Cerita Pendek Dibalik Cerita Pendek

Saya jatuh cinta pada cerpen sejak saya bisa membaca. Bukan hanya cerpen sebenarnya, tapi pada semua jenis tulisan, terutama fiksi. Saya takjub bahwa seorang pengarang bisa membuat dunia lain, menciptakan realitas lain yang tumbuh dari imajinasi, perasaan dan wawasannya. Maka sejak SMP, tahun 1983, saya putuskan: inilah dunia saya! Setiap hari saya berkunjung ke perpustakaan sekadar meminjam buku karya sastrawan terkemuka Indonesia dan dunia. Saya tercengang membaca O. Henry, Danarto, Kafka, Solzhenitsyin, Edgar Allan Poe, Putu Wijaya, Taufiq al Hakim, Chekov, Guy de Maupassant, dan lain-lain. Dahsyat.

Maka saya pun mulai menulis cerpen dan mengirimkannya ke beberapa media. Saya harus menanti cukup lama untuk melihat karya saya itu dimuat. Tapi saya tak peduli. Saya terus menulis, terus mengirim, meski harus meminjam mesin tik tetangga yang sudah bulukan. Nun jauh di sana, saya bayangkan para redaktur majalah merasakan “teror” yang saya lancarkan. Biarlah karya saya tak juga mereka muat. Paling tidak, ambil sisi positifnya: saya terus berkarya dan mereka menjadi hafal dengan nama saya ---yang karyanya tak mereka muat-muat itu.

Di SMP, saya cukup punya konflik dengan guru matematika dan PMP (Pendidikan Moral Pancasila). Persoalannya, setiap pelajaran mereka, saya tergoda untuk mencicil membaca buku-buku cerpen yang saya sewa. Akibatnya saya sering disetrap. Kalau tidak disuruh berdiri di depan kelas atau dijemur di bawah mentari, ya saya disuruh lari mengitari sekolah. Saya baru boleh kembali ke kelas kalau betul-betul sudah keringatan. Malah buku-buku cerita itu langsung ‘dirazia’ dan dibawa ke kantor kepala sekolah. Hmm bisa dibayangkan ya?

Untungnya saya selalu didukung oleh guru bahasa Indonesia. Namanya Pak Kasmino (mana mungkin saya melupakan nama ini!). Waktu mengajar saya, dia sudah tua dan hampir pensiun. Tapi dia terus mendorong, bahkan meminjamkan buku-buku cerpen serta novel yang terlalu mewah untuk ukuran kantong saya. Makanya kalau ada karya saya yang dimuat di koran atau majalah, Pak Kasmino yang paling gembira, bangga dan berkaca-kaca.

Di SMA, saya juga mendapat dukungan luar biasa dari Pak Muhyidin, guru Bahasa Indonesia. Setiap pelajaran mengarang, tak pernah ia memberi saya B atau A, melainkan A+ disertai tulisan “kembangkan bakatmu!” di buku tulis saya. “Suatu saat kamu akan jadi cerpenis, Vy! Lihat saja!”

Saat tulisan saya “Ketika Mas Gagah Pergi” (KMGP) dimuat di majalah Annida, tahun 1993, saya tak pernah membayangkan reaksi itu. Saya menerima puluhan pucuk surat perhari! Surat-surat itu khusus berkomentar tentang KMGP. Ada yang mengatakan sangat tersentuh membaca cerpen itu, banyak juga yang menyatakan bahwa cerpen itu mengubah hidup mereka, bahkan keluarga mereka! Ah, apa iya? Saya nyaris tak percaya. Tapi puluhan pucuk surat mengenai KMGP mengalir setiap hari dan baru berkurang lima tahun kemudian!

Cerpen KMGP sendiri saya tulis setelah saya melihat foto seorang pemuda tampan yang meninggal saat usai mengisi pengajian di kalangan masyarakat tak mampu. Saya tergetar. Tahun 1997, KMGP diterbitkan dalam bentuk buku dan habis 5000 eksemplar dalam dua minggu pertama penerbitannya. Setahun kemudian, Motinggo Busye berkata tentang fenomena KMGP: “Tulisanmu tak selesai di otak atau hati pembaca. Tulisanmu, bukumu itu menggerakkan!”

Sungguhkan? Saya takut itu sekadar pujian. Saya hanya ingin berkarya dengan hati.

Sejak tahun 1997 kumpulan cerpen saya terus terbit. Tiba-tiba saya mulai dikenal orang. Saya pun mulai sering diundang ke berbagai forum untuk berbicara mengenai karya-karya saya, untuk memberi pelatihan penulisan, sampai keliling Indonesia. Saya senang bisa berbagi, meski tak banyak yang saya punya.

Tahun 1999, sesuatu yang tak saya sangka terjadi. Seseorang mengirim surat kaleng. Bunyinya begini: “Jangan sembarangan menulis cerpen kalau tak mau mati!”

Awalnya saya pikir orang iseng. Tapi ternyata saya menerima surat tanpa alamat jelas pengirim itu beberapa kali di kantor saya waktu itu: Majalah Annida. “Jangan menulis seperti “Jaring-Jaring Merah” lagi kalau tak ingin mampus!”

