Cerpen Hingga Ujung Waktu

Serapuh kelopak sang mawar
Yang disapa badai berselimutkan gontai
Saat aku menahan sendiri
Diterpa dan luka oleh senja....

Shit!
rutukku dalam hati. Kenapa lagu ini sih? Aku menarik napas dalam-dalam dan menghelanya dengan perlahan. Ini lagu yang paling tidak ingin kudengar, apalagi saat sekarang ini. Saat dimana aku tidak bisa melakukan apa-apa kecuali berbaring di atas ranjang dan mengistirahatkan kaki kananku yang patah karena kecelakaan mobil sialan tiga hari lalu itu. Ya, kecelakaan mobil gara-gara pacar 'tersayangku', si Karina, yang merengek-rengek minta dijemput karena supirnya tidak masuk kerja. Minta dijemput mau ke salon. Oh my God! Apa tidak bisa ya cuci rambut sendiri di rumah? Sudah bagus aku mau menjemputnya, eh masih saja dia menelepon ke handphone-ku saat aku sedang menyetir dan berteriak-teriak agar aku lebih cepat lagi sampai di rumahnya. Padahal dia tahu, aku paling tidak bisa ditekan seperti itu. Dan benar saja, pada saat aku sedang meladeni Karina di telepon, tiba-tiba sebuah mobil Kijang biru memotong jalur di depanku dan aku pun membanting setir agar menghindari tabrakan dengan mobil itu. Bodohnya lagi, aku malah menabrak pohon di sebelah jalan. Bagian depan mobilku hancur, kakiku pun patah, benar-benar hari yang sial! Parahnya lagi, gadis 'tersayangku' itu tidak bersikap simpatik sama sekali ketika mengunjungiku di rumah sakit, malah ngambek karena tidak bisa ke salon. Benar-benar menyebalkan!

***

Akhirnya aku menemukanmu
Saat kubergelut dengan waktu
Beruntung aku menemukanmu
Jangan pernah
berhenti
memilikiku....

"Kak Jason? Ada tamu buat kakak, nih. Cewek. Aku suruh masuk ya?" Tiba-tiba suara Sella membuyarkan lamunanku. Aku menoleh ke arah pintu dan mendapati adik perempuanku sedang menjulurkan kepalanya ke celah pintu kamarku. Di belakangnya, aku samar-samar melihat bayangan seseorang berbaju merah.
Wah, pasti Karina nih, mau minta maaf! ujarku dalam hati. Dengan sedikit sebal aku pun menjawab, "Ya, suruh masuk saja Sel. Thanks, ya?"
Namun, setelah Sella mempersilahkan tamu tersebut masuk, aku mendapati diriku sedang duduk berhadapan dengan seseorang yang tidak pernah aku sangka akan aku temui lagi setelah bertahun-tahun lamanya. Gadis yang berdiri di hadapanku sekarang ini bukanlah Karina, dan juga bukan teman-teman wanitaku lainnya—untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tidak bisa membaca apa yang dia pikirkan, dan aku tidak bisa lagi mengetahui isi hatinya dari raut wajahnya.

Semegah sang mawar dijaga
Matahari pagi bermahkotakan embun
Saat engkau ada di sini
Dan pekat pun berakhir sudah....

