Cerpen : Kala tangan Tuhan merangkulmu

"Dira…buruan ganti bajunya, ntar keburu hujan. Mendung banget neh, cepetan dong!!!", teriakku pada Indira sahabat terbaikku. Bukan tanpa sebuah alasan saya menyebut Indira sebagai sahabat terbaik, nyatanya dia terlalu berharga untuk saya. Perkenalan kami sepertinya juga jadi awal yang begitu berharga bagi saya. Sedari awal nyatanya juga aku begitu senang dapat berkenalan dengannnya, di Surabaya pertama kali persahabatan itu terajut dan hingga kini coba kuabadikan. Pilihan aku dan Indira kuliah di universitas Airlangga, mau tidak mau memaksa kami berdua hidup mandiri, jauh dari orang tua, dan bisa jadi belajar teguh untuk selalu bertanggung jawab. Indira selalu punya waktu untukku. Juga saat tiba-tiba ketika aku pukul tiga dini hari sekalipun dengan rela ia kuketuk pintu kamarnya untuk sekedar berkisah, "Dira aku sedang sedih" atau "Dira aku sedang gembira’ dan ia memahaminya. Nyatanya Indira memang sosok seperti itu untukku.
Sekali lagi Indira Sari Paputungan, begitu nama ini diberikan dari sang Ayah dan Ibunya yang asli Bali, adalah sosok sahabat terbaikku. Soal hobby kami berdua nyaris sama, kami berdua hobby menulis. Hobby yang sering kali ku sebut lebih sebagai cara kami membentuk sebuah eksistensi. Sesekali kami berdua menjajal kelihaian kami menulis dengan cara mengirimkannya ke surat kabar, honornya lumayan lah untuk kami berdua yang anak kost ini. Kami berdua juga sama-sama sedikit pemalu. Karena sifat ini pula terkadang kami berdua speakless, sekalipun dengan orang-orang yang sebenarnya lama kami kenal. Sedikit menggelikan memang!!! Terlalu banyak kesamaan antara aku dan Indira, tapi belum untuk satu hal ini. Kami berdua berbeda keyakinan, ya…kala ini aku beragama Islam dan sementara ia begitu kental dengan keHinduannya. Maklumlah, ayah dira adalah seorang pemeluk agama yang begitu taat. Tapi…inilah indahnya persahabatan. Tak pernah sekalipun kami berdua berdebat soal yang satu ini. Kami berdua memilih bisa saling menghargai keyakian kami masing-masing. Bukankah tidak ada paksaan dalam beragama, dan aku tentu tak punya wewenang sedikitpun memaksakan keyakinanku padanya. Begitupun Indira yang tidak punya wewenang sedikitpun memaksakan keyakinannya kepadaku. Sekalipun kami sahabat baik, nyatanya memang takkan pernah ada kewenangan seseorang untuk memaksakan keyakinannya kepada orang lain. Kendati sungguh, jauh di lubuk hati ini begitu ingin asaku Indira mereguh pula nikmatnya diin Islam. Nikmatnya memuja Ia, Rab sekalian Alam, Allah. Tak jarang akupun berdoa padaNya tentang yang satu ini.
***

Suatu hari Indira menyatakan keinginannya ikut serta denganku ke sebuah taklim agama yang dibina langsung oleh Ustad ragil di masjid sunan ampel, sebuah mesjid yang tak begitu jauh dari kost kami. Kala itu aku sedikit terkejut dibuatnya. Tuhan…inikah jawaban atas asaku selama ini. Telisik penuh tanya masih saja bergelayut di pikiranku perihal keinginannya ikut serta denganku mendengarkan wejangan ustad Ragil. Dan sepertinya indira menangkap telisik penuh tanya itu di wajahku, "sudahlah…aku hanya ingin tahu Islam kok, bolehkan???", sergahnya kala itu. Sepulang dari mesjid, dengan penuh semangat ku tanyakan kesannya tentang Islam kala itu. "Ehm…buatku muslim harusnya bangga terpilih jadi muslim, syariah mereka terlalu indah. Islam itu indah banget Nu", ungkapnya penuh dengan wajah yang begitu sumringah. Dan akupun tersenyum bahagia kearahnya.
***

