Ya…bawa saja, tuh dirak masih banyak lagi.”
Sambil mengusap-usap rambutnya yang basah dengan handuk warna biru. Setelah
yakin rapi, Han melangkah menuju pembaringan memposisikan diri disebelah Nina.
Gadis itu hanya tersenyum sambil mengusap kepala Han dengan penuh kasih sayang.
“Kamu tidak kuliah Nin?”
“Sudah, tadi masuk jam delapan pagi. Setelah itu langsung kesini.”
“Adikmu sudah pulang?” tanya Han lagi.
“Sudah, beberapa menit setelah kamu meninggalkan kamarku.”
“Kamu bilang kalau aku semalam tidur ditempatmu?”
“Iya, dia paling tau aroma cowok, ha…ha…”
Han ikut tertawa, menatap bibir gadis cantik yang merekah itu. Mungkin juga saat
itu dadanya berdebar. Dia seakan enggan berpaling dari bibir yang benar-benar merah
merekah.
“Apa kata Adikmu?”
“Dia tidak percaya kalau kamu hanya menciumku,” gadis itu tersenyum simpul,
menatap lawan bicaranya dalam-dalam. Sementara aku yang ditatapnya hanya diam.
“Kamarmu rapi juga ya?”
“Ah…lebih rapi kamarmu,” Han tampak merendah malu-malu.
“Apakah ada wanita yang masuk kesini selain aku?”
“Belum ada, paling Arif, Jack dan Pay, selain itu belum ada.’’
“Sama sekali?”
“Iya.”
“Suer?”
“Iya.”
“Apakah Ibumu juga tidak pernah masuk kesini?” Nina tersenyum simpul.
“Tidak, Ibuku tidak pernah kesini.”
“Kenapa?”
“Mungkin dia terlalu sibuk, lagian Ibuku tinggalnya jauh dari sisni.”
“Dimana?”
“Kalimantan,” jawab Han singkat.
Nina hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara itu pemuda yang ada
disampingnya hanya tersenyum.
Obrolan itu memang terkesan kaku. Hanya saja setelah beberapa saat kemudian
semua menjadi wajar biasa. Bahkan beberapa kali Nina memukul pundak Han dengan
mesra lalu keduanya tertawa. Ya...seperti sepasang kekasih yang di mabuk asmara. Saling
bercerita dan bercanda.

SEMBILAN
Hari telah beranjak sore saat Jack dan Pay datang. Mereka berdua duduk disofa
melepas lelah. Sepertiga menit kemudaian Arif datang dan langsung bergabung dengan
mereka. Wajahnya memerah karena sengatan matahari yang bercampur debu jalanan.
“Mana Han?”
“Emang aku bapaknya?” Jawaban Pay itu mebuat mereka tertawa.
“Tumben Rif kuliah sampai sore?”
“Lagi banyak tugas Jack.”
“Coba lihat Han dikamarnya, siapa tau dia pingsan.”
“Iya Rif, seharian tidak keluar betah banget ya tuh anak?”
Arif melangkah masuk, membuka pintu kamar Han pelan-pelan. Dia tersenyum
melihat sahabatnya tertidur, apalagi seorang gadis memeluknya dengan erat. Dia menutup
kembali pintu kamar itu pelan-pelan agar tidak mengusik mimpi sahabatnya yang sedang
berdua dengan gadis itu.
“Sst…jangan berisik, Han lagi tidur,” Arif kembali pada kedua temannya diruang
tamu.
“Hah…jam segini belum bangun?”
“Pelan-pelan Pay, dia sedang dipeluk bidadari cantik.”
“Siapa?” sepertinya Jack juga penasaran.
“Tuh cewek yang semalam tidur dengannya.”
“Nina?” mereka berdua menanyakan hal yang sama.
“Iya.”
“Wah…kita bakal bisa menepis gossip nih,” Pay tertawa pelan.
“Gosip apa?” sambil mendekatkan kepalanya pada Pay.
“Gosip kalau kita homo Jack…ha…ha….”
Mereka bertiga tertawa terbahak-bahak, lalau sebentar kemudian mereka terlihat
sedikit menahan tawa.
“Iya…kita akan punya seseorang yang merawat bunga-bunga ditaman, terus, akan
ada yang membuatkan kopi saat bangun tidur, terus…akan ada yang nyapu dan bersih-
bersih rumah, ha…ha…” Jack tampak mebayangkan sesuatu.
“Ssst…pelan-pelan kalau mereka bangun bisa kacau,” Arif meminta kedua
sahabatnya untuk mengurangi volume suara mereka.
Sepertinya mereka sangat bahagia dengan kehadiran Nina. Sepertinya pula mereka
sangat merindukan seorang wanita diantara mereka.
“Eh…kalian sudah datang?” Suara itu sangat mengejutkan obrolan mereka bertiga.
“Sudah bangun Nin, sini ngobrol ama kita-kita,” Jack langsung berdiri, menyambut
kehadiran Nina yang muncul tiba-tiba. Mempersilahkan wanita itu duduk didekat mereka.
Nina hanya bisa tersenyum. Dia tidak menyangka sambutan yang di dapatnya sangat
hangat.
“Terimakasih ya Jack.’’
“Biasa aja, anggap rumah sendiri,” kata Jack lagi.
“Belum mandi ya?”Pay ikutan mengajukan sebuah pertanyaan.
“Iya Pay” Jawaban itu tentu saja diikuti dengan senyum yang malu-malu.
“Boleh kok mandi disini.”
“Tidak membawa peralatan mandi, lagian juga mau pulang.”
“Pulang?” Ketiga sahabat itu saling memandang mendengar jawaban Nina.
“Jangan pulang dulu, pakai peralatan madiku saja.” Arif dengan senang hati
menawarkan peralatan mandinya.
“Apa mau diambilkan ditempatmu?” Jack tidak kalah serunya dalam menawarkan
jasanya.
“Tak beliin aja ya, butuh apa saja?”
“Ah…kalian jangan bercanda dong!”
“Tidak, kami tidak bercanda,” sepertinya jawaban Jack memang serius, apalagi
diikuti anggukan kedua temannya.
“Nggak usah repot-repot, pakai punya Han juga tidak apa-apa,” pipi gadis itu
memerah, sebuah tanda kalau dia malu atau tersanjung dengan perkataan teman-temannya
itu.
“Kamu mandi dulu biar aku mengambilkan pakaianmu di-kost ya?” Pay langsung
berdiri, bersiap untuk berangkat.
“Ah…tidak usah Pay, merepotkan saja.”
“Tidak apa-apa, biar aku ambilkan pakaianmu.”
“Ah…jadi merepotkan kalian semua.”
“Tidak apa-apa, asalkan nanti kita masak bersama dan makan malam bersama.
Bagaimana setuju?” Pay meminta pendapat mereka.
“Setuju….” Jawaban itu keluar dari mulut Jack dan Arif. Sementara Nina hanya
tersipu malu. Pancaran binar bahagia terlihat jelas di wajahnya.
“Bagai mana Nin setuju tidak?”
“Eh…bagaimana ya?” Nina tampak semakin malu-malu mau.
“Setuju aja deh.”
“Iya deh Pay, tapi ini tidak merepotkan kalian kan?”
“Tidak,’’ lagi-lagi tanpa dikomando mereka mengeluarkan jawaban yang sama.
Nina melangkah masuk lagi kedalam kamar, memandang Han yang masih terlelap
tidur sore itu. Menutup kembali pintu kamar, lalu membuka pakaiannya didepan cermin,
mengambil handuk dan melilitkannya ditubuhnya yang sintal itu. Melangkah lagi menuju
kamar mandi. Setelah mandi dia kembali lagi, duduk didepan cermin. Membuka tas
kecilnya, mengeluarkan beberapa alat rias. Menyisir rambutnya yang basah, memakai
bedak dan sedikit lips ice.
Sepertinya Han telah membuka matanya dari tadi walau tidak beranjak dari
tempatnya semula. Han terkejut melihat Nina duduk didepan cermin, apalagi gadis itu
hanya mengenakan haduk yang menutupi sebagian tubuhnya. Han menatapnya dari atas
tempat tidur. Nina masih saja asyik dengan cermin didepannya tanpa tau sepasang mata
mengamatinya.
Pintu kamar itu diketuk pelan.
“Nin…in bajumu, kutaruh didepan pintu.”
Sepertinya itu suara Pay, Nina melangkah kearah pintu. Melihat gadis itu berdiri,
Han memejamkan mata lagi. Setelah mengambil sebuah tas didepan pintu, Nina kembali
lagi kedepan cermin, melihat kearah Han yang masih terbaring. Dia tersenyum karena
mengira pemuda itu belum bangun. Dilepaskan handuk itu, membuka tasnya dan mulailah
dia mengenakan pakainnya satu persatu. Sementara Han hanya bisa melihatnya, melihat
gadis itu berpakaian sambil sesekali menarik nafas panjang. Setelah yakin rapi, Nina
melangkah kearah pemuda yang pura-pura tidur. Mencium keningnya dengan mesra.
“Han…bangun sudah sore.”
Han membuka mata, memandang gadis cantik itu. Ada semacam perasaan yang
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
http://endikkoeswoyo.blogspot.com
http://endikpenulis.multiply.com
http://pionbanget.blogspot.com
36
36
berkecamuk dihati, sepertinya sebuah pertanyaan ”apa yang baru saja kulihat benarbenar
dia?’.
Han bangun, beranjak dari tempat tidur. Tanpa sepatah katapun dia lalu berdiri,
mengambil handuk yang ada dikursi dan pergi kekamar mandi.

SEPULUH
Dimeja makan telah tersedia berbagai menu masakan. Tidak lupa ayam goreng dan
sayur asem. Semua telah duduk kursi masing-masing bersiap untuk menyantap makan
malam bersama.
“Maaf ya bila masakannya kurang enak.”
“Dari aromanya saja saya sudah tau kalau ini lezat.”
Jawaban Pay itu diiringi dengan senyum yang lain, termasuk Nina. Walau agak
kaku, acara makan malam itu terlihat sangat romantis. Apalagi ditambah dengan alunan
merdu lagu klasik dari ruang tengah, Sebuah lilin ditengah meja bulat oval itu
dan…kehadiran Nina diantara mereka seakan membawa sebuah kedamaian. Begitulah,
suasana menjadi semakin hangat dengan gurauan mereka berlima. Bila biasanya hanya
makan diwarung belakang, kini mereka bisa menikmati makan dirumah sendiri, dimeja
makan sendiri dan dipiring sendiri.
“Ternyata lebih nyaman makan bersama-sama dirumah sendiri ya?”
“Iya, soalnya kita tidak perlu repot-repot ngantri, dan yang paling penting tidak
usah bayar, ha…ha…”
“Kalo bisa begini terus, mungkin kita akan betah dirumah ini.”
“Terus yang masak kamu, Pay?”
“Ha…ha…sepertinya kita harus kursus memasak pada Nina Jack.”
Nina hanya tersenyum malu, dia melihat kearah Han yang asyik menikmati makan
malam itu tanpa banyak bicara seperti teman yang lain. Karena dalam benaknya sedang
membayangkan kalau saja Nina adalah gadis dalam Koran itu. Membayangkan kalau
gadis itu adalah pemilik sepatu kaca yang selama ini selalu hadir dalam mimpinya.
“Han…kenapa kamu hanya diam saja?”
Mendengar pertanyaan Arif itu, Han kaget dan buyarlah semua lamunannya.
“Ah…aku hanya merasa heran.”
“Heran dengan apa?”
“Ya…heran dengan yang masak.”
“Kenapa Han?”
“Tidak kusangka Rif, masakannya enak.’’
“Ha….ha….’’ Mereka tertawa lagi mendengar jawaban itu, dan pastinya tawa itu
membuat Nina malu-malu.
Selesailah sudah acara makan malam pertama itu. Mereka masih saja duduk-duduk
melingkar dimeja makan. Menikmati hidangan penutup sambil terus bercengkrama. Nina
mulai merapikan piring-piring kotor dan mencucinya. Keempat cowok itu masih asyik
menikmati rokoknya masing-masing. Seyum dan tawa mereka penuh dengan kebahagiaan.
“Nin…setelah ini jangan pulang dulu ya!” tanya Jack singkat.
“Kenapa Jack?” Nina balik bertanya.
“Kita harus melihat film drama romantis terbaru,” ucap Jack mantap.
“Ha…ha…sejak kapan kamu suka nonton film romantis?”
“Sejak kehadiran Nina, Pay!”
Disambut tawa yang lain.
Arif membantu Nina mencuci piring, Pay dan Jack beralih keruang tengah,
menyiapkan vcd player. Jack menggelar karpet dan mengambil beberapa bantal dari
kamarnya. Pay mengganti lampu diruangan itu dengan yang lebih redup. Sungguh
suasana yang romantis. Han masih belum beranjak dari tempat duduk dimeja makan. Arif
kemudian menyusul kedua temannya keruang tengah.
“Nin…maafkan teman-temanku, mereka memang usil. Apapun yang dikatakan
mereka jangan kamu masukkan kedalam hati ya?”
Gadis itu hanya menjawab dengan senyum termanisnya. Setelah mencuci
tangannya, dia duduk disamping Han.
“Asalkan kamu senang aku juga senang Han,” kata Nina dengan senym tulus.
“Tapi Nin?’
“Sudah tidak usah dipikirkan, aku tidak akan menuntutmu yang macam-macam.”
Han terdiam, seakan memutar otak untuk mengartikan ucapan gadis itu.
“Kamu percaya kalau Cinderella mempunyai sepatu kaca?”
“Percaya, aku menyukai cerita itu. Kenapa?”
Pada akhirnya dia hanya tersenyum dan tidak meberikan jawaban atas pertanyaan
yang di loontarkan gadis itu. Dia menggandeng tangan gadis itu dan melangkah keruang
tengah. Duduk diantara teman-teman. Pemutaran film romantis dimulai, mereka semua
terdiam menyaksikan adegan demi adegan. Menikmatinya dan mengapresiasikan dengan
imajinasi masing-masing. Hanya sesekali terdengar suara batuk-batuk kecil dari mereka.
Setelah selesai melihat film itu mereka saling pandang, tersenyum lalu tertawa.
“Ternyata asyik juga ya?” Arif bertanya pada sahabat-sahabatnya.
Mereka hanya tersenyum.
“Besok pinjam lagi Pay!”
Komentar singkat itu sepertinya adalah sebuah komentar yang jujur dari dalam hati.
Diawali dengan Jack yang pamit tidur lebih dulu, diikuti Pay dan Arif yang melangkah
menuju kamarnya masing-masing. Hanya tinggal Han dan Nina yang kini sedang melihat
acara di televisi.
“Nin…kamu tidur saja dikamarku.”
“Kamu?”
“Ah…gampang, aku biasa tidur didepan teve.”
“Wah…aku paling takut tidur sendiri, apalagi ini bukan kamarku.”
Han terdiam, memandang gadis itu, membayangkan betapa hangatnya tidur
dipelukannya.
“Tapi apa kamu merasa aman bila tidur denganku?”
“Apa yang harus aku takutkan, buktinya kemarin aku aman-aman saja.”
Lagi-lagi Han harus terdiam dengan jawaban singkat itu. Dan pemuda itu hanya
mampu memandang gadis cantik yang duduk didekatnya. Bajunya yang berwarna merah
jambu, serasi dengan kulitnya yang putih bersih.
“Ya sudah, kutemani. Tapi aku buat kopi dulu ya!”
Han beranjak dari duduknya, mematikan televisi dan melangkah menuju ke dapur.
Nina mengikutinya dan hanya memperhatikan pemuda iru menyeduh secangkir kopi.
Setelah selesai mereka lalu masuk kedalam kamar.
“Kamu tidur dulu ya, aku harus menyelesaikan tulisanku.”
Gadis itu merebahkan tubuhnya diranjang, sementara Han duduk menghadap
komputernya. Menikmati secangkir kopi panas yang baru di buatnya tadi. Merangkai kata
demi kata menyusunnya menjadi sebuah kalimat, lalu tak lama kemudian jadilah sebuah
cerita.
Cukup lama dia duduk ditempat itu, sesekali Han menoleh kearah gadis yang
terlelap diranjang.
Kini Han telah merebahkan tubuhnya disamping bidadari cantik yang terlelap.
Mentupkan selimut padanya dan mulailah dia memejam mata. Walau agak sulit pada
akhirnya dia juga terlelap.