"Mel. Tumben kamu ke sini?" sapaku dengan suara bergetar. "Sudah hampir lima tahun ya, sejak kita terakhir bertemu."
Melissa, gadis itu, hanya tersenyum tipis dan berjalan menghampiri ranjangku. "Ya, Jason. Apa kabar kamu? Aku dengar dari Roy, kamu kecelakaan mobil beberapa hari yang lalu? Kok bisa?" tanyanya sembari menarik kursi dari belakang meja belajarku dan duduk di sebelah ranjangku, menghadapiku.
Aku menghela napas dan berujar, "Ceritanya panjang Mel, pokoknya ini semua gara-gara pacarku, Karina. Entah mau apa perempuan itu...."
Dengan tertawa getir, aku menatapnya dalam-dalam, namun ekspresi Melissa tidak berubah, tetap tak dapat dibaca. "Sejak kapan kamu di Indonesia, Mel? Terakhir aku dengar... kamu kerja di luar negeri?"
Melissa menganggukkan kepalanya. "Iya, aku sekarang kerja di Jepang, jadi konsultan ekonomi di sebuah perusahaan multinasional di sana. Lumayan, aku betah juga. Ini juga aku sedang ambil cuti, makanya aku bisa pulang. Dan kebetulan aku dengar kamu sedang rawat jalan, makanya aku mampir, sekalian menanyakan kabar kamu. Kamu sendiri, bagaimana kabarnya?"
"Aku baik-baik saja, sekarang sudah dapat kerjaan sebagai asisten dokter di Gleneagles. Yah, doakan saja ya semoga sukses nantinya, seperti kamu," sahutku sambil bercanda.
Melissa tertawa lebar, dan untuk sesaat aku bagaikan terbawa kembali ke masa lalu, dimana senyum dan canda tawanya hanyalah untukku seorang....
"Bisa saja kamu. Aku juga belum sukses, kan kamu tahu sendiri cita-citaku adalah...."
"... to eliminate world poverty," potongku dengan cepat.
Melissa membelalakkan matanya dan menatapku dengan aneh.
"Kok kamu bisa ingat? Kan sudah lama sekali!" sahutnya bingung.
"Yaaa, bagaimana aku lupa sih. Kamu kan sudah beratus-ratus kali mengatakannya padaku. Kalau sudah sebanyak itu, tentulah aku pasti ingat!" ujarku, lalu menderaikan tawa dan memberanikan diri untuk mengusap rambutnya. Aliran listrik bagaikan menjalar dalam tubuhku saat aku menyentuh dirinya. Sudah lama sekali....

Akhirnya aku menemukanmu
Saat kubergelut dengan waktu
Beruntung aku menemukanmu
Jangan pernah berhenti memilikiku....


