Cerpen Terbaru Tawa Yang Bergema Di Tengah Malam

Perpustakaan kota sihir Fresia adalah bangunan tua yang duduk menyedihkan di salah satu sudut terlupakan kota bagaikan bisul menahun di sudut pantat manusia. Seperti bisul menahun pula, kau selalu melupakannya sampai bisul itu membengkak di saat rapat penting dan membuatmu dipelototi bosmu karena kau bertingkah saat dia akan menjelaskan bagian terpenting dari rencana pelebaran franchise naga goreng rasa keju perusahaanmu.

Kebanyakan penduduk Kerajaan akan langsung teringat dengan Menara Fresia yang menjulang tinggi di tengah kota saat kau menyebutkan kota sihir itu. Tak salah, karena Menara itu adalah pusat akademi sihir tempat penyihir-penyihir muda belajar untuk tidak menggunakan fireball di dalam ruangan. Sebagian orang teringat akan ruang bawah tanah kota yang membentang seluas kota itu sendiri, tempat para penyihir membuang hal-hal memalukan mereka; seperti persilangan antara harimau dan jamur yang kini berkeliaran mencari mangsa (entah penyihir mabuk mana dulu yang menyilangkan dua spesies yang sama sekali tak mungkin jatuh cinta secara alami itu), lalat-lalat sebesar lemari (yang terjadi secara alami akibat terlalu lama terkurung di laundry akademi sihir), atau foto para profesor saat pesta kelulusan terakhir.

Sama sekali tak ada yang teringat akan perpustakaan. Padahal, perpustakaan adalah bagian penting dari setiap akademi, apalagi akademi sihir. Orang awam selalu mengira sihir adalah hal-hal menyilaukan yang menyebabkan badai suara ‘wooow’ atau ‘aaaah’ dari kerumunan, saat bola api membakar, kilatan petir meloncat dari ujung tongkat, atau kepala berubah menjadi labu. Padahal itu hanyalah setengah dari sihir keseluruhan. Setengah lain adalah berkutat semalaman di tengah tumpukan buku berdebu yang menyebabkan kantuk (sebagian memang membuat orang tertidur begitu dibuka karena kutukan kuno).

Tapi Kapten Frederick Beerstain selalu ingat akan perpustakaan itu meski dia berusaha untuk melupakannya. Saat reuni sekolah, kalau tidak ditanya tentang asal nama keluarga memalukannya (dengan sabar dia menjelaskan tentang kakek buyutnya yang mabuk di sensus) dia selalu ditanya akan pekerjaannya kini. Dan dengan senyum manis dia akan memberi tahu pekerjaannya sebagai Kepala Satuan Keamanan Perpustakaan Kota Fresia, yang bagi alumni Akademi Ksatria hanya sedikit lebih berprestise dibandingkan jabatan Komandan Pasukan Penyedot WC Kota Betelgusa.

“Jadi…” kata salah seorang temannya di salah satu reuni. “Sebenarnya apa pekerjaan Satuan Keamanan Perpustakaan itu?”

Setelah menenggak cukup banyak bir murah Frederick akan cukup mabuk untuk menjelaskan. “Yah… mencegah pencurian buku dan menjemput buku yang dipinjam terlalu lama… Kurang lebih seperti tukang pukul bagi lintah darat. Cuma kami tidak berurusan dengan uang, hanya buku. Dan kami tidak bekerja bagi lintah darat, tapi perpustakaan.”

Saat ini Frederick mengingat kembali percakapan dengan temannya itu. Sebab hal yang dihadapinya saat ini tidak termasuk deskripsi pekerjaannya.

Sebab dia berdiri di depan pustakawan perpustakaan fresia yang tewas secara menggenaskan di mejanya.

“Pembunuhan…” kata Frederick kepada anak buahnya. Tidak perlu menjadi detektif terkenal untuk mengetahui hal itu. Karena kecuali pustakawan ini menggelitik dirinya sendiri sampai mati, dia tidak mungkin tewas kehabisan nafas dengan bibir menyunggingkan tawa seperti ini sendiri. Sebenarnya mungkin juga dia hanya overdosis jamur tertawa, atau gas bius (para penyihir muda sering membuatnya secara ilegal) namun tak ada tanda-tanda kedua zat itu di sekitarnya. Dan sang pustakawan dengan baik hati menuliskan pesan terakhir yang bergetar di mejanya.

