Cerpen Indonesia Terbaik 2009

TENTANG SESEORANG

YANG MATI TADI PAGI



SEBAGAIMANA sudah ia yakini sejak lama, ia akan mati hari ini, tepat pukul sembilan pagi. Ia ingin segalanya berlangsung tenang dan nyaman. Ia ingin menikmati detik-detik kematiannya dengan karib. Maka ia pun mandi, merasakan air yang meresap lembut dalam pori-porinya dengan kesegaran yang berbeda dari biasanya. Kulitnya terasa lebih peka. Ia bisa merasakan gesekan yang sangat lembut pelan, ketika sebutir air bergulir di ujung hidungnya. Bahkan ia bisa merasakan dingin yang menggeletarkan bulu-bulu matanya. Betapa waktu yang berdenyut lembut membuat perasaannya terhanyut. Dan ia memejam, mencoba merasakan segala suara dan keretap cahaya yang masuk lewat celah ventilasi kamar mandi.

Ia merasa bersyukur, betapa ia telah lama mengetahui kematiannnya sendiri, hingga bisa mempersiapkan segalanya tanpa tergesa-gesa. Ia memotong kuku, mencukur cambang, dan merapikan kumisnya yang tipis. Ia ingat, teman-temannya selalu bilang kalau ia terlihat lebih ganteng bila berkumis tipis. Ia tersnyum. Ia ingin tampak ganteng saat mati pagi ini. Ia menyisir rambuhnya belah tengah, mengoleskan minyak rambut hingga tampak klimis, mengenakan pakaian terbaik miliknya, kemeja motif batik, dan tentu ia tak lupa menyemprotkan minyak wangi. Sedikit di bawah ketiak, di leher, di lengan dan menggosoknya pelan. Ia tak ingin wangi yang berlebihan.

Ini akan jadi kematian yang menyenangkan, batinnya. Sungguh ia merasa beruntung karena bisa menikmati kematian seperti ini. Ia tak perlu susah-susah beli racun, lalu menenggaknya. Alangkah menyedihkan mati seperti itu. Ia juga tak perlu repot-repot menyiapkan tali, dan menggantung diri. Mati dengan cara seperti itu selalu menimbulkan kerumitan tersendiri. Ia pun tak perlu menabrakkan diri ke laju kereta api. Betapa tidak sedapnya mati dengan tubuh remuk terburai seperti itu: merepotkan dan menjijikkan. Orang-orang mesti memunguti tetelan tubuhnya yang berserakan di tanah dan lengket di bantalan rel kereta. Sungguh beruntung ia tak harus mati dengan cara-cara mengenaskan seperti itu. Ia tak perlu mati menderita lantaran usia tua atau penyakit menahun yang menggerogoti tubuhnya. Ia merasa segar – bahkan jauh merasa lebih segar dari hari-hari biasanya – hingga ia tak perlu merasa cemas kalau-kalau kematian akan membuatnya merasa kesakitan.

Tinggal berbaring tenang di ranjang, dan membiarkan maut bersijengkat mendekatinya perlahan.

Ia merasakan waktu yang beringsut berdenyut, dan cahaya mengusapnya lembut. Lihatlah, cahaya matahari seperti susu segar yang ditumpahkan ke lantai, terasa kental. Cahaya yang terlihat begitu jernih dan bening membuat semua benda lebih memancarkan warnanya. Permukaan meja kayu yang sudah ia bersihkan makin terlihat kecoklatan dan begitu detail alur serat kayunya. Barut tipis bekas paku pada cermin, nampak jelas. Sepasang sandal kulit di pojok terlihat bersih, warnanya yang coklat tampak lebih cerah. Detak jam begitu lembut. Kamarnya jadi terasa hangat dan menenangkan.

Lewat jendela yang ia biarkan terbuka, ia bisa merasakan senyum bunga-bunga. Ia bisa mendengar suara lembut gesekan kelopak-kelopak bunga yang perlahan-lahan rekah. Ia mencium harum kambium meruap di udara yang ranum. Harum yang sebelumnya tak pernah ia cium. Juga bau aroma bawang goreng yang samar-samar mengambang di udara yang bergeletaran pelan, membuat setiap aroma jadi terasa begitu kental dalam penciumannya. Ia dengar suara sayap kupu-kupu yang terbang melintasi pagar. Beginikah rasanya saat kematian makin mendekat? Segala terasa melambat. Segala terasa lebih pekat dan hangat. Seperti ada yang memeluknya. Menyelimutinya dengan kesunyian. Seperti ada yang ingin membisikkan penghiburan di dekat telinganya. Dan ia merasakan ada yang perlahan mendekat, seakan mengingatkan agar ia berkemas, meski tak perlu bergegas. Biarkan segalanya berjalan sebagaimana yang direncanakan. Ia akan mati dengan nyaman, tenang dan membahagiakan. Sungguh, bila saat-saat menjelang kematian ini merupakan saat-saat yang paling syahdu dalam hidupnya, ia ingin menghayati dan merasakan kesyahduan itu dengan sempurna. Mati, barangkali memang tak lebih melankoli, seperti puisi pucat pasi. Tapi ia ingin menghayati. Bukan untuk kenangan yang akan dibikinnya abadi, tapi sekadar ingin mengerti bagaimana rasanya mati.

Ketika ia merasakan segalanya makin mendekat, ia pun segera menemui tukang kebun itu. Seperti yang telah lama ia rencanakan, ia pun pamit untuk penghabisan kali pada tukang kebun yang sudah menunggunya dengan sabar.

“Ini sekadar biaya buat pemakaman. Maaf, bila saya merepotkan…”

Kemudian ia berbaring tenang, hingga detik terakhir kematiannya datang.

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.