Cerpen Ini Kisahku

Saat membaca kisah ini, bayangkan lagu Peterpan, Kukatakan, mengalun pelan, mengiringi sekaligus menjadi soundtrack kisah ini.

Kukatakan dengan indah
Dengan terluka, hatiku hampa
Sepertinya luka

***

Kutulis kisahku, di sini. Pada karang dengan jari telanjang. Perih! Bukan hanya jari, namun seluruh persendianku, terasa dilumuri darah. Teramputasi! Seluruh ruang hatiku, porak-poranda oleh badai airmata yang sesamudera.
Bukan kurutuki takdir. Tak ingin menjadi pendosa dengan mengkufuri nikmat. Beginilah kenyataan. Inilah kisah yang harus kulakonkan, di antara para aktor lain yang begitu mudah mendapat peran jagoan, kaya, cakep... semua! Aku tak boleh bermimpi, aku harus tetap terjaga bahwa aku hanyalah pecundang.
"Kamu pengecut!"
"Biarin!"
"Kamu tahunya menangis. Bahkan saat Tuhan memintamu tersenyum pun, kamu tetap merasa dicurangi takdir."
"Kamu bukan aku, Sandi. Kamu hanya tahu bahwa aku telah betah dengan tangis. Kamu tak pernah merasa, betapa pedihnya luka yang membuatku menangis."
Pffuihh...! Sandi membuang ludah tanpa melepaskan tatapan sinisnya ke arahku. Emosi!
"Jadi kamu pikir, kemiskinan yang kamu sandang adalah luka? Semua ketidaksempurnaan yang kamu miliki adalah kesalahan Tuhan karena telah pilih kasih?"
"Cukup! Aku tidak pernah menyalahkan Tuhan," potongku saat untuk yang kedua kalinya dia menyebut nama Tuhan di depanku.
"Lalu kenapa masih mau bersembunyi dari semua orang?"
Desah napas keras seolah mengakhiri napasku. Aku memilih bisu. Benakku tetap merangkai untaian kalimat, sekilau mutiara, saat tertuang dalam kisah puisi ataupun cerpen, semua akan kagum. Mataku tetap menatap wajah Sandi, sahabatku. Sesekali kuburu dan kucari tatapannya, saat dia membuangnya dariku. Sinis!
Sandi satu-satunya yang tahu, jika Rudi Wijaya, yang selama ini digilai penikmat puisi dan cerpen remaja, adalah aku. Dan aku tak ingin, ada yang lain tahu. Aku lebih betah menjadi seorang Safar, nama asliku, daripada seorang Rudi Wijaya, nama pena yang sering kugunakan di setiap tulisanku.
Ya, aku bangga dengan diriku sebagai Safar. Seorang pekerja keras, yang tak pernah puas meski orang telah memujanya. Aku hanya bisa tersenyum, menertawai, ketika semua orang memujiku dan menganggap novel yang kuterbitkan indie, dan terjual laris meski aku pemula, adalah keajaiban.
Bagiku, dunia ini tak lagi menyisakan keajaiban. Semua harus ditukar dengan kerja keras. Terlalu menghina, novel yang kutulis selama tiga tahun, dan mendapat predikat The Best Seller, disebutnya sebagai keajaiban.
Patutkah disebut sebagai keajaiban, jika novel itu awalnya kutulis dalam bentuk steno, di atas kertas buram? Bukan kurang kerjaan, meski memang kekurangan kertas. Juga kekurangan dana, hingga steno itu adalah paket hemat, yang membuat biaya rental komputerku menjadi irit. Aku pernah punya mimpi. Punya komputer, dalam sebuah kamar yang ber-AC. Menarikan jari di atas keyboard komputer, sambil sesekali meneguk kopi susu. Tapi benar-benar hanya mimpi!