SEBELAS
Kedekatan Han dengan Nina sepertinya membawa kebahagian tersendiri pada
teman-temannya. Kini Pay, Jack dan Arif lebih suka berada dirumah, ngobrol dengan Nina
sambil mengerjakan tugas. Sekali mereka jalan-jalan ke mall atau sekedar duduk ditaman
kota.
Bila mereka sudah berkumpul sepertinya kebahagiaan itu tidak akan hilang. Canda
dan tawa selalu saja menghiasi rumah mungil itu. Taman dihalaman depan terlihat
semakin indah. Tidak ada satupun sampah dilantai. Juga tidak ada pakaian kotor yang
tergantung di gantungan pakaian kamar mandi.
Bila Nina pulang ke kost-nya, salah satu dari mereka pasti menjemputnya lagi
dengan berbagai alasan dan gadis itu hanya bisa mengiyakan saja. Nina seakan telah
menjadi bagian dari keluarga itu, lebih sering dirumah itu dari pada ditempat kost-nya.
Pakainnya-pun telah tersusun rapi dalam almari Han. Beberapa alat kecantikannya juga
tertata rapi dimeja kecil depan cermin. Dikamar itu pula kini dia sering tidur.
Sepertinya ada yang aneh dengan Han. Pemuda itu sering terdiam diteras depan
sambil memandang gadis itu menyirami bunga atau lebih asyik dengan buku-buku bacaan.
Matanya selalu menerawang jauh, jauh sekali. Bila malam tiba, dia hanya duduk didepan
komputer sesekali dia membayangkan wanita cantik dalam Koran. Gadis cantik pengidap
HIV itu tidak pernah bisa hilang dari pikirannya.
”Kenapa kehadiran Nina yang cantik ini tidak juga merubah perasaan hatiku, tidak
sedikitpun?’’ dia bertanya pada dirinya sendiri pada suatu sore.
“Han…kamu kenapa?”
Pertanyaan itu membuyarkan lamunannya.
“Ah…tidak apa-apa Jack.”
“Kangen ya sama Nina, sabar lagi dijemput Pay.’’
“Jack, aku sedang bingung dengan ini semua.”
“Kenapa?”
“Ah…sudahlah.”
Han lebih memilih untuk tidak melanjutkan ucapanya, mengambil sebatang rokok
dan menghisapnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan pelan.
“Kalian bertengkar?”
“Tidak.”
“Lalu?”
“Ya…hanya bingung saja.”
“Dia hamil?”
“Gila kamu, menyentuhnya saja tidak!”
“Ha…jadi selama ini apa yang kalian lakukan?”
“Tidak ada.”
“Sama sekali?”
“Ya…paling-paling ngobrol lalu tidur.”
Jack terdiam, memandangnya dengan penuh tanya.
“Kamu memang lelaki yang hebat.”
“Hebat apanya?”
“Ya…lelaki yang hebatlah….”
Saat mereka sedang terlibat dalam perbincangan serius itu, Arif muncul dan
langsung duduk dilantai.
“Serius amat, ngomongin apa?”
“Nih…sobatmu lagi bingung.”
“Kenapa Han?”
“Tidak ada apa-apa Rif.”
“Kalo ada masalah ngong dong, siapa tau kita bisa membantu.”
Han tidak juga bicara, begitu juga dengan jack.
“Eh…ngomong-ngomong, berapa kali kalian bercinta dalam satu malam?”
Han dan Jack memandang kearah Arif, pertanyaan itu sepertinya membuat Han
kecewa.
“Jadi kamu menganggap aku dan dia bercinta setiap malam?”
Arif terdiam, dia tau kalau pertanyaanya itu menyinggung perasaan sahabatnya.
“Sudahlah Han, wajar kalua Arif menanyakan hal itu.”
“Sory Han, tapi apakah salah bila aku bertanya padamu tentang hal itu, kalian
sudah lebih dari dua minggu selalu tidur dalam satu kamar yang sama.”
“Iya…tapi aku belum pernah sekalipun bercinta dengannya.”
“Ha…belum pernah,” Arif seakan tidak percaya kata-kata itu.
“Iya!”
“Kenapa?”
“Aku tidak tau, bahkan saat aku melihatnya telanjang aku hanya bisa diam.”
“Ha…hanya diam, jangan-jangan kamu kelainan?”
“Tidak Rif, hasrat kelakia-lakianku tetap ada, tapi entah kenapa aku mampu
menahannya”
“Apa yang kamu pikirkan saat itu?”
“Wanita dalam koran.”
Jawaban singkat itu membuat Jack dan Arif terdiam. Memandang dalam kearah
Han yang tertunduk lesu.
“Jadi kamu belum bisa melupakan wanita itu?”
“Iya Rif.’
“Ah….’’
Desah lirih dari mulut Arif seakan penuh rasa kecewa.
“Jack…antar aku ke-internet!”
“Kapan?”
“Sekarang.”
“Rif…kalo Nina datang, bilang padanya aku keluar sebentar.”
“Iya.”
Han dan Jack pergi meninggalkan Arif yang masih duduk diteras itu. Mereka
menuju sebuah warnet yang tak jauh dari tempat itu.
“Han…aku berharap kamu tidak menemukan gadis pujaanmu itu,’’ ucap Jack tibatiba.
“Kenapa?” tukas Han sambil mengerutkan keningnya.
“Aku tidak tau.”
“Tidak tau apanya?” tanya Han lagi.
“Ya...pokoknya aku mendukungmu! Karena hatiku berkata begitu!”
“Sok main perasaan?” Han mencibir.
“Bukan! Aku mulai sadar bahwasanya cinta itu sebenarnya tidak hanya satu!” tegas
Jack.
“Nyindir nich ceritanya?” Han tersenyum kecil.
“Bukan nyindir! Tapi emang begitu kenyataannya! Cinta pertama, kapan kamu
rasakan? Lalu cinta kedua, ka[an kamu rasakan? Sekarang? Cinta keberapa? Apakah
rasanya beda? Sama Han! Sama! Semua cinta yang kamu rasakan itu ya begitu-begitu
saja!” tegas Jack panjang lebar.
“Begitu saja gimana?” Han tersenyum kecil.
“Ya begitu! Gelisah! Bingung! Kangen! Deg-degan! Seputar itu dech!”
“Ha…ha…”
Han tertawa begitu juga Jack, walau sedikit dipaksakan. Duduk bersebelahan
disebuah ruang bersekat dinding tipis dengan ruang disebelahnya. Hanya sesekali saja
mereka berbicara. Setelah merasa cukup mereka kembali. Dalam perjalan dari warnet itu
tak ada pembicaraan diantara mereka berdua. Laju motor itu pelan tapi pasti, menelusuri
gang-gang kecil dan tidak lama kemudian telah tiba dirumah itu kembali.

DUA BELAS
Pada suatu sore yang cerah, dimana burung-burung pipit bernyanyi riang di atas
pucuk-pucuk cemara. Saat tukang bakso sedang asyik ngerumpi dengan beberapa ibu-ibu
langganannya. Saat anak-anak kecil sedang berkejar-kejaran didepan gang rumah mungil
itu, Han dan Arif duduk diteras marmer sambil menikmati secangkir kopi manis. Kepulan
asap rokok mereka berdua membubung tinggi keangkasa lepas.
“Han…apa Nina tau kalau kamu tidak menyukainya?”
“Aku menyukainya Rif, tapi aku belum bisa menentukan apakah aku akan menjadi
kekasihnya.”
“Kenapa?”
“Nah…alasan itulah yang sedang kucari. Dan kata-kata itu datangnya dari sini!”
Han menunjuk dadanya sendiri.
“Kalo suatu saat nanti dia tau kamu tidak menyukainya, apa ya…yang kan terjadi?”
pemuda itu menggaruk-garuk kepalanya.
“Semoga tidak terjadi apa-apa, lagian belum tentu kan dia menyukaiku? Kamu
sendiri kan yang bilang aklau cinta datangnya dari hati?”
“Ha…setiap hari dia disini, masak tidak menyukaimu?”
“Mungkin juga dia suka salah satu dari kalian.”
“Ha…ha…kalau dia menyukaiku, pastinya dia akan tidur dikamarku, bukan
kamarmu!” sergah Arif cepat untuk meyakinkan sahabatnya.
“Rif, aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan gadis itu.”
“Apa?”sahut Arif.
“Aku belum bisa memastikan, itu hanya perasaanku saja,” Han tampak ragu.
“Eh…ngomong-ngomong bagaimana kabar wanita dalam Koran itu?”
“Masih nunggu balasan, kemarin aku dan Jack sudah kirim e-mail, menanyakan
alamatnya,”
“Ya…kalau itu sudah menjadi keputusanmu, aku pasti mendukungmu. Tapi kamu
jangan sampai membuat Nina kecewa atau sakit hati,” Arif menunduku seakan mencari
sesuatu yang hilang.
“Bagaimana caranya?”
“Setidaknya kamu tidak merubah sikapmu padanya, tetaplah baik, sayangi dia
seperti kamu menyanyangi adikmu, atau apalah…yang penting dia jangan sampai tau
kalau kamu mempunyai idaman lain!” Arif meberikan sebuah pendapat yang menurutnya
paling baik.
“Sampai kapan itu harus kulakukan?”
“Sampai semua benar-benar telah siap, Kamu, Nina dan kita semuanya.”
Pembicaraan mereka terhenti saat seoarang pemuda datang.
“Mas…maaf mengganggu, ini rumahnya mas Han ya…?” Pemuda itu bertanya
dengan sopan setelah memarkir motornya didekat pintu pagar.
“Iya…ada yang bisa saya Bantu?”Arifpun tidak kalah sopan dengan pemuda yang
baru datang, walaupun pemuda itu jauh lebih muda dari Arif, namun tetap saja
dihormatinya.
“Mas Han-nya ada?”
“Ini Han!” Arif menunjuk kearah Han yang hanya tersenyum.
“Oh…iya perkenalkan Mas, saya Dedi.” sambil mengulurkan tangannya pada
Han, kemudian pada Arif. Perkenalan singkat itu membuat mereka lebih akrab.
“Ada apa Ded, kok mencari Han?”
“Oh…gini Mas, saya sangat berterima kasih pada Mas Han.”
“Kenapa?”
“Karena Mas Han telah bisa menumbuhkan semangat hidup pada kaka saya,” kata
Dedi dengan mantap.
Han dan Arif saling pandang, tidak mengerti perkataan pemuda lima belas tahun
itu.
“Maksudnya?’’ Han melontarkan sebuah pertanyaan pada Dedi.
“Karena Mas-lah, kakak saya bisa kembali tersenyum,” ucap Dedi lagi dengan
mantap.
“Kakakmu siapa?” tanya Arif.
“Nina.”
“Nina?” celetuk Han dan Arif bersamaan.
“Iya.’’
“Oh…kamu adiknya Nina?” tanya Arif sekali lagi meyakinkan pendengarannya.
“Iya… Mas Arif.”
“Lho, memang selama ini kakakmu tidak pernah tersenyum?” Han menanyakan itu
sambil tersenyum ramah.
“Seperti itulah, sering melamun,” ucap Dedi seakan mengenang apa yang terjadi
pada Nina kakaknya.
“Kenapa?” tanya han lagi penasaran.
“Biasa Mas Han, semacam trauma.”
“Oleh apa?”
“Oleh cinta.” Dedi tersenyum sambil mengucapkan kata itu.
“Jadi kakakmu baru putus cinta?” tanya Han lagi.
“Iya, tapi saya harap Mas Han tidak menyinggungnya dalam waktu dekat ini.”
Lagi-lagi Han dan harif hanya bisa saling pandang, tersenyum lalu menganggukanggukkan
kepala mereka.
“Kak Nina bilang kepada saya, kalau dirumah ini dia menemukan suasana baru,
penuh kedamaian. Penuh kasih sayang yang dia harapkan selama ini. Katanya di rumah
inilah dia menemukan semua yang dia inginkan!’’ Dedi memberikan sebuah penjelasan
yang cukup panjang dan jelas.
“Ha…ha…biasa saja, kebetulan diantara kami berempat tidak ada yang punya
saudara perempuan, jadi saat ada cewek yang datang, perhatian langsung tertuju padanya,
ha…ha…,” Arif tertawa sambil menepuk bahu Dedi.
“Mas…sekarang dia dimana?”
“Lagi jalan-jalan ke mall sama Pay dan Jack, paling sebentar lagi juga pulang,”
sahur Arif.
“Kalau begitu saya pamit dulu ya.’’
“Kenapa, tidak menunggunya datang?” tanya Han.
“Tidak Mas,’’ sahut Dedi singkat.
“Wah…padahal kita mau makan malam bersama,” lanjut Han sambil mengamati
pemuda dihadapannya.
“Terima kasih,” Dedi menunduk hormat.
“Iya deh…hati-hati ya,’’ kata Han lagi.
“Mas Han…jangan bilang padanya kalau saya datang kesini ya!” Dedi tersenyum
simpul.
“Iya…hati-hati.’’Kemudian Han dan Arif mengantarnya hingga depan pagar.
Melambaikan tangan dengan senyum lebar yang sangat bersahabat. Dedi menghilang
disebuah tikungan gang itu. Mereka berdua kembali duduk diteras.
“Ternyata perkiraanmu benar Han,’’ kata Arif sesaat kemudian.
“Tentang apa?” Han mengerutkan dahinya.
“Sesuatu yang aneh pada gadis itu.’’
“Aku lebih tenang sekarang, setidaknya tidak ada lagi yang mengganjal dihatiku,’’
kata Han singkat.
Meraka berdua tersenyum lagi, kembali menikmati suasana sore itu dengan senyum
yang lebih lepas, dengan kelakar-kelakar manis yang selalu dikuti tawa lebar.