"Ah, masa sih!" Melissa tersipu malu. "Kamu selalu begitu deh, ingat hal-hal yang aneh mengenai aku. Tidak pernah ingat yang bagus-bagus."
"Tentu saja aku ingat yang bagus, Mel! Mau bagaimanapun juga, kamu kan cinta pertamaku!" protesku dengan ekspresi lucu.
Melissa berhenti tersenyum dan menundukkan kepalanya, ekspresinya lagi-lagi sulit dibaca. Duh, salah lagi deh.... Harusnya memang tidak boleh bawa-bawa masa lalu lagi! sesalku dalam hati.
"Mel...." ucapku dengan halus, mencoba untuk memperjelas situasi.
"Jas, sepertinya kamu haus ya, aku ambilkan minum ya!" potongnya dengan ekspresi ceria yang seperti dibuat-buat.
Sebelum aku mampu mengatakan hal-hal lain lagi, dia beranjak dari kursinya dan berjalan menuju meja belajarku untuk mengambil gelas minumku. Namun, pada saat itu, bukan dialah yang aku perhatikan, melainkan bayangan kerlipan sesuatu yang bersinar di tangannya. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya—mungkinkah?
"Ini Jas, minum ya? Kamu kan lagi sakit, harus banyak minum air!" ujarnya sembari kembali duduk dan memberikan gelas kepadaku.
Dengan senyum lemah aku menurut dan meneguk air yang ada di dalam gelasku dan meletakkannya di meja sebelah ranjangku setelahnya. Sambil tersenyum Melissa meletakkan kedua tangannya di atas lututnya dan kali ini aku dapat melihat secara jelas cincin emas putih berhias berlian yang melingkari jari manis tangan kanannya.
"Mel. Kok tumben kamu pakai cincin? Bukannya seingatku, kamu paling tidak suka ya?" tanyaku sambil mencoba biasa-biasa saja, padahal hatiku sudah tidak enak setengah mati.
Tiba-tiba ekspresi Melissa berubah, rona merah menghiasi wajahnya dan dia menundukkan kepalanya. Aku terdiam, tidak tahu harus berucap apa. Setelah terdiam untuk beberapa lama, akhirnya dia pun bicara.
"Ini cincin tunanganku, Jas. Aku akan menikah bulan depan dan setelah menikah, aku akan pindah kembali ke Jakarta. Salah satu alasan aku datang hari ini adalah untuk memberitahukan hal tersebut kepadamu, dan untuk mengundangmu ke hari pernikahanku." Suaranya bergetar. "Kamu harus datang, ya?"
Pada saat itu aku dapat merasakan wajahku memucat. Aku merasa mual sekali. Pada saat itu, semua kenangan yang pernah aku lalui bersama Melissa kembali membayangiku secara bergantian....
Saat kami bertengkar untuk pertama kalinya, setelah dua bulan kami berpacaran. Aku sedang marah, marah sekali waktu itu, dan aku berteriak kepadanya agar pergi dariku, agar tidak menggangguku lagi. Aku ingat pada saat itu dia kaget sekali melihatku seperti itu, airmata mengalir di kedua belah pipinya dan dia lari menjauhiku sembari menangis tersedu-sedu. Pada saat itu, pada saat aku melihatnya menangis karena aku, hatiku bagaikan terkoyak dan aku pun mengejarnya, ingin menarik semua kata-kataku yang telah melukai hatinya, untuk mengatakan padanya bahwa aku mencintainya!
Saat kami berciuman untuk pertama kalinya, setelah hampir setahun kami berpacaran. Itu adalah saat-saat di mana aku sedang merasa benar-benar jatuh, benar-benar depresi dan benar-benar sendiri. Namun Melissa tidak pernah meninggalkanku, dengan sejuta kata-kata penghiburan ia mampu menyejukkan hatiku, dan segala yang ia lakukan membuktikan kepadaku bahwa ia benar-benar mencintaiku. Saat bibir kami bersentuhan, pada saat itulah aku tahu, bahwa memang dialah satu-satunya gadis untukku!
Saat kami mengucap janji untuk saling mencintai selamanya, saat aku menyematkan cincin di jari manisnya. Cincin murah yang aku beli dari hasil kerja sambilanku, cincin yang menandakan bahwa Melissa adalah gadis milikku, dan hanya milikku seorang. Pada saat itu aku benar-benar yakin bahwa masa depan kami tidak mungkin dipisahkan, bahwa kami akan menikah suatu saat nanti dan bila saat itu tiba, Melissa akan menjadi milikku sepenuhnya.
Saat kami berpisah, saat aku meninggalkannya tanpa sekali pun menoleh lagi ke belakang. Aku harus mengucapkan kata-kata yang menyakiti hatinya agar dia pergi dan menjauh dariku. Dia tidak tahu bahwa pada saat itu hatiku sama hancurnya dengan dirinya, dia tidak tahu betapa sulitnya bagiku untuk menyakitinya. Namun aku benar-benar berengsek, bahkan setelah putus pun aku terus menyakitinya, aku melakukan hal-hal yang tidak pernah dapat dia lupakan. Aku tahu, bahwa aku tidak pantas baginya. Tapi aku tidak bisa mengenyahkan perasaan ini, bahwa masih ada suatu tempat di hatiku untuknya bahkan hingga sekarang.

Hingga ujung waktu
Setenang hamparan Samudra
Dan tuan burung camar
Tak 'kan henti bernyanyi....