Masihkah ada yang mau menyebutnya sebagai keajaiban, jika tahu bahwa novel yang kini di tangannya, membuatnya terkagum-kagum, tertunda terbit karena aku harus menunggu celengan ayamku penuh, lalu kupecahkan. Semua karena harus kuterbitkan indie dan kubiayai sendiri. Tak adakah yang bertanya, mengapa novel yang di tangannya begitu buram, hasil fotocopy, dan terbit pada sebuah penerbitan yang sebelumnya belum pernah terdengar namanya?
Jika bukan keinginan yang keras seorang Safar, novel indie itu takkan pernah ada. Terlebih tak akan ada seorang Rudi Wijaya, yang kini dielu-elukan. Karenanya, aku benci pada diriku sebagai seorang Rudi Wijaya. Tahunya hanya menangis, dan melarikan diri dalam negeri khayalannya.
"Apa lagi yang menghalangimu untuk memiliki Tania? Kamu tinggal bilang, kamu adalah Rudi Wijaya, yang selalu dielu-elukannya selama ini. Kamu tinggal mencopot nama Safar dari dirimu, lalu berganti menjadi Rudi Wijaya."
"Tania terlalu...."
Sandi memotong. "Terlalu tinggi untuk kamu gapai? Begitu? Selamat datang di alam nyata, Safar. Kamu tidak sedang bermain di negeri khayalan yang sering kamu ciptakan. Hanya negeri dongeng yang selalu menjadikan cowok tajir hanya sepadan dengan cewek tajir pula."
Percuma aku jawab. Bicaraku hanya sia-sia. Sandi takkan pernah menyerah untuk memberiku semangat.
Dia benar. Mungkin terlalu lama larut dalam dunia fiksi, hingga aku tak pernah yakin bahwa ada dunia di luar imajinasiku. Dunia nyata. Dunia yang memungkinkan apa pun bisa terjadi. Seperti kejadian yang selalu kuangankan, bahwa Tania yang cantik, kaya, bisa dimiliki oleh seorang Safar yang...? Akh, aku takut melanjutkan kalimatku sendiri.
Tuhan, benarkah ada pungguk yang mewujudkan rindunya pada bulan? Tania bulan yang kumau. Hanya dia! Namanya bersarang di benakku. Sesekali terbang, namun akan selalu kembali dan hinggap di ranting hatiku yang rapuh.
"Aku yakin kamu telah ngaca, Safar. Tapi jangan karena dirimu cakep, lalu memberanikan diri mengirim surat untukku," ucap Tania saat itu.
Tak hanya berucap. Tania juga membanting pintu mobil, lalu menghamburkan sobekan suratku yang telah dicabiknya, Sakit. Butuh perjalanan waktu yang panjang, butuh benang jahitan yang panjang untuk menyatukan kembali bekas akutan luka yang Tania goreskan. Syukurku, saat itu tak ada yang melihatku. Tak sepasang mata pun menyaksikan aku tergeletak. Menggelepar seperti unggas yang terkena peluru.
Luka itu menjadi rahasia hidupku. Tapi tak kumengerti. Disakiti serupa itu, mengapa tetap saja aku mengharap. Tak adakah Tania yang lain, Tuhan? Tak adakah Tania lain yang pantas untukku? Aku tak butuh banyak. Satu saja!
Salahku mencinta pada rupa. Hingga tak bisa memuji, jika tak serupa Tania. Serupa cantiknya. Andai ada Tania lain, aku tak butuh dia berpunya ataupun bermewah-mewahan. Aku hanya butuh Tania yang setiap kudapatkan matanya, seperti kejatuhan bola salju. Luka lalu beku! Aku butuh Tania yang air mukanya selalu memancingku untuk tersenyum, meski telah dilukainya. Bahkan dibekukan!
"Kamu belum jera juga?" begitu kata Tania saat mendapatkan aku menatapnya di kantin yang sepi.
"Jangan karena aku tidak pernah jalan dengan cowok mana pun, hingga kamu dengan berani mau melangkah di sisiku sebagai pacar. Tidak akan, Safar! Aku punya cowok. Bukan di sekolah ini! Dia adalah...." kalimatnya terhenti.