TIGA BELAS
Malam itu Han masih sibuk dengan komputernya. Nina masih terlalu asyik dengan
candanya diruang tengah bersama Jack dan Pay, Arif sudah terbawa kealam mimpi
dikamarnya. Seperempat menit kemudian, Han merebahkan tubuhnya. Mengamati
kamarnya yang semakin rapi, melihat seprei biru diatas kasur. Dia tau seprei itu bukan
miliknya, itu punya Nina. Mengamati vas bunga kecil diatas meja dekat cermin yang
tertata rapi berdampingan dengan beberapa kosmetik. Lalu pemuda itu hanya bisa
tersenyum, memeluk guling dan memejamkan matanya, walau tidak tidur, dia tetap diam
tidak bergerak.
Sejurus kemudian, Han merasakan ada yang datang, dari Aromanya saja dia tau
kalau itu Nina, tapi dia tidak merubah posisi atau bergerak. Han memilih untuk tetap diam.
Nina merebahkan tubuhnya disamping Han, mungkin dia mengira pemuda itu telah
tertidur. Pelan tapi pasti Nina melingkarkan tangannya kepinggang Han yang
membelakanginya. Gadis cantik itu tidak memejamkan matanya tapi menerawang jauh
entah kemana. Dari matanya yang bening itu menitikkan air mata. Desah nafasnya seakan
sesak oleh isak yang tertahan, dan itu menimbulkan satu pertanyaan pada pemuda yang
dipeluknya. Han dapat merasakannya karena mereka sangat dekat. Karena mereka hanya
terhalang sehelai kain yang mereka kenakan.
Perlahan-lahan Han membalikkan tubuh, mengamati gadis itu dengan senyumnya.
Han tau gadis itu menangis, Kemudian tangannya mengusap air mata itu dengan penuh
kasih sayang.
“Menangislah didadaku Nin… curahkan semuanya disini,”Han membimbing
kepala gadis itu untuk disandarkan didadanya. Tangisan Nina semakin menjadi
sesampainya didada bidang yang sebenarnya berdebar kencang. Air matanya tertumpah
bagaikan banjir bandang yang tertahan ribuan tahun lamanya. Han mendekapnya dengan
erat, membelai rabutnya dengan sejuta kasih sayang. Sungguh roman yang tidak dapat
ditebak. Perasaan yang tersembunyikan oleh senyum itu tetap menjadi sebuah kisah yang
terpendam.
Cukup lama gadis itu menangis, sampai pada akhirnya dia tersenyum diantara
pipinya yang basah, diantara air mata yang menggenang didada pemuda yang hanya
terdiam dari tadi. Han mengusap sisa-sisa air mata yang mengikis bedak tipis diwajah
Nina yang tetap ayu. Membiarkan sebagian tubuh gadis itu berada diatas tubuhnya, sambil
sesekali menyibak rambutnya yang tergerai bebas.
“Tidurlah Nin.”
“Terima kasih ya, kamu telah menjadi sahabat terbaikku selama ini.’’
“Aku juga berterima kasih padamu, karena kamu juga aku jadi rajin kuliah.”
Gadis itu meletakkan kepalanya kembali, kali ini dengan senyumnya bukan dengan
air mata.
“Han…apa kamu pernah putus cinta?” tanya Nina tiba-tiba.
“Pernah bahkan tidak sekali,” ucap Han dengan jujur.
“Apa kamu membenci mantan-mantanmu?” tanya Nina lagi.
“Tidak, bahkan kami masih sering makan bareng atau sekedar berlibur ketepi
pantai berdua kalau ada waktu.”
“Kalau dia bersama pacar barunya, apa kamu tidak sakit hati?’
“Pertama sih iya, tapi lama-kelamaan jadi terbiasa, kalau kita sudah yakin kenapa
tidak.”
“yakin dengan apa?’’ Nina menatap Han.
“Dengan perasaan kita sendiri, seberapapun sakit hati itu tidak akan bisa hilang bila
kita tidak berusaha untuk melupankannya walau itu sangatlah sulit.’’
“Apa kamu sekarang sudah mempunyai ganti?”
“Sementara belum, tapi aku masih ingin sendiri. Menyelesaikan kuliah, kerja lalu
cari pacar lagi,” Han tersenyum mengatakan itu, setidaknya dia sudah mengungkap sedikit
persaanku dan telah membuka suatu tabir atau bisa dikatakan sebuah penolakan secara
halus.
Gadis itu tersenyum, memandang kearah Han dan meletakkan kepalanya lagi.
“Nin…apa kamu pernah putus cinta?”
“Pernah, bahkan tidak sekali.’’
“Ha…ha….’’ Han tertawa karena gadis itu menggunakan jawaban yang sama
dengan apa yang dikatakannya beberapa menit yang lalu.
“Berapa kali?’
“Ah…aku malu mengatakannya,” Nina merebahkan kepalanya lagi.
“Kenapa harus malu?’’
“Nggak tau.’’Gadis itu semakin manja, pipinya memerah dan beberapa kali dia
melihat kearah Han yang masih saja tersenyum.
“Aku mengira semua lelaki sama Han.”
“Maksudnya?” Han membelai rambut gadis itu.
“Ya…berkenalan dengan cewek, jadian lalu berakhir diranjang. Setelah itu putus
cari lagi dan begitu seterusnya.’’
“Ternyata?” Han mengajukan sebuah pertanyaan singkat.
“Ternyata tidak semuanya,’’katanya pasti.
“He…he….’’Tawa kecil itu membuat suasana malam itu menjadi semakin hangat.
“Maaf ya Nin, aku datang kekota ini dengan sejuta harapan, berharap menemukan cinta
dan dapat hidup dengan mapan. Tapi kenyataannya adalah sebaliknya. Dulu aku mengira
dapat mendapatkan cinta dengan cepat, instant-lah…tapi ternyata cinta itu sangat rumit
untuk dimegerti, sangat susah untuk dipahami,” lanjut Han.
“Apa kamu sudah mendapatkannya saat ini?” tanya Nina lagi.
“Aku tidak tau, kalau dulu aku berharap kekasihku adalah wanita cantik sekarang
tidak lagi. Kalau dulu aku berharap hidup serba kecukupan, sekarang tidak lagi. Aku
hanya berharap dapat mewujudkan impianku, bersanding dengan orang yang aku cintai.
Hanya itu….”
Nina terdiam sejenak, menarik nafasnya dalam-dalam setelah mendengar curahan
hati dari lelaki yang sekarang mendekapnya dengan penuh kehangatan dan lelaki itu
tetaplah Han. Pemuda yang berharap menemukan pemilik sepatu kaca dalam mimpinya.
“Han…apakah kamu mau berjanji padaku?”
Han tidak menjawab, berpikir keras untuk memberikan kata ‘Ya’, takut gadis itu
akan memintanya menjadi pacar atau kekasih, dia takut itu. Atau mungkin pemuda itu
yang terlalu ‘gr’ sehingga mempunyai pikiran yang macam-macam.
“Han…apakah kamu mau berjanji padaku?” Gadis itu mengulang pertanyaan yang
sama setelah sekian menit tidak ada jawaban.
“Ya,” dengan suara sangat pelan, seakan sangat berat namun akhirnya kalimat itu
yang terucap.
“Kamu jangan marah ya?” kata Nina semakin melemah.
“Ya,’’ ucap Han lirih.
“Tapi sebelumnya aku minta maaf padamu, karena selama ini aku hanya mencari
tempat bertambat untuk membuang semua rasa kecewaku. Aku tidak tau kenapa aku
memilihmu sebagai dermaga untuk kusinggahi.”
Han membelai rambut Nina, menarik nafas pelan dan menghembuskannya dengan
pelan namun penuh arti adalah pilihan paling tepat. Semua sesak itu telah hilang
bersamanya.
“Han…apa kamu merasa kalau aku mempermainkanmu?”
“Tidak,” sahut Han yakin.
“Sebelum aku mengenalmu lebih dekat, aku sangat membenci laki-laki, terlalu
sering aku sakit hati olehnya. Lalu kamu dan ketiga sahabatmu mampu merubah itu
semua, aku menyayangi kalian semua,” matanya berkaca-kaca.
“Aku harus berjanji apa padamu Nin?” lanjut Han sambil menatap Nina tajam.
“Jangan mencari pacar dulu ya!” pinta Nina penuh harap.
“Kenapa?” Han tersenyum kecil.
` “Karena aku masih membutuhkan kasih sayang dari kalian, kalianlah yang mampu
membuatku tersenyum. Hanya kamu dan teman-temanmu Han…’’
“Iya,” sambil tersenyum lebar, seakan Han terbebas dari semua rasa bersalah.
Terbebas dari penjara praduga yang pengap. Han bebas karena tidak harus mengucapkan
cinta pada gadis itu.
“Nin…aku berjanji, aku akan melakukan apapun yang kamu pinta.”
“Semuanya?”
“Ha…ha…memangnya aku mailakat yang bisa memberimu apa saja?’
Sedetik kemuadian mereka tertawa. Hilang sudah isak tangis dan kepenatan yang
tersimpan lama, berganti dengan tawa yang tentunya membuat mereka bahagia.
“Sekarang yang aku pikirkan adalah hubungan kita Han.”
“Kenapa?”
“Kedekatan kita sudah melebihi dari sekedar teman, tapi kita tidak pacaran kan?”
“Itu juga yang selama ini mengganjal dipikiranku, lalu menurutmu bagaimana?”
“Aku juga bingung, jujur saja ya, aku senang berada dipelukanmu, aku senang
dekat denganmu bahkan bahagia, tapi rasa cinta itu tidak ada sama sekali, hanya rasa
sayang yang begitu besar,” kata itu mengalir dengan pelan dan penuh kejujuran.
“Akupun juga merasakan hal yang sama, bahagia bisa bersamamu, aneh ya kita
ini?”
Dengan senyumnya yang tulus, gadis itu bangun. Mendekatkan wajahnya kepadan
Han. Sepertiga detik kemudian bibir lembut itu sudah berada dikeningnya. Sungguh
romantis, gerai rambutnya hampir menutupi seluruh wajah pemuda itu, lembut. Desah
nafas itu jelas tertahan.
Malam dengan sendirinya berganti pagi, mereka berdua masih saja menjadi satu.
Saling mendekap dalam mimpi yang indah, dalam lamunan yang tentunya tanpa batas.
Lamunan yang berbeda, atau barangkali jauh berbeda, walau dari tempat yang sama
asalnya, dari kamar itu, dari ranjang itu dan tentunya dari dekapan itu.

EMPAT BELAS
Matahari sudah bersinar dengan gagahnya, membelai apa saja dari satu sisi dan
membiarkan sisi lainnya tetap teduh. Ibu-ibu telah pulang dari pasar atau sekedar
mengantar putra kecilnya sekolah. Keindahan pagi itu juga dirasakan oleh Nina, dari
jendela kaca kamar itu dia membiarkan sebagian tubuhnya terkena sinar pagi. Mebiarkan
titik air dari rambutnya jatuh kelantai saat sisir membelai rambut basah itu berlahan.
Sementara Han hanya terdiam memandangnya, sepagi ini dia telah disuguhi pemandangan
yang tidak seharusnya dilihatnya. Tubuh indah yang basah itu membuatnya terbangun
sepagi ini. Sebenarnya Han tidak ingin melihatnya, namun entah kenapa dia juga tidak
memalingkan wajah atau sekedar menutupi sedikit mata dengan bantal atau selimut.
“Nin…kamu sudah bangun?” mengusap-usap matanya dengan gerak perlahan.
“Eh…mimpi apa?’’ gadis itu menghampiri Han setelah merapikan handuknya.
Sesaat kemudian Nina mengambil selimut warna biru lalu melipatnya. Memberikan
sebuah kecupan hangat dikening sebelum dia mengambilkan handuk.
“Mandi dulu ya…habis itu kita berangkat kekampus!”
“Kamu ada kuliah?” tanya Han sembari tersenyum.
“Iya, kamu juga ada kan?”
“Iya,’’ Han melangkahkan kaki lelah ini menuju kamar mandi.
Didepan pintu kamar telah berdiri Jack dengan senyumnya. Membawa sebuah
tanya dengan jawaban segera.
“Gimana Han?”
“Sudah beres, diantara kami tidak ada lagi sakit hati.”
“Sukurlah Han, aku berangkat dulu ya!”
“Ya…hati-hati, sebentar lagi aku menyusul,”
“Kamu ada kuliah?” Jack menghentikan langkahnya.
“Ada, Pak Hendro,” sahut Han tegas.
“Ha…ha…tumben, kamu mau masuk mata kuliah Pak Hendro?’’
“Nggak enak tiap hari cuma nitip absen,” Han tersenyum kecil.
“Mudah-mudahan kamu betah dikelas!”
Jack melangkah pergi, semantara Han melanjutkan perjalanan kecilnya menuju
kamar mandi. Setelah mandi lalu kembali lagi kekamar.
“Sudah siap ya?”
Han melihat kearah Nina yang telah selesai berdandan.
“Cepetan ya!”
“Iya…cowokkan tidak perlu bedak,” senyumnya yang manis itu pasti mendebarkan
hati siapa saja yang melihatnya.
Dengan senyum, mereka berdua berangkat kekampus. Membawa sisa dari mimpi
yang mungkin tertinggal, mendekapnya dengan erat untuk diulang lagi nanti malam.
“Ini adalah kuliah pagiku yang pertama,” guman Han pelan sambil memasukkan
beberapa buku kedalam tasnya.
“Selama ini kamu tidak pernah masuk?”
“Tidak, paling pagi jam sepuluh.”
Obrolan itu terus saja berlanjut, terbawa bersama laju pelan sepeda motor.
Sesampainya di kampus Nina langsung menuju keruang atas, sementara Han memilih
untuk kekantin. Menikmati secangkir kopi dengan sedikit susu coklat. Menikmati pisang
goreng hangat sambil sesekali menghisap rokok. Beberapa temannya menyapa, di
balasnya dengan senyum termanis pagi itu. Beberapa menit kemudian dia melangkah
keluar, menuju ke dalam kelas yang beberapa bulan ini tidak pernah di kunjungi. Memilih
bangku dibelakang dekat seorang gadis agak gemuk. Mengeluarkan buku baru yang masih
kosong dan menunggu Pak Dosen datang.

LIMA BELAS
Matahari telah hampir pulang keperaduannya, sinarnya sudah mulai menguning.
Melukiskan keindahan alam diatas langit senja. Burung-burung kecil telah kembali
kepucuk-pucuk pohon, bersiap menyongsong mimpi mereka. Sekelompok anak muda
masih asyik bermain bola dilapangan rumput yang sedikit berdebu. Han dan teman-teman
memilih untuk menikmati berita sore ditelevisi.
“Nina mana Han?” tanya Jack memecah kesunyian.
“Tadi aku antar ketempat kostnya.”
“Kenapa?”
“Katanya ada urusan dengan adiknya.”
“Tapi benar, diantara kalian tidak ada masalah?”
“Kapan sih Jack, aku pernah bohong sama kamu.”
“Nih…”
Jack menyodorkan secarik kertas pada Han. Pemuda itu Membacanya sebentar lalu
tersenyum sebagai ucapan terimakasih.
“Tanks ya Jack,” memberikan sebuah pelukan terimakasih pada sahabatnya.
Jack memandang Han dengan tatapan berbinar. Mereka berhasil menemukan
alamat email dan nomer telephone gadis impian itu.
“Kapan kamu mendapatkannya?” Han tersenyum senang.
“Lima menit yang lalu, itu nomer hp dan alamat email kantornya.”
Arif dan Pay tidak menghiraukan mereka berdua, masing-masing hanya diam
menyaksikan berita sore itu. Tidak juga menoleh kebelakang, kearah Jack dan Han disofa
yang sangat dekat dengan mereka. Mungkin terlalu sayang berita itu untuk ditinggalkan.
“Kuharap kamu bisa menemukannya Han,’’ Ucap Jack lirih.
“Mudah-mudahan.”
Senyum diwajah Han itu berbinar-binar. Dia akan menemukan gadis impiannya.
Sesaat kemudian matanya telah menerawang jauh, melintasi batas-batas wajar langkah
lesu yang selama ini mengikutinya. Sebuah titik terang telah ditemukan walau itu
sangatlah jauh. Ada keyakinan dihatinya bahwa titik itu adalah cahaya yang menyilaukan
bila dia menemukannya nanti. Cahaya dari sebuah impian atas nama cinta, walau itu
bukanlah cinta pertama yang memantulkan cahanya mentari pagi.
Dengan mendekap selembar kertas itu, Han melangkah menuju kedalam kamar.
Dia tau ini masih jam delapan malam, namun dia ingin cepat-cepat tidur agar besok bisa
bangun pagi dan menghubungi nomor telepon yang baru saja didapatkan dari sahabatnya
tadi.
Han mengambil sebuah buku catatan. Sesaat kemudian tangannya menari dengan
cepat, menari untuk menyusun sebait kalimat yang akan di kirimkannya nanti, nanti ketika
dirinya benar-benar mampu menemukan gadis itu.
Dear...
Dari sudut kota yang hingar ini kucoba temukan mimpiku tadi padi. Dini hari
ketika ayam jantan berkokok nyaring. Aku tau, cinta itu mistis. Tapi manusia terkadang
salah mengartikannya. Cinta selamanya akan menjadi cinta, cinta bukan hanya cinta
pertama. Kedua, ketiga bahkan keseratuspun namanya juga akan tetap cinta. Aku, engkau
maupun malaikat malam setidaknya akan menyadari bahwasanya semua adalah benar.
Bahwa cinta sejati, bahwa cinta suci bukanlah yang pertama kali kita rasakan, tapi yang
terakhirlah yang akan kita kenang.
Jam dinding itu berdetak sangat lambat, lambat sekali. Berkali-kali Han
menatapnya, namun tetap saja tidak beranjak dari angka delapan dan sembilan.
Lamunannya telah terbang bebas, menemukan sebuah rumah yang indah dengan pagar
bunga-bunga mawar. Sebuah rumah yang luas walau hanya sebagian yang berdinding.
Udara bebas masuk kedalamnya, ah…sungguh indahnya.
“Han….’’
Lamunannya yang hampir saja klimaks langsung buyar. Nina telah berdiri didepan
pintu dengan senyumnya yang mengembang. Melangkah kearah Han dan merebahkan
tubuhnya begitu saja.
“Sama siapa Nin?”
“Sendiri, tumben jam segini sudah mau tidur?’’
“Cuma iseng kok, bosen lihat berita terus.”
Han menyembunyikan buku itu dibawah bantal. Kini dia memandang Nina yang
terlentang bebas disampingnya. Aneh memang bila diantara mereka tidak tumbuh rasa
cinta. Sudah sangat sering Han bermimpi dalam dekapannya, sudah sangat sering pemuda
itu melihat Nina telanjang, bahkan tidak cuma sekali dia melumat bibirnya yang merekah
itu.
“Kenapa Han?”
“Ah…tidak,” sepertinya Han sedikit gugup.
“Kamu dari tadi tersenyum terus kenapa?”
“Ya…bahagia karena kamu datang.’’
Han menjawab sekenanya saja. Kemudian dia melingkarkan tangannya dipinggang
gadis itu. Membelai rambutnya yang tergerai bebas. Entah angin mana yang membuatnya
ingin sekali melumat bibir itu. Namun Han dapat menahannya dan hanya mengecup
keningnya saja.
“Kamu tadi kuliah Nin?’’ dengan suara lembutnya.
“Iya, tapi Cuma satu mata pelajaran.”
“Adikmu dimana?” tanya Han lagi berbasa-basi.
“Ada dikost, lagi ngumpul sama teman-temannya.”
“Kalo ada waktu mbok diajak main kesini!”
“Sebenarnya dia ingin main kesini, tapi aku melarangnya.”
“Kenapa?” tanya Han singkat.
“Dia itu tidak bisa menjaga rahasia,” Nina tersenyum simpul sambil melirik kearah
Han.
“Ha…ha…takut ketahuan ya?’
“Apanya?’’ guman Nina manja.
“Rahasianya!’’ jelas Han lagi.
“Ih…enggak kok, lagian kamu kan sudah tau semua.”
Han terdiam seakan kehabisan kata-kata. Tidak tau apa lagi yang harus dibicarakan
dengannya. Pikiran Han telah terbawa jauh, jauh disana saat dia berbicara dengan gadis
dalam koran itu, atau sekedar membaca sms darinya sebagai salam perkenalan esok pagi.
“Nin…tidur dulu ya!”
“Iya…mau dipeluk nggak?’’
Ah…senyum itu sepertinya sangat manis, apalagi aroma parfum yang
dikenakannya, sungguh menusuk hingga kedalam jantung. Han tidak menjawab
pertanyaan itu, hanya saja dia memeluknya terlebih dahulu. Membenamkan kepalanya
diantara belahan dadanya yang begitu indah, mendengarkan dendang pelan dari detak
jantung lirih itu. Menemukan mimpinya disana seperempat menit kemudian.

