Cerpen Senja di Pekuburan

Senja di Pekuburan

Sekuntum kembang kamboja layu bergoyang bersama rantingnya mengikuti arah angin. Lantas, kembang itu terpetik dari rantingnya. Meluruh terbawa angin. Jatuh di atas sebuah nisan. Seorang lelaki yang semenjak tadi berkhusuk segera terusik dengan kamboja itu. Di pungutnya, lalu ia kembali memanjatkan doa.

“Afliani Amalia”

Lelaki itu tersenyum sendiri saat teringat pertama kali bertemu istrinya. Ia ingat betul bagian itu. Yang baginya, bagian itu adalah sesuatu yang paling indah dalam hidupnya. Sebuah perkenalan yang terjadi ketika dirinya tengah berteduh dengan perempuan yang akhirnya menjadi pendamping hidupnya.

Entah bagaimana saat itu, ia justru memilih hujan tidak kunjung reda. Ingin rasanya sewindu dengan perempuan itu berteduh di emper pertokoan. Lelaki itu suka bercerita, sementara perempuannya dengan setia menjadi pendengar.

“Maukah kau menikah denganku?”

Dan kalimat itu, diucapkannya setelah dua bulan semenjak pertemuan hujan menyatukan mereka. Pun perempuan itu tak bisa mengungkapkan bahagianya. Kebahagiaan itu, kebahagaian mereka, menjadi sempurna tat kala mereka bersanding di sebuah pelaminan.

Acara pernikahan itu sederhana. Tidak ada pesta yang meriah atau perjamuan mewah. Pernikahan mereka hanya berupa tadarusan dan rebana selepas ijab-qabul yang juga sederhana.

Selepas prosesi pernikahan, keduanya masing-masing duduk di pinggir ranjang saling berjauhan. Lelaki itu mencoba merapatkan tubuhnya ke sisi istrinya. Ditatapnya erat sosok istrinya. Sementara istrinya, mencuri pandang ke wajah suaminya.

“Kau begitu sempurna”

“Kesempurnaan itu hanya milik Allah, Mas”

Lelaki itu tersenyum. Dipungutnya untaian kembang melati yang menghias sanggul istrinya. Semerbak wangi seolah terpancar dari seluruh tubuhnya. Ia rebahkan tubuh istrinya pelan di atas kasur. Dan diusaplah kening istrinya.

***

Dan diusaplah nisan istrinya. Semenjak kematian istrinya, lelaki itu tidak juga menyegerakan menikah. Ia memilih untuk membesarkan ketiga anaknya sendirian. Ia enggan menikah dengan alasan yang dia sendiri yang tahu.

”Aku benar-benar ingin tahu apakah takdir itu nyata?”

Begitulah tanya lelaki itu suatu kali kepada istrinya. Sementara hujan tengah derasnya terperas dari mendung hitam yang menggelayut di langit. Sepasang suami istri itu tengah berteduh di emper toko dimana pertama kali mereka bertemu.

Hal ini sering mereka lakukan tat kala terjadi sebuah perselisihan yang seolah tak ada jalan keluarnya. Ketika mereka berada di emper toko, semua persoalan seolah terjawab dengan kenangan yang masih mereka simpan. Lalu, mereka pulang ke rumah dengan lembaran baru.

Lelaki itu rindu berdiskusi dengan istrinya tentang apa saja. Anehnya, banyak pertanyaan dalam hidupnya terjawab justru dari bibir istrinya. Setiap tanyanya selalu berujung pada bibir ranum istrinya.

”Bukankah iblis itu terbuat dari api, dan neraka juga dari api. Jika iblis berada di neraka apakah ia tidak merasa tersiksa?”

Kala itu, istrinya hanya tersenyum. Tidak juga istrinya menjawab pertanyaannya. Ia pun tak mempedulikan itu. Toh, ia pun bertanya kepada istrinya sebagai retorika belaka. Sebuah pertanyaan yang tak harus memiliki jawaban.

Hari pun bergulir, hingga sampailah istrinya melahrikan anaknya yang ketiga. Ketika itu kondisi istrinya sangat lemah. Lelaki itu begitu cemas melihat istrinya. Ia takut terjadi hal-hal yang dia kuatirkann. Ia menunggu istrinya di luar ruangan. Hujan pun luruh dari atap.

Lelaki itu memikiki firasat yang tidak baik. Tidak ada suara tangis bayi. Dan ketika ia melihat seorang bidan keluar dari ruangan, ia segera menghampirinya. Seketika wajah lelaki itu berubah pucat.

”Istri Anda mengalami keguguran, tetapi istri Anda selamat”

Ia pun segera menemui istrinya yang masih tergeletak lemas. Lelaki itu mengelap kening istrinya yang basah oleh keringat. Ditatapnya erat-erat. Setiap detil wajah istrinya seolah tengah di salin ke dalam pikiran dan hatinya.

Setelah satu setengah jam lelaki itu memandang wajah istrinya, istrinya pun membuka sepasang matanya perlahan. Betapa bahagia lelaki itu ketika ia melihat bahwa istrinya sudah sadar.

“Ketika menunggu kau bangun, sayang. Aku sempat berfikir apakah Tuhan itu benar-benar ada?”

Istrinya mengayunkan telapak tangan ke pipi suaminya. Lelaki itu terkejut dengan apa yang telah dilakukan istrinya. Ia pun menyadari kesalahannya. Seharusnya ia tidak menanyakan hal itu.

“Maafkan aku”

Telapak tangan istrinya yang lemah itu mengusap pipi suaminya. Istrinya tersenyum melihat wajah suaminya yang bingung. Berkatalah istrinya bahwa tamparannya telah menjawab tiga pertanyaan yang pernah diajukan suaminya.

“Tiga pertanyaan?”

“Bukankah kau pernah bertanya, apakah takdir itu benar-benar nyata? Apakah iblis yang tercipta dari api tidak akan merasa sakit ketika berada di neraka yang juga tercipta dari api? Pertanyaanmu yang terakhir, apakah Tuhan benar-benar ada?”

Suaminya tersenyum. Tapi ia juga merasa bingung bagaimana sebuah tamparan bisa menjawab tiga pertanyaan. Namun, dengan setia ia menunggu sebuah jawaban dari istrinya.

“Apakah tamparanku sakit?”

Suaminya berfikir sebentar, lantas mengangguk.

”Itulah Tuhan, kau tak bisa melihatnya tapi kau bisa merasakannya.”

”Bukankah pipi itu terdiri dari darah yang terbungkus kulit, begitu juga dengan jari di tangan?”

Suaminya berfikir sebentar, lantas mengangguk.

”Jika disatukan dengan keras, juga menimbulkan sakit bukan? Setidaknya begitulah hubungan antara iblis dan neraka.”

”Lantas takdir?”

”Kau tahu kenapa aku menamparmu?”

Suaminya berfikir sebentar, lantas menggeleng.

”Itulah takdir. Hanya Allah yang tahu kenapa aku tadi menamparmu.”

Istrinya tersenyum. Lelaki itu pun membalas senyum istrinya.

***

Lelaki itu pun tersenyum. Senja semakin surut menjadi gelap. Lelaki itu beranjak dari pekuburan. Melangkah pulang dengan lembaran hidup baru. Namun, ia tak akan pernah melupakan istrinya. Ia hanya berharap bahwa suatu hari jasadnya akan terbaring di samping nisan istrinya.

Malang, November 2007

Karya Lubis Grafura

 
You can follow any responses to this entry through the Contac Us. You can leave a response.