Bukan aku yang memotong kalimat itu. Terhenti sendiri lalu melanjutkan langkah meninggalkanku. Cinta memberiku energi untuk memburunya.
"Siapa cowok itu, Tania? Katakan padaku, tunjukkan dan suruh cowok itu menghajarku habis-habisan. Agar aku jera mencintaimu. Agar aku takut berharap pada mimpi manis yang tidak pernah bisa kukecap. Aku harus bertemu cowok itu. Aku butuh orang yang bisa membuatku terjaga bahwa kamu tidak bisa kumiliki. Siapa orang itu?"
Aku seperti tak sadar apa apa yang kututurkan. Inilah kalimat terpanjang yang kuungkapkan pada Tania selama ini. Bahkan dalam surat untuknya pun, aku cuma berani berkalimat:
Kamu pernah melihat pungguk? Kalaupun pungguk benar-benar ada, tapi bagiku burung itu hanyalah kiasan untuk memberi antonim pada bulan yang cantik. Pungguk itu berkaki dua, tak punya sayap, bagaimana mungkin terbang ke bulan. Pungguk itu bernama Safar, Tania! Aku tak mungkin menggapaimu, maka jatuhlah untukku!
"Jadi kamu mau kenal dengan cowokku?"
Tania membuka tas. Mungkin untuk mengambil HP, lalu memperkenalkanku dengan cowoknya, atau mengambil foto dari tasnya. Tapi apa yang keluar dari tas itu membuatku tersentak.
"Ini dia orangnya!" ucapnya membusung dada.
Mataku terbelalak. Sebuah novel indie berjudul 'Kubawa Senja Pulang', dihempaskannya di meja tepat di depan mataku. Di situ tertulis nama penulisnya, Rudi Wijaya!
Itu namaku, Tania! Bisaku hanya membatin. Nama penaku. Nama seekor burung yang sering disebut sebagai pungguk. Itu adalah aku. AKU! Safar, yang begitu banyak orang meliriknya karena cakep, tapi banyak juga yang terhenyak ketika tahu bahwa aku anak seorang pembantu rumah tangga yang sering dibentak oleh Tania, anak majikannya.
Harusnya giliran aku yang membusung dada, jika Rudi Wijaya itu adalah aku. Safar! Tapi aku takut, Tania hanya menertawaiku. Biarlah, dia memujaku sebagai Rudi Wijaya, mungkin hingga sebuah keajaiban menyatukan kami.
Keajaiban? Aku menggeleng. Keajaiban tak ada!
Aku beranikan tersenyum untuk Tania. Meski dia balas dengan cibiran. Aku minta maaf atas salahku yang terlalu lancang mencintai Tania, anak majikan ibuku. Uluran tanganku tak disambutnya.
Aku bisa mengerti. Tania tak pernah menduga, perlakuannya untukku yang seolah bukan anak pembantu di rumahnya, membuatku salah menterjemahkan kebaikannya padaku.

***

Selesai membaca kisah ini, bayangkan lagu Peterpan, Kukatakan, tetap mengalun pelan, mengiringi sekaligus menjadi soundtrack kisah ini.

Kukatakan dengan indah
Dengan terluka, hatiku hampa
Sepertinya luka
Kau beri rasa yang berbeda
Mungkin kusalah
mengartikannya
Kau hancurkan hatiku... hancurkan lagi
Untuk melihatku...

Ini kisahku. Bukan sembarang aku mengambil lagu ini sebagai sound track kisahku. Bukan kesamaan kisah, tapi kesamaan rupa antara aku dan Ariel Peterpan. Ya, aku mirip Ariel. Sangat mirip! Esok atau lusa, kamu bertemu Ariel, hati-hati minta tanda tangan dan foto bareng. Jangan sampai salah orang, bukan tak mungkin itu aku, Safar. Penulis yang memakai nama pena, Rudi Wijaya. ©

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.