ENAM BELAS
Han terbangun dengan posisi yang sama seperti dia tertidur tadi. Membuka mata
berlahan-lahan dan menemukan gadis itu masih mendekapnya dengan erat. Suasana masih
sangat sepi karena jam dinding itu masih menunjuk angka lima. Han tersenyum sendiri,
bila biasanya jam-jam begini dia berangkat tidur, tapi sekarang pemuda itu malah sudah
terbangun. Untuk memejam mata lagi rasanya tidak mungkin, sudah cukup lama
memejam mata.
Kini Han hanya mengamati wajah ayu Nina yang masih terbawa mimpinya yang
jauh. Mengamati matanya yang masih terpejam rapat, mengamati bibirnya yang merah
merekah. Seperti tanpa sadar Han mendekatkan bibirnya pada gadis itu, dadanya sedikit
berdebar. Tidak lama kemudian Han dapat merasakan desah nafasanya yang hangat,
melumatnya pelan dan membiarkan bibirnya menempel disana cukup lama.
Berjuta pertanyaan menggelayut dihati Han saat itu, kenapa dia lebih memikirkan
wanita dalam koran itu daripada Nina yang sekarang ini berada didekapnya. Hati kecilnya
berkata;
‘Kenapa semua ini terjadi padaku, kenapa bila Nina jauh aku tidak merasa rindu
dan kenapa bila dia didekatku aku merasa sangat bahagia. Cinta…datanglah padaku,
datanglah sebelum semua terjadi. Tapi tetap saja wajah wanita dalam koran itu yag
selalu hadir dan selalu saja datang diantara mata dan hatiku, apakah cinta memang
seperti ini!? Ataukah aku yang terlalu serakah?’
Han menjauhkan kepalanya dari gadis itu, memandang lagi dari jarak satu jengkal.
Han lalu membuka selimut yang menutupi tubuhnya perlahan-lahan. Tangannya seakan
menjadi sangat kaku. Han seakan menjadi sebongkah batu yang tidak bisa bergerak. Gadis
itu ternyata tidak menggunakan pakain, dia membiarkan dadanya terbuka dan hanya
menutupinya dengan selimut. Setelah cukup lama melihat, Han kembali tersadar namun
kali ini dia membuka selimut itu lebih lebar. Han tersenyum, ternyata dia masih
mengenakan celana pendek. Han mengembalikan selimut itu seperti semula walau
sebenarnya dia ingin memandangnya lebih lama.
Pagi telah benar-benar tiba, jam dinding itu sudah menunjukkan angka enam.
Pelan-pelan Han bangun, menuju kamar mandi. Setelah selesai dia lalu pergi kedapur
membuat secangkir kopi, membawanya kembali kedalam kamar dan duduk didekat
jendela sambil menikmati matahari pagi. Membiarkan sinar pagi itu menghangatkan
sebagian tubuhnya yang sengaja tidak kutupi. Memutar lagu merdu dari komputer dan
mendengarkannya sambil sesekali mengamati Nina yang masih terlelap tidur.
Saat Han memandangnya untuk yang kesekian kalinya, gadis itu terbangun dengan
senyumnya. Dia melihat kearah Han, terlihat wajahnya sedikit merah.
“Kamu sudah bangun ya?”
“Sudah dua jam yang lalu.”
Gadis itu terdiam, sepertinya dia malu pada Han. Mengamati sekelilingnya,
mungkin mencari bajunya yang tadi sudah dimasukkan pemuda itu kedalam lemari setelah
dia mengambilnya dari sandaran kursi.
“Ada yang hilang ya?” sambil tersenyum padanya.
Gadis itu diam, dia hanya menatap Han dengan senyum diantara wajahnya yang
semakin memerah.
“Han…kok kamu sudah bangun?” tanya Nina heran bercampur malu.
“Emang kenapa?” tanya Han pelan sambil tersenyum.
“Hmm…biasanya kamu kan bangunnya siang.”
“Ha…ha…kata siapa, aku selalu bangun jam lima pagi, cuma aku terus tidur lagi.”
“Kenapa?” tanya Nina penasaran dengan jawaban itu.
“Terlalu sayang meninggalkanmu sendiri diranjang.”
Han tertawa, lalu mengambilkan baju gadis di almari pakaiannya. Han mendekat
padanya, membuka selimut yang menutupinya dan memakaikan baju itu. Sungguh
romantis, Han seperti seorang kakak yang mendandani adiknya yang mau berangkat
sekolah. Kelihatannya Nina sangat malu, namun Han berusaha untuk tetap tenang dan
dengan sabar pula pemuda itu memberinya handuk. Memintanya untuk segera mandi.
“Ha…ha…kamu malu ya Nin?” tanya Han tiba-tiba.
Nina terdiam, mukanya memerah lalu tiba-tiba gadis itu memeluknya.
“Han…terimakasih ya, kamu begitu menyayangiku,’’ bisik Nina pelan.
“Ah…biasa saja, sudah mandi sana!”
Nina tetap tersenyum malu-malu. Sementara Han hanya bisa memandangi
langkahnya yang gemulai itu. Setelah dia hilang dibalik pintu, Han melangkah keluar,
menuju wartel di gang sebelah. Menekan beberapa tombol dan berbicara dengan seseorang
yang jauh disebrang sana.
“Halo…selamat pagi, maaf mbak…saya mau tanya, email atau nomer hanponenya mbak
Ira yang baru!?”
“Iya, ini dari siapa mas?” sahut wanita di seberang sana.
“Dari, Han di Yogya.”
“Maaf ya mas, mbak Ira sedang keluar kota, mungkin mas Han bisa telpon
beberapa hari lagi,’’ jawab wanita itu memberikan penjelasan.
“Kira-kira pulangya kapan mbak?” tanya Han agak kecewa.
“Mungkin dua hari lagi.”
“Mbak…nanti kalau Ira pulang, tolong suruh menghubungi saya secepatnya ya!”
“Iya mas, nomornya?” tanya wanita itu.
Han lalu memberikan nomor handphonenya pada wanita. Setelah mengucapkan
terima kasih dia meletakkan gagang telepon. Obrolan singkat itu membuatnya sedikit
tersenyum, walau dia tidak tau wanita tadi itu siapa. Tapi setidaknya jawaban itu
membuatnya bahagia. Titik terang itu sudah semakin terang. Tinggal bagaimana Han
membuatnya nyata.
Sepulang dari wartel Han langsung menuju kamar. Melihat Nina yang sedang
berdandan didepan cermin.
“Dari mana Han?” tanya Nina.
“Dari wartel disebelah,” jawab Han.
Nina tersenyum melihat Han yang juga tersenyum.
“Nin kamu jatuh cinta pertama kapan?” lanjut Han sesaat kemudian.
“Hmm....kapan ya? Umur 15 tahun dech kayaknya!” jawab Nina sambil mengingatingat
hal itu.
“Cinta pertama?” tanya Han lagi ingin tau.
“Nggak tau ya? Kayaknya cinta monyet!” Nina tersenyum.
“Cinta pertamamu kapan?” tanya Han lagi.
“Hmm...kapan ya? Aku juga bingung Han! Tapi yang paling berkesan kayaknya
yang terakhir ini dech! Walaupun kesannya menyakitkan!” Nina menunduk pelan
mengingat semunya.
Han merasa bersalah dengan pertanyaannya. Kemudian dia mendekati Nina,
memeluknya dari belakang dan menempelkan dagunya di kepala Nina.
“Nin! Cinta pertama itu belum tentu menjadi yang terindah dalam hidup! Tapi cinta
terakhirlah yang akan menjadi kenangan indah!” Han tersenyum.
Keduanya saling menatap di cermin dan tersenyum kecil. Nina memegang kedua
lengan Han yang memeluknya. Han tersenyum sekali lagi lalu mengajak Nina untuk
berdiri dan berangkat ke kampus.

TUJUH BELAS
Ini sudah hari ketiga setelah Han menghubungi kantor Ira, belum juga ada yang
menghubungi. Malam ini dia hanya duduk didepan komputer, sambil bermain game.
Bahkan saat Nina masuk dan memeluknya dari belakang Han hanya diam saja.
“Ada apa Han, kok cuma main game, novelnya sudah selesai?”
“Belum,’’ sahut Han singkat.
“Aduh sayang…kok jadi males gini kenapa?” Nina seakan memberi semangat pada
Han.
Nina mengucapkannya dengan manja, Han tau dia ingin menghiburnya. Nina
membelai rambutnya lalu duduk dipangkuan Han, memandangnya dengan penuh kasih.
“Ya…sudah tidur saja, biar lebih tenang,” lanjut Nina sesaat lemudian.
“Entar dulu belum ngantuk.”
“Apa mau jalan-jalan?” Nina memberikan sebuah usul.
“Enggak ah!” jawab Han singkat.
“Makan?” tanya Nina lagi.
“Masih kenyang.”
Dia lebih mirip dengan ibunya bila berkata seperti itu. Sedangkan Han hanya
seperti anak kecil yang sedang ngambek karena tidak dibelikan mainan. Nina lalu
melangkah keatas tempat tidur merebahkan tubuhya begitu saja. Han menjadi merasa
bersalah padanya, mungkin sikapnya keterlaluan. Diapun pada akhirnya mengikutinya,
memposisikan dirinya disamping gadis itu.
Udara malam ini terasa sangat panas, kipas kecil itu seperti enggan mengeluarkan
angin. Walau diantara mereka tidak ada pembicaraan namun saat Han menoleh padanya
dia tersenyum, dia tau kalau pemuda sedang memikirkan sesuatu. Nina hanya membelai
rambut Han dengan pelan tanpa bicara sedikitpun.
Han masih saja terbawa hayalannya, saat tiba-tiba saja handponenya berbunyi.
Sebuah pesan baru diterima, nomer yang belum dikenal. Hatinya berdebar saat
membacanya.
‘Ini siapa ya, ada perlu apa sama Ira?’
Singkat memang kata-kata itu, namun bagaikan sebongkah batu es yang diletakkan
didadanya, sejuk. Han lupa kalau disampingnya ada Nina. Pemuda itu langsung
membalasnya.
‘Maaf ya…aku ingin kenallan sama mbak Ira, boleh ga?’.
Jari-jarinya cepat menekan tombol-tombol kecil itu.
“Siapa Han?” tanya Nina yang dari tadi terdiam.
“Em…anu teman baru,” sahut Han sedikit gelagepan.
“Cewek ya?” tanya Nina penasaran.
Han terdiam sesaat.
“Kalo iya?” tanya Han sesaat kemudian menyakinkan hatinya.
“Hmm…gimana ya?”Nina tersenyum.
“Ha…ha…kamu tidak marah kan?”
“Hmm…gimana ya?”
Han tau gadis senang karena dia sudah tersenyum lebar, tidak seperti tadi senyum
yang dipaksakan. Han lalu memeluknya, dia tau kalau Nina masih membutuhkannya. Han
tau dia masih butuh semangat untuk rasa percaya dirinya. Walau sebenarnya dia ingin
mengirim sms lagi, namun ditahan saat itu. Han takut membuat Nina sakit hati. Untuk
mengalihkan perhatiannya dari sms yang baru diterimanya tadi, dia harus mencari topik
lain.
“Nin…”
“Apa?”
“Enggah jadi ah…malu.”
“Kenapa sih?”
“Janji dulu!” pinta Han.
“Janji apa?” tanya Nina penasaran.
“Kalo kamu tidak akan marah.”
“Memang aku suka marah sama kamu?”
“Mau nggak?” tanya Han lagi.
“Iya deh…apa?”
“Janji nggak marah?” tanya Han sekali lagi.
“Iya…iya,” sahut Nina meyakinkan.
“Emm…kamu kalo tidur sering tidak pake baju ya?” tanya Han malu-malu.
“Ha…ha…emang kamu tau?” Nina balik bertanya. “Sering,” lanjutnya.
“Hah…sering?” Han seakan tidak percaya.
“Iya, ha…ha....”
Gadis itu memukulinya dengan bantal, sepertinya Nina sudah tidak teringat sms
tadi. Han sudah sedikit tenang walau harus dengan beberapa kali mendapat cubitan
dipinggangnya.
“Emang kenapa kalau aku tidak pakai baju, naksir ya?” canda Nina.
“Emm…nggak kok, aku sudah biasa dengan yang gituan.”
“Gituan apa?”
“Yang nggak pake baju.”
“Oh…jadi kamu bohong ya selama ini!?” Nina tampak geram.
“Enggak.’’
“Lho…yang barusan kamu omongin.”
“Tuh…kambingnya Pak No tidak pake baju, ikan koi-nya Pay juga tidak pakai
baju, apalagi dipasar, lelem ayam, burung dan yang sahabat-sahabatnya telanjang, aku
juga tidak naksir,’’ Han tampak serius memberikan penjelasan itu.
Lagi-lagi hujan bantal dan guling, beberapa kali cubitan dan pukulan juga mendarat
telak dipinggang perut dan paha. Dia sangat bahagia malam itu, begitu juga Han.
“Sudah ah…aku mau tidur,” Han memalingkan wajah dari Nina.
“Idih…cowok kok ngambek.”
“Siapa yang ngambek,’’ Han menutup wajahnya dengan bantal.
“Han….’
“Apa?” jawab Han pelan.
“Peluk…,’’ kata Nina manja.
“Ogah ah,” canda Han.
“Kenapa?”
“Kamu masih pakai baju.”
Kali ini cubitan itu benar-benar terasa sakit, tapi Han malah tertawa terpingkalpingkal.
Saat dia akan mencubit lagi, Han memilih untuk lari dan keluar kamar.
Sesampainya didepan pintu, Pay, Arif dan jack melihat kearahnya yang sedang
berdiri didepan pintu sambil membawa bantal.
“Wah…kayak penganten baru saja, jam segini sudah ada didalam kamar,
keringetan lagi,” celetuk Pay.
Han hanya tersenyum pada Pay, dia tau mereka meledeknya.
“Han…sini!”
Pay melambaikan tangannya padanya, lalu dia melangkah kerahnya yang sedang
duduk disofa sambil menonton televisi. Dia merangkul Han dan membisikkan sesuatu
padanya.
“Han…kamu sebaiknya pacaran sama Nina saja, tidak usah mencari wanita dalam
koran itu.”
“Kenapa?”
“Kurang apa sih Nina, cantik punya, bodynya melebihi artis Hollywood, hartanya
pasti tidak sedikit. Kembali kekamar sana, katakan padanya kalau kamu mencintainya,
setelah itu bercintalah dengannya.”
“Ha…ha…tidak mau ah!”
“Kenapa?”
“Ketika aku harus telanjang, maka saat itu pulalah dihadapanku harus telah
terbaring seorang gadis yang aku cintai, aku sayangi dan sebaliknya dia juga mempunyai
perasaan yang sama denganku. Kalian juga harus tau, saat aku benar-benar harus telanjang
yang aku lakukan bukanlah sebuah dosa. Sudah cukup semuanya, aku tidak ingin
mengulang hal yang sama...dan aku harus menemukan wanita itu walau bagai manapun
caranya ha...ha....”
“Walau setelah itu kamu harus mati?”
“Mati? Hidup mati kita sudah ada yangmenentukan, kita tidak akan tau kapan
datangnya. Iya kan?”
Mereka semua memandang Han. Mungkin Han terlalu sok suci, tapi dia tidak ingin
melakukan itu, dia tidak ingin melukai perasaan Nina atau membohohongi dirinya sendiri.
“Sory ya, kalian semua terlalu baik. Aku bangga bisa berteman dengan kalian,
sekali lagi aku minta maaf atas ucapanku baru saja.”
“Ha...ha..., sudah kubilangkan dia lelaki yang hebat?” Arif mengcapkan itu sambil
memandang kearah Pay dan Jack.
“Ha...ha...kami juga bangga punya teman sepertimu.”
Pay yang dari tadi diam kini ikut berkomentar sambil menepuk bahu Han.
“Sudah, kembali lagi kekamar nanti Nina menyangka kita membicarakan yang
bukan-bukan.”
Han menuruti saran Jack, melangkah lagi kedalam kamar. Menghampiri Nina yang
terbaring.
“Nin...saya nyerah, jangan pukul lagi ya!”
Nina hanya memandang kearahnya, sedetik kemudian dia membuka tangannya
seakan meminta Han untuk segera berada didekapannya, dan pemuda itu segera
melakukan itu. Menjatuhkan tubuhnya pelan-pelan di atas tubuh Nina. Denganpemuh
sayang…