Tiga bulan berlalu
Lagi…kali ini benar-benar membuatku terkejut jauh lebih terkejut dari keterkejutanku saat ia mengungkapkan keinginannya ingin ikut bersamaku pergi ke taklim Ustad Ragil."Nu…Alhamdulillah sekarang kita satu keyakinan. Mulai hari ini aku ingin kau menyapaku dengan Assalamu’alaikum. Sekarang aku muslim Nu", ungkapnya penuh haru kepadaku. SubhanAllah…Alhamdulillah duhai Ya Rab akhirnya kau rangkul sahabat terbaikku ini dengan tanganMu. Dan tiada terasa air langit dari mata ini menetes basahi pipiku. Kutengok tak hanya basahi pipiku rupanya, tetapi juga pipi Indira. Terimakasih ya Rab…
"Semuanya dari mimpiku belakangan ini, Nu", sedikit ungkapnya cerita padaku. "Waktu itu aku bermimpi sedang shalat berjamaah dengan imam yang begitu kurasakan familiar denganku. Mimpi yang bagiku tentu sangatlah asing. Sangat asing untukku yang seorang hindu", lagi lanjut ceritanya. Sejenak raut muka sahabat terbaikku ini terlihat menegang dan tarikan nafas panjang mengawali kelanjutan ceritanya. Aku ikut terdiam sembari pikiranku berkata "apa gerangan yang ada di benak sahabatku ini?". Benar saja apa kata batin ini, ia melanjutkan kisahnya dengan air muka yang lebih berat dan serius. "There’s something missing, Nu.", itu ungkapnya saat pertama kali mencoba kisahkan lagi ceritanya. "Dipagi kala aku terbangun dari mimpi yang aneh itu, seolah keras mimpi itu membuatku berpikir sesuatu. Dan aku mulai gelisah Nu, entah mengapa sejak pagi itu. Sejak hari itu kadang perasaanku sering gundah dan bertanya tentang mimpi itu", Indira kembali bertutur. "Beberapa hari kemudian aku memimpikan hal yang sama dan kejadian identik itu makin membuatku resah", lagi tuturnya meski kini dengan helaan napas yang begitu lega. Dan kini ia mulai berpikir tentang agama yang mengajarkan shalat itu, agama yang rahmatan lil’alamiin itu, dan ia menduga bahwa imam dalam shalatnya itu, yang begitu familiar dalam hatinya adalah RasulUllah SAW. Kegelisahannya ini kemudian mendorongnya untuk berbincang seputar mimpinya pada Ustad Ragil, seorang ustad yang sempat secara mengejutkan ia pintakan padaku untuk bersama mendengar wejangannya. Pendek kata iapun menerima hidayah Islam tadi dan bersyahadat dihadapan ustad tadi, kiranya begitulah yang coba bisa kupahami dari tutur Indira. SubhanAllah…indah benar kau rangkul sahabatku duhai Ya Rab.
Dari cerita Indira pula, kuketahui transformasi aqidahnya ternyata bukan sebuah pengalaman yang mudah untuk dilalui setidaknya untuk tiga bulan terakhir ini. Cukup Banyak konsekuensi yang harus diterima Indira. Dan itu adalah yang masih dialami Indira saaat ini. Dari mulutnya pula aku tahu Malam setelah Indira bersyahadat bukanlah malam yang mudah untuk dilupakan bagi seorang ibunda yang melahirkannya dalam aqidah asal yang kini ditinggalkannya. Malam itu ibundanya yang berada di Bali bermimpi buruk tentang Indira. Disamping mimpi buruk ibunda beliau, tembuni Indira yang diberi stupa dan sajen didepan rumah malam itu terbakar tiba-tiba tanpa suatu sebab yang jelas. Akhirnya, hal ini menggelisahkan seisi rumahnya di Bali sampai-sampai paginya sang ayah pun menelpon Indira. Saat Indira menirukan dialog ayahnya via telpon, masih kutangkap wajah terluka Indira mengisahkan penderitaan yang akan segera diterimanyaa saat itu. "Dira, ada apa dengan kamu di Surabaya? Ibumu malam tadi mimpi buruk, nak". Indira manjawab, "Maaf pak, saya sudah masuk Islam", begitu tuturnya. Begitu kalimat itu didengar oleh ayahnya disana, memang sangat menyedihkan jika kita mengetahui kelanjutkan akibat yang diterima Indira setelahnya. Ya, Indira di usir dan tidak diakui anak lagi oleh ayahnya juga sang Ibu, dikeluarkan dari kasta dan dikucilkan dari keluarganya sendiri. SubhanAllah... Itulah Indira, semoga Rab kuatkanmu dalam memegang kebenaran aqidah ini sahabatku. Selamanya dan selamanya tanganNya senantiasa merangkulmu, semoga.*

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.