Cerpen Cinta Yang Tak Terbalas

Cinta Yang Tak Terbalas
Rizky Manurung

Akulah penjagamu
Akulah pelindungmu
Akulah pendampingmu di setiap langkah-langkahmu
Kau basuh diriku dengan rasa sayang, senyummu juga sedihmu adalah hidupku
Kau sentuh cintaku dengan lembut dengan sejuta warna.
..

Lagu 11 Januarinya Gigi masih terus mengalun sebagai nada dering ponselku tatkala Kak Dido menelponku atau cuma sekedar missed call saja. Biarpun Kak Dido cuma missed call aku sangat senang, wajahku ikut merona, karena aku menganggap kalau Kak Dido selalu mengingatku.

Lagu 11 januari turut mewarnai hatiku dengan kehadiran Kak Dido yang senantiasa mengisi hari-hariku. Sesekali dia menelponku untuk menanyakan kabarku dan pada akhirnya kami sering terlibat dalam obrolan yang serius. Kak Dido selalu berbagi kisah denganku mengenai pekerjaan, hobi, dan keluarganya. Perkenalanku dengan Kak Dido dijembatani oleh Gina teman kuliahku, yang pada awalnya Kak Dido adalah salah satu teman chatting Gina.

Suatu ketika Kak Dido berkunjung di kediamanku, kedatangannya membuat dadaku berdesir “wah, suatu moment yang sangat indah dan Kak Dido begitu handsome,” gumamku dalam hati. Setelah kunjungan Kak Dido, di lain waktu dia mengajaku jalan-jalan di pantai Losari. Kami duduk di tepi pantai menikmati sore hari yang kian beranjak menuju senja, laut biru yang terbentang dan matahari yang semakin memerah berhias warna ungu dan kekuningan. Atau ketika Kak Dido mengajakku berkenalan dengan komunitasnya, komunitas pecinta Motor Gede. Di setiap kesempatan jalan berdua Kak Dido tak hanya berkisah tentang pekerjaan, hobi, dan keluarga. Terkadang dia mencurahkan isi hatinya bahwa dia butuh seseorang untuk tempat berbagi rasa. Juga dengan keluh resahnya, ketika dia mengeluh dengan rasa penat yang tak bisa dilawannya setelah bekerja seharian penuh. Apalagi pada saat Kak Dido harus lembur . Kak Dido bekerja di perusahaan Financial terkemuka di Makassar. Aku semakin salut dengan profesi Kak Dido sebagai Manajer perusahaan di tempatnya bekerja. Dengan penghasilan yang besar, tempat, dan pekerjaan yang sangat bagus. Semua itu membuatku merasa beruntung mengenalnya.

Perkenalanku dengan Kak Dido semakin dekat saat dia memperkenalkanku dengan saudara-saudara dan orang tuanya. Kak Dido memiliki keluarga yang bersahabat, kakak dan adik-adik yang baik. Ayahnya berdarah Makassar sedangkan ibunya berasal dari Bantaeng. Aku pun tak mau ketinggalan segera ku ajak kak Dido mengunjungi kakakku di Sudiang.

Aku perkenalkan Kak Dido pada keluarga kecil seorang kakak, ipar dan dua ponakanku yang lucu-lucu Raihan dan Puput. Setelah beberapa kali aku dan Kak Dido berkunjung ke rumah kakakku, Kak Hani mulai mengerti bunga-bunga rasa yang tengah mewarnai senyum dan hari-hariku. Tapi ada sedikit rasa yang menjanggal hati Kak Hani terhadap Kak Dido.

“Dira, apa Kak Dido sudah pernah menyatakan perasaannya atas sikap-sikapnya sama kamu?” Tanya Kak Hani padaku. “Selama ini..” aku berusaha mengingat kembali sikap-sikap Kak Dido padaku, tapi belum kutemukan jawaban kalau dia pernah mengutarakan rasa seperti pada pertanyaaan Kak Hani.

Aku belum pernah mendengar pernyataan Kak Dido padaku mengenai perasaanku, tapi aku yakin,” jawabku berusaha meyakinkan hatiku juga pada Kak Hani.

Yakin apa?” keraguan Kak Hani, seolah-olah belum yakin atas keyakinanku, yang sebenarnya aku pun berusaha berpikir keras dan hatiku berusaha meraba-raba setiap kata demi kata yang pernah terucap dari bibir Kak Dido.

Aku bercerita pada Kak Hani selama mengenal Kak Dido. Dia begitu perhatian dengan menghubungiku, mengunjungiku, dan mengajakku jalan, tak ketinggalan dengan peristiwa makan malam berdua. Suasana yang cukup romantis menurutku. Kak Hani kembali bertanya padaku.Dia sudah pernah memberikanmu hadiah atau apa saja perhatian dalam bentuk materi, atau mungkin bantuan berupa pulsa?”.

Aku berterus terang pada Kak Hani bahwa semua perhatian dalam bentuk materi atau bantuan pulsa, semua belum pernah aku dapatkan dari Kak Dido. Kak Hani semakin meragukan keyakinan perasaanku bahwa Kak Dido menaruh hati padaku.

Menurut kakak, Kak Dido mu orang yang bersahabat, buktinya dia bersikap baik dan ramah. Kak Dido ikut bermain dengan Raihan dan Puput. Tapi kalau dia merasa memiliki hubungan yang istimewa dengan kamu, dalam usaha merebut simpatimu, setidaknya Kak Dido memberi sedikit perhatian kecil pada dua ponakanmu. Biasanya sih, orang dewasa suka memberikan coklat atau snack pada anak kecil.” Komentar Kak Hani yang mengoreksi sisi Kak Dido.