“Dia tidak mau mengembalikan buku…”

Dan seperti pesan terakhir lainnya, pesan itu selalu terputus di tengah jalan dan nyaris tak berguna.

“Apa tidak sebaiknya kita membiarkan polisi mengurusnya, Pak?” tanya seorang anak buahnya.

“Ini termasuk yurisdiksi kita” jawabnya. “Lagipula polisi tidak akan menganggap serius kasus ‘orang yang tidak mau mengembalikan buku pinjaman‘ ini. Mereka selalu sibuk dengan kasus ‘pencurian artifak yang dapat menghancurkan dunia’ atau semacamnya.”

Frederick melayangkan pandangan ke pemuda-pemuda harapan bangsa di sekelilingnya. “Tidak ada jalan lain. Kita terpaksa harus…”

“Jangan bilang… “ kata anak buahnya sambil menjatuhkan pedangnya.

“Apa saja… asal bukan itu… » kata seorang lagi dengan tubuh menggigil.

“tidak… jangan lagi…” kata seorang yang berlutut sambil memegangi kepalanya.

Petir entah kenapa menyambar di luar. Siluet Frederik bergetar di antara buku buku.

“Membereskan katalog peminjaman!” Katanya kepada anak buahnya diiringi teriakan memelas dan bunyi tubuh-tubuh berjatuhan. Frederick mengepalkan tangannya di hadapan lemari katalog raksasa yang menjulang bagai raksasa kelebihan hormon. “Demi nama kakekku aku bersumpah…”

“…KITA AKAN MENEMUKAN ORANG YANG TIDAK MAU MENGEMBALIKAN BUKU ITU.”

“Ini masalah serius,” kata Kapten Frederick saat dia duduk di kafe bersama sahabatnya. “Ada seseorang yang tidak mau mengembalikan buku pinjaman dari perpustakaan.” Dia berusaha untuk mengacuhkan betapa absurdnya kalau dua kalimat itu digabung.

“Well… beberapa buku memang cukup berharga,” kata seorang penyihir wanita. Rambut acak-acakan tak terurus dan Kacamatanya setebal pantat botol yang disengat lebah.

Kepala Pustakawan Alexia Icengale sudah bersahabat dengan Kapten Frederick sejak mereka duduk di bangku sekolah. Sebagai penyihir, Alex adalah seseorang yang, menurut kata-kata gurunya, tidak memiliki bakat sihir sedikitpun di dalam tubuhnya, seperti kambing tidak memiliki bakat untuk terbang. Tapi Alex sangat cerdas, dan seperti kambing, dia juga sangat keras kepala dan suka melahap buku, karena itu ia berhasil mendapat jabatan kepala perpustakaan Fresia.

Pekerjaan seorang pustakawan perpustakaan kota sihir agak sedikit lebih berbahaya dari bayangan orang. Beberapa buku agak rewel tentang peletakan mereka dan akan berkelahi satu sama lain kalau tidak cocok dengan teman satu rak. Sebagian suka meledak kalau dibuka tiba-tiba. Ada sebagian buku yang suka menyanyi semalaman tanpa mempedulikan para pustakawan yang sedang pusing karena lembur. Tapi biasanya, biasanya sih, tidak ada resiko kematian.

” Misalnya edisi pertama Lord of the Bling,” kata Alexia, menyebutkan judul novel petualangan best seller berdasarkan kisah nyata Fri dan teman-temannya dalam petualangan mereka merebut the One Bling dari tangan the Dark Pimp-Lord. “Itu bisa dijual dengan harga mahal di tempat lelang.”

“Entah kenapa aku tidak yakin kalau sang penjahat ini sekadar tertarik pada uang.” Kata Frederick sambil menyatukan kedua tangannya di depan dagu. “Tahu sendiri, menurut rumor perpustakaan kita menyimpan buku-buku yang cukup berbahaya.”

“Sebenarnya memang banyak buku-buku berbahaya yang disegel, buku mengerikan di luar pemahaman manusia yang dapat membuat orang menjadi gila hanya dengan melihat sekilas isinya,” jawab Alexia. “Tapi Buku-buku itu ditaruh di lantai bawah tanah dan disegel dengan Magic Seal level 3 dan dijaga 24 jam oleh anak buahmu.

