Cerpen JENDELA TUA

JENDELA TUA

Hari semakin larut ketika mulai ku angkat tanganku ke arah jendela tua itu. Ku tarik kain besar yang menutupinya. Aku baru menyadari, panorama di dalam rumah seakan mulai bicara jujur bila matahari telah kembali ke peraduannya. Bicara mengenai kejujuran, selama ini orang-orang di sekitar melihat keluargaku sebagai keluarga yang bahagia dan harmonis. Benar, keluargaku memang keluarga yang harmonis, yang patut diteladani, tetapi itu hanya pantas disandang, sebelum kegelapan mulai menyelimuti…

Aku baru akan pergi kuliah, saat aku melihat kedua sorot mata sayu dari Zra, kakakku. Dia duduk dalam diam, memandangi jendela yang sebenarnya dia tak pernah tahu. Jendela yang banyak menyimpan luka hatinya selama ini. Kudekati ia, yang semakin kurus dan seperti tak bernyawa.

“Kak, mau sampai kapan kakak duduk di sini?”

“Sampai aku bisa mengerti, apa yang akan terjadi di hari esok…”

Aku tidak sanggup membendung lagi air mata yang ternyata sudah mengumpul di mataku. Segera ku seka air mataku dan aku pun melangkah pergi.

Ku buka pintu kamar yang mulai macet itu. Ku pandangi dalam-dalam sekelilingnya. Ada sebuah meja rias yang sudah berwarna keabu-abuan dipenuhi debu. Selain itu, ada pula sebuah lemari kayu besar yang menampung kain-kain yang sudah lapuk. Mataku mulai berhenti dan tertuju pada sebuah ranjang yang diberi kain besar berwarna hitam. Ranjang itu mulai menarik aku kembali untuk singgah sebentar dan memahami betapa kecil arti hidup di masa itu…

“Aku pulangggg…,” seruku seraya masuk ke dalam rumah. Sepi. Sunyi. Rumah itu menjadi seakan tak berpenghuni. Segera saja ku cari Zra, yang ternyata masih diam dan duduk memandangi jendela.

“Aku mendengar langkah kakimu, Re.. Bahagia.. Bagaimana hari ini?”

“Aku tidak merasa bahagia dari hari ke hari, kak.. Aku sudah kehilangan kebahagiaan itu. Aku selalu melihat kakak seperti ini. Tidak pernah mau makan dari hari ke hari. Kalau kakak seperti ini terus, kakak bisa sakit! Apa sih yang sebenarnya membuat kakak menjadi berubah seperti ini?”

“Tidak ada yang pernah mengubahku, Re. Aku hanya ingin membebaskan jiwaku. Jiwaku yang sudah lama tertutup belenggu hitam.”

“Aku tidak mengerti…”

“Suatu saat, aku yakin, kamu akan mulai mengerti..”

Aku duduk. Ku usap perlahan-lahan air mata yang telah mengalir di pipiku. Bayangan-bayangan itu mulai berkelebat di hadapanku. Aku mulai tak tahan. Segera ku tinggalkan ruangan itu dan mulai menutup kembali pintunya, kemudian ku ambil lagi kayu yang memalangi pintu kamar itu.

Ku masuki kamarku yang kecil. Ruangan itu semakin hari semakin gelap rasanya. Ah, ya… Aku baru ingat, lampu kamar itu sudah mau mati. Ku letakkan tas ranselku dan segera aku menaiki ranjangku. Ku buka sebuah buku, tempat dimana aku biasa berada di dalam duniaku sendiri. Dunia yang penuh dengan kegelapan dan kesedihan.

Ingatanku pun mulai berputar kembali. Malam itu, saat langit enggan memunculkan teman-temannya, terjadilah peristiwa itu. Aku dalam diam dan sedang menorehkan kuasku ke dalam kanvas saat itu. Mama dan papa bertengkar untuk yang kesekian kalinya. Zra sedang menggesekkan biolanya menciptakan nada-nada suram nan menyayat. Pertengkaran mama dan papa ternyata membuat ia merasa berat untuk memainkan lagu-lagu bahagia. Mama, yang sudah berulangkali ku lihat bersimbah air mata dan darah di muka, seakan tak pernah berhenti untuk bertahan. Papa, yang sudah layaknya macan yang kelaparan, seakan menganggap sosok mama adalah daging segar.