“Jaring-Jaring Merah” adalah cerpen mengenai Aceh pasca Daerah Operasi Militer (DOM). Judulnya sendiri terinspirasi dari Operasi Jaring Merah yang pernah dilancarkan Kopasus dahulu.

Hmmm, saya bisa apa selain tawakal pada Allah. Dan memangnya apa yang saya tulis? Tak ada yang buruk dan tak patut, karena saya tak menulis apa pun kecuali yang menggores nurani. Saya tak menulis apa pun, hanya sedikit tentang keadilan yang didamba. Melalui tulisan, saya hanya ingin mencerahkan diri saya, syukur-syukur sampai pada orang lain.

Waktu “Kibere” cerpen tentang Timor-Timur saya tulis, saya juga menerima surat kaleng yang dialamatkan lagi-lagi ke kantor. Isinya: “Tahu rasa nanti jika menulis cerita politik! Bisa mampus!” Ya Allah, padahal cerpen itu sangat menyentuh. Hanya bercerita tentang persahabatan antara anak Jawa, Bugis, Batak dan Timor Timur. Mereka anak SD dan teman bermain di Timor Timur namun terpaksa berpisah saat terjadi kerusuhan menjelang referendum di sana.

Waktu pun berlalu. Bersamaan dengan munculnya beragam komentar dari para sastrawan dan kritikus terhadap karya saya, khususnya setelah cerpen “Jaring-Jaring Merah” dinobatkan sebagai salah satu cerpen terbaik Horison selama sepuluh tahun terakhir (1990-2000), saya mulai medapat undangan untuk mengisi seminar, berbicara tentang karya-karya saya di luar negeri, terutama di negeri jiran, hingga ke Mesir dan Amerika Serikat. Saya dan teman-teman pun semakin aktif mengelola Forum Lingkar Pena (FLP)—organisasi kepenulisan, yang memutuskan untuk menulis tidak semata dengan imajinasi dan wawasan, tapi juga dengan hati.

“Bunda? Hmmm manusia yang muncul dari cerita pendek”, itu komentar anak saya Faiz tentang saya. Menggelikan namun sangat simbolik.

Saat buku kumpulan cerpen saya dalam dua bahasa (Indonesia-Inggris): Lelaki Kabut dan Boneka/ Dolls and the man of Mist—terbit, 2002, saya kembali mendapat teror. Mirip dengan yang pertama, namun kali ini melalui sms.

“Lelaki Kabut dan Boneka” adalah cerpen saya mengenai isu dan kasus pengeboman di negeri ini. Tokoh utamanya adalah ia yang saya sebut “lelaki kabut”. Ia ada tapi seolah selalu diselubungi kabut. Ia memiliki banyak “boneka” yang bisa ia gerakkan sesuai kemauannya, termasuk untuk memorandakan tanah kelahirannya.

Lalu sms itu saya terima. “Helvy, berani benar kau menulis tentang saya. Padahal kau tak benar-benar tahu saya. Dari: “Lelaki Kabut”. Sms darinya saya terima berulang kali. Di antaranya dengan redaksional sebagai berikut: “Saya akan meledakkan bom berikutnya di Jakarta minggu depan! Salam, Lelaki Kabut.”

Syukurlah apa yang disampaikannya tak benar.

“Kelihatannya bukan teror. Lebih mirip pengagum tersembunyi,” kata suami saya sambil mesem.

Saya nyengir. Apa iya? Wah, betapa isengnya orang ini!.

Namun saat cerpen “Lelaki Semesta” dibukukan, awal tahun 2004, ada cerita lagi. Cerpen itu mengisahkan seorang ustadz yang dituduh sebagai pelaku pemboman, padahal langit pun tahu ia tak pernah melakukannya. Malaikat yang selalu menemaninya sampai ingin bersaksi tentang hal itu. Jujur, cerpen ini memang merespon kecurigaan berlebihan terhadap para ulama di dalam maupun luar negeri yang sering menjadi bulan-bulanan fitnah tanpa bukti. Nah berkenaan dengan cerpen itu, saya dapat sms lagi. Kali ini sms itu menuding saya memihak pelaku pemboman! Asal banget!

Begitulah. Selalu ada cerita pendek di balik cerita pendek yang kita buat dalam episode “cerita pendek” kehidupan kita di dunia ini. Dan bagi saya, cerpen atau karya sastra lainnya telah memanusiakan kemanusiaan saya. Ya, meski diselingi sedikit teror, tudingan---atau mungkin cuma kerjaan orang iseng--- itu tak akan membuat saya mengubah tulisan saya. Saya tetap harus mengedepankan nurani! Faiz saja, “manusia yang muncul dari puisi” itu-- pun berani menuliskan nuraninya. Lagi pula yang saya ceritakan ini sungguh tak ada artinya dibandingkan apa yang dialami sastrawan lainnya, bukan? Keciiiiil sekali.

Ah, semoga yang kecil ini bisa berarti ketika dibagi.

(Helvy Tiana Rosa)


 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.