“Misalnya buku… Tentacle Porn Comic Collection Vol 1 karangan Agarham . Kabarnya, semua orang yang pernah membaca buku itu mengurung diri di kamar seumur hidup, dan berteriak ketakutan begitu mendengar kata poring. Termasuk buku berbahaya level S. Atau Pengantar Filosofi karangan filsuf terkenal Aristocrates. Orang yang membaca satu halaman saja dari buku itu akan terobsesi untuk memikirkan ‘apa arti hidup ini,’ ‘kenapa jeruk dinamakan jeruk dan bukan gobledegook,’ dan ‘mana yang lebih dulu ayam atau telur’ sampai mati.”

“Ada buku yang bisa memberi kekuatan tak terbatas menggunakan perjanjian dengan iblis atau semacamnya? Biasanya pasti ada buku-buku semacam itu di perpustakaan kuno.

“Kalau ada, pasti kami tahu,” kata Alexia sambil memotong steaknya.

Frederick menghela nafas sembari mendengarkan lelucon garing dari Badut yang malam itu tampil di panggung. Hanya satu orang yang tertawa, tapi itu karena si badut dilempar tomat oleh seorang penyihir muda. Tapi dia tidak memperhatikan. Karena kasus ini lebih sulit dari dugaannya.

Menurut ilmuwan terkenal Albret Enistien, waktu itu relatif. Menurutnya kalau kau sedang bersama wanita cantik satu hari akan terasa seperti satu jam (dia sempat membuat rumusnya, E=MC2 dengan E adalah Enjoy, M adalah Masa yang berlalu, dan C adalah kecantikan temanmu) sedangkan kalau kau menunggu giliran masuk WC umum saat sedang diare satu menit akan terasa seperti satu abad. Albret Enistien juga terkenal dengan perutnya yang tidak tahan pedas, meski hal itu tidak ada hubungannya dengan cerita ini. Tapi kata-katanya terngiang di telinga Frederick saat dia berjalan-jalan malam itu. Malam terasa begitu panjang saat kau tidak bisa tidur karena memikirkan kasus.

Dan tanpa sepengetahuannya, ada orang lain yang memikirkan kata-kata Albret Enistien yang sama malam itu. Tapi bukan karena dia sedang diare atau memikirkan kasus. Tapi karena dia sedang sekarat.

Dan tebasan sabit kematian yang membebaskan terasa begitu lamban datangnya.

Malam hari Fresia di akhir minggu hanya bisa dibandingkan dengan malam hari di Kota kasino dan karnaval Vas Legas. Dengan banyaknya penyihir muda yang menjadi penduduk Fresia, hanya Vas Legas yang bisa lebih ribut, penuh ledakan, dan lebih penuh orang mabuk yang tidur di pinggir jalan dengan kepala berhiaskan semangka. Karena itu awalnya Frederick tidak menyadari bahwa orang yang terduduk di sudut jalan yang gelap itu membutuhkan perhatiannya.

Awalnya Frederick mengira orang itu mengalami kecelakaan dengan resleting saat buang air (Hal yang sebenarnya terlalu sering terjadi di akhir minggu, pikir Frederick sambil mengernyitkan wajah. Operasi yang harus dilakukan untuk membereskannya bukan hal bagus untuk dilihat). Tapi kemudian ksatria itu menyadari kalau celana orang yang terbungkuk-bungkuk dan mengeluarkan suara mencicit itu tidak terbuka.

“Hei, kau tidak apa-apa?” tanya Frederick. Orang itu tidak menjawab dengan kata-kata yang dikenal Frederick. Dia hanya berkata “Umf!” dan “Mbha!” dan “Halp!”

Frederick menghela nafas. Satu hal yang tidak dibutuhkannya adalah mahasiswa asing yang sakit perut. Orang itu tidak tampak terluka. Kemungkinan besar dia hanya mabuk.