DELAPAN BELAS
Sudut yang satu ini membawa sesuatu yang aneh bagi Han. Pemuda itu tidak
mempedulikan beberapa orang teman yang lalu lalang didekatnya. Mengeluarkan
handphone dari dalam tas lalu menuliskan beberapa kata disana.
“Han, ngapain?”
“Hai Jack, sini!”
Han melambaikan tangan padanya yang kebetulan lewat didekatnya.
“Nggak masuk?”
“Bentar lagi.”
“Kenapa kamu duduk sendiri disini” dia kemudian duduk disamping Han.
“Jack…aku sudah menemukan wanita itu.”
“Siapa?”
“Ira, wanita dalam Koran.”
“Terus?”
“Aku tadi malam sempat sms dia, karena ada Nina tidak kulanjutkan.”
“Kenapa?”
“Aku takut dia tersinggung.”
“”Jadi kamu sekarang sedang menghubunginya lagi?”
“Iya, tapi aku bingung harus ngomong apa!”
“Ya…kamu jujur saja.”
“Semalam dia bertanya aku siapa, lalu aku mengatakan kalau aku hanya ingin
kenalan sama dia”
“Terus?”
“Belum ada jawaban.”
“Katakan saja kalu kamu tertarik dengannya.”
“Secepat itu Jack?”
“Ya…dari pada pusing-pusing cari lasan kenapa tidak?”
Han hanya tersenyum pada Jack, kemudian dia pergi meninggalkannya.
“Aku masuk kelas dulu ya, ada kuliah!”
“Yuup.”
Setelah dia menghilang dibalik lorong, Han mengamati layar handphonenya, masih
juga bingung tentang apa yang harus ditulis di layar kecil itu.
‘Mbak Ira, beberapa minggu yang lalu, ak sempat membaca koran, kebetuan ada
foto mbak Ira dengan sedikit komentar, aku salut sama kamu’
Sebaris kalimat itu dibacanya berulang-ulang, setelah yakin lalu mengirimnya.
Cukup lama Han menanti balasan darinya. Bahkan rokok yang dipegangnya tinggal
secenti.
‘Kamu yg semlm sms aku ya?’
Ah…kenapa balasannya hanya seperti itu, guman dalam hatinya. Lalu pemuda itu
menuliskan beberapa kata lagi.
‘Ya, eh…ngmong-ngomong udah dapat jodoh lom?’
Mungkin terlalu dini dia mengatakannya, tapi sepertinya Han sudah tidah sabar.
Han juga tidak peduli kalau kata-kata itu akan membuatnya sakit hati atau kecewa. Tapi
Han tidak menyangka akan menerima balasannya dalam hitungan detik.
‘Belum tuh, mungkin nggak ada yang mau kali ya…he…he…’
‘Punya persyratan kusus nggak?”
‘Untuk apa?’
‘Menjadi teman dekatmu…he..he…’
‘Nggak, Cuma kalo bisa yg cakep, kaya, baik atau setidaknya cukup’
‘Wah…sayang ya! Aku tidak punya itu semua’
‘kamu punya apa?’
‘ga punya apa-apa, hick…hick…huwa…huwa...’
‘Aduh kasihan ya?’
Sepertinya Han terlarut dengan sms-sms itu, mengalir begitu saja. Menerima,
membaca, menulis lalu membalasnya lagi. Kata-kata singkat itu membuat mereka
sepertinya sangat dekat.
‘Mbak…kapan ke sini lagi?’
‘Mungkin bulan depan’
‘Sekarang aja’
‘Emang napa?’
‘Nggak tau’
‘Kamu lucu ya?’
‘Katanya sih gitu, tapi kenyataannya siapa tau?’
‘he…he…’
‘apa maksudnya?!@#$$%^&?’
‘Rhs, udah dulu ya lg bnyak kerjaan’
‘Eh…kok aku nggak ditanya siapa? Emang udah tau?’
‘Yang sms semalam khan?’
‘Ye..stidaknya nama, alamat, umur atau apalah’
‘Katanya ga punya apa-apa?’
‘Kamu lucu ya?’
‘Hii…’
Han berusaha menahan rasa penasarannya, lalu dia tidak menuliskan sms lagi.
Menyudahinya sampai disini, tapi masih penasan. Lalu Han menuliskan sederet kalimat
lagi.
‘sekali lagi aku salut dengan kata-katamu di koran, seandainya aku orang yg
cakep, kaya dan baik, aku mau menikahimu, aku cuma curhat ga di bls ga apa-apa’
Ini adalah benar-benar yang terakhir, setelah itu dia mematikan handphone dan
berlari menuju kelas walau Han tau sudah telat lima belas menit.

SEMBILAN BELAS
Setelah hari itu Han tidak pernah mengirim ataupun menerima sms darinya lebih
dari satu minggu. Sebenarnya dia ingin sekali tapi ditahannya, dia berusaha menahan
semua keinginannya. Dengan sejuta perasaan yang mengganjal Han melalui hari-hari
dengan senyum yang dipaksakan. Bahkan pemuda itu sering melamun diteras depan bila
sore tiba dan teman-temannya belum datang dari kampus.
Sore itu Han duduk sendiri ditepi kolam, dibawah rimbunnya pohon rambutan yang
mulai berbunga. Mengamati ikan warna-warni milik Pay. Mereka sepertinya tau
perasaannya yang gundah. Han memasukkan tangannya kedalam kolam, ikan-ikan itu
menyapanya dengan lembut sambil sesekali menabrakkan tubuhnya disela-sela jari kokoh
pemuda itu. Kemudian terlihat Pay datang bersama Nina, mereka tersenyum kearah Han.
“Ngapain Han?’’
“Nih ngasih makan kekasihmu.”
“Awas kalau kamu jatuh cinta pada mereka!”
“Ha…ha….”
Pay masuk kedalam rumah, sementara Nina menghampirinya.
“Sudah pulang dari tadi Han?’
“Iya, sekitar jam sepuluh, dari mana?”
“Dari jalan-jalan sama Pay.”
“Kemana?”
“Biasa, belanja ke Mall.”
“Mau makan apa?”
“Emang kamu belanja apa saja?”
“Macam-macam, ada ikan, ayam, sayur-sayuran, pokoknya lengkap deh!”
“Mana?”
“Itu tadi yang dibawa Pay masuk.”
“Hari ini biar aku yang masak!”
“Emang bisa?”
“Ya…lihat saja hasilnya?”
Han merangkul Nina, lalu mereka masuk kedalam. Menemaninya kedalam kamar
sebentar, membiarkannya pergi kekamar mandi dan setelah itu Han melangkah kedapur.
Entah kenapa dia ingin sekali memasak. Han yakin teman-temannya pasti heran kalau tau
Han jago masak dan masakannya sangat enak.
“Mereka tidak tau kalau nenekku adalah koki kelas atas!” guman pemuda itu.
Dengan cepat dan sangat lincah Han mengambil beberapa macam bumbu masak,
menyiapkan peralatannya dan mulailah dia memasak dengan nyanyian kecil
mengiringinya. Han teringat saat keil dulu. Saat dia sering sekali dimarahi nenek-nya
karena selalu menggagunya saat beliau mendapat tugas didapur. Han tertawa sendiri bila
ingat itu semua.
“Wah… aromanya sangat harum, masak apa Han?’
“Sudah…kamu tunggu diluar sana!”
Han mengusir Jack yang tiba-tiba masuk kedapur.
“Kamu bisa masak?’
“Sudah…kamu keluar saja, tunggu diluar nanti kalau sudah siapa pasti kupanggil”
Han menuntun sahabatnya pelan menuju pintu dapur, dai hanya tersenyum
sepertinya tidak percaya kalau nanti masakan itu rasanya enak.
Sekitar setengah jam Han berada didapur bergelut dengan berbagai macam bumbu
masakan yang dibuatnya sendiri. Dalam waktu yang singkat itu telah tersaji bebarapa
macam menu, namun pemuda itu tidak tau apa namanya. Han hanya asal-asalan
membuatnya, tapi dia yakin siapa saja yang menyantapnya pasti akan berkata
‘hemm…enak’ sambil mengangguk-anggukan kepala.
“Lho…sudah selesai Han?’’
“Bentar lagi Nin, Arif sudah datang?”
“Sudah.”
“Siapkan piringnya ya, lalu panggil mereka semua!”
“OK.”
Nina lalu menyiapkan beberapa piring. Han masih sibuk dengan oseng-oseng
terakhirnya.
Semua telah tersaji dimeja makan, Mereka semua telah menghadapi piring masingmasing.
“Silahkan dicoba!”
Han memulai acara makan itu dengan sedikit senyum.
“Wah…enak, ini masakan apa Han?”
Jack adalah orang pertama yang berkomentar setelah mencicipi masakan itu.
“Itu namanya oseng-oseng kikil Manado!” Han menjawabnya asal-asal karena dia
juga tidak tau apa nama sebenarnya masakan semacam itu.
“Wah…yang ini lebih enak dan lebih pedas, apa namanya?”
“Oh…itu namanya, sambal teri Makasar.”
“Wah…yang ini apa Han, rasanya mantap pas bumbunya?”
“Itu namanya, tempe penyet ikan bakarArab.’’
“Gila…masakan seperti ini belum pernah kurasakan.”
Pay, Nina dan Arif hanya diam, mereka sepertinya penasaran dengan pembicaraan
mereka berdua.
“Ayo silahkan dicoba, nanti menyesal lho kalau kuhabiskan semua!”
Han hanya tersenyum dengan ucapan Jack, kemudian mereka mulai mencoba
masakan itu. Semua berkomentar kalau masakan itu enak.
“Ini apa Han?”
“Itu namanya apa ya?”
Han sudah bingung harus memberi nama apa. Setelah berpikir sebentar dia lalu
menjawab pertanyaan Pay.
“Itu oseng-oseng jamur, biasanya disebut ca jamur saos Batak.’’
“Memang saosnya bikinan orang Batak?”
“Bukan, hanya saja masakan itu paling disuka orang Batak, itupun aku mendengar
dari nenek.”
“Oh….”
Han tersenyum melihat Pay yang begitu saja percaya dengan ucapannya barusan.
Acara makan malam itu masih dihiasi rasa heran dihati teman-temannya.
“Han tidak kusangka kamu pandai memasak.”
“Ah…biasa saja Nin, mungkin hanya masalah kebiasaan, lagian kalau pas tidak ada
keinginan pasti rasanya tidak enak.”
Masakan itu tidak ada yang tersisa, semua habis tanpa bekas sedikitpun. Han hanya
tersenyum pada teman-temannya.

DUA PULUH
Selesailah sudah acara makan malam itu, mereka kembali kedepan televisi.
Sebentar kemudian Han memilih kembali kedalam kamar, menyelesaiakan beberapa
tulisan yang belum selesai. Saat Han sedang menyusun beberapa kalimat dilayar monitor,
dia dikejutkan dengan suara handphonenya yang beberapa hari ini tidak pernah berbunyi.
Han meraihnya, sebuah pesan baru kuterima.
‘Lg ngapain?’
Ya…walau singkat namun sms itu sangat diharapkan.
‘Eh…masih ingat ya, kukira dah lupa’
Begitulah kalimat yang tertera di layar kecil handphonenya.
‘Lg ngapa?’
‘Lg membayangkan kamu ada disini, he…he…?@#@!$&!’
‘Serius???!!!?
‘Yoi…bahkan lagi nulis cerpen tentang kamu’
‘Serius!@$@!!#?
‘Kamu lucu ya!’
‘Namamu sapa?’
‘Wah dah telat, udah ganti’
‘Kamu lucu ya!’
‘Jadi ga?’
‘Apanya?’
‘Namanya’
‘Kalo boleh’
‘Lengkap ga?’
‘Seiklasnya saja’
‘Han…’
‘Cuma itu?’
‘Katanya seiklasnya, sementara hanya itu. Kamu?’
‘Ira’
‘Hanya itu?’
‘He…he…kamu lucu ya’
‘Kapan nikahnya?’
‘Ma sapa?’
‘Eh…ya ama aku, gumana to udah ditunggu berbulan-bulan kok masih ga sadar
juga?!@!@%^$&^*?
‘Emang kamu siapa aku?’
‘Ira kan?’
‘Yang lain?’
‘Pingin nikah dan pumya anak’
‘Yang lain????’
‘Kamu gadis yang lucu, he…he….’
Ira tidak membalas lagi, cukup lama Han menunggunya.
‘Ira dah bobok ya?’
‘Lom’
“Kok ga di bls napa? Marah? Ngabek? Apa penasaran?’
‘Semuanya!@#@!$%^&&*&()!!!?’
‘Ha…ha…ha…AKU SERIUS INGIN MENIKAHIMU’
‘Kenapa?’
‘Mau ga?’
‘Tergantung’
‘Tergantung apanya?’
‘Ga…teu lah?:?:”?:”?:”?:?:
‘Aku serius’
‘Kamu lucu ya?’
‘Ya..tapi aku serius’
‘Maksa benget sih’
‘Ira…sory ya…aku serius, susah lho untuk dapetin nomormu, pikir-pikir aja dulu
sebelum ngasih jwbn!’
Sepertinya Han memang terlalu memaksa, tapi mau bagaimana lagi rasa penasaran
pada gadis itu sudah tak terbendung. Han ingin melihatanya dari dekat, makan denganya
atau sekedar berbicara tentang tempat tinggalnya. Oblrolan lewat kata itu di hentikannya.
Han cepat-cepat mematikan handphone-nya dan meletakkannya didekat komputer
saat Nina masuk.
“Sudah jadi?’’
“Belum, masih mencari ending yang pas.”
“Aku tidur dulu ya!’’
“Ya…”
Nina sepertinya terlalu lelah, dia langsung berbaring. Han mengamatainya sebentar,
lalu mengantar tidurnya dengan sedikit senyum. Han tau dia membutuhkan kasih sayang.
Lalu pemuda itu menghampirinya, menutup tubuhnya dengan selimut dan mengceup
keningnya.
“Selamat tidur, semoga mimpi indah.”
Setalah gadis itu memejamkam matanya, Han kembali kedepan komputer. Kembali
bermain dengan huruf-huruf acak di hadapannya. Menekannya satu demi satu dan
menjadikannya sebuah kalimat yang tersusun rapi dilayar monitor.
Beberapa kali dia mengusap wajahnya yang terasa penat. Sudah hampir dua jam
Han duduk menghadap komputer. Secangkir kopi itu telah menjadi dingin namun masih
terasa nikmat. Matanya sudah tidak dapat diajak kompromi lagi, dan dia menyerah.
Setelah mematikan komputer Han memutuskan untuk tidur.

