Cerpen Biru

Biru

Oleh Sugeng AW

Rok birunya berkibar. Ia memang suka warna biru. Warna yang tentram, anggun dan damai. Warna laut. Dipandanginya samudera itu. Sejauh mata memandang hanya ada sehamparan warna yang begitu mesra membelainya. Biru. Ia memejamkan matanya menghayati warna biru merasuki pori-porinya, merasakan semilir angin laut yang sayu membelainya mengisyarat musim yang akan segera berganti.

Ia suka pria itu. Pria yang membuatnya bahagia hari ini, memberi hadiah tak terduga. “aku ingin memberimu hadiah hari ini” itulah yang dikatakannya pagi tadi. Jauh-jauh ia mengendarai mobil Avanza biru lautnya kemari. Ketempat yang telah lama dirindukan gadis itu, sejak melihat gambar-gambar ensiklopedi tentang laut. Membawanya ketempat ini adalah ide yang bagus. Tempat dimana ia merasakan semilir angin yang membelai-belai rambutnya dan terwarnai sempurna dengan warna hati dan jiwanya. Saking gembiranya ia mencium pria itu. Memberikan ciuman pertamanya. Tetapi pria itu tidak mau berhenti sampai disitu, pautannya semakin dalam, dekapannya semakin erat. Ciuman pertamanya dirasa terlalu lama dan ia tak kuasa menolak pria itu.

Kini ia menangis, dirapikan rok birunya yang tersingkap. Ia tetap memandangi warna biru itu. Dengan air mata yang terburai. Sendiri. Lelaki itu telah pergi setelah puas dengan nafsu birahinya. Kini tinggal wanita itu sendirian disebuah tanjung memandangi katulistiwa yang berwarna biru.

***

siapa yang menghamilimu”wanita itu berteriak-teriak seperti orang gila yang sedang meracau membentaknya dengan keras dan tak segan sesekali mengayunkan tangan menimbulkan suara beradu,“plakk”, pipi gadis itu semerah darah, pipi yang biasanya putih beroleskan bedak. Biasanya wanita tua itu lembut. Ucapannya senantiasa mengisyaratkan kelembutan seorang ibu yang halus budi tiada taranya. Kali ini ia seperti orang gila. Bola matanya membesar lebar seakan mau keluar dari cangkangnya. Air mukanya berubah, dari dewi Arimbi menjadi Durgandini.

Ia ketakutan dan memeluk kaki ibunya rapat-rapat. Didekap dan di tahannya kaki itu kuat-kuat. kaki itu tetap melangkah. Dada ibunya rasa sesak mau meledak. Tubuh kecil anaknya yang beringsut terseret menimbulkan jejak kaki malapetaka yang tak bisa lagi dihindari. Wanita tua itu tetap melangkah dengan perkasanya. Cara jalannya aneh dengan anak gadis yang mendekap kaki kanannya. Sama sekali tidak dipedulikannya anak gadis satu-satunya yang sedang menangis memeluk kaki kanannya itu. Tidak peduli. Diraihnya sebilah parang yang teramat besar. Ingin digoroknya leher gadis itu. Tak tega. Ia menggorok leher sendiri.

Kini ia mengerang sendirian. Bayi yang Sembilan bulan ada di rahimnya akan keluar. Tidak ada lagi ibu, ayah atau seorang suami. Ia sendirian di bawah langit biru ditepi samudera saksi percintaannya dulu. Dicengkramnya pasir-pasir itu tiap kali ia terlepas dari sela-sela jarinya. Matanya tak sekalipun berkedip memandangi warna langit yang menaunginya dipinggir samudera itu. Biru.

Saat bayinya terlahir, ia segera meraih bayi itu untuk disusui. Diceritakan pada bayinya bahwa ia adalah anak seorang lelaki berparas tampan. Seorang ksatria dan pahlawan yang diagung-agungkan banyak orang. Seorang laki-laki yang memakai baju perang safir berwarna biru dengan leher berbalut selendang putih kapas. tubuh ayahmu berwarna biru pekat berbau harum. Tiap kali ia melangkah, belaian angin selalu mengiringi langkahnya. Angin itu menderu-deru laksana menunggu, menunggu perintahnya untuk segera menghancurkan musuh yang menghadang. Cukup dengan satu lambaian tangan saja, ia menghancurkan musuh-musuhnya. “Dan dahulu saat kami bercinta anakku, angin itu mesra membelaiku.”

itulah bapakmu, lihatlah, lihatlah anakku” wanita itu mengacungkan telunjuknya ke angkasa, ke arah langit biru yang semburat dengan awan putihnya dan sesekali angin menderu-deru merontokkan dedaunan tua. Ia tahu warna langit itu adalah biru meskipun matanya sama sekali tidak lagi dapat melihat. Ia telah buta, dan ada satu hal yang tidak ia ketahui. Tubuh bayinya berwarna biru. Dan semakin membiru sejak ia keluar dari rahim ibunya.

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.