“Sini. Dimana tempat tinggalmu?” kata Frederick sambil mendekat. Tiba tiba dengan kecepatan yang luar biasa orang itu menegakkan badannya. Tangannya mencengkram baju seragam Frederick bagaikan zombie yang kebanyakan minum kopi. Secara refleks ksatria itu mencengkram pedangnya dan bersiap menebas. Tapi kemudian dia menyadari kalau lawannya memiliki organ tubuh yang masih lengkap dan meskipun bau, bukan zombie nyasar.

Orang itu menatap wajah Frederick.

“Kenapa… ayam… menyebrang… bw… bwaaahahahahhaha!” katanya. Ternyata dia dari tadi terbungkuk-bungkuk karena menahan tawa. “Ayam… menyebrang jalan ternyata… gyaahahahahahhahah!” Orang itu memukul-mukul lengan Frederick sambil tertawa begitu kerasnya, sampai-sampai air mata mengucur deras dari kedua matanya.

“Oke.. oke…” kata Frederick. Orang ini hanya mahasiswa yang habis pesta. Frederick mundur menjauh sedangkan orang itu tetap tertawa berguling-guling di tanah.

Si ksatria menghela nafas. Enaknya masa muda, masih bisa tertawa sepuasnya seperti ini dan belum mengerti akan kesulitan hidup.

“Ayam! Mbwfwahahahahahah!”

“Hey, kau tidak apa-apa?” tanya Frederick. Wajah orang itu mulai memerah karena terlalu banyak tertawa. Kemudian menjadi ungu. Kemudian membiru. Tawanya sama sekali tidak berhenti.

“Hei! Bernafas dulu!” teriak Frederick sambil berusaha membangunkan pemuda itu. Ampun, jangan bilang orang ini overdosis.

Bayangkan wajah seseorang yang nyaris tenggelam, diangkat dari kolam, kemudian sebelum dia bisa mengambil nafas seseorang membenamkannya lagi ke kolam. Sementara satu orang lagi memukuli perutnya, satu orang mengitik-kitik telapak kakinya, dan satu orang lagi memberinya uang 100 juta gulden . Sudah? Lipat tigakan intensitas ekspresi wajahnya dan wajah seperti itulah yang kini dilihat Frederick.

“Tolong! Dokter!” teriak Frederick. Teriakannya bercampur dengan tawa sang pemuda yang semakin keras dan histeris.

Hanya tembok dingin kota Fresia yang mendengar sementara tawa itu memantul dan bergema dalam kegelapan lorong-lorong kota yang diam.

Frederick dibangunkan oleh ketukan di pintu. Seorang ksatria dari kesatuan polisi Fresia menyapanya.

Frederick menjatuhkan selimutnya ke lantai kantor kepolisian.

“Stress memikirkan ada buku yang tidak ditaruh di rak yang cocok, Beerstein?” kata orang itu. Entah bagaimana ada orang yang begitu berbakat mengejek sampai kata-kata sederhana itu terdengar bagaikan monyet yang menari dengan pantat merah besar diarahkan ke mukanya. Sambil melemparinya dengan kulit pisang.

“Ada urusan apa, McMontier?” kata Frederick sambil menyapu kulit pisang imajiner dari mukanya.

“Ah, hanya ingin memberitahumu kalau kau tidak perlu memikirkan tentang kasusmu lagi. Kepolisian sudah mengambil alih.” Kata kapten polisi itu.

“Apa!? Bagaimana? Kenapa! Kami hampir menemukan pelakunya! Kami hampir selesai mencocokkan daftar buku yang belum dkembalikan itu!”
(sebenarnya masih 12.872 buku lagi, tapi McMontier tidak perlu tahu itu, pikir Frederick)

“Kau semakin tumpul Beerstein. Kalau mengingat dulu kau salah satu murid terbaik akademi kita… Kau tahu dari mana buku yang hilang itu benar-
benar berhubungan dengan kasus ini?” kata Kapten McMontier ketus.

“Seorang pustakawan tewas kehabisan nafas dengan mulut menyunggingkan senyum. Seorang penyihir muda tewas dengan tawa terpatri di wajahnya. Tak tanda perlakuan fisik, sihir, atau kimia di tubuh mereka. Sepertinya kasus ini memang berhubungan.

Tapi apa betul ini ada hubungannya dengan buku yang hilang itu? Bisa saja itu hanya kebetulan? Bisa saja pustakawan itu cuma sedang menulis catatan biasa saat dibunuh. Satu-satunya hasil yang akan terjadi dari penyelidikanmu adalah katalog peminjamanmu menjadi rapi!”