Namun gadis yang sekarang duduk di hadapanku bukanlah Melissa yang dahulu milikku. Dia bukanlah Melissa yang selalu memanjakanku, yang selalu menomorsatukanku, yang selalu mencintaiku. Wajahnya tidak berubah, bibirnya masih menyunggingkan senyum yang sama seperti lima tahun lalu, matanya masih memancarkan cahaya yang sama, cahaya penuh cinta. Hanya saja, tatapan itu bukanlah ditujukan kepadaku lagi. Apakah egois bila aku masih ingin memilikinya?
Ekspresi wajah Melissa perlahan berubah dari malu menjadi bingung. "Jas? Kamu tidak apa-apa? Kamu masih sakit?" ujarnya khawatir sembari menyipitkan matanya. "Mau aku panggil Mama kamu?"
Aku berusaha tersenyum, walaupun sulit. "Aku tidak apa-apa kok, Mel. Kaget saja, tahu-tahu kamu sudah mau menikah. Padahal sepertinya baru kemarin kita berpacaran...."
Melissa tertawa. Tawa yang tulus. "Iya ya, sebenarnya kita berpacaran lama juga ya, hampir tiga tahun waktu masa SMA dulu. Yah, semuanya tinggal kenangan manis. Betul, tidak?" candanya.
Aku terdiam. Mungkin bagi Melissa, semua itu hanya kenangan. Namun bagiku tidak. Sampai detik ini, masih ada bagian dari hatiku yang kusimpan hanya untuk dia. Mungkin untuk selamanya, mungkin hingga ujung waktu. Sudah lima tahun kita tidak bertatap muka, ataupun saling memberi kabar, namun ketika kami bertemu, aku merasa diriku terbawa kembali ke masa lalu, masa-masa yang bahagia, masa-masa di mana dia adalah milikku seorang. Gadis-gadis yang aku pacari setelah dirinya, bahkan Karina pun, tidak akan pernah bisa menggantikan Melissa. Dia cinta pertamaku, dan akan tetap menjadi cinta pertamaku selamanya....
Hanya Melissa satu-satunya gadis yang paling mengerti diriku. Hanya dia yang mengerti betapa besar gengsiku, betapa moody diriku apabila sedang dilanda masalah, betapa besar tekananku bagi diriku sendiri. Saat Melissa memutuskan untuk pergi lima tahun lalu dari hidupku, saat dia bahkan tidak mau menjadi sahabatku, aku merasa bahwa aku telah kehilangan seseorang yang sangat penting dalam hidupku. Seseorang yang telah membuatku menjadi diriku yang sekarang ini. Aku tidak ingin kehilangan Melissa, tidak dahulu, tidak sekarang, tidak selamanya.
"Mel..." mulaiku. Aku ingin mengatakan padanya, bahwa aku masih mencintainya, bahwa hanya dialah satu-satunya gadis yang pernah benar-benar aku cintai. Gadis yang ingin aku jadikan sebagai istriku, sebagai pendamping hidupku, hingga ujung waktu....
Namun dia memotong ucapanku setelah dengan kaget melihat jam dinding di atas ranjangku. "Wah, sudah jam tiga siang, Jas! Aku harus pergi nih, ada janji sama Adam, tunanganku. Dia mau ngajak aku lihat-lihat property di komplek rumah orangtuanya. Yah, aku lega kamu baik-baik saja, Jas." Melissa tersenyum. "Kamu harus datang ya, bulan depan! Aku benar-benar harap kamu bisa datang." Dia bangkit dari kursinya dan meluruskan roknya.
Aku menatapnya tanpa dapat berkata apa-apa. Da mengembalikan kursi yang dia duduki ke tempatnya semula dan mengulurkan tangan kanannya kepadaku.
Aku ingin sekali menarik tangan tersebut dan memeluknya, mengatakan padanya bahwa aku tidak mau dia menjadi milik pria lain, bahwa hanya akulah pria yang paling tepat untuknya. Namun... aku tak sanggup. Aku tahu, inilah kebahagiaannya, bersama Adam, dan aku tidak akan pernah dapat memberikannya kebahagiaan yang sama, betapa keras aku mencoba. Pada akhirnya, aku menyambut uluran tangannya dan menyalaminya.
"Selamat ya Mel. Aku bahagia untukmu." Kata-kata palsu tersebut meluncur dari bibirku. Aku tidak dapat menyangkal bahwa hatiku sakit sekali ketika mengucapkannya. "Aku dan Karina pasti akan datang."
Melissa tersenyum hangat dan menepuk bahuku. "Begitu dong, Jas. Oke deh, nice seeing you again. Take care, ya?" Dia pun beranjak pergi, berjalan menuju pintu kamarku dan membukanya. Sebelum menutup pintu kamarku, Dia menjulurkan kepalanya di celah pintu dan berucap, "Cepat sembuh ya, Jas!" Kemudian, dia menutup pintu dan... dia telah pergi. Meninggalkanku, seperti aku meninggalkannya lima tahun silam.
Aku tidak sadar bahwa pada saat itu, setetes airmata mengalir di pipiku dan jatuh di atas telapak tangan kiri yang sedang memeluk bantal di pangkuanku. Lantunan lagu masih membayangiku, dan mendengarnya aku tidak lagi terbuai, namun bercampur antara rasa sakit dan kekosongan yang mengisi relung hatiku pada saat ini.

Saat aku berkhayal denganmu
Dan berjanji pun terukir sudah
Jika kau menjadi istriku nanti
Pahami aku saat menangis

Saat kau menjadi istriku nanti
Jangan pernah berhenti memilikiku

Hingga ujung waktu....

(Sheila On 7) ©

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.