Saya jatuh cinta pada cerpen sejak saya bisa membaca. Bukan hanya cerpen sebenarnya, tapi pada semua jenis tulisan, terutama fiksi. Saya takjub bahwa seorang pengarang bisa membuat dunia lain, menciptakan realitas lain yang tumbuh dari imajinasi, perasaan dan wawasannya. Maka sejak SMP, tahun 1983, saya putuskan: inilah dunia saya! Setiap hari saya berkunjung ke perpustakaan sekadar meminjam buku karya sastrawan terkemuka
Maka saya pun mulai menulis cerpen dan mengirimkannya ke beberapa media. Saya harus menanti cukup lama untuk melihat karya saya itu dimuat. Tapi saya tak peduli. Saya terus menulis, terus mengirim, meski harus meminjam mesin tik tetangga yang sudah bulukan. Nun jauh di
Di SMP, saya cukup punya konflik dengan guru matematika dan PMP (Pen
Untungnya saya selalu didukung oleh guru bahasa
Di SMA, saya juga mendapat dukungan luar biasa dari Pak Muhyidin, guru Bahasa Indonesia. Setiap pelajaran mengarang, tak pernah ia memberi saya B atau A, melainkan A+ disertai tulisan “kembangkan bakatmu!” di buku tulis saya. “Suatu saat kamu akan jadi cerpenis, Vy! Lihat saja!”
Saat tulisan saya “Ketika Mas Gagah Pergi” (KMGP) dimuat di majalah Annida, tahun 1993, saya tak pernah membayangkan reaksi itu. Saya menerima puluhan pucuk
Cerpen KMGP sendiri saya tulis setelah saya melihat foto seorang pemuda tampan yang meninggal saat usai mengisi pengajian di kalangan masya
Sungguhkan? Saya takut itu sekadar pujian. Saya hanya ingin berkarya dengan hati.
Sejak tahun 1997 kumpulan cerpen saya terus terbit. Tiba-tiba saya mulai dikenal orang. Saya pun mulai sering diundang ke berbagai forum untuk berbicara mengenai karya-karya saya, untuk memberi pelatihan penulisan, sampai keliling
Tahun 1999, sesuatu yang tak saya sangka terjadi. Seseorang mengirim
Awalnya saya pikir orang iseng. Tapi ternyata saya menerima
“Jaring-Jaring Merah” adalah cerpen mengenai Aceh pasca Daerah Operasi Militer (DOM). Judulnya sendiri terinspirasi dari Operasi Jaring Merah yang pernah dilancarkan Kopasus dahulu.
Hmmm, saya bisa apa selain tawakal pada Allah. Dan memangnya apa yang saya tulis? Tak ada yang buruk dan tak patut, karena saya tak menulis apa pun kecuali yang menggores nurani. Saya tak menulis apa pun, hanya sedikit tentang keadilan yang didamba. Melalui tulisan, saya hanya ingin mencerahkan diri saya, syukur-syukur sampai pada orang lain.
Waktu “Kibere” cerpen tentang Timor-Timur saya tulis, saya juga menerima
Waktu pun berlalu. Bersamaan dengan munculnya beragam komentar dari para sastrawan dan kritikus terhadap karya saya, khususnya setelah cerpen “Jaring-Jaring Merah” dinobatkan sebagai salah satu cerpen terbaik Horison selama sepuluh tahun terakhir (1990-2000), saya mulai medapat undangan untuk mengisi seminar, berbicara tentang karya-karya saya di luar negeri, terutama di negeri jiran, hingga ke Mesir dan Amerika Serikat. Saya dan teman-teman pun semakin aktif mengelola Forum Lingkar Pena (FLP)—organisasi kepenulisan, yang memutuskan untuk menulis tidak semata dengan imajinasi dan wawasan, tapi juga dengan hati.
“Bunda? Hmmm manusia yang muncul dari cerita pendek”, itu komentar anak saya Faiz tentang saya. Menggelikan namun sangat simbolik.
Saat buku kumpulan cerpen saya dalam dua bahasa (Indonesia-Inggris): Lelaki Kabut dan Boneka/ Dolls and the man of Mist—terbit, 2002, saya kembali mendapat teror. Mirip dengan yang pertama, namun kali ini melalui sms.
“Lelaki Kabut dan Boneka” adalah cerpen saya mengenai isu dan kasus pengeboman di negeri ini. Tokoh utamanya adalah ia yang saya sebut “lelaki kabut”. Ia ada tapi seolah selalu diselubungi kabut. Ia memiliki banyak “boneka” yang bisa ia gerakkan sesuai kemauannya, termasuk untuk memorandakan tanah kelahirannya.
Lalu sms itu saya terima. “Helvy, berani benar kau menulis tentang saya. Padahal kau tak benar-benar tahu saya. Dari: “Lelaki Kabut”. Sms darinya saya terima berulang kali. Di antaranya dengan redaksional sebagai berikut: “Saya akan meledakkan bom berikutnya di
Syukurlah apa yang disampaikannya tak benar.
“Kelihatannya bukan teror. Lebih mirip pengagum tersembunyi,” kata suami saya sambil mesem.
Saya nyengir. Apa iya? Wah, betapa isengnya orang ini!.
Namun saat cerpen “Lelaki Semesta” dibukukan, awal tahun 2004, ada cerita lagi. Cerpen itu mengisahkan seorang ustadz yang dituduh sebagai pelaku pemboman, padahal langit pun tahu ia tak pernah melakukannya. Malaikat yang selalu menemaninya sampai ingin bersaksi tentang hal itu. Jujur, cerpen ini memang merespon kecurigaan berlebihan terhadap para ulama di dalam maupun luar negeri yang sering menjadi bulan-bulanan fitnah tanpa bukti. Nah berkenaan dengan cerpen itu, saya dapat sms lagi. Kali ini sms itu menuding saya memihak pelaku pemboman! Asal banget!
Begitulah. Selalu ada cerita pendek di balik cerita pendek yang kita buat dalam episode “cerita pendek” kehidupan kita di dunia ini. Dan bagi saya, cerpen atau karya sastra lainnya telah memanusiakan kemanusiaan saya. Ya, meski diselingi sedikit teror, tudingan---atau mungkin cuma kerjaan orang iseng--- itu tak akan membuat saya mengubah tulisan saya. Saya tetap harus mengedepankan nurani! Faiz saja, “manusia yang muncul dari puisi” itu-- pun berani menuliskan nuraninya. Lagi pula yang saya ceritakan ini sungguh tak ada artinya dibandingkan apa yang dialami sastrawan lainnya, bukan? Keciiiiil sekali.
Ah, semoga yang kecil ini bisa berarti ketika dibagi.
(Helvy Tiana Rosa)