“Itu…” kata Frederick pelan. Dia tahu kata-kata lawan bicaranya itu benar, tapi… “ Insting...”

“Silakan mencari buku yang hilang atau hal remeh lain sesukamu, Beerstein. Kami polisi sungguhan harus menyelidiki kasus sungguhan.” Kata McMontier. Setelah berkata begitu dia pun pergi.

Frederick memandang polisi itu pergi dengan hati mendidih. Dia merasa ada hal penting yang lepas dari perhatiannya, petunjuk tentang kasus ini yang mengganjal di ujung lidah.

Atau mungkin itu cuma sisa kare tadi malam.

Sementara Frederick memikirkan 1001 cara mati paling menyakitkan untuk Kapten McMontier, Alexia bergadang di perpustakaan. Meskipun sebagai ketua pustakawan dia bisa mengawasi langsung dari kejauhan dan menyusun strategi, Alexia lebih suka terlibat langsung. Dia bukan tipe komandan yang baik, dia tahu itu. Sebab dia terlalu suka terjun ke medan pertempuran bersama pasukannya. Dia terlalu menikmati pertarungan, merasakan langsung adrenalin mengalir deras di darahnya, bergulat dengan bahaya, dan memberi komando di garis depan. Keringat menetes di tengah pusaran darah dan air mata, sementara kertas bergesekan dengan kulit dan kepala berbenturan dengan rak buku. Para pustakawan bekerja sama dengan satuan pengamanan. Inilah medan perpustakaan yang sebenarnya!

“Ketua! Martin terjatuh!” teriak salah seorang pustakawan. Seorang pemuda nampak tergeletak di pangkuan temannya, tangannya menggenggam erat jemari sang sahabat. Alexia bergegas berlari ke arahnya.

“Ed...” katanya dengan mata berkaca-kaca.

“Martin... bertahanlah. Jangan tinggalkan aku sendiri...” kata sahabatnya.

“Aku sudah tak kuat lagi...” matanya semakin sayu. “Biarkan aku... tidur...”

“Martin! Martin! Jangan menyerah! Jangan tertidur! Kalau tertidur kau tak akan kembali lagi!” Ed menampar wajah sahabatnya berkali kali, air matanya mengalir. Tapi genggaman sahabatnya mengendur. Dan diiringi teriakan sahabatnya... tubuh Martin terkulai lemas....

“MMMMAAARTIIIIIIN!!!!”

Sang sahabat menggendong tubuh Martin diiringi isak tangis. Alexia berusaha menghiburnya. “Dalam pertempuran... selalu jatuh korban...”

“Sial Martin... kenapa kau harus gugur. Sekarang aku harus memeriksa rak 12C sendiri...” kata Ed di sela isak tangisnya.

Alexia menggigit bibirnya. Satu orang lagi telah jatuh. Apa mereka benar-benar bisa bertahan?

Dia berusaha menghiraukan luka-lukanya. Tangannya terbalut perban setelah tergores ujung halaman buku. Kepalanya benjol karena tertimpa Ensiklopedi Midworld volume 213. Tapi dia tak boleh menyerah. Tidak setelah mereka berjuang sejauh ini.

Seperti katanya, kalau ada buku berkekuatan sihir maha dahsyat atau semacamnya pasti sudah ada penyihir yang menggunakannya sekadar untuk memuaskan rasa ingin tahu. Penyihir memang iseng kaya gitu. Lagipula ada kejadian tahun 64’ saat setengah Midworld hancur karena dua penyihir memanggil Odin menggunakan ‘Ultimate Sacred Holy Light Book of Oracular Activity And God Summoning Stuff And Things’ untuk menyelesaikan debat mereka tentang kacang rebus. Sejak ‘War of Holy Nuts’ itu semua artifak sihir berkekuatan tinggi disimpan langsung di lantai tertinggi menara Fresia.