DUA PULUH SATU
Saat Han membuka mata pagi itu, Nina sudah menghilang. Mungkin dia kuliah
pagi, begitu juga Pay, Jack dan Arif sudah tidak ada. Rumah ini tersa sepi tanpa mereka.
Han pergi kedapur, memanaskan air dan menyiapkan sebuah gelas dengan susu dan
sedikit kopi didalamnya. Walau sudah jam sepuluh, tapi dia belum juga berangkat mandi
karena pemuda itu lebih memilih duduk disofa sambil membaca koran.
Halaman demi halaman dinikmatinya dengan sebatang rokok dan secangkir kopi
susu yang setia menemaninya. Sedetik kemudian Han melangkah kedalam kamar.
Mengambil dan menghidupkan handphone yang dari tadi malam tergeletak takberdaya
dimeja komputer. Ada dua pesan baru yang diterima.
‘Dah bangun lom?’
Itu sms dari Ira yang dikirim jam enam pagi tadi.
‘Aku dah di Ygy, pengen ketemu kamu’
Han membacanya sekali lagi, dan memang benar kata-kata itu tidak berubah, dia
tidak bermimpi.
‘Kamu dimana?’
‘Disebuah kamar hotel, pasti kamu baru bangun?’
‘Ya…serius mo ketemu ma aku?’
‘Ya’
‘Tapi kuharap kamu ga kecewa denganku’
‘Mudah-mudahan ga terbalik’
Han segera lari kekamar mandi, cukup dua menit dia berada didalamnya. Berlari
lagi kekamar, mencari-cari baju yang cocok, didalam kamar ini dia cukup lama sekitar
empat menit. Mengambil tas kecil dan mengenakan sepatu kulit warna hitam. Menyambar
handphone diatas meja, menghabiskan sisa kopi susu lalu mengeluarkan motor. Satu pesan
baru dierimanya, hanya pesan singkat tentang alamat hotel dan nomor kamar. Han tau
hotel itu, dia setiap hari lewat didepannya bila pergi kekampus. Tanpa kesulitan berarti
Han melaju kencang, mendahului beberapa kendaraan lain. Han teringat lagu Bang
Iwan…dan menyanyikannya sepanjang perjalanan. Kupacu sepeda motorku, jarum jam
tak mau menunggu, maklum rindu, trafick ligh kulewati lampu merah kusebrangi jalan
terus…
Han langsung menuju tempat parkir setelah satpam yang ramah itu menyapa dan
menahannya sebentar didepan kantornya yang kecil. Menanyakan kamar yang dimadsud
kepada resepsionis.
“Maaf …Mbak, saya tamunya Ira, kamar nomor 182.’’
“Mas Han ya?’
“Iya Mbak.”
“Silahkan mas. Sudah ditunggu dari pagi tadi, naik saja lewat tangga itu, lalu belok
kanan.”
“Terima kasih ya Mbak.”
“Iya sama-sama.”
Wanita cantik itu mengatar dengan senyumnya. Langkahnya sedikit berat menaiki
tangga itu, mungkin dia terlalu takut. Sesampainya didepan kamar, Han terdiam. Hatinya
benar-benar berdebar kencang. Han mengusap wajahnya yang berkeringat dengan telapak
tangannya yang juga basah. Sebuah bayangan sepatu kaca melintas di pelupuk matanya.
Han mengetuk pintu pelan, lalu tidak lama kemudian pintu kamar itu terbuka.
Pemuda itu hanya diam memandangnya. Wah…jauh lebih cantik dari yang ada dikoran.
Gadis itu juga hanya diam sambil mengamatinya.
“Boleh masuk?’’
Han mengambil inisiatif sepihak dengan menanyakan itu padanya. Hotel semewah
ini pastinya mempunyai beberapa ruangan didalamnya sana.
“Silahkan.’’
Han mengikutinya dari belakang, langkahnya sungguh gemulai. Han lalu duduk
disebuah kursi rotan, dihadapannya telah ada beberapa macam makanan kecil dan air
mineral. Han mengamatinya sebentar lalu menyiapkan diri menjadi seorang yang
setidaknya intelek, dia harus merubah dirinya menjadi seorang intelektual muda
dihadapannya. Han menunggu cukup lama namun dia tidak juga memulai perbincangan,
aneh Han tiba-tiba saja teringat Nina.
“Nina dimana kamu? Aku takut menghadapinya sendiri he…he…Hatiku berdebardebar
menunggu kata-kata lembut Ira,” Han berguman pelan dalam hatinya.
Saat mereka hanya terdiam, tiba-tiba saja handphone-nya berbunyi. Han tidak
langsung mengeluarkannya dari tas hingga pada akhirnya gadis dihadapannya
mempersilahkan Han untuk menerimanya.
“Silahkan!’’ sambil memberi tanda dengan tangannya yang gemulai.
Han berdiri, melangkah sedikit menjauh dari gadis itu. Han terkejut karena saat
melihat dilayar yang tertera adalah nama Nina.
‘Hallo’
‘Kamu dimana Han?’
‘Ditempat teman, ada apa?’
‘Aku harus pulang sekarang’
‘Kemana?’
‘Kerumah, soalnya Ibuku sakit sekarang di rumah sakit’
‘Kamu sekarang dimana?’
‘Sudah diatas kereta, baru saja diantar Jack dan Pay’
‘Ya sudah, hati-hati ya, sorry banget nggak bisa ngantar’
‘Kamu hati-hati juga ya…dahhh’
Han lalu mematikan handphone-nya, lalu kembali kekursi itu lagi.
“Sorry ya!”
“Ah, santai saja.”
“Kapan datang?”
“Tadi pagi.”
“Naik pesawat?”
“Ya.”
“Sendirian?”
“Ya.”
“Kamu berani juga ya?”
“Ya.”
“Kamu cantik ya?”
“Ha….ha….”
“Kok jawabannya bukan ‘Ya’?
“Ha…ha…kamu lucu ya?”
Han menarik nafas panjang, sungguh dia sangat cantik. Han mengira wajahnya
pucat tidak bisa tertawa, atau setidaknya badannya sangat kurus. Tapi kenyataannya lain
dia sangat montok, seksi, wajahnya cerah dan senyumnya itu, ah…sungguh manis. Tidak
seperti orang yang sakit.
“Kenapa?”
“Ah…nggak apa-apa, hanya sedikit gugup.”
“Kenapa?”
“Kamu terlalu cantik.”
Hanya kata-kata itu yang bisa terucap, memang dia sangat cantik dan Han tidak tau
harus berkata apa lagi. Sepertinya dia tidak mungkin mau menikah dengan pemuda itu.
“Kamu benar yang namanya Han?’
“Iya, jelek kan?”
“Jauh dari perkiraanku.”
“Pasti kamu mengira aku cakep, baik dan kaya.”
“Ha…ha…bukan seperti itu, malah sebaliknya.”
“Maksudnya?”
“Aku mengira kamu pemuda yang hanya iseng.”
“Untuk bertemu denganmu?”
“Iya.”
“Ha…ha….”
“Han…aku tidak mengira kamu masih sangat muda, tampan dan selalu tersenyum.”
“Wah…aku jadi ge er nich.”
“Apa kamu serius dengan smsmu kemarin?”
“Lebih dari itu, tapi sekarang aku jadi tidak pede.”
“Kenapa?”
“Kamu terlalu cantik, jauh sama yang dikoran.”
Dia terdiam, membuka sebungkus biskuit yang ada diatas meja lalu
menyodorkannya pada Han.
“Ira…kamu lama tidak disini?”
“Tergantung selesainya acara.”
“Sebaiknya kita tidak membicarakan sms itu dulu ya!”
“Kenapa?”
“Aku malu sama kamu.”
“Ha…ha…kamu lucu ya!”
“Nah…kata-kata itu yang selalu kutunggu.”
“Kenapa?”
“Nggak tau, asyik saja.”
Obrolan itu berlanjut, Han berusaha sebisa mungkin untuk tidak kehabisan bahan
pembicaraan. Sesekali Han mengeluarkan gurauan-gurauan lucu. Melihatnya tertawa
terpingkal membuat pemuda itu sangat bahagia. Mereka sepertinya sudah sangat dekat,
seperti teman lama yang melepas rindu. Tidak disangka banyak kecocokan diantara
mereka.
“Kamu sekarang ada acara?”
“Sebentar lagi ada pertemuan dengan beberapa teman”
“Ada waktu lagi kapan?”
“Nanti sore.”
“Ira…nanti sore mau jalan-jalan sama aku?”
“Kemana?’
“Kemanapun kamu mau deh…!”
“Ha…ha….”
“Kalau mau nanti aku jemput, tapi ya gitu cuma naik motor.”
“Boleh.”
“Sekarang aku pergi dulu ya, ada pertemuan dengan beberapa teman.”
“Ha…ha…kamu lucu ya?”
Han memang sengaja menggunakan kata-kata yang diucapkan Ira beberapa detik
lalu bahkan dengan gaya yang sama dan itu membuatnya tertawa.
“Kalau sekarang aku minta tolong mau tidak?”
“Mau, apa?”
“Mengantarku.”
“Dengan senang hati.”
Pertemuan pertama yang sangat berkesan, kemudian mereka keluar dari kamar.
Sesekali Han meliriknya yang sedang berjalan disampingnya. Sepertinya pula, tinggi
mereka tidak jauh beda, gadis itu hanya beberapa centi dibawah Han. Sesampainya
ditempat parkir gadis itu tersenyum.
“Kenapa?’’
“Aku sudah lama mimpi bisa naik scooter.”
“Iya?’
“Iya, sumpah.”
“Ha…ha…ini juga bukan punyaku, motor pinjeman kok.”
“Paling rasanya juga sama.”
“Ha…ha….”
Tawa itu mengiringi perjalan pelan mereka. Han tidak menyangka kalau bisa jalan
dengan gadis secantik Ira. Sungguh, semuanya diluar dugaan. Mimpi itu sepertinya
menjadi kenyataan. Mimpi yang menghantui setiap tidurnya.

DUA PULUH DUA
Setelah mengantar Ira, Han pulang kerumah. Belum terlalu sore, tapi tamantemannya
sudah datang semua.
“Dari mana Han?”
“Dari jalan-jalan, Nina tadi pulang ya Rif?”
“Iya…Ibunya sakit.”
“Kami tadi mencarimu tapi kamu sudah tidak ada, kemana?”
“Anu Jack…aku baru saja bertemu dengan Ira.”
“Ira siapa?”
“Itu, wanita dalam Koran.”
“Ha…serius?”
Arif dan Jack mengucapkan kata-kata itu bersamaan.
“Iya.”
“Dimana?”
“Tuh, dihotel dekat kampus.”
“Gimana, cakep nggak?”
Han tidak segera menjawab pertanyaan Jack, dia tau mereka sangat penasaran
dengan wanita itu.
“Aku sendiri bingung mendeskripsikannya.”
“Cakep nggak?”
“Waduh…lebih dari sekedar cantik.”
“Pucat nggak?”
“Ha…ha…aku juga mengira sama sepertimu Rif, tapi jauh dari gambaran orang
sakit.”
“Benar?”
“Iya…dia itu montok habis, kulitnya kuning langsat, bibirnya merah merekah,
rambutnya ah…pokoknya tidak bisa dibayangkan.”
“Iya.”
Han tau, mereka berdua tidak begitu percaya.
“Aku mandi dulu ya?”
“Mau pergi lagi?”
“Iya, jam empat mau jemput Ira, katanya pingin jalan-jalan.”
Mereka berdua hanya saling pandang, entah apa yang ada dipikiran Jack dan Arif
saat itu. Langkah tergesa Han tidak mampu meyakinkan mereka. Saat Han keluar dari
kamar mandi, mereka masih duduk disofa yang sama dengan posisi yang sama pula,
mungkin dari tadi mereka membicarakan tentang apa yang baru saja di katakan Han.
Setelah merasa rapi Han duduk didekat mereka berdua.
“Pay mana Jack?”
“Tidur.”
“Kalian ada acara tidak?”
“Tidak ada, paling-paling cuma nonton berita.”
“Ingin bertemu dengan wanita misterius itu tidak?”
“Misterius gimana?”
“Misterius menurut kalian, ha…ha….”
“Gila…cara tertawa yang hebat.”
Han melihat kearah Arif, memang dia benar karena mungkin baru kali ini Han
tertawa seceria itu.
“Kalau mau, dan kalian tidak acara nanti aku kasih kabar, dimana kita harus
bertemu.”
“OK, aku tunggu.”
“Aku pergi dulu ya, semoga kalian tidakmembicarakan aku yang bukan-bukan!”
“Ha…ha…hati-hati Han!”
Arif dan Jack mengantar Han hingga depan pintu. Sebentar kemudian Han telah
melaju pelan dijalan raya.
Han menunggu Ira ditempat parkir, diyalakan sebatang rokok sambil membaca
buku yang tadi dibawa dari rumah. Cukup lama Han duduk diatas motor, sekitar satu jam
lebih, namun pergerakan waktu sepertinya tidak begitu terasa. Dari balik pintu kaca
Ira muncul dengan senyumnya yang sungguh-sungguh manis.
“Sudah lama Han?”
“Enggak, baru dua menit,” Han memberikan helm padanya.
“Pulang dulu ya!”
“Kemana?”
“Ha…ha…kamu…”
Belum sempat Ira melanjutkan kata-katanya, Han sudah mendahuluinya.
“Kamu lucu ya?”
Gadis itu tertawa semakin lebar, sampai matanya terpejam.
“Kemana?”
“Ke hotel dulu , aku mau mandi.”
“Wah…aku harus nunggu diluar dong!”
“Terserah mau nunggu dimana, distasiun juga nggak apa-apa.”
Selama perjalan singkat itu mereka hanya bercanda, sungguh waktu berjalan sangat
cepat karena tanpa terasa Han sudah bertemu dengan pak satpam yang ramah lagi seperti
tadi pagi.
Mereka langsung naik kelantai tiga setelah mengambil kunci di resepsionis yang
juga cantik itu. Han hanya duduk di kursi rotan, tapi kali ini dia lebih memilih berada di
teras kamar hotel. Han takut akan mengganggu acara mandi gadis itu.
“Silahkan mandi dulu, aku menunggu diluar saja!”
“Kenapa!”
“Ha…ha…takut mengganggumu.”
“Nggak apa-apa, masuk kedalam saja!”
“Tidak ah…takut.”
Han tetap ngotot berada diluar kamar. Ira kemudian mengeluarkan makanan kecil
dari dalam, dan meletakkan di meja kecil.
“Ya…sudah kalau tidak mau masuk, hati-hati ya?”
“Ha…ha…kamu cantik.”
“Cantik apa lucu?”
“Cantik dan lucu.”
Ira kemudian masuk kembali, Han menikmati makanan kecil itu sambil
menyalakan sebatang rokok.
Kini Ira keluar lagi dengan aroma yang sangat khas, orang-orang kaya. Baju yang
dikenakannya pastilah buatan desainer pribadi, celananya pastilah dijahit oleh penjahit
pribadi. Semuanya serba pas dan cocok. Han hanya memandangnya dengan penuh kagum.
“Orang kota mandinya lama ya?” sebenarnya Han tidak ingin menyindirnya.
“Biasa, sudah lama tidak mandi.”
Han tau jawaban itu juga asal dan sekenanya saja, entah kenapa dari tadi mereka
belum menbicarakan hal-hal serius, hanya bercanda dan tertawa.
“Mau makan dimana Han?”
“Dimana saja, asalkan produksi dalam negeri.”
“Kenapa?”
“Produk luar itu belum tentu sehat, apalagi dikantong.”
“Ha…ha…kamu lucu ya?”
“Benar nggak?”
“Iya sih…saya juga tidak suka makanan yang gituan.”
“Jadi makan nggak?”
“Dimana?”
“Ditempat biasa aku makan mau?”
“Dimana?”
“Yang pasti temapatnya tidak ber-AC, tapi dijamin puas”
“Dimana?”
“Pedagang kaki lima.”
“Dipingir jalan, asyik juga tuh.”
“Ini bukan dipinggir jalan, ini tempat khusus untuk orang-orang yang menyukai
aneka menu.”
“Terserah kamu saja deh.”
Saat gadis berkemas atau barang kali sekedar mengambil tas, Han mengirim sms
pada Jack.
‘Aku menunggunya ditempat biasa’
Matahari sudah mulai tenggelam saat mereka keluar dari hotel itu. Langsung saja
motor melaju pelan menuju kesuatu tempat yang menurut Han sangat menyenangkan,
dimana disana para penjual berjajar dan sibuk melayani para pembeli yang rata-rata
pelajar atau mahasiswa. Makanan dan minumannya juga beraneka macam.
Han menyapa tukang parkir langganannya, lalu menuju kesebuah meja yang ada
disudut ruang itu. Ira mengikutinya dengan senyum simpul, kebetulan sekali disana ada
beberapa orang yang kenal dengan Han. Bukan hanya para penjual, tapi juga beberapa
teman kampusnya yang sudah menjadi pelanggan tetap tempat ini.
“Kamu orang terkenal ya Han?”
“Bukan…tapi kebetulan saja mereka mengenalku, dan aku mengenalnya.”
“Wah…banyak seniman ya?”
“Bukan seniman, hanya orang yang peduli dengan seni.”
“Kamu sering makan disini?”
“Tidak begitu sering.”
Han melihat Pay, Arif dan Jack datang, mereka duduk di sudut yang lain. Han purapura
tidak melihat mereka, begitu pula ketiga sahabatnya.
“Mau makan apa?”
“Ah…jadi bingung, menunya buanyak banget.”
“Ya…namanya juga kaki lima, kakinya saja lima, apalagi menunya?”
“Aku mau tempe penyet Surabaya, kelihatannya sambalnya pasti pedas.”
“Iya, itu juga makanan favoritku, Cuma ditambah tahu sama telor.”
“Wah…sama aja deh.”
“Minumnya?”
“Jus mangga aja deh.”
“Aku memesan menu kesukaanku dua porsi.”
Sambil menunggu pelayan menyiapkannya, Han mulai menyinggung tentang
teman-temannya yang duduk di meja yang lumayan jauh dari mereka.
“Eh…kamu lihat tiga orang cowok yang duduk disudut saa itu tidak?”
Han menunjuk meja yang ada di ujung sebelah barat, walaupun hampir terhalang
sepuluh meja lebih, mereka tetap terlihat dan Ira menggangguk.
“Ya.”
“Yang baju biru itu pasti makan semur jamur, terus yang pakai hitam pasti makan
nasi goreng pete, terus yang pakai switer kotak-kotak pasti makan mie kocok telor.”
“Ah bohong, mereka saja baru datang.”
“Ye…masak tidakpercaya denganku?”
“Kamu tau dari mana?’
“Mereka itu sering tidur denganku.”
“Ha…kamu homo?”
“Bukan, mereka teman satu kontrakan denganku, dan mereka selalu makan disini
setiap hari.”
“Oh…kalian tinggal berempat?”
“Iya.”
“Kenapa tidak diajak gabung sama kita saja?”
“Kamu tidak malu punya teman seperti mereka?”
“Malu? Tidak sebaliknya kamu yang malu berteman denganku?’’
Mungkin ucapan Han yang baru saja itu menyinggung perasaan Ira. Lalu han
berusaha mengalihkan perhatiannya.
“Ha…ha…mereka itu sifatnya menjengkelkan, suka iseng suka jahil pokoknya
macem-mecem. Saya jamin kamu pasti terpingkal-pingkal dengan ilah mereka. Saya
panggil sebentar ya!”
Han langsung melangkah menghampiri mereka. Lalu dia berbisik supaya mereka
tidak menyinngung hal-hal yang bersifat pribadi.
“Sepertinya aku baru saja membuatnya tersinggung, jadi tahan omongan! Buat dia
tertawa degan joke segar kalian! Jangan menyinggung hal pribadi tentangnya. OK?”
“OK bos!”
Setelah melakukan persetujuan kecil itu mereka melangkah bersama. Han sempat
melirik kearah Arif, wajahnya terlihat tegang, jalannya-pun terkesan kaku dan ragu-ragu.
“Ini teman-temanku, mau dikenalkan apa kenalan sendiri?”
“Terserah kamu deh!”
“Ok. Aku yangmengenalkan ya!. Ini namanya Pay. Pay ini Ira teman baruku.”
Pay dengan sangat sopan mengulurkan tangannya.
Selanjutnya Jack dan Arif. Setelah perkenalan singkat itu mulailah mereka
berbicara sendiri- sendiri. Seperti apa yang diminta Han , sahabat-sahabatnya lebih
banyak mengeluarkan guyonan dari pada pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pribadi.
Malam sudah semakin larut, mungkin saat itu sudah jam sembilan lebih. Tidak
terasa hampir tiga jam mereka ngobrol bersama.
“Ira mau diantar pulang sekarang?”
“Boleh.”
“Mbak Ira kalau ada mau mampir ke gubuk kami ya!”
“Iya Pay, aku pasti kesana suatu saat nanti.”
“Tapi kalau kesana ada syaratnya lho Mbak!”
“Apa Jack?”
“Setidaknya makanan ringan, atau sekeranjang buah-buahan”
“Ha…ha…iya pasti kubawakan.”
“Jangan denger omongan Jack Mbak! Seadanya saja.’’
“Ha…ha…,’’ Semua tertawa.
Mereka sepertinya sudah akrab, tinggal nanti entah bagaimana kritik dan saran
yang akan di terima Han. Tentu saja kriti dan saran dari sahabat-sahabat terbaiknya itu.
Mereka berpisah ditempat itu, Han mengantar Ira kembali ke hotel sedangkan
teman-temannya mungkin langsung pulang. Sepanjang jalan Ira masih membicarakan
tentang mereka bertiga.
Kini Han sudah duduk dikursi rotan yang berada didekat tempat tidur mewah itu.
Matanya tidak pernah lepas memandangi gadis di sampingnya.
“Kenapa Han?”
“Ah…tidak, aku hanya heran denganmu.”
“Heran?”
“Ya.”
“Apa aku terlalu aneh?”
“Bukan, sudah sering aku katakana, kamu terlalu cantik.”
“Ha…ha…,pujian kuno.”
“Aku tidak memuji, hanya ingin sedikit berbagi.”
“Tentang apa?”
“Tentang senyummu, tentang matamu, tentang rambutmu dan tentang apa saja
mengenai dirimu.”
“Ha…ha…”
Lagi-lagi Han harus berdebar dengan tawa itu, huh…sungguh luar biasa, pasti tidak
akan ada yang menyangka kalau dia itu dekat dengan maut. Han juga heran kenapa dia
begitu sering memimpikannya, padahal Han hanya melihatnya di dalam koran.
“Apa benar, kamu yang dikoran tempo hari?”
“Mungkin.”
“Kok mungkin?”
“Ya…kamu melihatnya bagaimana, sama apa tidak?”
“Tidak.”
“Maksudnya?”
“Jauh dari bayanganku, kukira kamu itu kurus, pucat, terus tidak pernah tertawa”
“Ha…ha…kamu lucu ya?”
“Ya…ya…aku memang lucu.”
Setelah puas berbincang dengannya, Han pamit pulang karena waktu sudah malam.
“Aku pulang dulu ya!”
“Kenapa?”
“Ha…ha…sudah malam dan aku rasa kamu butuh istirahat, kalau boleh besok aku
datang lagi kesini?”
“Dengan senang hati.”
Ira mengantar hingga ketempat parkir, sungguh senyumnya membuat hati berdebar
kencang.