Itu semua sudah biasa terjadi pada malam hari. Hanya saja, malam itu, seakan dunia mulai berotasi semakin kencang, keadaan berubah. Kesunyian yang terjadi. Aku menjadi heran. Yang terdengar hanyalah alunan nada dari kamar Zra. Hanya saja, Zra kali ini benar-benar memainkan lagu yang mengiris hati. Aku sampai hampir menangis mendengarnya. Tiba-tiba, perasaanku mulai mengatakan hal lain. Hal lain yang membuat hatiku mulai tidak tenang. Aku mulai curiga dengan semua yang terjadi di malam itu. Segera saja, kudekati pintu kamar mama dan papa, dan mulai kupasang telinga baik-baik untuk mendengar suara-suara yang ada di dalamnya.

Diam… Tak ada suara yang memenuhi kamar itu sepertinya. Aku pun mulai memberanikan diri untuk mengetuk pintu yang ada di depanku.

Tok.. tok.. tok….. Tok.. tok.. tok….

Tak ada jawaban. Aku segera mencari alasan agar aku dapat masuk ke dalam kamar itu.

“Pa, Ma,,, aku masuk, ya… Mau ambil sisirrrr…”

Ku putar gagang pintu itu dan,,, “AAAAAAARRRRRRGGGGGGHHHHHHHH!!!!!”

Kamar itu kosong, tak berpenghuni, dan meninggalkan kenangan pahit yang akhirnya juga ditutup dengan pahit. Kegelapan itu mungkin tak akan pernah berganti menjadi terang. Lampu di ruang tamu pun mulai meredup, seakan ikut merasakan hawa yang sudah ada di dalam rumah itu. Aku pun segera beranjak dan memutuskan untuk kembali meninggalkan rumah itu. Aku sudah ada di dalam mobil, ketika secara tiba-tiba hujan mulai turun dengan derasnya. Aku segera menyalakan mesin mobil dan sekali lagi, ku pandangi rumah tua itu untuk terakhir kalinya, dan akhirnya kutinggalkan rumah itu.

Polisi sudah memenuhi rumahku sejak sejam yang lalu. Aku hanya diam, mematung, dan memandang kosong. Semua yang ditanyakan polisi hanya ku jawab dengan sesadarnya aku. Polisi sudah tidak tahan akan kekakuanku yang seperti robot dan mengajakku ke kantor polisi. Aku menyetujuinya. Tetapi tiba-tiba aku teringat akan kakakku.

“Apabila anda mengajak saya ke kantor malam ini, siapa yang akan bersama dengan kakak saya?”

“Kakak anda sudah ditangani oleh kami tadi. Dia tadi ketakutan setengah mati begitu melihat kami membuka pintu kamarnya. Dia meraung-raung dan berteriak-teriak minta tolong, padahal kami tidak ada maksud apa-apa. Lalu kami segera memanggil dokter dan dokter sudah menenangkannya.”

“Anda sudah membuatnya ketakutan! Huh! Baiklah, kalau begitu. Saya ikut dengan anda.”

Segera saja polisi mengantarku ke kantor polisi. Aku segera di bawa ke suatu ruangan dan mulai diinterogasi.

“Nama?!”

“Redia.”

“Umur?!”

“Enam belas.”

“Tolong ceritakan aktivitas anda hari ini dari pagi hingga malam hari ini!”

“Baiklah. Saya pergi ke sekolah…”

“Dimana anda bersekolah?!”

“Di SMA Harapan Bangsa, tak jauh dari rumah. Hanya memakan waktu kurang lebih 10 menit dengan berjalan kaki. Lalu saya pulang, melukis sampai sore…”

“Bagaimana keadaan di dalam rumah saat itu?!”

“Saya tidak pernah peduli akan keadaan rumah, pak. Yang saya tahu, saat itu, ada kakak saya di kamarnya sedang bermain biola. Lalu menurut saya, mama papa juga sudah ada di rumah, karena mobil-mobil di garasi sudah ada dan masih hangat karena habis digunakan oleh mereka.”

“Oke. Lanjutkan cerita!”

“Malam harinya saya masih melukis, sampai akhirnya saya terhenti karena merasa ada yang aneh. Mama dan papa tidak bertengkar hari ini. Saya juga sempat bertanya-tanya mengapa kakak saya memainkan lagu-lagu yang sangat menyentuh, dan lain dari hari sebelumnya.”