Mungkin… buku untuk orang tertentu? Seperti misalnya buku ‘catatan akuntansi istana’? Alexia berpikir keras. Kebanyakan orang tak akan mengerti isinya meski membaca tumpukan angka-angka itu. Tapi bagi orang yang mengerti angka-angka itu akan sangat berguna. Atau buku yang tidak topiknya tidak populer. Sehingga jarang dibaca secara mendetail. Hm, apa mungkin di salah satu buku resep masakan kuno tertulis resep ramuan keabadian misalnya?

Dan kenapa buku itu tidak disalin saja? Kecuali buku itu tidak mungkin disalin. Atau kalau dia mengembalikannya, ada kemungkinan orang lain akan mendapatkan apa yang ditemukannya!

“Ketua, kami judul sebagian buku yang belum dikembalikan dengan alasan misterius.” Kata salah seorang pustakawan. “Belum semua, tapi setidaknya kita bisa mulai mendatangi mereka.” Alexia membaca sekilas. ‘Memories of Midworld.’ ‘Necrotelecomunicon.’ ‘History of Comic Book.’

Dan kenapa mereka berisik sekali di belakang?

“Hoi! Kalau lagi kerja jangan ketawa-ketiwi!” kata Alexia. Tapi suara tawa itu tidak berhenti juga...

“Kenapa....”

“Ayam...”

“Menyeberang...”

“Jalan...”

Deg!

Alexia menyadari apa yang terjadi dan dia segera menutup telinganya. Kini dia mengerti kenapa kasus ini bisa terjadi.

Sambil berteriak keras dia mengarahkan tongkat sihirnya ke asal suara dan melepaskan bola api. Tapi serangan asal-asalan itu hanya menabrak tembok. Bola api itu meledak dengan suara keras dan kepulan asap. Di tengah keributan yang terjadi Alexia menerjang kepulan asap itu dan menembus lubang yang terbentuk di tembok.

Bulan baru saja akan terbenam dan matahari masih lama terbitnya. Belum ada orang di jalan, sebab tepat jam-jam inilah Fresia mulai tertidur. Alexia berlari sekuat tenaga, jantungnya berdebar kencang. Tongkatnya sudah terjatuh terlupakan entah dimana, kedua tangannya menekan telinganya sekeras mungkin. Sesekali dia melihat satu-dua orang yang masih bangun.

“Pergi dari sini! Tutup telinga kalian!” teriaknya. Tapi dia sendiri sebenarnya bisa membayangkan. Kalau misalnya dini hari dia melihat orang lari-lari sambil menutup kuping dan teriak-teriak seperti itu dia juga akan menganggap orang itu orang gila.

Dan di setiap lorong yang dia lewati, di tengah kegelapan, terdengar tawa bergema. Tawa lelaki. Tawa perempuan. Tawa orang-orang yang tak sengaja berpapasan dengannya. Mereka tidak salah apa-apa, mereka hanya kebetulan berada di jalan yang dilewatinya. Tapi semua sudah terlambat.

Saat bulan mulai tenggelam dan pagi belum menjelang, itulah saat terdingin pada malam hari. Dan Alexia belum pernah menemukan dirinya menggigil seperti saat ini.

Ini sia-sia saja. Kalau orang itu sudah cukup dekat...

Dan dia bertubrukan dengan seseorang.

“Pergi dari sini! Tutup telingamu!” teriak Alexia, meski dia tahu itu sia-sia.

“Alexia?” kata orang itu. Apa yang terjadi?

“Frederick!”

Alexia menarik nafas lega. Dia langsung menarik temannya ke salah satu gang gelap.

“Penjahat itu datang ke perpustakaan! Aku tidak tahu nasib para pegawai, tapi aku takut hal yang terburuk telah terjadi… Dan kemungkinan kita tidak akan selamat!

“Kau tahu cara kerja humor?” tanyanya. “Humor berkaitan erat dengan memori manusia. Kalau orang mendengar suatu lelucon, otak akan mencocokkannya dengan bank memori. Lelucon yang paling lucu adalah lelucon yang belum pernah didengar!

Menurut legenda, tidak ada lagi lelucon yang benar-benar orisinal di muka Midworld ini… Semua lelucon sudah pernah diucapkan kecuali satu.

Buku yang hilang itu… memiliki satu lelucon original terakhir di dunia!”

Terdengar suara keresekan dan bayangan hitam muncul dari balik tembok. Frederick dan Alexia menahan nafas. Ternyata orang itu adalah… badut yang sama sekali tidak mereka kenal!

