Cerpen Terbaik Orang Keseratus yang Kubunuh

Orang Keseratus yang Kubunuh

Karya Lubis Grafura

Kuhayati jerit terakhir dari sepasang bibirmu ketika cabut pedangku mengiris dadamu. Tatapan matamu mengisyarakatkan dendam yang terpendam. Sementara, jantungmu yang berlumur darah berdenyut hangat di telapak tanganku. Telah kutuntaskan nyawa yang kesembilan puluh sembilan dengan sebilah pedangku.

Dua hari semenjak kutuntaskan musuhku yang kesembilan puluh sembilan, aku mengurung diri di rumah sambil menenggak arak. Pada kedalaman mataku yang sayu, aku menatap sebilah pedang yang kugantung di dinding. Kuteguk arak lagi.

Tiba-tiba seperti ada yang merasuk bersama tegukan arak ke tubuhku. Lewat alir deras darah. Lewat bilik jantung. Dengus nafas. Merasuk ke sumsum. Jauh menyentuh sisi hatiku yang selama ini tak pernah kusadari. Mengendap di sela hati. Menyisakan pertanyaan besar.

Aku tak peduli di pedang siapa jeritku kuucapkan. Aku tak peduli pada mata siapa aku menatap dendam yang terakhir. Pun, aku tak peduli pada telapak siapa jantungku akan berhenti berdetak. Satu hal yang membuatku bergetar.

Adakah benar-benar aku bangkit selepas mati, lantas apa yang diceritakan oleh mereka, itu benar-benar terjadi. Belum pernah sepasang tumitku menggetarkan seluruh kakiku. Menggetarkan tubuhku. Menggetarkan sepasang tangan dan bibirku. Menggetarkan hatiku.

Atau justru kesembilan puluh sembilan ruh musuhku menungguku di suatu tempat. Mereka berdiri sambil membawa sebilah pedang. Menunggu untuk mendengar jeritku saat pedang mereka satu persatu mengiris tubuhku. Sementara aku teronggok tak berdaya sambil menatap kaki-kaki mereka yang terpercik darah dari tubuhku.

Aku berteriak pada dinding yang bisu. Kulempar kendi arakku. Menciptakan debum suara kendi dan tembok yang beradu. Sepasang mataku jatuh pada pedangku. Mungkin, aku harus pergi ke luar dan mencari jawaban atas getar hatiku. Jika perlu, kutuntaskan nyawa sekali lagi untuk menggenapkan keseratus orang yang kubunuh.

Aku berjalan di kota yang bergetar. Getar itu pasti berasal dari hatiku. Malam tampak seperti kain hitam yang digantung. Aku melihat kebosanan di kota ini. Orang-orang menenggak arak di pinggir jalan, persetubuhan-persetubuhan liar, perjudian yang membuatku kalah dua hari terakhir ini, pembunuhan, penggelapan uang oleh para penguasa.

Ah, semuanya sah dilakukan di kota ini. Datanglah ke kotaku. Ha ha ha. Kuhempaskan jiwaku yang tiba-tiba terasa bahagia. Lalu, kembali lagi kurasakan kesedihan yang dalam. Getar hati. Tanya hati. Ah, apa semua ini!

Semua orang di kota ini sangat takut kepadaku. Mereka menjuluki aku sebagai ”si pedang buta”. Semua bajingan di kota ini takut padaku. Penguasa takhluk padaku. Dan, ha ha ha, semua perempuan tunduk padaku.

Ada bulir air yang jatuh. Ini bukan hujan. Kucari asal bulir itu dan tak kutemukan. Sesuatu menggantung di daguku. Aku tak percaya air mataku menetes. Belum pernah kumenangis. Ada hati yang bergetar, merambat ke seluruh tubuhku. Getar itu membuat kota bergoncang.

Namun, orang-orang di depanku tampak tak merasakan apa-apa. Mereka tetap melanjutkan taruhannya. Ini membuatku makin marah, karena dua hari terakhir yang lalu aku selalu kalah. Orang-orang pun tetap bercinta di pojok-pojok tembok.

Kuberteriak pada malam. Sempat kulihat beberapa orang berlari menjauh dariku. Ini membuatku makin marah dan kuacungkan pedangku. Aku merasa sangat lemah. Entah, bagaimana mereka dapat berlari secepat itu.

Si Pedang Buta! Si Pedang Buta!”

Ingin kucabut jantung orang yang berteriak itu. Tetapi semua mendadak gelap. Aku merasa makin pekat. Kepalaku pening. Semua menjelma hening.

***

Kepalaku pening. Semua menjelma hening. Mataku terbuka pelan, seperti tirai kelambu yang ditarik penggulungnya. Pelan, wajah sahabatku terlukis di sepasang mataku. Oh, Husein. Kaulah sahabatku yang setia mendengarkan keluhku.

Berbaringlah”

Tak kupedulikan nasihatnya. Aku tetap mencoba duduk. Ada yang menusuk jiwaku lewat sepasang mataku. Sepasang mata yang meliang di balik cadar itulah yang menusukku. Kupegang tangan Husein untuk kutanyakan mengenai perempuan itu. Aku tak percaya, Husein memiliki keponakan yang mampu menggetarkan hatiku. Ia tak pernah bercerita kepadaku.

Perempuan itu buru-buru pergi meninggalkan ruangan. Asap teh hangat masih mengepul di meja. Husein membantuku meneguk teh itu. Ia mengatakan kepadaku bahwa aku terlalu banyak menenggak arak tadi malam. Lantas, aku tergeletak di jalanan. Ialah yang menemukanku.