Iparku Kak Adi ikut menambahkan pendapat Kak Hani.
“Coba kamu periksa kembali perasaan Kak Dido terhadapmu minimal kamu berusaha mencari tahu. Sebenarnya seperti apa posisi kamu di hatinya. Sangat istimewakah atau cuma sekedar teman dekat untuk berbagi cerita. Saya yakin itu bukan usaha yang salah.”

Aku tak ingin diam dalam keraguan hatiku, ku coba sampaikan pendapatku.
“Mungkin cara Kak Dido melakukan pendekatan berbeda dengan cara yang dilakukan oleh pria pada umumnya. Bisa saja Kak Dido merasa cukup dengan caranya memberikan perhatian tanpa dalam bentuk bantuan atau pemberian.”

“Ketika kita menyayangi seseorang jangan pernah merasa cukup atas perhatian dan kasih sayang yang kita berikan, maka kita akan terus berusaha menyayangi dan menjaga. Cukup bisa bermakna kita telah puas.” Nasihat iparku berusaha meluruskan pendapatku.

Setelah berdiskusi bersama Kak Hani dan Kak Adi. Perasaanku semakin tak menentu untuk memastikan perasaan Kak Dido padaku. Betapa tidak demikian, pada saat berkunjung ke rumah Kak Hani, aku sedikit terhenyak bercampur heran ketika Kak Dido menerima telepon dari seseorang. Kedengarannya pemilik suara tersebut adalah seorang wanita, entah siapa, apa mungkin pacarnya. Aku mencoba menerka-nerka dari respon Kak Dido saat menjawab telepon itu. Aku melihat Kak Dido berusaha meyakinkan si penelpon itu bahwa dia berada di rumah seorang teman.

Di rumah teman, iya tema..an, tema..an bukan siapa-siapa!”
Duh, aku bukan siapa-siapanya, hanya teman biasa. Aku sedikit kecewa dan penasaran saat Kak Dido berkata pada si penelpon itu, dia akan menelpon dan menemuinya di lain waktu. Tak hanya sesekali saja Kak Dido menerima telepon dengan respon seperti itu. Apakah dari penelpon yang sama atau cuma akting Kak Dido saja dengan tujuan untuk melihat reaksiku.

Lita sahabatku menyarankan aku untuk membicarakan masalah itu pada Kak Dido secara empat mata. Sebelum berbicara pada Kak Dido ada perasaan khawatir menyeruak di hatiku. Aku merasa takut kehilangan dia, walau aku sadari perasaanku keliru dengan terlalu banyak berharap darinya, Yang sebenarya aku sendiri tak begitu yakin dengan perasaan Kak Dido padaku. Pertemuan demi pertemuan yang terjadi antara aku dan Kak Dido hanya terjadi sesekali, ketika aku berusaha memberi sinyal ingin dihubungi dan ingin bertemu dengannya atau jalan bersama lagi. Aku tak menerima responnya yang sangat berarti bagiku.

Aku pernah iseng-iseng membaca isi pesan SMS Lita dari kekasihnya yang bekerja di negeri orang. Sebuah pesan dari seorang pria yang tulus menyayangi sahabatku tanpa embel-embel rayuan. Sebuah pesan yang bermakna perhatian dan kasih sayang tak luntur oleh jarak yang jauh.
“Ass. Ade pa kabar, kak baru saja selesai kerja. Sudah makan belum? Makan bersama yuk! Salam Kangen!”

Beberapa kali aku membaca SMS Lita dari kekasihnya, tak kutemukan sikap Kak Dido padaku seperti halnya kekasih Lita. Hanya sebuah pesan biasa dari teman biasa.
“Aku lagi kerja nih.. tanggung juga masih banyak kerjaan, mungkin ntar lagi istirahat.”
Kadang aku merasa iri dengan sahabatku Lita, dia begitu bahagia dengan seorang kekasih yang begitu sayang dan perhatian padanya. Aku juga ingin mengalaminya bersama Kak Dido, tapi harapku sepertinya sangat jauh. Kenyataannya tak seperti apa yang aku harapkan.

Aku tak mau berputus asa ku coba menarik simpati Kak Dido dengan menceritakan beberapa pria yang ku kenal dan mengajakku jalan di malam minggu. Respon Kak Dido tak menunjukkan kalau dia keberatan atau merasa cemburu. Semua berjalan biasa-biasa saja.

“Asyik dong punya gebetan baru, kalau aku masih ditemani oleh setumpuk kerjaan yang kadang membuatku harus lembur. Mat malam minggu ya..” petikan SMS Kak Dido di ponselku.

Aku bingung tak tahu harus berbuat apa lagi untuk menarik simpatinya. Kadang aku berpikir kenapa aku harus berusaha menarik hatinya? Kenapa bukan Kak Dido sendiri yang berusaha keras menarik hatiku? Selalu terngiang pesan Lita. “Seorang wanita lebih tepat disayangi oleh seorang pria, maka kita akan belajar menyayanginya. Bukan malah sebaliknya.” Setiap pertanyaan-pertanyaan hatiku terhadap sikap Kak Dido selalu pesan Lita yang menjadi jawabannya. Namun terkadang aku mengingkari pesan Lita karena rasa sayangku pada Kak Dido.

Nada dering 11 Januarinya Gigi masih belum ku ganti di ponselku. Masih terus mengalun ketika Kak Dido miscall. Aku tak menggubrisnya sedikitpun. Juga dengan pesan singkat Kak Dido pada pesan kotak masuk di Handphoneku.

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.