“Jangan mendekat!” kata Frederick sambil menghunus pedangnya. “Berikan seranganmu yang terbaik, aku siap untuk apapun!” katanya seperti kata-kata terakhir Jendral Von Arthur yang tewas tertimpa piano saat memimpin tentara Rubaldia di garis depan Great War 2.

Frederick menghela nafas. Kalau saja ini novel detektif, pikir Frederick, pasti penjahatnya adalah orang yang kami kenal. Mungkin ternyata penjahatnya adalah sahabatku atau semacamnya. Atau minimal tokoh yang sudah pernah dideskripsikan. Sayang ini kehidupan nyata. Yah, atau mungkin ini sebuah cerita pendek dengan halaman terbatas.

“Sejak pertama kali manusia turun dari pohon dan hidup di gua,” kata badut yang sebelumnya hanya pernah muncul di satu kalimat itu, “ manusia sudah melontarkan satu pertanyaan.

Kenapa unggas itu menyeberang jalan? Kenapa?

Itu adalah lelucon pertama di dunia. Karena begitu tuanya umur lelucon itu dan seringnya lelucon itu berpindah pikiran, kini lelucon itu dianggap sebagai lelucon paling tidak lucu di dunia.

Sebab tidak ada yang tahu apa sebenarnya bagian kedua lelucon itu! Padahal, lelucon itu adalah lelucon pertama dan terlucu di dunia. Lelucon yang menembus batas bahasa dan budaya. Lelucon yang begitu lucu sampai semua orang yang mendengarnya akan mati! Kecuali aku tentunya.

Sebab aku mendapatkan naskah asli lelucon itu dari buku “History of Comic Book. Dan aku tak mungkin membiarkan orang lain mendapatkannya!
Aku akan menguasai dunia… dengan lelucon! Dan aku akan membunuh kalian sebelum kalian menggangguku!”

Kalau saja suasananya tidak begitu berbahaya, Frederick ingin jungkir balik karena kekonyolan semua ini. Tapi semuanya juga begitu masuk akal. Beberapa lelucon hanya efektif kalau diceritakan lewat mulut! Karena itu orang tidak menyadari lelucon di buku itu berkekuatan dahsyat! Tapi tetap saja karena badut itu sudah membaca lelucon itu di buku dia sudah tahu punchline lelucon itu dan dia kebal akan efek sang lelucon original.

“Kau kira aku akan membiarkanmu menguasai dunia dengan erh… menyebarkan lelucon?” kata Frederick sambil memasang kuda-kuda. “Mulut, bersiaplah berkenalan dengan pedang!”

Frederick tahu itu sia-sia. Lelucon itu jauh lebih cepat daripada serangan ataupun pembacaan mantera manapun. Tapi tidak ada jalan lain…

Frederick tidak pernah mengira dia akan mati karena bekerja sebagai penjaga perpustakaan. Huh, tahu begini aku jadi pengawal istana atau pembersih kandang chimera saja, pikirnya. Setidaknya matiku bakal lebih keren.

“Kenapa ayam menyeberang jalan? Karena…”

“Tidak, Frederick!” Teriak Alexia

Frederick meloncat. Seluruh hidupnya terbayang di kepalanya. Semua reuni dengan teman-temannya. Semua percakapan tidak penting tentang nama dan pekerjaannya.

Frederick berteriak.

“Karena dia bosan menjadi bahan lelucon yang tidak lucu!”

Hening sesaat.

Hening.

Dan suara tawa memecah kegelapan.

“Bw..bwah… bwaahahahhahha”

Sang badut tertawa terbahak-bahak. “Itu… adalah… lelucon paling nggak lucu yang pernah kudengar… Hahahahahahahah!”

...

Pagi menjelang. Frederick duduk di atas tubuh seorang badut yang bonyok bonyok tanpa sempat mengucapkan lelucon berbahayanya.

“Padahal sebenarnya aku hanya ingin menjadi pelawak yang disukamph…” kata sang badut sebelum Frederick menyumpal mulutnya dengan kaos kaki.

Alexia duduk di sebelahnya. Dan berdua mereka memandang siluet kota Fresia yang terbingkai cahaya keemasan.

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.