DUA PULUH TIGA
Sudah satu minggu Ira berada disini, Satu minggu pula Nina pulang. Selama itu
pula Han hampir melupakan gadis yang sering menemaninya. Sama sekali dia tidak
terlintas dalam cerita-cerita yang di buat Han. Selalu saja Ira dan Ira yang menjadi tokohtokoh
yang ditulisnya. Wanita cantik itu telah memaksa otaknya untuk menjadikannya
masuk dalam kisah-kisah singkat. Tapi tiba-tiba saja Han teringat Nina malam ini.
Ya…gadis itu yang selalu menemani mimpinya. Han meraih hanphone yang tergeletak
didekat komputer. Pemuda itu ingin menanyakan kabarnya.
Han lalu menulis pesan singkat pada Nina
‘Nin..IBu gimana? Kapan kembali, kangen nich!?’
Lama Han menunggu balasan dari Nina. Sepertinya Dia merindukan aroma
tubuhnya, merindukan desah nafasnya yang pelan. Han beranjak dari ranjang, mengunci
pintu kamar dan melangkah kearah almari pakaian. Tak satupun baju Nina yang
ditemukannya, dibagian lain juga tidak ada sama sekali.
“Ah…Nina, biarkan aku memeluk bajumu yang harum itu, tapi dimana?” kata itu
yang terucap dari dalam hatiknya.
Memang beberapa hari ini Han tidak membuka almari pakain yang sebelah, karena
satu minggu yang lalu lemari itu penuh baju-baju Nina. Tapi kini tak satupun yang
tertinggal. Han mengamati sekeliling, tetap…ruangan ini tidak berubah sama sekali,
tapi…foto diatas meja dekat cermin itu tidak ada lgi.
Han seperti orang bingung, lalu diraihnya handhone itu dan mencari nomer nina.
‘nomer yang anda…’
Beberapa kali Han mencoba namun hanya kata-kata itu yang terdengar.
“Nina…dimana kamu?”
Tubuhnya seperti lemas dan terbaring begitu saja dilantai. Beberapa menit kemudia
dia lalu berdiri melangkah tergesa kearah pintu, mungkin Nina menitipkan sesuatu pada
sabat-sahabatnya. Han menuju kamar Arif.
“Rif Nina kemarin ada nitip sesuatu nggak?”
Namun Arif sudah tidur, dia tidak menjawab pertanyaan. Han tidak ingin
mengganggu tidurnya, dia menjauh dari ranjang dengan pelan.
“Ada.”
Han kaget oleh suara itu, ternyata Arif terbangun. Dia cepat-cepat melangkah
kearah sahabatnya yang masih terbaring.
“Apa?”
“Ini.”
Arif mengambil sebuah amplop dari bawah bantalnya, amplop itu sudah terlihat
lusuh. Dengan cepat Han menyambarnya.
“Kenapa tidak kau berikan dari kemarin-kemarin, ini kan amanat?”
Sepertinya Han marah atau sekedar jengkel menerima pesan itu, kenapa baru
disampaikan sekarang? Dan Arif hanya menjawabnya sambil kembali memposisikan
dirinya untuk tidur.
“Justru karena itu amanat makanya kuberikan sekarang.”
“Maksudnya?”
“Nina minta, jangan diberikan sebelum kamu menanyakannya! Apa aku salah?”
Han terdiam, lalu meninggalkan kamar itu. Kembali lagi kekamarnya dengan sejuta
tanya tentang isi surat yang masih digenggamnya dengan erat.
‘Han…mungkin surat ini tidak akan pernah kamu baca’
Sebuah awal kalimat yang mengundang tanya.
‘Aku tau Han…mungkin aku yang terlalu berharap banyak padamu, tapi aku rasa
tidaklah saah bila aku ingin selalu dekat dan dekat denganmu, terima kasih atas semua
yang kamu berikn, juga terimaksih pula untuk teman-teman. Han…terasa sangat indah
bisa memelukmu, tersa sangat indah sekali Han. Aku tidak menganggapnya sebagai
mimpi, itu nyata…nyata Han. Aku tau kamu menyimpan cintamu untuk orang lain, atau
kamu memang benar bila mengatakan bahwa cinta adalah milik pribadi seseorang yang
tidak akan bisa kida berikan atau kita dapatkan. Aku suka kata-kata itu Han! Menurutmu
mereka yang berpacaran bukan saling memberikan cinta tapi yang mereka berikan
adalah kasih sayang, iya kan? Aku juga tau kamu memimpikan sorang wanita, entah
siapa itu tapi sepertinya dia sangat berarti buatmu. Aku tau itu sejak awal, sejak kita
bertemu dan tidur bersama aku tau. Kamu gelisah bersamaku bukan karena takut, tapi
kamu membayangkan wanita lain bukan aku, aku harap itu salah.

Han…aku memutuskan untuk cuti kuliah dulu, aku ingin membuang kenangan
burukku, aku ingin belajar darimu, ingin mengnal dan mencari cinta dalam diriku.
Semoga wanita yang kamu impikan kamu temukan, berikan semua kasih sayangmu buat
dia, dia tidak akan mati Han…dia akan selalu hidup disimu, aku tau itu. Yakinlah…kamu
benar. Berikan dia apa yang kamu punya. Semoga bahagia selalu…Nina.
Tanpa terasa Han telah menjadi cengeng dengan selembar kertas biru itu. “Nina…kapan
kamu kembali?”

DUA PULUH EMPAT
“Kamu jadi pulang kapan?”
“Mungkin minggu depan, kenapa sudah bosan dekat denganku?”
“Bukan begitu, malah sebaliknya.”
“Ha…? “
“Takut kalau kamu pergi.”
“Ha…ha…memangnya kenapa?”
“Entahlah Ira, aku bingung harus ngomong apa?”
“Orang sepertimu bisa bingung?”
“Aku masih belum begitu mengenalmu, tapi aku berharap banyak.”
“Maksudnya?”
“Tentang beritamu dikoran yang membuatku berusaha untuk bisa bertemu dan
sampai saat ini. Mimpiku terlalu tinggi untuk bisa menikahimu dan itu tidak mungkin”
Ira terdiam, begitu pula dengan Han. Pemuda itu hanya memandang beberapa
pasang orang yang lalu lalang di lorong hotel itu. Sepertinya mereka tidak begitu peduli
dengan Ira dan Han yang sedang duduk dikursi depan kamar. Mungkin orang-orang kaya
memang seperti itu, tidak mau tersenyum pada orang lain?
“Han…apa yang kamu pikirkan?’
“Tidak jauh beda, masih saja kamu.”
“Boleh tau nggak?”
“Ya…masih seputar mimpi tentangmu, menikah lalu hidup berbahagia selamanya,
tapi siapa aku dan siapa kamu yang masih belum bisa aku pecahkan? Aku belum bisa
menemukan alur cerita yang tepat untuk ending kisah bahagia itu. Apalagi tokoh yang
ada?”
“Tokoh yang kamu maksud adalah aku dan kamu?”
“Ya…tapi apa mungkin, aku bukan pangeran, aku bukan siapa-siapa. Aku juga
tidak mempunyai sepatu kaca. Jangankan harta, orang tuapun tidak jelas dimana?
Bagaimana aku bisa meminangmu? Memang kamu bukan ratu, tapi kecantikanmu itu
melebihi ratu manapun, semuanya…sempurna untuk seorang wanita.”
“Itu dari luar Han, apa kamu tau apa yang ada didalam tubuhku? Virus yang paling
mematikan dan paling ditakuti. Siapa saja akan enggan menyentuhku, semua orang yang
dekat denganku kemungkinan besr akan mati”
Han terdiam mendengar kata-kata itu. Suasana menjadi sangat hening, hanya
terdengar bunyi sepatu dari seorang pelayan yang berjalan di ujung lorong.
“Apa yang kamu harapkan dariku Han?”
“Kasih sayang.”
“Hanya itu?”
“Iya.”
“Cinta?”
“Aku punya pendapat lain tentang cinta.”
“Apa?”
“Cinta datangnya dari hati. Cinta adalah hak yang dimiliki seseorang dan cinta itu
tidak dapat kita berikan atau kita terima dari siapapun, dia adalah hak yang wajib kita jaga.
Menurutku, sepasang manusia hanya mampu memberikan kasih sayang dan itulah yang
kita lihat. Bagai mana mereka berpacaran, saling memegang, memeluk, mencium dan
sebagainya adalah bukti bahwa mereka saling menyayangi.”
“Apa kamu mengatakan itu pada banyak orang?”
“Iya.”
“Apa pendapat mereka?”
“Relatif, ada yang setuju ada yang tidak, menurutmu?”
“Aku tidak tau!”
“Sebenarnya hanya satu yang akutakutkan dari ini semua!”
“Apa? Takut mati?”
“Bukan, aku takut bila orang mengira bahwa aku menikahimu karena kamu kaya”
“Ha…ha…itu bukan sebuah alasan yang tepat untukku.”
“Kenapa?”
“Entahlah…tapi kekayaan itu tidak abadi.”
“Ya…tapi tetap saja orang akan berkata seperti itu, apalagi media massa, mereka
pasti akan memberitakannya.”
“Lalu?”
“Seorang gelandangan menikahi gadis kaya, mungkin itu yang akan mereka tulis”
“Tidak Han…itu tidak akan terjadi. Kamu punya bakat kenapa tidak kau gunakan
itu?”
“Apa?”
“Menulis! Aku tau kamu seorang penulis, gunakan itu untuk menjadi sedikit
terkenal atau setidaknya kamu mempunyai sebuah sebutan yang lebih baik dari pada
seorang gelandangan!”
“Misalnya?”
“ Seorang penulis menikahi dengan gadis HIV positif, mungkin itu lebih baik dan
lebih menggegerkan?”
“Ha…ha…kamu lucu ya?”
“Tapi aku masih ingin tahu alasanmu yang sebenarnya untuk menikahiku?”
Han terdiam cukup lama, dia tidak tahu apa yang harus dikatakan. Kali ini dia
benar-benar bingung. Lalu Han mengeluarkan sebungkus rokok dari tas pinggangnya.
terlebih dahulu Han meminta ijin pada Ira untuk menyalakannya. Gadis itu mengangguk
pelan, dia tau Han sedang bingung.
“Aku tidak tau apa yang akan terjadi setelah ini, namun satu yang perlu kamu ingat,
semua yang akan aku katakan adalah sebuah kejujuran!”
“Aku harap kamu benar Han!”
“Begini, mungkin ini adalah sebuah garis takdir dimana aku harus dipertemukan
denganmu. Yang kedua ini adalah sebuah penebusan dosa dariku. Yang ketiga aku sedang
mencari sebuah kasih sayang yang sangat tulus dan itu hanya ada padamu. Yang keempat,
aku ingin menjadi mukjijat untuk dirimu, aku dan orang lain. Hanya itu yang bisa aku
katakana”
“Han…boleh aku bertanya?”
“Iya!”
“Pertama tentang penebusan dosa?”
“Oh…maksudnya begini, aku dulu orang yang sangat-sangat memuakkan. Aku
adalah petualang yang hebat, dari kota kekota dari rumah kerumah dan dari ranjang ke
ranjang, semua kulakukan. Dari hati ke hati yang kubuat menangis, lalu sampailah aku
dikota ini dan menemukan makna sebuah kehidupan, keras, menyakitkan, kejam dan aku
berusaha menjadi lebih baik.”
“Bagaimana dengan mukjijat yang kamu maksud?”
“Itu kata-katamu, kamu bilang bila saj ada yangmau menikah denganmu, itu adalah
mukjijat dari Tuhan, mungkin aku terlalu munafik. Tapi…aku ingin membuktikan, Tuhan
Maha Kuasa dari segalanya, mungkin saja aku mati bersamamu, mungkin juga kita akan
bahagia sampai tua, siapa yang bisa menentukan kematian selain Dia? Lalu…walau ini
hanya sekedar mimpiku, orang akan melihat bahwa HIV bukanlah hal yang menakutkan,
bukanlah sebuah jalan kematian yang mengerikan, tidak selalu menderita, mereka juga
bisa bahagia.”
Tanpa sadar Han memegng tangannya dengan erat. Gadis cantik itu hanya
tersenyum diantara tetes air matanya yang mengalir pelan.
“Ira…tunggulah aku beberapa saat saja tidak akan lama.”
“Untuk apa?”
“Untuk menikah denganmu, untuk sebuah kehidupan bahagia bersama, untuk
seorang anak yang kau impikan, untuk apa saja yang kita harapkan.”
“Kenapa harus menunggu?”
“Biarkan aku menbersihkan diriku, biarkan aku menjalani hidup ini apa adanya,
dan biarkan aku menjadi seseorang yang lebih terhormat dari sekarang, biarkan Tuhan
menunjukkan kuasa-Nya pada kita.”
“Tapi Han?”
Ira terdiam. Tidak melanjutkan kata-katanya.
“Kenapa?”
“Ini bukan masalah ekonomi, bukan pula tentang yang lain tapi…”
“Tapi apa?”
“Tentang usia Han!”
“Usia?”
“Ya…kamu jauh lebih muda dariku. Itu yang aku tidak bisa terima!”
Han terdiam. Matanya tajam memandang memandang gadis di depannya.
“Han…kita berbeda usia sembilan tahun. Itu akan menjadi masalah saat aku mulai
tua. Aku tidak mau itu terjadi Han!”
Ira tiba-tiba saja memeluk pemuda di hadapannya. Tangannya gemetar, dadanya
berdebar kencang.
Han masih terdiam. Dia tidak menyangka kalau Ira lebih tua darinya.
“Han. Dengan mengenalmu, lebih dari mukjijat yang aku harapkan. Tapi sepatu
kacamu bukan untukku. Carilah gadis lain Han!”
“Tidak. Aku mau kamu!”
“Han!”
Pelukan itu semakin erat. Seerat keinginan untuk menjadi satu.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
http://endikkoeswoyo.blogspot.com
http://endikpenulis.multiply.com
http://pionbanget.blogspot.com
100
100
DUA PULUH LIMA
Pagi-pagi sekali Han bangun. Secepat kilat dia berlari kekamar mandi. Setelah itu
Han memacu motornya menuju hotel tempat Ira menginap. Debu yang mulai menyengat
seakan tidak di rasa olehnya.
Setelah sampai di hotel dia langsung bertanya pada seorang resepsionis.
“Maaf Mbak, Ira sudah cek out?”
“Sudah, tadi menunggu Mas Han lama sekali.”
“Sekarang?”
“Baru saja berangkat dengan taksi.”
“Ya sudah terima kasih Mbak!”
“Sama-sama Mas.”
Han berlari menghampiri motornya. Memacunya lagi menuju ke Bandara.
Beberapakali lampu merah tak di hiraukannya. Untung saja pos-pos polisi di setiap
persimpangan itu hanya di tempati oleh beberapa anak jalanan dan pengemis yang sedang
beristirahat. Han bangun kesiangan. Seharusnya setengah jam lalu dia harus mengantar Ira
ke Bandara.
Setibanya di Bandara dia langsung berlari mencari-cari Ira. Tapi Ira tidak di
temukannya. Han lalu menayakankan tentang keberangkatan pesawat tujuan Jakarta, dan
pesawat itu sudah berangkat sepuluh menit yang lalu.
Han lalu melangkah keluar lalu terduduk lesu di kursi taman depan bandara. Dia
hanya mengamati orang-orang yang lalu lalang di hadapannya. Sudah hampir dua jam dia
duduk di kursi itu. Nafasnya jarang-jarang tapi panjang. Sudah berpuluh-puluh batang
rokok yang menemaninya.
Dengan langkah lesu pemuda itu meninggalkan Bandara. Motornya bergerak pelan.
Melintasi jalan-jalan kota lalu dia menghentikan motornya di tepi jalan. Pemuda itu lalu
duduk di kursi taman kota. Memandang lampu merah yang berganti warna setiap satu
menit sekali. Gedung pemerintah di hadapannya tampak sepi dan sunyi. Hanya bendera
merah putih yang berkibar congkak. Secaongkak pintu pagar yang berdiri kokoh.
Dua orang gadis duduk di kursi panjang sebelahnya. Han tidak menoleh sedikitpun.
Pemuda itu masih sibuk dengan penyesalannya. Menyesal karena tidak bisa mengantar Ira
pulang. Asap dari rokoknya membubung tinggi namun tidak bisa menjangkau bendera
yang tadi.
“Bagaimana dengan sepatu kacanya?”
Han terperanjat mendengar suara gadis disampingnya. Pemuda itu melihat kerah
kedua gadis yang mebicarakan sepatu kaca. Tapi Han tidak mengenal mereka. Tapi dia
menyimak tentang obrolan siang itu.
“Anggi, apa kamu percaya tentang sepatu kaca?”
“Tidak Wie, sepatu kaca itu kan hanya dongeng”
“Tapi apa kamu percaya kalau ada pengeran?”
“Percaya, kalau pangeran sekarangpun masih banyak. Di Inggris, Brunei, Solo
bahkan Yogya ini!”
“Tapi apa mereka punya sepatu kaca?”
“Tidak harus seorang pangeran yang menemukan sepatu kaca! Gelandanganpun
bisa!” Han tiba-tiba saja menyela obrolan kedua gadis itu.
Kedua gadis itu memandang kearah Han dengan tatapan tajam. Han lalu
mengulurkan tangannya.
“Han,” ucapnya singkat.
Dengan sedikit ragu-ragu Anggi menyambut salam perkenal itu.
“Anggi,”
Seorang gadis lagi terlihat lebih ragu. Cukup lama Han harus mengulurkan
tangannya.
“Dwie,” ucap gadis itu sambil cepat-cepat melepaskan tangan pemuda aneh di
hadapannya.
“Apa kamu percaya sepatu kaca?”
“Hmm…gimana ya Mas?”
“Dia itu percaya Mas Han!” Anggi menunjuk kearah Dwie yang tersipu malu.
“Apa Dwie suka tomat?”
Dwie yang mendapat pertanyaan seperti itu terlihat bingung.
“Kagak nyambung banget sich Mas!?”
“Ha…ha…maaf saya tidak pernah berbicara dengan gadis secantik kamu jadi gini
deh. Bingung!”
Untuk kesekian kalinya Dwie terdiam.
“Dasar orang aneh!” itu yang ada di hatinya.
Han lalu melangkah pergi meninggalkan mereka berdua tanpa sepatah katapun.
“Dasar orang aneh!”
“Hus…kalau dia dengar kan nggak enak Wie!”
“Biarin, memang dia itu aneh kan?”
“Ha…ha…tapi kamu suka ya?”
“Ih…amit-amit.”
“He…kalian masih membicarakan aku?”
Kedua gadis itu terkejut, karena tiba-tiba Han muncul di belakang mereka.
“Nich…buat di baca, jangan di buang sembarang tempat!”
Han memberikan dua lembar kertas. Setelah itu dia melangkah pergi meninggalkan
kedua gadis itu. Memacu motornya pelan. Sementara Anggi dan Dwie masih terpaku.
“Apaan Wie?”
“Semacam cerpen.”
“Coba lihat!” Anggi menyahut kertas yang di pegang Dwie.
“Lihat, judulnya sepatu kaca.”
Dwie lalu membaca deretan huruf-huruf kecil itu. Sebuah cerita mingguan yang
terkesan aneh.
“Wie…kalau kamu penasaran kamu bisa telphon dia lho! Nich ada email dan
nomer handphone segala!”
“Tapi itu kan untuk kritik dan saran.”
“Ha…ha…ketahuan kalau kamu menyukainya!”
“Apaan sich!”
Dwie membaca cerpen itu dengan tenang. Tidak di hiraukan olehnya ratusan orang
yang lalu-lalang di hadapannya. Tidak pula dengan sahabatnya yang duduk disebelahnya.
Dihayatinya kata demi kata, kalimat demi kalimat.
“Indah,” gumannya lirih.