“Bagaimana anda bisa tahu kalau lagu yang dimainkan kakak anda itu sangat menyentuh?!”

“Dari nada-nadanya. Itulah yang dinamakan simfoni lagu, pak. Terkadang, saat anda merasa sedih, akan muncul dari sanubari hati terdalam anda, sebuah perasaan yang diselimuti dengan kegelapan, dimana anda tidak akan pernah mampu membendungnya walau anda sudah berusaha menghilangkannya dengan berbagai cara. Itulah yang dirasakan oleh kakak saya, pak. Dia menghilangkannya dengan cara menggesekkan biolanya, menciptakan nada-nada yang sungguh menyayat hati.”

“Apa yang membuatnya seperti itu?!”

“Kami menderita tekanan yang terdalam. Dia tertekan karena setiap hari, orang tua kami selalu bertengkar. Sedangkan saya? Saya semakin tidak peduli dengan apa yang terjadi!!”

“Baik. Lanjutkan!”

“Kemudian saya mulai mendekati pintu kamar mama dan papa, dan hendak menguping. Tetapi saya tidak mendengar apa-apa. Itulah sebabnya, saya mencari-cari alasan untuk masuk ke kamar mereka. Saat saya membuka pintu,,, saya sangat terkejut!! Ma.. ma.. dan.. pa.. pa.. sudah bersimbah darah. Sepenglihatan saya, sepertinya,,, mereka di.. dibunuh dengan beling dari jendela kamar mereka, karena saya melihat kaca jendela sudah pecah,” ceritaku sambil meteskan air mata.

“Kakak anda tahu apa yang sedang terjadi saat itu?!”

“Saya tidak tahu pasti. Seingat saya, kakak saya terus menerus memainkan biolanya saat itu.”

“Keterangan anda tidak cukup jelas. Kasus ini masih akan ditangani. Untuk sementara, anda kami tahan!”

“Baiklah. Lagipula, saya sudah lama ingin keluar dari rumah itu.”

Lalu, dibawalah aku ke suatu bui dan ditinggalkannya aku seorang diri. Aku mulai menangis, mengeluarkan setiap serpihan tajam yang menusuk hatiku. Aku telah berbuat kesalahan! Aku membiarkan kakakku tercekam sendirian di rumah sakit. Aku membiarkannya merasakan ketakutan!

“KAKAKKKKKKK!!!” teriakku.

“Memang saya yang membunuh mereka. Saya yang memecahkan kaca jendela di kamar itu. Karena pecahan kaca itulah, saya menjadi buta seperti sekarang ini. Saya membenci mereka. Saya muak mendengar dan melihat mereka selalu bertengkar! Saya tidak suka melihat mama menangis! Oleh karena itu, saya memutuskan untuk menghentikan itu semuanya, dengan cara… membunuh… mereka.”

“Baiklah, sudah jelas jawaban dari kasus ini. Setelah berbagai bukti yang memberatkan saudari, dan juga atas pernyataan saudari sendiri, maka, dengan ini, hakim memutuskan saudari Gabriela Azra, yang telah melanggar hukum dikenai hukuman penjara selama sepuluh tahun!”

Dok! Dok! Dok!

Aku kembali tersadar. Segera aku menghampiri kakakku, yang ternyata masih duduk dalam diam, menghadap jendela yang tak pernah ia tahu warna kain yang menutupi jendela itu.

“Aku mengerti.. Kini aku mengerti.. Aku mengerti mengapa kakak menjadi seperti ini. Kakak ingin menghilangkan kegelapan jiwa kakak. Ya,, kegelapan jiwa yang telah membuat kakak berjiwa kosong. Maaf, kakak.. Maafkan aku telah meninggalkanmu dulu…”

Air mata mulai menetes kembali. Kali ini kubiarkan mataku basah. Tanganku sudah enggan menutupi air mataku. Lalu, ku sentuh tangan kakakku yang kurus itu. Dingin,, dan ia tetap tak bergerak. Kini, aku menangis, menahan pedih luar biasa, mencoba untuk membebaskan jiwa kegelapannya pergi, dan ku peluk erat raganya…

Karya Ambrosiana Claudia

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.