Aku menceritakan segala yang kualami. Kuceritakan tentang hatiku yang tiba-tiba bergetar. Kupikir, ia tak akan percaya. Tetapi aku menangkap sasmita bahwa dirinya mempercayai ceritaku seperti dirinya pernah mengalaminya sendiri. Dan, baru kali ini juga aku membicarakan tentang Tuhan. Selama ini aku tak mempercayaiNya. Aku hanya percaya kepada keberuntungan.

Ketika senja telah merayap kelam, aku mohon pamit kepada Husein. Langkah kakiku terhenti ketika Husein mengatakan kepadaku bahwa aku adalah orang yang baik. Benarkah? Belum pernah ada bibir yang mengatakan itu padaku. Aku pun menyempatkan menoleh ke belakang. Di salah satu sisi jendela, sempat kutatap sepasang mata yang teduh itu, namun seketika itu juga mata itu hilang di balik kelambu jendela.

***

Bisakah Tuhan menerima tobatku?”

Kudekatkan pedangku ke leher seseorang yang tengah berjudi di tempat yang biasa kugunakan untuk menenggak arak, bertaruh, bercinta, dan membunuh. Ia gemetar. Orang-orang di ruangan menunduk, tak ada yang berani menjawab.

Pergilah kau ke rumah lelaki tua di ujung sana. Dialah yang bisa memberimu jawaban”

Seseorang yang tengah mabuk di ujung ruangan menjawabnya sambil menenggak arak. Aku melihat kelegaan di wajah lelaki yang pedangnya kusingkirkan dari lehernya. Kini, ujung pedangku mengarah ke lelaki yang tengah mabuk itu sambil kukatakan jika ia berbohong, ia akan menjadi orang keseratus yang kubunuh. Pergilah aku ke tempat yang ditunjukkan oleh pemabuk itu.

Ada yang bisa kubantu, wahai anak muda?”

Sesampainya di rumah yang diceritakan pemabuk tadi, kutatap lama wajah lelaki tua itu. Kebijaksanaan menjelma kulitnya yang seperti pelepah kurma. Lantas, kutaruh pedangku di atas meja dan kuminum air yang disuguhkan kepadaku. Kuceritakan dosaku. Aku telah membunuh seratus orang. Lelaki itu bergetar. Ia memegang dadanya. Kuulangi tanyaku, apakah Tuhan akan mengampuniku?

Kau telah sesat anak muda. Siapaun tidak akan mengampunimu. Bahkan Tuhan pun akan melaknatmu wahai pembunuh!”

Kuambil pedangku dengan cepat dan kutebas lehernya. Lelaki itu jatuh berlumur darah. Aku meninggalkan ruangan itu. Amarah mendidihkan darah di ubun-ubunku. Aku berjalan cepat dan ingin kubunuh semua orang di kota ini.

Di jalan, aku bertemu sahabatku. Aku bergetar menatapnya. Aku menangis dalam pelukannya. Ia mengambil pedangku. Ia membawaku ke rumahnya. Kuceritakan kepadanya bahwa aku telah membunuh orang yang keseratus kalinya.

Apa yang terjadi jika aku berbuat dosa, Husein?”

Dituliskan dosamu”

Jika aku bertobat dan mohon ampun?”

Diampuni dosamu.”

Jika aku berbuat dosa lagi?”

Dituliskan dosamu”

Jika aku bertobat lagi?”

Diampuni dosamu. Ia-lah yang tidak akan pernah bosan memberi ampun dan tobat selama kau tidak bosan meminta ampun dan tobat.”

Aku menatap wajah sahabatku dalam-dalam. Apa yang menjadi pertanyaan hatiku telah terjawab oleh sahabatku sendiri. Andai saja, aku menanyakannya dari dulu, aku tak akan membunuh untuk keseratus kalinya.

Lantas, ia menyuruhku untuk meninggalkan kota yang busuk ini. Ia pun akan segera meninggalkan kota ini. Ia menyuruhku pergi ke suatu tempat di mana di sana banyak orang yang berbuat baik.

Dan jangan pernah kembali ke kota busuk ini”

Aku akan mengikuti nasihat sahabatku. Aku pun pergi meninggalkan halaman rumah sahabatku. Kusempatkan untuk menoleh yang terakhir kali ke jendela di salah satu sisi dinding rumah sahabatku itu. Aku tak melihat mata yang teduh itu. Tapi, sebelum kuputuskan untuk melupakannya, kelambu jendela itu pelan terbuka. Aku menatap lagi mata itu, dan seketika itu kelambu jendela itu menutupinya.

Kulanjutkan perjalananku. Kuambil bekal di rumahku. Akupun berangkat menuju sebuah tempat yang diceritakan oleh sahabatku. Namun, dalam separuh perjalanan. Aku bertemu dengan seorang lelaki yang pedangku pernah kuletakkan di pundaknya. Ia bersama lima orang menghadangku. Firasatku buruk. Kuraba pedangku. Aku baru sadar jika pedangku berada di rumah sahabatku.

Kau ingat aku?”

Aku tidak mempedulikannya. Aku tetap ingin pergi ke tempat teduh yang diceritakan sahabatku. Aku ingin menebus dosa-dosaku di sana. Namun, apa yang terjadi adalah mereka menghadangku dan menusukkan pedangnya ke tubuhku.

Rintih memberat. Aku teringat jerit musuh-musuhku yang berakhir oleh sebilah pedangku. Aku pun bisa mendengarkan nafasku yang tersendat, ketika ujung pedang itu ditarik dari dadaku. Semuanya tampak remang. Lelaki itu pergi meninggalkanku. Mataku sempat menatap langkah-langkah kaki menjauh meninggalkanku dengan tawa kemenangan.

Bengkel Imaji Malang, Juni 2007

Kepada Bagus

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.