DUA PULUH ENAM
Setelah pertemuan itu, beberapa kali Dwie mengirimkan pesan singkat pada nomor
yang ada di sudut kanan atas lembaran putih dengan huruf-huruf yang tersusun rapi. Dari
sekian banyak sms yang dikirimkannya, tak satupun yang di balas. Dari dalam kamar
indahnya Dwie membaca cerita itu sekali lagi sebelum dia pergi tidur.
Handphone di meja belajarnya bergetar, sebuah pesan di terimanya.
‘He…judes kangn ya sms trus!?’
Cepat-cepat gadis itu menyamakan no di handphonenya dengan npomor yang
tertera di kertas itu. Sama, Han yang mengirim pesan singkat itu. Dwie berusaha
mengingat-ingat wajah pemuda aneh yang memanggilnya denga sebutan ‘JUDES’.
‘lg ngp mz?’
Hanya kata itu yang mampu di tulis dengan tangan lembutnya. Semenit kemudian
sebuah pesan diterimanya lagi.
‘lg ongkrong i Benteng. i ursi ang ama aat ita etemu ulu’
Kali ini pesan yang sulit untuk di mengerti oleh gadis itu.
“Dasar orang aneh. Hmm…lagi nongkrong di Benteng titik di kursi yang sama saat
kita ketemu dulu. Oh…gini tho!”
Dwie tersenyum saat membaca pesan itu sekali lagi. Dia sedang mengulang
kembali kejadian itu. Saat orang aneh itu menyela perbincangannya dengan Anggi.
‘Eh…km mau ga pacaran ma aku?’
Pesan yang baru di terimanya itu membuatnya terkejut. Gadis itu membacanya
sekali lagi. Lalu membalasnya dengan senyum simpul yang berbunga-bunga
‘Dasar orang aneh. Ha…3X. ga romantis benget sich. Ngak bs ngerayu ce po?’
Pesan singkat itu lalu di kirimkannya.
“He…2005X. ak ga bs ngerayu, maaf ya! Eh…kamu suka tomat ga?”
Dwie tidak membalas sms itu dia meletakkan handphonenya di meja belajar. Gadis
itu membaca cerpen itu untuk kesekian kalinya.
“Sepatu kaca, cerita yang aneh seaneh orangnya.”
Kata-kata itu terucap begitu saja dari bibirnya yang merekah. Rambutnya yang
sebahu di biarkan tergerai begitu saja.
Ditempat lain…
Han sedang duduk di bangku panjang taman kota. Dia sedang berbincang dengan
teman-temannya.
“Han…ada kabar dari Ira?”
“Tidak Pay. Aku juga tidak ingin mencari kabar darinya!”
“Kenapa?”
“Entah…bisa bersama dengannya sebentar saja itu sudah lebih dari cukup.”
“Lalu?”
“Ya…biarkan saja dia dengan impiannya dan aku dengan impianku sendiri.”
“Sepatu kacanya?”
“Sepertinya ada yang lebih cocok!”
“Siapa?”
“Ada deh.”
“Cantik?”
“Entahlah, aku lupa wajahnya.”
“Lho kok bisa lupa?”
“Cuma bertemu sekali!”
“Dimana Han?”
“Di sini.” sambil menujuk kursi panjang yang mereka duduki.
“Disini?”
“Iya, di kursi ini.”
“Kapan?”
“Sekitar satu minggu yang lalu.’’
“Saat Ira pulang?”
“Ya. Setelah dari Bandara aku bertemu gadis itu disini.”
Pay terdiam sebentar.
“Aku salut denganmu Han. Kamu memang orang percaya pada takdir.”
“Ha…ha…besok kita mencari gadis itu ya!”
“Hah…mencari lagi?”
“Iya.”
“Ira saja dua bulan lebih baru bisa menemukannya?”
“Ini lain!”
“Lain, tau rumahnya?”
“Tidak.”
“Kuliahnya dimana?”
“Tidak tau.”
“Tuh kan?”
“Tapi aku punya no handphone-nya!”
“Ya sudah telpone sekarang!”
“Hmm…sms aja ya?”
“Ya cepetan, keburu pecah entar sepatunya!”
“Ha…ha…,” mereka berdua lalu tertawa.
Han sibuk dengan pesan yang ditulisnya. Menanyakan alamat rumah, nama
lengkap, tempat kuliah dan sebagainya.
“Pay…gila!”
“Kenapa?”
“Masih SMU.”
“Ha…kelas berapa?”
“Kelas tiga instrument vocal.”
“Sekolah musik?”
“Sepertinya iya.”
“Wah…daun muda nich!”
“Daun muda palelu. Tidak jadi saja deh!”
“Kalau dia memang pemilik sepatu kaca kenapa tidak?”
Han terdiam sambil berusaha mengingat wajah gadis itu.
“Seingatku dia itu lumayan cantik Pay. Kulitnya bersih, putih, rambutnya sebahu
sedikit merah terus memakai anting dua buah di telinga kirinya. Kayaknya pula dia sedikit
manja dan judes.”
“Kira-kira apa dia mau jadi pacarmu?”
“Tidak tau, menurutmu?”
“Sama.”
“sama tidak taunya?”
“Ya.’’
“Pay…besok kita mencarinya ya!”
“Ke sekolahannya?”
“Ya.”
“Kamu nggak takut?”
“Takut apa?”
“Dikeroyok anak-anak SMU?”
“Ha…ha…”
Mereka tertawa lagi. Sebuah keinginan untuk menemukan pemilik sepatu kaca
yang selalu di impikan oleh Han. Keduanya lalu beranjak meninggalkan tempat itu setelah
berpamitan dengan beberapa teman yang lain.

DUA PULUH TUJUH
Pada suatu sore yang sedikit mendung, di rumah kontrakan itu Han sedang duduk
menghadap komputernya. Di sampingnya seorang gadis cantik. Ya…gadis itu adalah
Dwie. Dengan baju putih bersih dan rok sedikit ketat warna abu-abu.
“Wie…ini mau di buat berapa spasi?”
“Hm…biasanya berapa Mas?”
“Satu setengah untuk resensi normal. Tapi kalau untuk tugas aku tidak tau?”
“Satu setengah saja deh.” Sahutnya lirih.
“Kalau satu setengah spasi, nanti jadinya tiga lembar. Satu lembar synopsis yang
dua lembar resensinya.”
“Ya…saya rasa itu cukup banyak Mas.”
“Mau dikumpul kapan?”
“Senin besok.”
Gadis cantik itu tersenyum. Tingkahnya manja, suka makan ice cream lalu
memasukkan sendok kayu bekas ice cream itu kedalam saku bajunya. Lucu dengan
gayanya yang sedikit judes.
“Mas teman-temannya pada kemana?”
“Mendaki gunung Lawu.”
“Sejak kapan?”
“Hari Jumat kemarin.”
“Sendirian dong?”
“Iya.” Sahut Hanpelan sambil menggerakkan tangannya cepat di atas keyboard.
“Pacarnya?”
“Ha…ha…mana ada yang mau sama orang aneh seperti aku?”
“He…he…” gadis itu tersenyum.
“Kamu mau?” pemuda itu nyengir lalu tertawa ngakak “Ha…ha…
Dwie hanya diam untuk sesaat.
“Tergantung!” sambil menggeser kursinya agar lebih dekat ke layar monitor
komputer.
“Tergantung apanya?”
“Cara merayunya,” Sahut gadis itu manja.
“Ha…ha…pasti tidak bisa dong?”
“Kenapa?”
“Aku paling tidak besa merayu.”
“Kalau begitu tidak usah pacaran.”
“Emang orang pacaran harus merayu dulu?”
Dwie tidak menjawab. Dia hanya mengangkat bahunya sambil tersenyum.
“Seandainya aku bisa merayu, kamu mau?”
“Hm…mau,” sedikit malu-malu.
“Kalau tidak merayu dulu?”
“Hemmm….gimana ya?”
“Mau apa tidak?”
“Hm…mau.”
“Jadi kita jadian dong?”
“Eh…maunya!” Gadis itu memukul pelan bahu Han.
“Lalu?” Han menoleh kearah Dwie.
“Ada syaratnya dong!” Sahutnya cepat sembari tersenyum.
“Apa?’
“Kamu harus memberiku sepatu kaca,” Lagi-lagi gadis itu tersipu malu. Wajahnya
memerah lalu menunduk pelan.
“Bisa diganti syarat lain?” Han sepertinya masih menganggap obrolan itu adalah
gurauan belaka. Kali ini dia kembali mengamati layar monitor dan jari-jarinya masih
teratur menekan tombol-tombol kecil yang menimbul nada seirama.
“Hm…bisa,” sahut Dwie sambil memain-mainkan rambutnya yang tergerai.
“Apa?”
“Beliin ice cream tiap hari.”
“Serius?”
Han berbalik lalu menyodorkan jari kelingkingnya.
“Hm…ya deh,” seakan tanpa sadar tangan lembutnya terangkat. Cari kecil
kelingkinnya mengayun cepat.
Kini kedua jari kecil itu telah terkait menjadi satu. Sebuah kejadian yang aneh, lucu
dan romatis. Sepatu kaca yang diimpikan oleh pemuda itu kini telah menemukan
pemiliknya. Seorang gadis cantik, manja, sedikit judes dengan suara merdu. Tanpa rayuan
mereka menjadi sepasang kekasih…
Adakalanya semua impian hanya akan menjadi angin lalu yang sirna bersama debu.
Ada kalanya mimpi akan menjadi sebuah kenyataan, ada kalanya pula mimpi hanya akan
menjadi kembang tidur yang akan segera hilang ketika pagi tiba. Ada kalanya pula
bahwasanya rasa itu akan berubah dengan sendirinya, lalu dari mana asal cinta yang
sesungguhnya?
SELESAI
Sanggar Misteri Darikem Indonesia


Mungkin anda bertanya, kenapa bisa gratis? Karena ada beberapa logo yang
menempel dihalaman ini, dan itu tidak menggangu anda bukan? Ya begitulah, beberapa
sponsor memang mendukung pembuatan novel ini. Tidak menutup kemunkinan
gambar-gambar itu akan bertambah, karena saya masih membutuhkan beberapa
sponsor tambahan agar bisa terus berkarya. Saya tidak munafik, untuk menulis
membutuhkan waktu, untuk menulis membutuhkan secangkir kopi, untuk menulis
membutuhkan komputer, listrik, biaya kirim email dll. Ya, ketika itu bisa tertutp oleh
sponsor atau mereka yang mau beramal, kenapa nggak? Mungkin sekitar tahun 2004
saya menulis novel ini. Kalau boleh jujur, saya juga lupa kapan tepatnya menulis novel
ini.

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.